“Nafsu tidak membutuhkan kata cinta, istriku.”Kalimat Lucas membuat emosi Davina meluap. Ia tak pernah menyangka, ternyata Lucas menilainya serendah itu!‘Pria ini gila!’ umpat Davina demi mengabaikan emosi yang tak tertahankan. Bila menuruti amarahnya, Davina ingin melayangkan tamparan keras disertai cakaran di wajah tampan itu. Namun tubuhnya tak berpendapat serupa. Seluruh sendi di tubuhnya kaku, membuat tangan dan kaki enggan beranjak. Bahkan Davina tak mampu menggerakkan bibirnya untuk sekedar memaki pria dihadapannya.Melihat wajah panik istrinya, Lucas tak mampu lagi menahan tawanya. “Eleana, apa kamu berpikir aku serius?” kekehnya mengejek.“Apa maksudmu?” Davina bengong, susah payah mencerna maksud di balik tawa Lucas.“Dengar Davina, bagiku pernikahan ini hanya formalitas. Bahkan sedikitpun aku tidak tertarik untuk menyentuhmu,” tutur Lucas datar.Mata Davina melebar. “Tapi, tadi kamu mencium—”“Yah, aku sedikit terbawa suasana tapi hanya sebatas itu, tak lebih.” Davina
Sinar matahari yang masuk diantara celah tirai, mengusik tidur wanita yang bergelung nyaman di atas dada bidang.“Hmm …” Davina bergumam pelan, membalik tubuhnya demi menghindar dari sengatan hangat. Perlahan ia membuka matanya, mengerjap perlahan seraya meneliti langit-langit yang menaunginya.‘Ah ya! Aku tidur di kamar Lucas,” pikirnya kala sadar akan nuansa kamar yang berbeda. ‘Tapi, tunggu …’Davina beranjak cepat dan terkejut begitu mendapati adanya pria tidur disampingnya—bertelanjang dada.“Apa?” Davina menyentak selimut yang menutupi tubuhnya. “Syukurlah,” desahnya lega karena semua pakaiannya masih lengkap seperti semula.“Bodoh.” Suara desisan, mengusik perhatian Davina. Ia berpaling untuk menyapa wajah tampan yang tengah menatapnya dengan sorot mata mengejek.“Kenapa kamu disini Lucas?”Lucas beranjak turun dari ranjang, meraih kimono tidur berbahan sutra untuk menutupi tubuh atas yang terbuka. “Pertanyaan terbodoh yang pernah ku dengar,” desisnya.“Apa kau lupa? Aku pemi
Suara nyaring dari lonceng kecil yang berfungsi sebagai penanda, menggetarkan daun pintu kala Davina mendorong dan memasuki bangunan berlantai dua. Ia tersenyum lebar begitu mendapati Baron yang tengah menyeduh teh, meliriknya sebal. Tampaknya sang bos tak berniat untuk berpura-pura, menutupi kekesalannya.“Akhirnya kau tahu jalan pulang,” sindir Baron.“Tak bisakah kau berbaik hati padaku kali ini, Bos?” Davina memasang wajah polos dengan senyum cengengesan. “Aku hanya butuh istirahat beberapa hari.”“Kau tahu ‘kan?” Baron mengangkat satu alisnya, menunjukkan raut wajah serius. “Alasan klise tak mempan padaku,” desisnya.Davina meringis ngeri, namun tak sepenuhnya menanggapi amarah Baron karena ia tahu, bosnya itu hanya mencemaskannya.“Mengaku’lah, apa pasangan gila itu kembali mendobrak pintu dan memukuli mu?” tebak Baron. Bukan sekali dua kali ia mendapati Davina tiba-tiba menghilang dan kembali dengan jejak lebam di sekujur tubuh.“Mereka orangtua ku, Bos,” kekeh Davina.Baron b
