Davina berdiri di depan pintu ruang VIP dengan wajah bersimbah air mata. Tatapan sayu, meski pertemuannya dengan Kakek hanya berlangsung sebentar, namun ia merasakan kasih sayang yang selama ini tak pernah ia dapatkan dari keluarganya.
Davina menyapu jejak air mata di kedua pipinya, memutar kenop dan menunggu pintu dihadapannya perlahan terbuka. Matanya terpaku pada beberapa orang yang sudah berkumpul memadati ruangan.Langkah Davina bergetar saat memasuki area dalam ruangan. Ia langsung disambut oleh tatapan orang-orang yang menganggapnya sebagai sosok asing."Kau!" teriak Maria. Matanya melotot saat melihat Davina melangkahkan kakinya memasuki ruangan. "Apa yang sebenarnya telah kau lakukan?!" Maria mencengkram kasar lengan Davina. "Kenapa Ayahku meninggal setelah bertemu denganmu!"“A-aku ….”Tindakan Maria membuat Davina terbata. Ia terlalu kaget atas tudingan yang diarahkan sang ibu mertua hingga tak mampu untuk membela diri.Melihat wajah bersalah Davina, Maria semakin menjadi-jadi. “Pasti kamu! Pasti kamu dalangnya! Andai putraku tidak menikahimu demi–”“Cukup!”Suara keras yang tiba-tiba terdengar, mengalihkan perhatian semua orang pada sosok tinggi bermanik hitam yang menatap kejadian di depan mata dengan wajah gelap.Itu Lucas.“Ma, tenangkan dirimu,” lerai Lucas dengan wajah serius. "Kita ada di rumah sakit.”Melihat wajah Lucas yang begitu gelap, Maria pun tidak berani membantah. Putranya seperti apa, Maria yang paling tahu. Akhirnya, wanita itu hanya melemparkan tatapan benci pada Davina dan menghempaskan lengan gadis itu dengan kasar.Davina agak terdorong ke belakang hingga tubuhnya limbung dan hilang keseimbangan. Namun, sebuah tangan mencengkram lengannya, menahan tubuhnya sebelum terjengkang membentur lantai.Saat mengangkat pandangan, mata Davina terpaku pada wajah tampan yang menatapnya datar."Ikut aku." Lucas menyentak lengan Davina. Menarik paksa untuk mengikuti langkahnya keluar dari ruangan.Setelah langkah yang terburu-buru melewati lorong panjang, mereka tiba di basement dimana tak ada seorangpun yang muncul di area parkir.Lucas menghempaskan tubuh Davina ke badan mobil lalu menghela napas berat. Rahangnya mengetat, menatap tajam sosok yang dalam beberapa jam saja telah berhasil menyebabkan banyak masalah di keluarganya."Apa yang terjadi pada Kakek?" Tudingnya.Davina mengangkat wajahnya yang sedari tadi tertunduk lesu."Ka-kakek hanya …" Davina terbata diantara isak tangis."Bicaralah dengan jelas," desis Lucas yang mulai bosan dengan sikap Davina yang terus bertele-tele.Davina meremat jemarinya, gugup. "Kakek hanya mengatakan bahwa dia senang melihat kita menikah."Lucas berdecih sinis, pandangannya tak lepas dari tubuh yang bergetar ketakutan."Dan … dia juga merasa lega serta bisa pergi dengan tenang," lanjut Davina lirih.Lucas menyugar rambut depannya. "Merepotkan."Davina mengernyitkan keningnya bingung. Apa pria itu baru saja memakinya merepotkan?Davina mengepalkan tangan—mengumpulkan keberanian untuk membela harga dirinya, satu-satunya hal yang masih dimilikinya di dunia ini."Apa maksudmu?""Kau dan pria tua itu sama-sama merepotkan," balas Lucas dengan pandangan dingin. "Mati setelah melihatku menikah dan terjebak dengan seorang gadis bodoh. Yang benar saja," gumam Lucas mengeluh.‘Pernikahan … konyol? Gadis bodoh!?’ Mata Davina mengilatkan amarah, dia tersinggung. “Apa kamu pikir aku senang menikah denganmu!? Kalau bukan karena Ayah yang memaksaku untuk mengganti–!”Ucapan Davina langsung terhenti. Akal sehatnya bekerja tepat waktu untuk meredam amarah dan mengingatkannya akan bahaya yang mengintai."Mengganti?" desis Lucas dingin. Ia menatap wanita itu tajam, menunggu kalimat selanjutnya yang sedikit mengusik rasa penasarannya.