Davina duduk di lantai, bersandar pada pinggiran ranjang seraya menyandarkan tekuknya di bagian yang terasa empuk. Matanya melayang jauh, seakan menembus langit-langit kamar. Ingin rasanya, ia terbang jauh. Meninggalkan semua beban yang selama ini bergelayut di pundaknya.“Apa yang harus aku lakukan?” Gumamnya resah. “Harus’kah aku merelakan rumah itu?”Asumsi demi asumsi terus berputar dalam benaknya. Mencari kesimpulan terbaik bagi masalah yang tengah dihadapannya. Sederet alasan berarah menuju jalan buntu dan berakhir pada kata pasrah dan menyerah. Namun, ego di hati Davina berkeras—tak ingin menyerah. Davina telah berjuang lama untuk mendapatkan satu-satunya barang peninggalan sang ibu. Rumah dimana keluarganya berlindung dari panas dan hujan. Tempat dimana keduanya mengubur kenyataan bahwa mereka merupakan bagian dari Carter.Davina menenggelamkan wajahnya di balik lipatan tangan. “Ibu, apa yang harus ku lakukan? Aku tidak ingin kehilangan rumah kita,” lirihnya.Ia terdiam sej
“Hai, cewek.”Davina mengambil langkah mundur begitu dua pria muncul, menghadang langkahnya.“Kenapa sendirian, Sayang?” Davina menepis tangan yang berusaha menjamah tubuhnya. “Menjauh dari ku!” pekiknya ketakutan. “Si-siapa kalian?” Kedua pria itu tertawa kompak. Suaranya melengking, mengusik gendang telinga hingga terdengar menyebalkan.“Dia cantik, gimana kalau kita bersenang-senang dulu?” Pria dengan luka codet di pipi kanan, mengirimkan sinyal pada rekannya. Matanya jelalatan, menyusuri tubuh ramping Davina.“Jangan buang-buang waktu!” Tepis pria berkepala plontos. “Lepaskan cincin itu.” Pria itu menunjuk cincin di jari Davina dengan sorot penuh minat.“Tidak,” sergah Davina tegas meski dengan suara bergetar, seraya menyembunyikan tangannya di balik punggung.“Cepat.” Teriak pria lainnya yang mengeluarkan sebilah pisau lipat dari balik sakunya dan menodongkannya ke arah wanita malang itu. “Berikan!”“Tidak, tolong!” Teriak Davina seraya melemparkan pandangannya ke segala arah,
Lucas menggerakkan tangan kanannya untuk menyeka bulir keringat yang mengembun di kening istrinya, sedangkan tangan kirinya tak lepas dari genggaman pemilik wajah pucat yang terlelap lelah.“Apa yang sebenarnya kamu lakukan disana?” Lucas menatap cemas.Benaknya terus mempertanyakan hal yang sama, menuntut sebuah jawaban yang bisa memuaskan rasa penasaran berbalut kecemasan.Ia mengusap lembut pipi yang bersemu kemerahan dengan mata sembab akibat menangis sepanjang hari.“Tuan.”Lucas menjauhkan tangannya dari wajah Davina, menegakkan punggung lalu berpaling untuk menanggapi panggilan Herman.“Ada apa?”“Tuan Gio datang bersama beberapa orang lainnya. Mereka menunggu anda di taman belakang,” urai Herman bernada gelisah.“Aku tahu,” balas Lucas seraya melambaikan tangannya acuh untuk mengusir pria tua itu dari hadapannya.Herman menunduk hormat dan segera keluar. Ia cukup paham tabiat sang pemilik rumah. Raut wajahnya yang suram, menunjukkan suasana hatinya yang kelam serta emosi yang
“A-aku …” Davina menunduk dalam. “Maafkan aku, Lucas,” sesalnya.Lucas tak bergeming. Ia sudah cukup muak mendengar kata yang sama keluar dari bibir wanita yang dibalut oleh banyak kebohongan.Davina memutar cincin di jarinya demi menutupi kegugupan yang ia rasakan. Ia merapatkan tubuhnya demi mengusir dingin yang menyerang. Tiba-tiba suhu ruangan perlahan menurun, menjadi semakin dingin hingga membuat tubuhnya bergetar.“Apa kamu butuh uang?”Tebakan Lucas membuat Davina terbelalak lalu perlahan menunduk lesu. “Hhh …” Suara desahan Lucas terdengar berat dan dalam. Pria itu meraih dagu Davina dan mengangkat paksa hingga pandangan keduanya saling bertemu.“Terlepas dari apapun alasan pernikahan ini tapi, di mata negara aku sah sebagai suamimu,” tuturnya tegas. “Apapun yang kamu butuhkan ataupun masalah yang sedang kamu hadapi, kamu bisa mengatakannya padaku karena itu semua menjadi tanggung jawabku sebagai seorang suami.”Kelopak mata Davina bergetar, menatap haru wajah tampan itu. M
