Share

[2]-Arrival

Author: Sasakiya
last update Last Updated: 2021-07-05 19:38:11

“Haruki-kun!”

Dengan canggung Izumi mencari asal suara yang memanggilnya. Tak jauh dari tempatnya berdiri seorang wanita melambaikan tangan ke arahnya seraya tersenyum lebar. Di samping wanita itu berdiri seorang pria yang seusia dengan ayahnya. Entah mengapa dada pemuda itu tiba-tiba terasa sesak, bukan karena rindu, bukan. Namun lebih pada perasaan marah. Ingin rasanya ia berpaling dan mengabaikan panggilan wanita itu. Namun lagi-lagi bayangan ayahnya muncul seakan menariknya maju untuk mendekat. Jarak mereka hanya terpaut sekian meter. Namun Izumi merasa kedua kakinya terasa begitu berat ketika melangkah. Seolah ada beban yang menahannya untuk bergerak.

“Selamat datang, Haruki-kun.” Wanita itu memeluk Izumi dengan erat. Namun pemuda itu tak bergeming. Perasaan asing itu belum sepenuhnya hilang. “Ayo kita pulang, kau pasti lelah setelah perjalanan panjang ini.” Ia melepaskan pelukannya dan menatap wajah Izumi dengan senyuman. “Sayang, bisa kau bantu membawakan kopernya?” ujarnya pada pria di sampingnya.

“Tentu.”

Tanpa perlu diminta lagi, pria itu mengambil alih koper yang dibawa Izumi dan membawanya keluar dari bandara. Sepanjang perjalanan dari bandara Izumi hanya diam tanpa suara. Wanita itu nampaknya menyadari kecanggungan di antara mereka. Ia pun tak lagi berkata apa-apa dan membiarkan Izumi tenggelam dalam pikirannya. Sekitar empat puluh lima menit berkendara, akhirnya mobil hitam itu mulai memperlambat lajunya dan akhirnya berhenti. Mereka bertiga turun dari mobil dan berjalan bersama menuju ke dalam. Izumi memandang sekelilingnya. Halamannya begitu luas dan rapi ditutupi oleh rumput hijau yang sudah dipotong. Sekitar sepertiga dari luas halaman itu ditanami dengan bunga kamelia jepang—tsubaki. “Ibumu suka dengan bunga itu. Namanya sendiri memiliki arti ‘kamelia’, bukan?” ujar pria itu ketika melihat pandangan Izumi tertuju pada petak kamelia yang sedang bermekaran. Izumi hanya menanggapinya dengan senyuman canggung dan kembali melangkah.

Okaerinasai, Otou-san, Mama,” sambut seorang anak laki-laki begitu mereka tiba di dalam. “Ah, ini pasti Haruki Aniki, bukan?” Pandangannya beralih menatap Izumi. Izumi merasa sedikit tak nyaman begitu anak laki-laki memanggilnya dengan sebutan “Aniki”.

Konnichiwa,” ujar Izumi.

Anak laki-laki itu tertawa renyah. “Tak perlu formal seperti itu, umur kita hanya selisih setengah tahun. Aku Ryuzaki, panggil saja Ryu.” Ia menjabat tangan Izumi dengan ramah.

“Ryu-kun, antarkan kakakmu ke kamarnya ya. Dia butuh istirahat.”

“Baik,” balas laki-laki yang dipanggil Ryu itu. “Ayo Kak, akan kutunjukkan kamarmu di mana,” ujarnya pada Izumi.

“Istirahatlah dulu, akan Mama siapkan makanan untukmu,” ujar wanita itu pada Izumi.

Izumi mengangguk pelan dan ucapan terima kasih yang kaku akhirnya terucap dari bibirnya. Izumi mengikuti langkah Ryu menaiki tangga menuju kamar barunya. “Aku bisa membawanya sendiri,” ujar Izumi ketika melihat Ryu kesulitan membawa kopernya menaiki tangga.