“Lupakan …,” balas Davina seraya menundukkan kepala. “Maafkan aku …,” imbuhnya.Lucas mendengus dingin. "Aku tidak memerlukan maafmu."Ia memainkan pandangannya, menyusuri wajah yang tertunduk dalam. Sesaat lalu ia melihat keberanian yang tak lama kembali meredup tanpa alasan."Lagi pula, ini kesempatan terakhir yang kau miliki untuk bersikap di luar peranmu."Mata Davina melebar. Dia menoleh cepat ke arah Lucas sembari meremas ujung bajunya.'Apa … maksud pria itu?'*****Suasana di area pemakaman pribadi milik keluarga Dawson tampak lengang setelah prosesi acara pemakaman Benjamin Dawson selesai di gelar. Acara itu berlangsung begitu khidmat, diikuti oleh para pelayat yang silih berganti datang untuk memberikan penghormatan terakhir pada tetua di keluarga Dawson. Di antara pelayat, tampak Abraham dan Cecilia, Ayah dan Ibu tiri Davina, mereka duduk di antara barisan kursi keluarga utama Dawson.Di sana terlihat pula, Lucas dan Davina. Setelah perdebatan mereka di rumah sakit, Lucas menyeret Davina untuk mendampinginya dan menjadi wakil dari keluarga untuk menyambut kedatangan para pelayat. "Ada apa?" Lucas memperhatikan wajah Davina yang tampak pucat dan lesu bahkan beberapa kali Lucas mendapati wanita itu menghela napas dalam.“A-aku akan duduk sebentar, lalu akan kembali lagi” Davina menggeleng lemah, "karena kepalaku sedikit pusing," balasnya gugup. Sejak dari rumah sakit, Kepalanya berdenyut nyeri dengan mata yang berkunang-kunang. Mungkin ini
Sedan mewah berhenti tepat di pintu masuk rumah bertingkat, dengan gaya minimalis modern dan dominasi warna monokrom.Davina dan Lucas yang berada di dalam mobil kursi penumpang tak bergeming meski deru suara mesin sudah tak lagi terdengar. Keduanya larut dalam lamunan masing-masing, menghabiskan waktu dalam kebisuan."Tuan, Nyonya, kita sudah sampai." Suara sang sopir mengusik kesunyian dan aura suram dari balik kursi penumpang.Lucas berdehem pelan. "Turun," perintahnya lalu beranjak keluar dari mobil dan melangkahkan kakinya ke dalam rumah.Tak banyak bicara, Davina segera menyusul langkah pria dingin itu. Mereka disambut oleh dua pelayan yang menundukkan kepala saat Lucas melewatinya.Davina terpaku oleh betapa luasnya setiap ruangan yang dilewati beserta deret furniture yang ia yakini berharga fantastis. Rumah besar ini terlihat megah namun aura yang dipancarkan memberi kesan sunyi dan senyap. Setiap langkah terasa dingin, bagai menginjakkan kaki di atas batangan es. Saat kedua
Davina membeku di tempat, wajahnya memucat. Tekanan pada nama ‘Eleana’ yang Lucas sebutkan memiliki makna tersembunyi.‘Apa … dia tahu kebenarannya?’ batin Davina dengan tubuh bergetar.Melihat reaksi Davina, Lucas mendengus. Kemudian, pria itu berbalik dan melangkah ke pintu.Pintu dibuka oleh pria tersebut. “Bawa wanita ini ke ruangannya,” titah Lucas pada kepala pelayan yang berjaga di luar.“Baik, Tuan,” balas sang kepala pelayan sebelum berakhir menatap Davina. “Nyonya, silakan.”Davina termenung beberapa saat, lalu melirik ke arah Lucas yang menatapnya tajam, seakan muak melihat wajahnya. “Apa yang kau lakukan berdiam di sana? Keluar.”Mendengar perintah itu, Davina pun langsung berlari kecil meninggalkan ruangan dan mengikuti kepala pelayan.Saat pintu ruang kerja Lucas tertutup, Davina mengintip sedikit ke belakang. ‘Pria itu … dia mengerikan.’Setelah meninggalkan ruang kerja Lucas, kepala pelayan mengantarkan Davina berkeliling kediaman, sampai akhirnya tiba di depan pintu,
