Hari-hari silih berganti. Di sini, di kota ini, banyak hal yang telah berubah. Namun kurasa hanya aku satu-satunya yang tak berubah. Orang-orang datang dan pergi. Kau tahu, aku masih di sini. Di tempat yang sama di mana kita biasa melihat matahari terbenam. Aku masih di sini—menunggumu seperti janji kita. Aku tahu, suatu hari kau pasti akan datang. Musim terus berganti. Musim semi berganti menjadi musim panas, lalu musim gugur, kemudian menjadi musim dingin. Setiap tahun akan selalu terulang. Dan kau tak pernah datang. Apa kau sudah melupakannya? Apa aku satu-satunya orang yang masih mengingat janji itu?
Angin berhembus pelan membuat padang rumput yang dipenuhi ribuan dandelion, terlihat seperti buih ombak di lautan. Beberapa bunga putih kecil itu terlepas dari tangkainya dan beterbangan mengikuti hembusan angin. Sepasang iris berwarna coklat terang, menatap kelopak-kelopak putih yang beterbangan melewati kepalanya. Ia mengangkat tangan seakan berusaha untuk meraihnya. Namun tangannya berakhir menggenggam udara kosong. Sembari mengamati kelopak dandelion yang terbang semakin menjauh, dalam hati ia membisikkan sebuah permohonan kecil.
“Di manapun kau berada, kuharap kelopak dandelion itu membawa harapanku padamu. Aku menunggumu di sini.”
*****
New York City, Amerika Serikat
“Izumi, come on! You’ll be late for the flight!”
“Okay, I’m coming!”
Pemuda yang dipanggil Izumi itu memasukkan barang terakhir ke dalam kopernya dan bergegas membawanya keluar. Begitu keluar senyuman ramah dari sepasang suami istri menyambut langkahnya.
“Are you ready My Boy?” sambut laki-laki itu seraya mengambil alih koper dari tangan Izumi dan membawanya ke dalam mobil. Sembari menggandeng tangan Izumi, sang istri mengikuti langkah suaminya. Dengan penuh perhatian wanita itu membukakan pintu mobil untuk Izumi yang dibalas dengan senyuman penuh terima kasih dari pemuda itu. Dari dalam mobil yang mulai bergerak, Izumi memandang rumahnya yang kini tak lagi berpenghuni. Satu persatu kenangannya di rumah itu tiba-tiba mengalir deras layaknya air hujan, membuat perasaan pemuda delapan belas tahun itu menjadi sesak. Jangan menangis! perintah Izumi pada dirinya sendiri. Ia mengalihkan pandangan, tak lagi menatap ke arah rumahnya. Dari balik kaca kemudi Mr. Sharon menatapnya dengan seksama.
“Are you okay?”
Izumi mengangguk pelan. “I haven’t even gone yet, but I’d missed him already. It’s look like my heart didn’t want to go anywhere,” ujar Izumi. Mr. Sharon tak menjawab. Sebaliknya kini iris amber milik istrinya, Ms. Sharon, menatap Izumi dengan lekat.
“It’s okay. If you don’t want to go, then you don’t have to. You can stay here with us.” Ucapan Ms. Sharon tentu saja membuat iris obsidian milik Izumi membulat, tak percaya dengan ucapan wanita itu.
“Darling! What did you say? You can’t forbid him to go!” tegur Mr. Sharon pada istrinya.
“I didn’t, but why does he have to go while his heart wants to stay. He’ll end up by hurting himself. Izumi, it doesn’t too late. If you want to stay then I’ll talk to them.” Mengabaikan tatapan tajam dari suaminya, Ms. Sharon menatap Izumi dengan penuh kesungguhan. Izumi terdiam sesaat. Kepalanya berusaha merenungkan setiap kata yang diucapkan oleh Ms. Sharon.