Gio melangkah cepat, memasuki ruang presiden direktur demi menyampaikan kabar buruk yang baru ia terima.“Tuan Lucas,” seru Gio mengusik wajah serius yang tengah menekuni puluhan berkas dihadapannya.“Apa kau lupa cara mengetuk?” Sindir Lucas tanpa bergeming.“Ah, maafkan saya.” Gio berdehem gugup, menyeka bulir keringat di keningnya. “Tapi, saya ingin menyampaikan berita penting.”“Apa?”“Tuan Sebastian baru saja mengadakan rapat tertutup dengan para direktur,” lapor Gio. Kepanikan berhasil menggetarkan pita suaranya.Kening Lucas berkedut tak senang. “Bocah itu selalu saja melempar kotoran,” desisnya geram.“Informan kita mengatakan kalau beberapa direksi sepakat untuk memboikot acara pesta peresmian anda sebagai presiden direktur nanti malam.”Lucas mendengus sinis. “Tikus-tikus pengerat itu mulai bertingkah di luar kemampuan,” balasnya. “Hubungi anggota komite, minta mereka berkumpul sekarang juga di ruang rapat.”“Eh, tapi …” Gio membulatkan matanya, bingung. “Maaf, Tuan Lucas. Da
Lucas!Davina menyilangkan telunjuk di depan bibirnya, meminta Eleana untuk tak bersuara. Setelah memastikan suasana di sekitarnya cukup hening, baru ia mulai menggeser tombol hijau di layar."Apa yang kau lakukan? Kenapa lama sekali mengangkat ponsel mu!" Pertanyaan bernada berat itu seketika menyambut begitu Davina meletakkan ponsel di telinganya."Aku baru menyadari getar ponsel," cicit Davina takut. "Di mana kau? Herman mengatakan kau pergi sedari pagi.""Ah, itu …" Davina melirik wanita dihadapannya sekilas sebelum kembali fokus untuk menjawab pertanyaan Lucas. "Aku menemui temanku," ucapnya setengah berbisik.Eleana mengeram tak senang kala mendengar kata teman yang diutarakan Davina sebagai alasan namun ia tak mencoba untuk berdebat."Kau lupa? Kamu harus menemaniku ke pesta malam ini. Segera pulang!”Davina bergidik takut kala suara kasar itu mengakhiri sambungan ponsel. Desah nafasnya mendadak lesu, ia yakin akan segera menerima amarah Lucas begitu menginjakkan kakinya di rum
Mata Lucas terpaku pada sosok wanita yang mengayunkan langkahnya—masuk, melewati pintu mobil dan duduk disampingnya dengan wajah menunduk takut.“Eleana?” tanya Lucas ragu. “Maaf, apa kita terlambat? Aku sudah berusaha secepat mungkin,” sesal Davina.Lucas mengangkat dagu yang terus tertunduk dalam. “Lumayan,” gumamnya puas. “Hmm?” Davina terpaku pada wajah yang berkali lipat lebih tampan dari biasanya.Lexus mewah itu mulai bergerak, mengabaikan penumpang—sepasang insan yang saling bertatapan. Berbagi pujian tanpa kata.“Eleana,” ucap Lucas mengawali kalimatnya. “Pesta ini sangat penting bagi ku.”“Bisakah kamu bekerja sama?” Lanjutnya seraya mengusapkan jemarinya lembut, menyusuri garis rahang dan pipi bulat yang menggemaskan.“Kamu tak perlu mengulang hal yang sama Lucas. A-aku bukan bayi,” sanggah Davina terbata. Sentuhan Lucas membuatnya gugup, hingga nyaris tak bisa mengeluarkan suara. “Kamu tenang saja. Aku janji, hari ini akan menjadi gadis penurut.”Lucas menarik tubuhnya sa
“Lucas …” Davina dan Sebastian kompak berpaling, menanggapi suara yang menyela diantara keduanya.Menyadari aura gelap disekitar Lucas, Davina segera beringsut—menjauh dari sisi Sebastian karena dia yakin suaminya tak suka melihatnya terlalu dekat dengan Sebastian.“Kau sangat pandai dalam berpura-pura serta membalikkan fakta,” tandas Lucas.Raut wajah Sebastian meredup sesaat sebelum kembali dihiasi senyum terpaksa. “Lucas, kamu tidak pernah berubah. Tak bisakah kamu mengubur masa lalu dan bersikap lebih ramah padaku,” keluhnya.Lucas mendengus sinis lalu beralih pada sang istri. “Apa yang kamu lakukan disini? Bukan’kah tadi mau ke toilet?”“Aku baru saja kembali dan bertemu Sebastian,” jelas Davina cepat. Ia tak ingin terkena imbas dari amarah Lucas.“Ayo.” Lucas menarik lengan Davina hingga tubuh kurus itu terperangkap dalam dekapannya. Tangannya melingkar posesif di pinggang ramping wanitanya. “Kita harus menyapa tamu.”Tak sekedar menjauhkan sang istri dari jangkauan Sebastian,