Davina bergelung dalam tidurnya dan perlahan membuka mata seraya berharap apa yang terjadi kemarin hanyalah sekedar mimpi dan sekarang waktunya terjaga di dunia nyata.Pandangannya menyisir langit-langit dan langsung bertemu dengan lampu ganti kristal yang mewah yang seketika membuatnya mendesah lelah. Ia bangkit menekuk wajahnya di atas lipatan tangan, bertumpu pada kedua tungkai. Benaknya kembali mengulang apa yang dikatakan Lucas. Entah mengapa, setiap kata yang keluar dari bibir tipis itu terdengar bagai ancaman bagi Davina. Membuat hatinya selalu diselimuti rasa takut sekaligus bersalah."Tidak mungkin dia tahu, kan?" Desahnya. "Apa semuanya sudah berakhir?" Gumamnya seraya menggigit ujung kuku ibu jari—kebiasaan buruknya saat gelisah. "Tidak … tidak!" Seru Davina sambil menggelengkan kepalanya. Mencoba meyakinkan diri bahwa semuanya akan baik-baik saja. "Kalau memang Lucas tahu kebenarannya, dia pasti sudah melumat ku menjadi remahan."“Nyonya Eleana.” Suara ketukan disertai
“Kenapa?” tanya Lucas setelah memperhatikan beberapa saat. “Gugup?”Sepanjang perjalanan, istrinya itu lebih banyak diam, bahkan dia terus saja menunduk. Menyembunyikan kegundahan di hatinya.Davina mengangkat pandangan lalu mengangguk kecil. “Se-sedikit takut.”“Apa kamu berbuat kesalahan?” Lucas memainkan alisnya demi memancing ekspresi wanita yang masih menekuk wajahnya.“Ti-tidak,” balas Davina cepat. “Lalu, mengapa kamu harus takut?” Lucas menekan tuas pintu mobil dan keluar dari sana. Davina terhenyak oleh pertanyaan Lucas hingga tak menyadari pria itu telah berjalan memutar dan berdiri di pintu yang berlawanan dan membukanya.“Apa kamu akan terus melamun?”Davina menatap tangan yang terulur ke hadapannya. Beberapa kali, perlakuan manis Lucas membuatnya kaget sekaligus salah tingkah.Ia menyambut tangan yang segera menggenggam jemarinya dan menarik tubuhnya keluar dari mobil.“Bersikap’lah seperti biasanya. Tak akan ada yang berani menyentuhmu selama kau berdiri di sampingku,”
“Lucas, aku—”Davina baru saja ingin membela dirinya dihadapan Lucas. Namun pria itu mengangkat tangannya untuk menghentikan apapun yang ingin Davina katakan.“Simpan saja energi mu, aku tidak membutuhkan penjelasan apapun,” cegah Lucas ketus. Ia beralih pada ponselnya, mengetikkan beberapa pesan sebelum membalikkan badan, menuju ruang kerjanya.Punggung tegap yang perlahan menghilang di balik pintu, membuat Davina resah. Ia takut bila Lucas terpengaruh dengan asumsi sang ibu dan kembali bersikap kasar padanya.“Nyonya, apa anda ingin cemilan sore?” tawar Herman.Davina menggeleng lesu. “Tidak, Herman.” Tolaknya. Pandangan Davina terpaku pada rimbunnya pepohonan di taman belakang yang belum sempat ia kunjungi. “Bolehkah aku duduk di taman belakang?”“Tentu saja,” balas Herman diiringi senyum ramah. “Saya akan menyiapkan es teh dan camilan ringan untuk menemani anda.”Kali ini davina tak membantah, menurutnya ide kepala pelayan sangatlah tepat. Ia berharap, bisa menikmati pemandangan s