“I do love too, but I’ve already promised to him. And I must fulfill what I've promised,” ujar Izumi pelan. Meskipun begitu hatinya memberontak meneriakkan keinginan yang berlawanan. Izumi sangat mengetahui apa yang ia inginkan. Andai saja kembali ke Jepang bukan permintaan terakhir dari ayahnya, pemuda itu lebih suka menghabiskan waktunya di Amerika. Meskipun Jepang adalah tanah kelahirannya, ia tak pernah berharap untuk kembali ke sana suatu saat nanti. Kenangan masa kecil yang menyakitkan, perpisahan kedua orang tuanya, dan pengkhianatan wanita yang ia sebut “ibu” membuat Izumi membenci segala hal yang berkaitan dengan Negeri Sakura itu. Termasuk kenangannya akan cinta pertamanya terkubur bersama dengan rasa bencinya.
“Izumi, kemarilah!” Suara lirih ayahnya yang semakin lemah membuat perhatian Izumi teralihkan. Pemuda itu menutup bukunya dan berjalan mendekati ayahnya. Laki-laki itu menatap putranya dengan lekat. Seulas senyum terukir di wajah pucatnya.
“Tolong, kembalilah ke Jepang. Ibumu merindukanmu.”
Izumi tersentak, tak percaya dengan ucapan yang baru saja ia dengar. Hampir selama sepuluh tahun ini, ayahnya tak pernah menyinggung sedikitpun tentang Jepang ataupun tentang ibunya. Tapi mengapa sekarang—
“Bagaimana kalau aku bilang aku tidak ingin kembali?” ujar Izumi lirih.
“Izumi!”
“Apa Ayah lupa bagaimana dia meninggalkan kita dulu. Hanya untuk mengejar kekayaan dia membuang keluarganya. Bagaimana bisa kau memintaku untuk kembali. Aku—” Tangan Izumi mengepal menahan emosi. Yoshino Takumi menatap wajah putranya. Mata obsidian yang senada dengan miliknya terlihat begitu terluka.
“Ayah tidak melupakannya, tapi Ayah memilih untuk memaafkan ibumu, terlepas dari rasa sakit yang ia berikan aku sudah memaafkannya. Karena itu, kau juga harus melakukan hal yang sama. Tolong maafkan ibumu dan kembalilah ke Jepang,” ujar Takumi.
“Tou-san....”
“Ayah tahu ini sulit untukmu. Namun Ayah percaya kau bisa melakukannya, Haruki.” Takumi tersenyum memanggil nama kecil putranya.
“We’re arrived.” Suara Mr. Sharon memutus ingatan Izumi tentang percakapan terakhirnya dengan ayahnya. Dengan satu tarikan napas panjang Izumi melangkah keluar dari dalam mobil.
“Hubungi kami jika kamu sudah sampai. Kapanpun kau ingin kembali, kami menyambutmu dengan tangan terbuka,” pesan Ms. Sharon sesaat sebelum Izumi memasuki ruang tunggu. Pemuda itu mengangguk pelan.
“Terima kasih untuk semuanya, Mr. dan Ms. Sharon. Aku pasti akan merindukan kalian,” ujar Izumi. Mr. Sharon tersenyum dan menjabat tangan Izumi dengan erat. Sementara itu Ms. Sharon memeluknya dengan erat sembari mengusap kepala Izumi dengan sayang.
“Hati-hati di jalan. Kami pasti akan merindukanmu,” bisik Ms. Sharon dengan suara bergetar. Ia melepas pelukannya dan memandang Izumi dengan lekat. Aura hangat seorang ibu memancar dari wajahnya yang tersenyum. Meskipun begitu Izumi bisa melihat kedua iris amber itu berkilau karena air mata. Izumi mengangguk dan melemparkan senyuman terakhir kepada Mr. dan Ms. Sharon. Pemuda itu kemudian menarik kopernya menuju ruang tunggu bandara.