“Bos, saya mendapat informasi kalau rumah yang ditempati Nyonya Davina dan ibunya di sita oleh bank,” lapor Gio.Lucas menutup dengan keras map laporan yang tengah ia baca. “Di sita?” Ulangnya ragu.“Seminggu yang lalu, bank mengirimkan surat peringatan terakhir. Namun, dari pihak Carter tidak menunjukkan tanggapan sehingga bank memutuskan untuk menyita rumah itu, tepat dua hari yang lalu.”“Jadi itu alasannya ke rumah gadai?” Tebak Lucas yakin. “Dari penelusuran saya, sejak dulu Tuan Carter mengabaikan Nyonya Davina dan ibunya. Keduanya sengaja diasingkan dari rumah utama keluarga Carter.” Gio mengambil napas panjang untuk meneruskan kalimatnya.“Bahkan Tuan Carter tidak pernah mengakui nyonya Davina sebagai darah dagingnya,” lanjut Gio. Dari balik intonasi suaranya, terdengar nada kasihan atas nasib hidup seorang Davina.Pancaran dibalik sorot mata Lucas mengeras. “Ambil alih rumah itu dan bawakan aku semua data aset beserta hutang Carter.” Ia menarik senyum miring di sudut bibirny
Davina memandang dua ruas jarinya yang tampak berkilauan. Entah sejak kapan, dua benda indah ini melingkari jemarinya. Pagi ini, begitu membuka matanya, Davina dikejutkan oleh dua cincin yang menghiasi jarinya. Salah satunya merupakan cincin pernikahan. ‘Apa Lucas yang memasangkannya?’ pikir Davina ragu.Dua cincin itu membuat Davina merasa spesial, ia merasa dihargai meski hanya sebagai istri pajangan di rumah ini.“Nyonya, apa anda sudah selesai dengan mangkuk itu?” Usik Herman bernada sindiran.Sejak sepuluh menit yang lalu, kepala pelayan itu telah menunggu dengan sabar di sudut ruangan. Memperhatikan gerak-gerik nyonya muda yang terus saja memandangi jemarinya tanpa berniat menyentuh bubir di dalam mangkuk.Davina berdehem pelan untuk menutupi rasa bersalahnya. “Maafkan aku, Herman. Tapi bisakah aku menyudahinya?”“Kenapa? Apa tidak sesuai dengan selera anda?” Herman menunggu jawaban dengan mimik wajah serius. “Tidak … tidak,” elak Davina. Raut wajahnya keruh, menjadi serba sal
“Hai.”Davina melambaikan tangannya dengan ceria kala memasuki pintu cafe. Ia menyapa beberapa karyawan yang tengah membersihkan meja-meja sebelum waktunya membuka cafe.“Hei, Davina!” Teriakan dari ujung ruangan membuat Davina segera memupuskan senyum di bibirnya dan berganti dengan raut tegang. “Bos,” ucapnya sambil tersenyum canggung. “Apa kabar?”Kain lap melayang ke wajah Davina diiringi dengan gerutuan sang pemilik cafe.“Dari mana saja kamu, bocah nakal!”“Maafkan aku, Bos.” Davina berlari kecil, menghampiri sang bos yang telah menjadi malaikat penolong baginya selama dua tahun terakhir. “Aku tidak enak badan selama beberapa hari ini.”“Apa? Kamu sakit?” Buru Baron cemas. Ia mengelus pelan pipi Davina. “Ah, masih hangat.”“Sudah lebih baik, Bos,” elak Davina. Ia tidak ingin pria baik hati itu cemas akan kondisinya. Ini pula alasan Davina tidak ingin mengirimkan kabar perihal sakitnya.“Kamu yakin? Mengapa tidak mengabariku? Kamu bisa saja mengambil cuti hingga kondisimu benar-b
“Ke mana kita akan membawanya?” Tanya Davina setelah berhasil mengeluarkan puluhan paperbag dari bagasi mobil.“Tinggalkan saja disana, Davina. Aku akan membawanya masuk,” sahut Allan, teman dekat pemilik cafe.“Tidak perlu sungkan, Allan,” kekeh Davina. “Asal kau tahu, aku disini untuk bekerja,” ujarnya seraya memainkan alisnya untuk membuat mimik wajah lucu yang mengundang tawa.Allan terkikik geli. “Kau dan bos mu itu sama saja, keras kepala,” ejeknya.“Siapa yang sedang mengejekku?” sindir Baron yang datang membawa dua pria muda. “Bawa masuk dan susun di meja.” Perintahnya yang disambut anggukan kompak oleh dua pemuda.“Kalian berdua, mulailah bekerja. Apa kalian akan bercanda sepanjang hari?” Baron beralih pada Davina dan Allan yang terpaku di depan tumpukan paperbag.Allan memasang wajah cengengesan sedangkan Davina bergegas untuk mengangkut jumlah paperbag yang mampu ia bawa.“Ayolah, Baron. Jangan bersikap terlalu keras pada Davina,” keluh Allan. Ia harus memperingatkan sang pe