Davina menyeret langkahnya, gelisah memikirkan petaka yang menunggunya di kediaman keluarga Carter. Bukan amarah sang Ayah, namun pertemuan tak terencana yang mungkin saja bisa membongkar rahasia ini.“Kenapa kamu tidak menekan bel?” Suara Lucas menarik kembali kesadaran Davina. “Eh?” Davina gelagapan, bersikap linglung bagai kehilangan arah. Pandangannya tak fokus, teralih antara pintu dan sosok sang suami yang menunggu reaksinya.Asumsi demi asumsi yang berkutat dalam benaknya telah mengalihkan perhatiannya hingga tidak menyadari bahwa mereka telah berdiri di depan pintu masuk.“Aku akan menghubungi Ayah, mungkin saja mereka sedang tak ada di rumah,” alih Davina beralasan. Tangannya bergetar saat merogoh isi tas, mencari ponselnya.“Tak perlu,” tahan Lucas. Telunjuknya menekan tombol di dinding sembari mengulas senyum miring, mengejek kepanikan sang istri. “Tenanglah, Eleana. Jangan tunjukkan kelemahanmu di depan musuh,” desisnya gemas.“A-apa?” Davina tak sempat mendengar penje
“Siapa kamu sebenarnya?”Davina bagai bisa mendengar pertanyaan yang terucap tanpa suara, dari balik tatapan Lucas. Namun ia tak berdaya, kuasa keluarga Carter bagai rantai yang mengunci rapat mulutnya.“Nak Lucas, Ayah baru saja mendengar kabar kalau kamu akan segera diangkat menjadi presiden direktur Dawson Group.” Lucas mengalihkan tatapannya dari istrinya. Ia mendengus samar karena pria tua dihadapannya mulai menunjukkan maksud yang sebenarnya. “Ya,” ucapnya sembari menaikkan dagu. “Sejak awal posisi itu dipersiapkan untuk ku, hanya masalah waktu saat aku bisa berada di kursi itu,” lanjutnya dengan kepercayaan diri penuh.Abraham tertawa keras meski hatinya menggeram kesal. Pria muda itu tak sedikitpun menunjukkan rasa hormat. Bahkan Dawson Junior itu tak segan menunjukkan arogansi dihadapannya.“Ayah sungguh bangga memiliki menantu sepertimu,” cetus Abraham. Cecilia mengangguk setuju. “Eleana sungguh beruntung,” imbuhnya.Duo Carter itu telah menetapkan tekad, menyanjung bocah
Tubuh Davina terdorong ke belakang hingga merapat ke tembok saat Lucas berbalik dan mengurungnya dengan kedua tangan yang terentang. Pria itu mengerang kasar seolah tengah melepaskan amarah yang tertahan.“Kenapa? Kamu masih ingin tinggal disana dan menarik perhatian Sebastian?” Desis Lucas marah. "Begitu inginnya kamu bersama pria itu?"“A-apa? Aku tidak—” Davina tergagap, ia kaget akan tuduhan dan kemarahan yang ditunjukkan Lucas hanya karena sepupunya datang untuk menyapa. “Aku tidak berniat untuk bertemu dengan Sebastian. Bahkan aku belum sempat menyapanya," elaknya tak terima."Jangan pernah berpikir untuk melakukannya!" tegas Lucas.Davina bergidik ngeri kala suara itu mengecamnya dan melempar sorot mata tajam. "Mulai sekarang, aku tak akan bicara bahkan bertemu Sebastian tanpa izin mu," janjinya demi menenangkan macan yang tengah mengamuk.Lucas melengos malas, tak percaya akan janji yang diucapkan oleh istrinya. "Lalu, kenapa kamu tampak kecewa karena meninggalkan pesta itu le
“Apa yang kalian bicarakan?” Buru Baron begitu melihat dua wanita itu masuk ke dalam ruangan.Megan menggelengkan kepalanya, mencegah Baron untuk banyak bertanya. “Apa semua persiapannya sudah selesai?”“Ya,” sahut Baron. Pandangannya menajam, meminta penjelasan tak terucap dari kedua wanita yang sebelumnya tampak bersitegang. “Semua sudah selesai.”“Terima kasih, Baron.” Megan berpaling pada wanita disampingnya. “Sampai nanti, Eleana,” pamitnya.Davina menatap punggung yang perlahan meninggalkannya. Meski untuk saat ini, Megan bersedia untuk menjaga rahasianya tapi itu bukanlah jaminan kuat karena pada suatu hari, rahasia ini akan terbongkar juga, cepat ataupun lambat.“Kenapa Megan memanggilmu dengan nama Eleana?” tanya Baron.Davina mengulas senyum tipis. “Dia hanya salah mengenaliku sebagai Eleana,” ucapnya sembari mengutuk diri karena kembali harus merangkai kebohongan.“Hmm,” gumam Baron samar. Ia tak lagi memburu Davina dengan pertanyaan karena ia yakin, wanita itu tak akan men