Izumi menatap gumpalan awan dari balik jendela pesawat. Di bawahnya Kota New York terlihat seperti ribuan kotak kecil yang tersusun rapi. Izumi menyandarkan kepalanya, berusaha mencari posisi nyaman untuk memejamkan mata. Dalam hati ia berharap ketika membuka mata nanti semuanya adalah mimpi. Seiring dengan pesawat yang terbang semakin tinggi, Izumi tenggelam dalam mimpinya. Kilasan memori masa kecilnya silih berganti bermunculan dalam mimpi Izumi, seperti sebuah film lama yang diputar berulang-ulang.
“Haruki, selamat datang.”
Izumi tersentak kaget, pemuda itu membuka mata dan menatap sekeliling. Lampu kabin pesawat menyala redup sementara di luar jendela tak satupun pemandangan yang terlihat karena gelap, menandakan malam telah tiba. Izumi menyeka wajahnya dengan tangan, sementara pikirannya kembali mengingat-ingat mimpi yang muncul dalam tidurnya. Sosok anak kecil yang mengucapkan selamat datang padanya, meski wajahnya tak terlihat. Namun iris coklat terang seperti yang selalu muncul dalam mimpinya beberapa hari terakhir ini membuat Izumi yakin bahwa itu adalah “dia”.
Apa kau tahu kalau aku akan kembali? Bahkan kau sampai mengucapkan selamat datang dalam mimpiku, pikir Izumi.
Pemuda itu memandang keluar jendela yang gelap dan kembali tenggelam dalam lamunannya. Tak lama kemudian lamunan Izumi terputus karena kehadiran seorang pramugari yang menawarkan makanan kepadanya. Namun ditolaknya dengan halus. Entah mengapa penerbangan panjang ini tak membuat Izumi merasa lapar sama sekali. “Apa penerbangannya masih lama?” tanya Izumi sebelum pramugari itu pergi.
“Kita akan sampai di Jepang sekitar tiga sampai empat jam lagi. Anda yakin tak ingin makan sekarang?” tawar pramugari itu lagi. Izumi menggeleng pelan. “Kalau begitu jika membutuhkan sesuatu jangan ragu untuk memberi tahu kami,” ujar pramugari itu seraya tersenyum ramah.
“Baik. Terima kasih,” balas Izumi.
Semburat sinar jingga perlahan muncul dari balik awan yang terlihat sedikit kelabu. Bersamaan dengan itu muncul pengumuman bahwa pesawat yang Izumi tumpangi telah tiba di tempat tujuan—Jepang. Jadi ini benar-benar bukan mimpi ya, batin pemuda itu. Tubuhnya sedikit terguncang ketika pesawat mendarat di landasan pacu. Izumi mengintip keluar dari balik jendela kabin. Tiba-tiba ia merasa asing dengan tanah kelahirannya sendiri. Begitu turun dari pesawat, angin yang sedikit dingin mengacak rambut hitamnya dengan lembut, seolah mengucapkan selamat datang padanya.
Tak kusangka aku akan kembali ke sini, ke tempat yang sangat tak kuingin kuingat lagi.