“Apakah sulit?”Davina mengangkat pandangannya dari deret kudapan manis nan menggugah selera yang dihidangkan di atas meja panjang. Ia berbalik, menatap wanita disampingnya.“Maaf, aku terlalu fokus memilih pie. Apa anda mengatakan sesuatu, Nyonya Charles?” tanyanya. Davina canggung untuk menatap langsung wanita berparas anggun itu.“Santai saja, Eleana. Panggil nama ku saja,” ujar Megan.Davina menatap kagum wanita yang tengah tersenyum ramah padanya. “Megan …” ucapnya pelan. “Yah, itu terdengar lebih baik,” kekeh Megan senang.“Lalu, apa yang tadi anda tanyakan?” “Ah, aku hanya bertanya …” Megan menggantung kalimatnya demi meneliti ekspresi di wajah nyonya muda keluarga Dawson. “Apakah sulit menjadi istri Lucas?”Davina terdiam sesaat, mencerna maksud dari pertanyaan Megan. “Se-sedikit,” ungkapnya ragu. “Hanya sedikit?” Kekeh Megan. “Ku kira kau akan mengatakan, sangat sulit.”“Mengapa anda berpikir seperti itu?” Davina menautkan kedua alisnya, heran. “Tak ada orang yang tahan, b
Tubuh Davina terdorong ke belakang hingga merapat ke tembok saat Lucas berbalik dan mengurungnya dengan kedua tangan yang terentang. Pria itu mengerang kasar seolah tengah melepaskan amarah yang tertahan.“Kenapa? Kamu masih ingin tinggal disana dan menarik perhatian Sebastian?” Desis Lucas marah. "Begitu inginnya kamu bersama pria itu?"“A-apa? Aku tidak—” Davina tergagap, ia kaget akan tuduhan dan kemarahan yang ditunjukkan Lucas hanya karena sepupunya datang untuk menyapa. “Aku tidak berniat untuk bertemu dengan Sebastian. Bahkan aku belum sempat menyapanya," elaknya tak terima."Jangan pernah berpikir untuk melakukannya!" tegas Lucas.Davina bergidik ngeri kala suara itu mengecamnya dan melempar sorot mata tajam. "Mulai sekarang, aku tak akan bicara bahkan bertemu Sebastian tanpa izin mu," janjinya demi menenangkan macan yang tengah mengamuk.Lucas melengos malas, tak percaya akan janji yang diucapkan oleh istrinya. "Lalu, kenapa kamu tampak kecewa karena meninggalkan pesta itu le
“Apa yang kalian bicarakan?” Buru Baron begitu melihat dua wanita itu masuk ke dalam ruangan.Megan menggelengkan kepalanya, mencegah Baron untuk banyak bertanya. “Apa semua persiapannya sudah selesai?”“Ya,” sahut Baron. Pandangannya menajam, meminta penjelasan tak terucap dari kedua wanita yang sebelumnya tampak bersitegang. “Semua sudah selesai.”“Terima kasih, Baron.” Megan berpaling pada wanita disampingnya. “Sampai nanti, Eleana,” pamitnya.Davina menatap punggung yang perlahan meninggalkannya. Meski untuk saat ini, Megan bersedia untuk menjaga rahasianya tapi itu bukanlah jaminan kuat karena pada suatu hari, rahasia ini akan terbongkar juga, cepat ataupun lambat.“Kenapa Megan memanggilmu dengan nama Eleana?” tanya Baron.Davina mengulas senyum tipis. “Dia hanya salah mengenaliku sebagai Eleana,” ucapnya sembari mengutuk diri karena kembali harus merangkai kebohongan.“Hmm,” gumam Baron samar. Ia tak lagi memburu Davina dengan pertanyaan karena ia yakin, wanita itu tak akan men