“Tak apa, aku bisa kok,” tolak pemuda itu.

“Kalau begitu terima kasih banyak, Ryuzaki-kun,” balas Izumi yang disusul dengan anggukan dari Ryu.

“Kamarmu di sini, selamat beristirahat,” ujar Ryu pada Izumi.

Setelah meletakkan koper Izumi di sudut ruangan, pemuda itu pun keluar meninggalkan Izumi sendirian. Izumi merebahkan badannya di atas kasur. Sementara pandangannya bergerak menatap sekeliling kamar barunya yang didominasi warna biru. Tiba-tiba saja ia merindukan kamarnya yang di Amerika. Tempat baru ini terasa benar-benar asing baginya. Bahkan wajah penuh senyum dari wanita yang melahirkannya itu terlihat begitu asing di matanya. “Aku tidak tahu bagaimana ke depannya, tapi setidaknya Otou-san aku sudah berusaha untuk menepati permintaanmu,” gumam Izumi. Pemuda itu memejamkan kedua matanya dan tak lama kemudian iapun terlelap dalam mimpinya.

Nakagawa Tsubaki, ibu Izumi mengetuk pintu kamar pemuda itu dua kali. Namun tetap tak ada balasan dari dari dalam. Apa dia tertidur? pikir Tsubaki. Iapun membuka pintu kamar yang ternyata tidak dikunci dari dalam. Benar saja begitu tiba di dalam ia mendapati putranya tengah tertidur begitu pulas hingga tak menyadari kehadirannya. Tsubaki meletakkan nampan berisi makanan yang ia bawa di atas meja. Ia kemudian berjalan menghampiri Izumi yang masih tertidur. Dengan hati-hati agar tak membangunkan putranya, Tsubaki mendudukkan diri di samping Izumi. Iris lavendernya menelusuri setiap inchi wajah Izumi yang terlelap. Semakin lama Tsubaki merasa putranya semakin mirip bahkan sangat mirip dengan “dia”. Keduanya memiliki bentuk hidung dan bibir tipis yang selalu terlihat pink alami yang persis sama. Antara ragu dan rindu Tsubaki mengusap pipi Izumi dengan lembut. Hampir saja tangis wanita itu meledak. Putra kecilnya kini telah tumbuh menjadi seorang pemuda. Meskipun penyesalan masih menggelayut di dadanya. Namun ia merasa bahagia bisa bertemu kembali dengan putranya.

Izumi terbangun dari tidurnya begitu merasakan sentuhan seseorang di pipinya. Ia menatap sosok di depannya dengan mata setengah terpejam. “Otou-san?” gumam Izumi yang belum sepenuhnya sadar. Menyadari putranya terbangun, Tsubaki menarik tangannya yang masih berada di pipi pemuda itu.

“Ah, maaf membuatmu terbangun. Mama membawakanmu sarapan, makanlah! Kau pasti lapar setelah menempuh penerbangan panjang.” Sambil berkata begitu Tsubaki beranjak dari duduknya dan berjalan keluar. Namun belum sempat ia menyentuh gagang pintu, suara Izumi menghentikannya.

“Kenapa....”

Tsubaki menoleh. “Eh?”

“Kenapa memintaku kembali? Setelah 10 tahun lebih Anda meninggalkan kami, Kenapa tiba-tiba memintaku kembali lagi. Sebenarnya apa maksud semua ini?” Izumi yang kini telah sepenuhnya terbangun, memandang Tsubaki dengan tajam.

“Kau sebaiknya makan dulu, setelah itu baru kita bicara lagi.”

“Jangan mengalihkan pembicaraan, jawab saja pertanyaanku!”