“Haruki-kun!” Dengan canggung Izumi mencari asal suara yang memanggilnya. Tak jauh dari tempatnya berdiri seorang wanita melambaikan tangan ke arahnya seraya tersenyum lebar. Di samping wanita itu berdiri seorang pria yang seusia dengan ayahnya. Entah mengapa dada pemuda itu tiba-tiba terasa sesak, bukan karena rindu, bukan. Namun lebih pada perasaan marah. Ingin rasanya ia berpaling dan mengabaikan panggilan wanita itu. Namun lagi-lagi bayangan ayahnya muncul seakan menariknya maju untuk mendekat. Jarak mereka hanya terpaut sekian meter. Namun Izumi merasa kedua kakinya terasa begitu berat ketika melangkah. Seolah ada beban yang menahannya untuk bergerak. “Selamat datang, Haruki-kun.” Wanita itu memeluk Izumi dengan erat. Namun pemuda itu tak bergeming. Perasaan asing itu belum sepenuhnya hilang. “Ayo kita pulang, kau pasti lelah setelah perjalanan panjang ini.” Ia melepaskan pelukannya dan menatap wajah Izumi dengan senyuman. “Sayang, bisa kau ban
Sejuknya udara musim semi menyambut Izumi begitu pemuda itu membuka pintu depan. Di halaman sosok pemuda yang ia kenali sebagai Ryu tampak sedang asyik bermain dengan seekor anjing berwarna coklat. Dengan sedikit canggung Izumi melangkah menghampiri Ryu dan anjingnya. Begitu melihat Izumi, anjing itu berlari ke arahnya lalu mengendus kaki pemuda itu dengan antusias. “Sepertinya Kuma menyukaimu, Kak. Biasanya dia tak seramah ini pada orang yang baru dilihatnya,” komentar Ryu. “Jadi namamu Kuma, ya?” ujar Izumi sembari berjongkok lalu mengelus kepala Kuma. Anjing coklat itu menjulurkan lidah sambil mengibaskan ekornya dengan girang. Ryu yang melihat interaksi antara Izumi dengan Kuma tersenyum tipis. “Mau ikut mengajaknya jalan-jalan?” tawar Ryu yang disusul oleh anggukan singkat dari Izumi. Suasana kawasan perumahan tempat tinggal keluarga Nakagawa tampak begitu lengang pagi itu. Selagi berjalan Izumi melihat sekelilingnya dengan seksama. Rumah-rumah yang berd
Matahari hampir tergelincir di ufuk barat ketika Izumi membuka kedua matanya. Pandangannya bergulir menelusuri sekeliling kamarnya yang mulai dipenuhi cahaya matahari yang berwarna keemasan. Izumi bangun dari kasurnya lalu melakukan peregangan untuk merenggangkan persendiannya yang sedikit kaku—terutama di bagian lehernya. Iris obsidiannya lalu menatap jam weker kecil yang bertengger di atas nakas samping tempat tidurnya. Jarum pendek berwarna hitam itu menunjuk angka lima. Sudah jam segini, sejak kapan aku tertidur? batin Izumi. Pemuda itu kemudian berjalan menuju kamar mandi untuk membasuh wajahnya. Aliran air yang sedikit dingin namun sejuk membuat seluruh jaringan saraf di wajah Izumi terasa segar kembali. Ia menatap lurus ke depan melihat wajahnya sendiri yang terpantul dari cermin yang terpasang di hadapannya. Butir-butir air terlihat menetes dari ujung rambutnya yang basah yang kemudian Izumi seka dengan segera menggunakan handuk yang tergantung di sisi kanannya.