“Apa kamu menyembunyikan sesuatu dari kami, Eleana?”“A-aku …” Davina terbata seraya menundukkan pandangannya dalam-dalam. Ia terlalu takut untuk membalas sorot mata tajam yang diarahkan padanya. “A-ada hal yang tak bisa ku ceritakan padamu.”Megan melemparkan tubuhnya ke atas sofa lalu menghela napas panjang. “Baron adalah sahabat sekaligus saudara bagiku. Hubungan kami sangat dekat hingga tak ada satupun rahasia diantara kami.”“Aku sering mendengarnya memuji salah satu karyawan terbaik yang bernama Davina tapi, aku tidak menyangka bila wanita yang dimaksud Baron adalah kamu, Eleana,” lanjut Megan. Mengurai kisah sekaligus mengkonfirmasi kecurigaan yang terlintas di benaknya. “Jadi, siapa kamu sebenarnya? Davina atau’kah Eleana?”Davina mendapati adanya tuntutan dari balik kalimat panjang yang diutarakan Megan. Membuatnya seketika tak bisa berkutik. “A-aku …”“Jangan coba berbohong lagi, Eleana!” Sergah Megan tegas. Raut wajahnya mengeras saat menekan emosi yang bergejolak dalam ba
“Ke mana kita akan membawanya?” Tanya Davina setelah berhasil mengeluarkan puluhan paperbag dari bagasi mobil.“Tinggalkan saja disana, Davina. Aku akan membawanya masuk,” sahut Allan, teman dekat pemilik cafe.“Tidak perlu sungkan, Allan,” kekeh Davina. “Asal kau tahu, aku disini untuk bekerja,” ujarnya seraya memainkan alisnya untuk membuat mimik wajah lucu yang mengundang tawa.Allan terkikik geli. “Kau dan bos mu itu sama saja, keras kepala,” ejeknya.“Siapa yang sedang mengejekku?” sindir Baron yang datang membawa dua pria muda. “Bawa masuk dan susun di meja.” Perintahnya yang disambut anggukan kompak oleh dua pemuda.“Kalian berdua, mulailah bekerja. Apa kalian akan bercanda sepanjang hari?” Baron beralih pada Davina dan Allan yang terpaku di depan tumpukan paperbag.Allan memasang wajah cengengesan sedangkan Davina bergegas untuk mengangkut jumlah paperbag yang mampu ia bawa.“Ayolah, Baron. Jangan bersikap terlalu keras pada Davina,” keluh Allan. Ia harus memperingatkan sang pe
“Hai.”Davina melambaikan tangannya dengan ceria kala memasuki pintu cafe. Ia menyapa beberapa karyawan yang tengah membersihkan meja-meja sebelum waktunya membuka cafe.“Hei, Davina!” Teriakan dari ujung ruangan membuat Davina segera memupuskan senyum di bibirnya dan berganti dengan raut tegang. “Bos,” ucapnya sambil tersenyum canggung. “Apa kabar?”Kain lap melayang ke wajah Davina diiringi dengan gerutuan sang pemilik cafe.“Dari mana saja kamu, bocah nakal!”“Maafkan aku, Bos.” Davina berlari kecil, menghampiri sang bos yang telah menjadi malaikat penolong baginya selama dua tahun terakhir. “Aku tidak enak badan selama beberapa hari ini.”“Apa? Kamu sakit?” Buru Baron cemas. Ia mengelus pelan pipi Davina. “Ah, masih hangat.”“Sudah lebih baik, Bos,” elak Davina. Ia tidak ingin pria baik hati itu cemas akan kondisinya. Ini pula alasan Davina tidak ingin mengirimkan kabar perihal sakitnya.“Kamu yakin? Mengapa tidak mengabariku? Kamu bisa saja mengambil cuti hingga kondisimu benar-b
Davina memandang dua ruas jarinya yang tampak berkilauan. Entah sejak kapan, dua benda indah ini melingkari jemarinya. Pagi ini, begitu membuka matanya, Davina dikejutkan oleh dua cincin yang menghiasi jarinya. Salah satunya merupakan cincin pernikahan. ‘Apa Lucas yang memasangkannya?’ pikir Davina ragu.Dua cincin itu membuat Davina merasa spesial, ia merasa dihargai meski hanya sebagai istri pajangan di rumah ini.“Nyonya, apa anda sudah selesai dengan mangkuk itu?” Usik Herman bernada sindiran.Sejak sepuluh menit yang lalu, kepala pelayan itu telah menunggu dengan sabar di sudut ruangan. Memperhatikan gerak-gerik nyonya muda yang terus saja memandangi jemarinya tanpa berniat menyentuh bubir di dalam mangkuk.Davina berdehem pelan untuk menutupi rasa bersalahnya. “Maafkan aku, Herman. Tapi bisakah aku menyudahinya?”“Kenapa? Apa tidak sesuai dengan selera anda?” Herman menunggu jawaban dengan mimik wajah serius. “Tidak … tidak,” elak Davina. Raut wajahnya keruh, menjadi serba sal