Tanpa sadar nada suara Izumi menjadi meninggi hingga cukup membuat Tsubaki terkejut. “Haruki-kun.” Tsubaki memanggil putranya dengan lembut. Wanita itu melangkah mendekati Izumi, begitu jarak mereka hanya terpaut satu lengan, Tsubaki memeluk pemuda itu dengan erat. “Maaf. Kau pasti merasa ini tak adil. Tapi Mama benar-benar ingin bertemu denganmu. Kau boleh saja membenciku, tapi tolong jangan pergi lagi. Tetaplah di sini, di samping Mama.” Izumi tak bereaksi sedikitpun sampai akhirnya Tsubaki melepaskan pelukannya. Sekilas iris obsidiannya melihat ada kristal bening yang membayang di kedua iris lavender milik ibunya. “Kapanpun kau siap, Mama akan menjelaskan semuanya dari awal. Aku tak berharap kau akan langsung memaafkan Mama, tapi Mama akan berusaha untuk memperbaiki ikatan ini.” Suara Tsubaki terdengar sedikit bergetar begitu menyelesaikan kalimat panjangnya. Melihat Izumi yang tak kunjung mengucapkan kata sepatahpun, wanita itu memakluminya. Ia kembali berbalik menuju pintu keluar, memberikan ruang dan waktu bagi pemuda itu untuk menenangkan diri.

“Izumi.” Tsubaki menoleh mendengar suara lirih putranya. “Mereka memanggilku Izumi sekarang, bukan Haruki lagi,” ujar Izumi datar.

“Ah begitu rupanya,” ujar Tsubaki. Sebelum keluar wanita itu kembali melemparkan senyuman kepada Izumi. Berharap putranya akan membalas dengan hal yang serupa. Namun Izumi tak bereaksi sedikitpun, pemuda itu masih tetap memasang wajah datarnya bahkan hingga dirinya menghilang di balik pintu. Tsubaki menutup pintu kamar Izumi dengan pelan. Ia menghela napas panjang bersamaan dengan tertutupnya pintu coklat itu. Begitu berbalik Tsubaki dikagetkan dengan kehadiran Ryuzaki yang entah sejak kapan berdiri di depan pintu kamarnya yang berseberangan dengan kamar Izumi.

“Mama,” panggil Ryuzaki.

“Ryu-kun, apa kau lapar? Biar Mama siapkan makanan. Kau tak perlu turun, nanti Mama antarkan ke atas. Tunggu sebentar ya.” Tsubaki menghindari tatapan putra keduanya.

“Mama baik-baik saja? Aku tadi sempat mendengar—”

“Mama baik-baik saja. Kau tak perlu khawatir,” balas Tsubaki memotong ucapan Ryu. Wanita itu tersenyum pada Ryu dan berjalan menuruni tangga. Ryu menatap punggung ibunya yang bergerak semakin menjauh. Meskipun banyak hal dalam benaknya yang ingin ia katakan. Namun Ryu menahannya. Pemuda itu sadar ia tak bisa ikut campur dalam hubungan antara ibu dan anak tersebut. Biarkan saja keduanya menyelesaikannya dengan cara mereka masing-masing. Ryu menatap sekilas ke arah pintu kamar kakak barunya sebelum akhirnya ia kembali masuk ke dalam kamarnya.

Setelah ibunya keluar, Izumi bangkit dari kasurnya lalu melangkah menuju jendela. Disibaknya tirai coklat itu dengan pelan. Seketika sinar matahari masuk menerangi kamarnya. Langit Jepang pagi itu tampak begitu biru dan cerah. Dari balik jendela Izumi bisa melihat pohon sakura yang sedang bermekaran di jalanan depan rumah milik keluarga Nakagawa. Tanda bahwa musim semi telah tiba. Sakura, kupikir aku tak akan melihatnya lagi dari tempat ini, batin Izumi.