“Izumi-kun—” panggil Tsubaki ketika Izumi telah menghabiskan potongan terakhir steak-nya. Wanita itu tak langsung melanjutkan ucapannya. Sebaliknya ia menunggu Izumi terlebih dulu meneguk isi gelasnya. Lalu ketika pemuda itu meletakkan kembali gelasnya yang sudah kosong, Tsubaki meneruskan kalimatnya. “—bagaimana kabarmu?” mungkin sedikit terlambat kalau ia baru menanyakannya sekarang. Namun Tsubaki tahu, Izumi menangkap maksud pertanyaannya.“Kami baik-baik saja selama sepuluh tahun ini jika itu yang ingin Anda ketahui. Meskipun Anda meninggalkan kami,” jawab Izumi. Ia mengucapkan kalimat terakhirnya dengan nada lirih. Sangat lirih hampir tak terdengar bahkan oleh Tsubaki.“Takumi— ”Mendengar nama ayahnya disebut Izumi tersenyum sinis. Ia membalas tatapan ibunya dengan ekspresi mencibir. “Untuk apa bertanya tentang ayahku? Mengharapkan cerita kalau beliau memanggil nama A
Bel istirahat berdering nyaring tepat ketika Asahi-Sensei menyelesaikan penjelasan mata pelajaran Sejarah Jepang yang beliau ajarkan. Setelah mengucapkan kata sampai jumpa kepada siswanya Asahi-Sensei—guru laki-laki muda yang Izumi tebak masih berusia dua puluhan akhir itu membawa bukunya dan berjalan meninggalkan kelas. Setelah Asahi-Sensei keluar sebagian siswa juga ikut keluar entah untuk makan siang atau melakukan kegiatan yang lain. Dari tempat duduknya Izumi melayangkan pandang ke luar jendela. Hampir saja ia tenggelam dalam lamunannya kalau saja seseorang tidak menghampirinya. “A-ano … Yoshino-kun?” Izumi menoleh menatap gadis berambut hitam sebahu yang berdiri di dekat mejanya. Gadis itu Ketua OSIS yang kebetulan satu kelas dengannya yang dimintai tolong oleh Asahi-Sensei sebelumnya untuk membawa Izumi berkeliling mengenal area sekolah ketika jam istirahat. Jadi karena itu dia menghampiri Izumi. “
Kali ini tanpa Maps dan drama tersesat, Izumi pun tiba di rumah. Setelah mengucapkan salam, ia menyimpan sepatunya di rak sepatu dan menggantinya dengan slipper yang khusus disediakan untuk dipakai di dalam ruangan. Suara orang dewasa yang berbicang dari arah ruang tamu sayup-sayup tertangkap oleh indra pendengarannya. Tanpa menaruh rasa penasaran dengan hal itu, pemuda itu bergegas menuju kamarnya. Setelah mengganti seragam sekolahnya, Izumi bersantai sambil memainkan ponselnya. Ia menggeser layar ponselnya, melihat satu persatu hasil jepretannya sore ini. Lumayan, pikir Izumi. Rasa haus yang mendadak datang membuat tenggorokan Izumi terasa kering. Pemuda itu meletakkan ponselnya lalu melangkah turun ke dapur. “Ah, Izumi-kun, kapan pulangnya?” sambut Tsubaki ketika Izumi memasuki dapur. Wanita itu tengah menuangkan ocha dari teko ke dalam gelas yang nantinya akan disuguhkan kepada tamu-tamunya. “Bagaimana hari pertamamu d
Setelah jam sekolah berakhir, seperti biasa Izumi tak langsung pulang. Menghabiskan waktu menatap pemandangan dari jendela kelasnya kini menjadi kebiasaan barunya. Riuh rendah suara anak-anak klub olahraga sayup-sayup terdengar di telinga Izumi, membuat pemuda itu mengarahkan pandangannya ke bawah menatap anak-anak klub basket yang tengah berlatih di lapangan. Iris obsidian milik Izumi tak sengaja menangkap sosok seorang gadis yang tengah menyapa salah seorang anggota klub basket yang sedang beristirahat. Izumi mengenal kedua orang itu. Gadis itu adalah Misumi Nana, teman sekelasnya. Lalu orang yang disapa olehnya adalah Ryu. Entah apa yang mereka bicarakan. Namun dari bahasa tubuh mereka Izumi bisa melihat kalau mereka berdua akrab satu sama lain. Tanpa sadar Izumi menghela napas panjang. Ia meraih tasnya lalu beranjak meninggalkan ruang kelas yang sudah kosong. Ketika melewati koridor di lantai satu Izumi tak sengaja melihat Yuki. Gadis itu baru saja keluar dari ruang guru