“Apa kamu menyembunyikan sesuatu dari kami, Eleana?”“A-aku …” Davina terbata seraya menundukkan pandangannya dalam-dalam. Ia terlalu takut untuk membalas sorot mata tajam yang diarahkan padanya. “A-ada hal yang tak bisa ku ceritakan padamu.”Megan melemparkan tubuhnya ke atas sofa lalu menghela napas panjang. “Baron adalah sahabat sekaligus saudara bagiku. Hubungan kami sangat dekat hingga tak ada satupun rahasia diantara kami.”“Aku sering mendengarnya memuji salah satu karyawan terbaik yang bernama Davina tapi, aku tidak menyangka bila wanita yang dimaksud Baron adalah kamu, Eleana,” lanjut Megan. Mengurai kisah sekaligus mengkonfirmasi kecurigaan yang terlintas di benaknya. “Jadi, siapa kamu sebenarnya? Davina atau’kah Eleana?”Davina mendapati adanya tuntutan dari balik kalimat panjang yang diutarakan Megan. Membuatnya seketika tak bisa berkutik. “A-aku …”“Jangan coba berbohong lagi, Eleana!” Sergah Megan tegas. Raut wajahnya mengeras saat menekan emosi yang bergejolak dalam ba
“Ke mana kita akan membawanya?” Tanya Davina setelah berhasil mengeluarkan puluhan paperbag dari bagasi mobil.“Tinggalkan saja disana, Davina. Aku akan membawanya masuk,” sahut Allan, teman dekat pemilik cafe.“Tidak perlu sungkan, Allan,” kekeh Davina. “Asal kau tahu, aku disini untuk bekerja,” ujarnya seraya memainkan alisnya untuk membuat mimik wajah lucu yang mengundang tawa.Allan terkikik geli. “Kau dan bos mu itu sama saja, keras kepala,” ejeknya.“Siapa yang sedang mengejekku?” sindir Baron yang datang membawa dua pria muda. “Bawa masuk dan susun di meja.” Perintahnya yang disambut anggukan kompak oleh dua pemuda.“Kalian berdua, mulailah bekerja. Apa kalian akan bercanda sepanjang hari?” Baron beralih pada Davina dan Allan yang terpaku di depan tumpukan paperbag.Allan memasang wajah cengengesan sedangkan Davina bergegas untuk mengangkut jumlah paperbag yang mampu ia bawa.“Ayolah, Baron. Jangan bersikap terlalu keras pada Davina,” keluh Allan. Ia harus memperingatkan sang pe
“Hai.”Davina melambaikan tangannya dengan ceria kala memasuki pintu cafe. Ia menyapa beberapa karyawan yang tengah membersihkan meja-meja sebelum waktunya membuka cafe.“Hei, Davina!” Teriakan dari ujung ruangan membuat Davina segera memupuskan senyum di bibirnya dan berganti dengan raut tegang. “Bos,” ucapnya sambil tersenyum canggung. “Apa kabar?”Kain lap melayang ke wajah Davina diiringi dengan gerutuan sang pemilik cafe.“Dari mana saja kamu, bocah nakal!”“Maafkan aku, Bos.” Davina berlari kecil, menghampiri sang bos yang telah menjadi malaikat penolong baginya selama dua tahun terakhir. “Aku tidak enak badan selama beberapa hari ini.”“Apa? Kamu sakit?” Buru Baron cemas. Ia mengelus pelan pipi Davina. “Ah, masih hangat.”“Sudah lebih baik, Bos,” elak Davina. Ia tidak ingin pria baik hati itu cemas akan kondisinya. Ini pula alasan Davina tidak ingin mengirimkan kabar perihal sakitnya.“Kamu yakin? Mengapa tidak mengabariku? Kamu bisa saja mengambil cuti hingga kondisimu benar-b