Puas melihat pemandangan di luar, Izumi kembali melangkah menuju tempat tidurnya. Awalnya ia ingin kembali merebahkan diri. Namun niatnya diurungkan ketika melihat makanan yang dibawakan oleh Tsubaki sebelumnya. Semangkuk nasi dan sup miso, chicken katsu, natto, potongan ikan makarel panggang, serta salad sayur segar tiba-tiba mengundang selera makannya. Hari itu untuk pertama kalinya setelah sepuluh tahun, indra pengecap Izumi kembali merasakan masakan jepang. Terbiasa dengan masakan barat selama tinggal di Amerika membuat rasa makanan itu sedikit asing di lidahnya, terutama natto. Padahal dulu seingatnya ia tak keberatan untuk memakannya. Namun kali ini setelah satu gigitan Izumi memutuskan untuk menyerah menghabiskan makanan yang terbuat dari kedelai dan bertekstur lengket itu.

Selesai makan dan membersihkan diri, Izumi keluar dari kamarnya sambil membawa nampan alat makannya. Sampai di ujung tangga pemuda itu berhenti sejenak, bingung di mana arah dapur yang akan ia tuju untuk mengembalikan peralatan kotor itu. Habisnya rumah itu begitu luas dan tempat yang baru Izumi lewati hanyalah ruang depan dan tangga yang menuju ke lantai dua. Di tengah kebingungannya tiba-tiba ia berpapasan dengan Tsubaki, ibunya. Wanita itu sedikit terkejut melihat putranya berdiri sendirian di ujung tangga dengan kedua tangan yang memegang nampan yang ia bawakan sebelumnya.

“Haruki—maksud Mama, Izumi-kun! Kau tak perlu repot-repot membawanya turun. Harusnya kau tunggu saja Mama mengambilnya ke atas,” ujar Tsubaki. Ia segera mengambil alih nampan itu dari tangan Izumi. “Bagaimana makanannya? Apa sesuai dengan seleramu? Maaf, harusnya Mama memasak sesuatu yang lain,” lanjut Tsubaki.

Daijoubu,” balas Izumi singkat lalu terdiam antara enggan atau bingung untuk mengatakan sesuatu yang lain sesudahnya.

“Ah, benar juga. Ryu-kun berada di halaman depan. Kau bisa mengobrol dengannya. Mama rasa Ryu-kun tak akan keberatan mengajakmu mengenal lingkungan sekitar sini,” ujar Tsubaki pada Izumi yang masih terdiam. Pemuda itu menoleh sebentar ke arah Tsubaki dan mengangguk. Setelah itu tanpa mengatakan apa-apa ia melangkah menuju pintu depan. Tsubaki menghela napas pelan tanpa melepaskan pandangan dari punggung putranya yang kini berjalan menjauhinya.

Sepertinya ini akan menjadi sedikit sulit. Tapi aku tak ingin kehilangannya lagi. Sepuluh tahun tak menyaksikannya tumbuh, bagiku sungguh sangat menyakitkan, batin Tsubaki.

Related chapters

  • Dandelion, Wish, and Wind   [3]-Jangan Pedulikan Masalahku

    Sejuknya udara musim semi menyambut Izumi begitu pemuda itu membuka pintu depan. Di halaman sosok pemuda yang ia kenali sebagai Ryu tampak sedang asyik bermain dengan seekor anjing berwarna coklat. Dengan sedikit canggung Izumi melangkah menghampiri Ryu dan anjingnya. Begitu melihat Izumi, anjing itu berlari ke arahnya lalu mengendus kaki pemuda itu dengan antusias. “Sepertinya Kuma menyukaimu, Kak. Biasanya dia tak seramah ini pada orang yang baru dilihatnya,” komentar Ryu. “Jadi namamu Kuma, ya?” ujar Izumi sembari berjongkok lalu mengelus kepala Kuma. Anjing coklat itu menjulurkan lidah sambil mengibaskan ekornya dengan girang. Ryu yang melihat interaksi antara Izumi dengan Kuma tersenyum tipis. “Mau ikut mengajaknya jalan-jalan?” tawar Ryu yang disusul oleh anggukan singkat dari Izumi. Suasana kawasan perumahan tempat tinggal keluarga Nakagawa tampak begitu lengang pagi itu. Selagi berjalan Izumi melihat sekelilingnya dengan seksama. Rumah-rumah yang berd

    Last Updated : 2021-07-05
  • Dandelion, Wish, and Wind   [4]-Apa Aku Cemburu Dengan Saudara Tiriku?