Setelah itu ia tak menyinggung apapun tentang Izumi atau keluarganya. Izumi pun demikian, pemuda itu tak mengatakan apapun. Mereka berdua kembali berjalan dalam keheningan. Sampai di persimpangan tempat mereka biasa berpisah jalan, Izumi dan Yuki mengambil arah yang berbeda. Izumi tetap lurus, sedangkan Yuki mengambil jalan berbelok yang mengarah langsung menuju tempat tinggalnya. Izumi sempat menawarkan diri untuk mengantar gadis itu pulang sebagai balasan karena telah menemaninya sore ini. Namun Yuki menolak dengan alasan rumahnya tak jauh dari tempat mereka. Izumi pun mengalah. “Kalau begitu, sampai besok!” ucap Izumi. “Un, hati-hati di jalan, Senpai!” balas Yuki dengan nada riang seperti biasanya. Gadis itu melambaikan tangan sekilas kepada Izumi lalu berbalik melangkah. Di belakang, Izumi terus memperhatikan punggung Yuki yang bergerak semakin menjauh. Rambut silver panjang gadis itu terlihat begitu berkilau tertimpa cahaya lampu yang menyala di
"Pagi!" Seperti biasa Yuki membalas sapaan anak yang menyapanya dengan ceria. Gadis itu melangkah dengan santai menuju loker sepatunya sambil sesekali bersenandung kecil. Ditariknya pintu loker besi itu dengan pelan. Tak disangka puluhan kaleng bekas berkelontang dari dalam lokernya dan jatuh berserakan di lantai, mengundang perhatian anak-anak yang lainnya untuk melihat apa yang terjadi. "Apa-apaan ini?!" Yuki menatap lokernya sendiri yang dipenuhi oleh sampah kaleng bekas. Terdapat secarik kertas ditempel dengan selotip di bagian dalam lokernya. Yuki menarik lepas kertas itu, membaca rangkaian huruf yang ditulis dengan tinta merah menyala. 'ENYAH KAU!!' begitu bunyi kalimat yang tertulis di sana. "Yuki!" Terlihat seorang gadis menyeruak di antara kerumunan anak-anak yang ada di sana, menghampiri Yuki dengan tergesa. "Anna." "Apa yang terjadi? Siapa yang melakukan ini padamu?" tanya gadis yang dipanggil Anna itu. Raut wajah Anna penuh dengan kekhawatiran melihat kejadian yang
Waktu berlalu, hari berganti. Para siswa kelas tiga semakin disibukkan dengan persiapan ujian masuk perguruan tinggi. Kesibukan itu, membuat Izumi perlahan lupa dengan suratnya. Eksistensi benda itu hampir menghilang sepenuhnya dari kepala Izumi, kalau saja dia tak menemukan setangkai krisan putih di loker sepatunya, kira-kira satu minggu setelah kejadian surat tanpa nama itu. Terdapat selembar kertas yang digulung kemudian diikat pada tangkai krisan itu, seolah seperti sebuah pita. Izumi melepas ikatannya, membaca sebaris kalimat pendek yang tertulis di sana. Musim ujian semakin dekat. Senpai, semangat! Izumi menengok kiri-kanan, berpikir mungkin masih ada jejak keberadaan orang yang meletakkan krisan itu di sekitar sana namun nihil. Memang area loker cukup ramai dengan lalu datang anak-anak yang berganti sepatu. Akan tetapi mereka terlihat tak terlalu peduli dan sibuk dengan urusan masing-masing. Menghela napas pendek, Izumi melipat kertas itu, mengikatnya kembali ke bentuk semul