“Bos, saya mendapat informasi kalau rumah yang ditempati Nyonya Davina dan ibunya di sita oleh bank,” lapor Gio.Lucas menutup dengan keras map laporan yang tengah ia baca. “Di sita?” Ulangnya ragu.“Seminggu yang lalu, bank mengirimkan surat peringatan terakhir. Namun, dari pihak Carter tidak menunjukkan tanggapan sehingga bank memutuskan untuk menyita rumah itu, tepat dua hari yang lalu.”“Jadi itu alasannya ke rumah gadai?” Tebak Lucas yakin. “Dari penelusuran saya, sejak dulu Tuan Carter mengabaikan Nyonya Davina dan ibunya. Keduanya sengaja diasingkan dari rumah utama keluarga Carter.” Gio mengambil napas panjang untuk meneruskan kalimatnya.“Bahkan Tuan Carter tidak pernah mengakui nyonya Davina sebagai darah dagingnya,” lanjut Gio. Dari balik intonasi suaranya, terdengar nada kasihan atas nasib hidup seorang Davina.Pancaran dibalik sorot mata Lucas mengeras. “Ambil alih rumah itu dan bawakan aku semua data aset beserta hutang Carter.” Ia menarik senyum miring di sudut bibirny
“A-aku …” Davina menunduk dalam. “Maafkan aku, Lucas,” sesalnya.Lucas tak bergeming. Ia sudah cukup muak mendengar kata yang sama keluar dari bibir wanita yang dibalut oleh banyak kebohongan.Davina memutar cincin di jarinya demi menutupi kegugupan yang ia rasakan. Ia merapatkan tubuhnya demi mengusir dingin yang menyerang. Tiba-tiba suhu ruangan perlahan menurun, menjadi semakin dingin hingga membuat tubuhnya bergetar.“Apa kamu butuh uang?”Tebakan Lucas membuat Davina terbelalak lalu perlahan menunduk lesu. “Hhh …” Suara desahan Lucas terdengar berat dan dalam. Pria itu meraih dagu Davina dan mengangkat paksa hingga pandangan keduanya saling bertemu.“Terlepas dari apapun alasan pernikahan ini tapi, di mata negara aku sah sebagai suamimu,” tuturnya tegas. “Apapun yang kamu butuhkan ataupun masalah yang sedang kamu hadapi, kamu bisa mengatakannya padaku karena itu semua menjadi tanggung jawabku sebagai seorang suami.”Kelopak mata Davina bergetar, menatap haru wajah tampan itu. M
Lucas menggerakkan tangan kanannya untuk menyeka bulir keringat yang mengembun di kening istrinya, sedangkan tangan kirinya tak lepas dari genggaman pemilik wajah pucat yang terlelap lelah.“Apa yang sebenarnya kamu lakukan disana?” Lucas menatap cemas.Benaknya terus mempertanyakan hal yang sama, menuntut sebuah jawaban yang bisa memuaskan rasa penasaran berbalut kecemasan.Ia mengusap lembut pipi yang bersemu kemerahan dengan mata sembab akibat menangis sepanjang hari.“Tuan.”Lucas menjauhkan tangannya dari wajah Davina, menegakkan punggung lalu berpaling untuk menanggapi panggilan Herman.“Ada apa?”“Tuan Gio datang bersama beberapa orang lainnya. Mereka menunggu anda di taman belakang,” urai Herman bernada gelisah.“Aku tahu,” balas Lucas seraya melambaikan tangannya acuh untuk mengusir pria tua itu dari hadapannya.Herman menunduk hormat dan segera keluar. Ia cukup paham tabiat sang pemilik rumah. Raut wajahnya yang suram, menunjukkan suasana hatinya yang kelam serta emosi yang