Davina memandang dua ruas jarinya yang tampak berkilauan. Entah sejak kapan, dua benda indah ini melingkari jemarinya. Pagi ini, begitu membuka matanya, Davina dikejutkan oleh dua cincin yang menghiasi jarinya. Salah satunya merupakan cincin pernikahan. ‘Apa Lucas yang memasangkannya?’ pikir Davina ragu.Dua cincin itu membuat Davina merasa spesial, ia merasa dihargai meski hanya sebagai istri pajangan di rumah ini.“Nyonya, apa anda sudah selesai dengan mangkuk itu?” Usik Herman bernada sindiran.Sejak sepuluh menit yang lalu, kepala pelayan itu telah menunggu dengan sabar di sudut ruangan. Memperhatikan gerak-gerik nyonya muda yang terus saja memandangi jemarinya tanpa berniat menyentuh bubir di dalam mangkuk.Davina berdehem pelan untuk menutupi rasa bersalahnya. “Maafkan aku, Herman. Tapi bisakah aku menyudahinya?”“Kenapa? Apa tidak sesuai dengan selera anda?” Herman menunggu jawaban dengan mimik wajah serius. “Tidak … tidak,” elak Davina. Raut wajahnya keruh, menjadi serba sal
“Bos, saya mendapat informasi kalau rumah yang ditempati Nyonya Davina dan ibunya di sita oleh bank,” lapor Gio.Lucas menutup dengan keras map laporan yang tengah ia baca. “Di sita?” Ulangnya ragu.“Seminggu yang lalu, bank mengirimkan surat peringatan terakhir. Namun, dari pihak Carter tidak menunjukkan tanggapan sehingga bank memutuskan untuk menyita rumah itu, tepat dua hari yang lalu.”“Jadi itu alasannya ke rumah gadai?” Tebak Lucas yakin. “Dari penelusuran saya, sejak dulu Tuan Carter mengabaikan Nyonya Davina dan ibunya. Keduanya sengaja diasingkan dari rumah utama keluarga Carter.” Gio mengambil napas panjang untuk meneruskan kalimatnya.“Bahkan Tuan Carter tidak pernah mengakui nyonya Davina sebagai darah dagingnya,” lanjut Gio. Dari balik intonasi suaranya, terdengar nada kasihan atas nasib hidup seorang Davina.Pancaran dibalik sorot mata Lucas mengeras. “Ambil alih rumah itu dan bawakan aku semua data aset beserta hutang Carter.” Ia menarik senyum miring di sudut bibirny
“A-aku …” Davina menunduk dalam. “Maafkan aku, Lucas,” sesalnya.Lucas tak bergeming. Ia sudah cukup muak mendengar kata yang sama keluar dari bibir wanita yang dibalut oleh banyak kebohongan.Davina memutar cincin di jarinya demi menutupi kegugupan yang ia rasakan. Ia merapatkan tubuhnya demi mengusir dingin yang menyerang. Tiba-tiba suhu ruangan perlahan menurun, menjadi semakin dingin hingga membuat tubuhnya bergetar.“Apa kamu butuh uang?”Tebakan Lucas membuat Davina terbelalak lalu perlahan menunduk lesu. “Hhh …” Suara desahan Lucas terdengar berat dan dalam. Pria itu meraih dagu Davina dan mengangkat paksa hingga pandangan keduanya saling bertemu.“Terlepas dari apapun alasan pernikahan ini tapi, di mata negara aku sah sebagai suamimu,” tuturnya tegas. “Apapun yang kamu butuhkan ataupun masalah yang sedang kamu hadapi, kamu bisa mengatakannya padaku karena itu semua menjadi tanggung jawabku sebagai seorang suami.”Kelopak mata Davina bergetar, menatap haru wajah tampan itu. M
Lucas menggerakkan tangan kanannya untuk menyeka bulir keringat yang mengembun di kening istrinya, sedangkan tangan kirinya tak lepas dari genggaman pemilik wajah pucat yang terlelap lelah.“Apa yang sebenarnya kamu lakukan disana?” Lucas menatap cemas.Benaknya terus mempertanyakan hal yang sama, menuntut sebuah jawaban yang bisa memuaskan rasa penasaran berbalut kecemasan.Ia mengusap lembut pipi yang bersemu kemerahan dengan mata sembab akibat menangis sepanjang hari.“Tuan.”Lucas menjauhkan tangannya dari wajah Davina, menegakkan punggung lalu berpaling untuk menanggapi panggilan Herman.“Ada apa?”“Tuan Gio datang bersama beberapa orang lainnya. Mereka menunggu anda di taman belakang,” urai Herman bernada gelisah.“Aku tahu,” balas Lucas seraya melambaikan tangannya acuh untuk mengusir pria tua itu dari hadapannya.Herman menunduk hormat dan segera keluar. Ia cukup paham tabiat sang pemilik rumah. Raut wajahnya yang suram, menunjukkan suasana hatinya yang kelam serta emosi yang