Selesai makan malam dan mengerjakan tugasnya, Izumi mengutak-atik kameranya. Foto-foto hasil jepretannya beberapa hari yang lalu dia pindahkan ke dalam laptopnya. Izumi lantas memilih salah satu dari sekian foto, mengeditnya agar terlihat lebih menarik. Raut wajahnya terlihat fokus. Waktu semakin berlalu dan Izumi semakin tenggelam dalam kegiatannya. Sesekali dia membuka ponselnya, mencari tutorial di internet saat menemukan kesulitan dalam menggunakan fungsi fitur-fitur yang tersedia pada perangkat lunak yang dia gunakan untuk mengedit. "Sulit juga," ujar Izumi. Setidaknya butuh waktu satu setengah jam baginya untuk selesai mengedit satu foto. Setelah lama tidak berkecimpung lagi dengan hal-hal yang berkaitan dengan fotografi, Izumi merasa kemampuannya di bidang itu juga ikut menurun. Dulu ketika masih aktif di klub fotografi, untuk mengedit satu foto biasanya dia hanya butuh waktu sekitar dua puluh menit dan sekitar satu jam jika itu berupa foto potret. Setelah menyimpan hasil ker
“Kurasa pembahasannya sampai di sini dulu. Detailnya akan kita bahas lagi saat rapat berikutnya. Masing-masing divisi jangan lupa untuk merincikan biaya yang diperlukan sebelum diserahkan pada bendahara!” “Baik!” Nana menutup rapat tambahan senja itu dan anak-anak OSIS perlahan membubarkan diri satu persatu dari ruangan. Aizawa-Sensei—pembina OSIS Sakurai Goukou menghampiri Nana, memberikan sejumlah dokumen dan catatan kecil yang akan dibutuhkan dalam persiapan acara ke depannya. Perempuan itu meletakkan tangannya di bahu Nana. “Aku mengandalkanmu.” “Arigatou, Sensei,” balas Nana sopan sembari membungkukkan badan. Setelah mengunci Ruang OSIS dan mengembalikan kuncinya ke ruang guru, Nana berjalan menuju loker untuk mengganti sepatunya. Gadis itu melihat sejenak ke arah loker Izumi meskipun tak ada siapapun di sana. Dering singkat dari ponselnya, membuat Nana tak berlama-lama di sana. Dia berganti sepatu dengan cepat lalu bergegas ke depan sekolah, di mana bibinya sudah menunggu un
Senin, Izumi sudah kembali masuk sekolah seperti biasanya. Tiga hari tak masuk rasanya dia telah melewatkan banyak hal, terutama menyangkut mata pelajarannya. Oleh karena itu dia berusaha mengejar ketertinggalannya dengan meminjam catatan dari Kaito yang secara sukarela memberikannya.Izumi melemaskan persendian tangannya, berusaha mengurangi rasa pegal pada buku-buku jarinya setelah cukup banyak menyalin catatan materi dari Kaito ke bukunya sendiri. Pandangan Izumi menyapu ruang kelas 3-A yang berangsur-angsur sepi. Hanya tinggal dia dan Ichijou yang terlihat sedang bersiap-siap untuk pulang.“Izumi, kau masih belum mau pulang?” tanya Ichijou sambil memasukkan buku terakhir ke dalam tas sekolahnya.Izumi membalasnya dengan gelengan lalu mengangkat catatan yang masih harus dia salin. “Aku akan pulang setelah menyelesaikan ini.”“Kalau begitu, aku duluan. Sampai besok!”“Sampai besok!” balas Izumi.Kelas sudah sepi dan sekarang hanya tinggal dirinya yang ada di sana. Agar tak terlalu b
Izumi mengambil sebuah puding pemberian Yuki dan menyimpan sisanya di dalam kulkas. Saat sedang menyantap pudingnya, tak lama kemudian Ryu yang sudah berganti pakaian ikut bergabung dengan Izumi di ruang makan. Ryu meraih gelas porselen dari atas rak, mengisinya dengan air dari dispenser. Setelah meneguk habis airnya dan meletakkan gelas itu di wastafel, Ryu mendudukkan diri pada kursi berseberangan dengan Izumi.“Mama sedang keluar?” tanya Ryu setelah sepersekian detik melayangkan pandangannya mengitari area dapur dan ruang makan mencari keberadaan Tsubaki.Izumi mengangguk singkat. Dia mengangkat puding apelnya, menawarkannya pada Ryu. “Kau mau? Di kulkas masih ada.”Ryu menggelengkan kepala. Sebaliknya tangan pemuda itu menjangkau toples berisi cookies dan crackers yang sebelumnya dibawa oleh Izumi. “Ini, aku baru melihatnya. Apa mama yang membelinya?”“Ah, itu Mr. Sharon—pemilik rumah yang kami sewa di Amerika dulu, mengirimkannya untukku. Makan saja kalau kau mau,” ujar Izumi.“S
Usai makan siang dan meminum obatnya, Izumi duduk berselonjor pada tempat tidurnya. Irama piano mengalun dengan lembut melalui earphone yang terpasang di telinganya, menemani Izumi yang tengah asyik membaca manga milik Ryu yang baru sekarang sempat dia baca lagi. Lembar demi lembar habis dilahapnya. Semakin jauh halaman yang dia buka, Izumi merasa cerita itu semakin menarik. Penggambaran setiap karakter dalam cerita itu membuat imajinasinya terasa semakin hidup. Habis satu buku itu dibaca, rasa penasaran Izumi semakin menjadi untuk mengetahui kelanjutan ceritanya. Dalam hati dia sedikit menyayangkan mengapa hanya meminjam satu volume saja. Sepertinya aku harus meminjam lanjutannya nanti, batin Izumi. Dia menguap kecil. Rasa kantuk mulai menghampirinya membuat Izumi memilih untuk tertidur sejenak. Izumi menutup kelopak matanya. Earphone yang terpasang di telinganya sejak tadi terus memutar lagu yang sama. Irama piano itu masih terus mengalun menemaninya hingga ke alam mimpi. [Tadaima,
Tiga hari dirawat di rumah sakit, kondisi Izumi semakin membaik dari hari ke hari. Dia tak lagi menghabiskan waktunya dengan berbaring di atas ranjang. Tenaganya kini bahkan sudah cukup kuat untuk membawa kakinya beranjak keluar dari ruang rawatnya. Meskipun selang infus masih belum dilepas dari tangan kirinya. Akan tetapi terlepas dari hal itu Izumi merasa tubuhnya sudah sehat kembali. Sore itu Izumi berdiri menatap pemandangan yang terlihat dari jendela kamar rawatnya. Di ruangan itu kini hanya ada dirinya. Sejak merasa membaik Izumi memberitahu Tsubaki agar tidak perlu menemaninya sepanjang waktu. Dia juga meminta wanita itu untuk pulang agar bisa beristirahat di rumah. Izumi tahu Tsubaki tak pernah mempermasalahkannya. Namun dia merasa tidak enak hati karena jam istirahat wanita itu banyak terpotong karena mengurusnya selama tiga hari ini. “Perawat tadi bilang kamar nomor berapa?” “Berapa, ya? Aku lupa, antara 209 atau 210?” “210. Itu namanya tertulis di samping pintu.” Izumi
Pagi hari saat membuka mata, Izumi mendapati wajah ibunya yang masih tertidur di samping ranjangnya. Setelah sekian lama itu pertama kalinya Izumi melihat ibunya dari jarak sedekat ini. Dipandangnya sosok itu dengan lekat. Wajah Tsubaki terlihat lelah, membuat Izumi berpikir kalau wanita itu tak tidur dengan nyenyak semalaman karena menunggunya. Mungkin saja wanita itu baru bisa memejamkan mata belum lama ini. Saat memperhatikan wajah ibunya, Izumi baru menyadari ada kerutan samar pada wajah wanita itu yang menandakan kalau usianya sudah bertambah banyak sejak terakhir kali mereka bertemu. Antara sadar dan tidak, tangan Izumi terangkat hendak menyentuh wajah itu. Namun ketika menangkap ada gerakan dari kelopak mata Tsubaki yang terpejam, Izumi dengan cepat menurunkannya tangannya dan pura-pura tertidur. Tsubaki sepertinya sudah mulai terbangun dan Izumi bisa merasakan tangan wanita itu menyentuh keningnya sambil bergumam pelan. “Sepertinya demamnya sudah turun.” Lalu terdengar suara