    Matahari hampir tergelincir di ufuk barat ketika Izumi membuka kedua matanya. Pandangannya bergulir menelusuri sekeliling kamarnya yang mulai dipenuhi cahaya matahari yang berwarna keemasan. Izumi bangun dari kasurnya lalu melakukan peregangan untuk merenggangkan persendiannya yang sedikit kaku—terutama di bagian lehernya. Iris obsidiannya lalu menatap jam weker kecil yang bertengger di atas nakas samping tempat tidurnya. Jarum pendek berwarna hitam itu menunjuk angka lima. Sudah jam segini, sejak kapan aku tertidur? batin Izumi. Pemuda itu kemudian berjalan menuju kamar mandi untuk membasuh wajahnya. Aliran air yang sedikit dingin namun sejuk membuat seluruh jaringan saraf di wajah Izumi terasa segar kembali. Ia menatap lurus ke depan melihat wajahnya sendiri yang terpantul dari cermin yang terpasang di hadapannya. Butir-butir air terlihat menetes dari ujung rambutnya yang basah yang kemudian Izumi seka dengan segera menggunakan handuk yang tergantung di sisi kanannya.

    Last Updated : 2021-07-05
  • Dandelion, Wish, and Wind   [5]-Hari Pertama di Sekolah Baru (1)

    “Izumi-kun—” panggil Tsubaki ketika Izumi telah menghabiskan potongan terakhir steak-nya. Wanita itu tak langsung melanjutkan ucapannya. Sebaliknya ia menunggu Izumi terlebih dulu meneguk isi gelasnya. Lalu ketika pemuda itu meletakkan kembali gelasnya yang sudah kosong, Tsubaki meneruskan kalimatnya. “—bagaimana kabarmu?” mungkin sedikit terlambat kalau ia baru menanyakannya sekarang. Namun Tsubaki tahu, Izumi menangkap maksud pertanyaannya.“Kami baik-baik saja selama sepuluh tahun ini jika itu yang ingin Anda ketahui. Meskipun Anda meninggalkan kami,” jawab Izumi. Ia mengucapkan kalimat terakhirnya dengan nada lirih. Sangat lirih hampir tak terdengar bahkan oleh Tsubaki.“Takumi— ”Mendengar nama ayahnya disebut Izumi tersenyum sinis. Ia membalas tatapan ibunya dengan ekspresi mencibir. “Untuk apa bertanya tentang ayahku? Mengharapkan cerita kalau beliau memanggil nama A

    Last Updated : 2021-07-05
  • Dandelion, Wish, and Wind   [6]-Hari Pertama di Sekolah Baru (2)

    Bel istirahat berdering nyaring tepat ketika Asahi-Sensei menyelesaikan penjelasan mata pelajaran Sejarah Jepang yang beliau ajarkan. Setelah mengucapkan kata sampai jumpa kepada siswanya Asahi-Sensei—guru laki-laki muda yang Izumi tebak masih berusia dua puluhan akhir itu membawa bukunya dan berjalan meninggalkan kelas. Setelah Asahi-Sensei keluar sebagian siswa juga ikut keluar entah untuk makan siang atau melakukan kegiatan yang lain. Dari tempat duduknya Izumi melayangkan pandang ke luar jendela. Hampir saja ia tenggelam dalam lamunannya kalau saja seseorang tidak menghampirinya. “A-ano … Yoshino-kun?” Izumi menoleh menatap gadis berambut hitam sebahu yang berdiri di dekat mejanya. Gadis itu Ketua OSIS yang kebetulan satu kelas dengannya yang dimintai tolong oleh Asahi-Sensei sebelumnya untuk membawa Izumi berkeliling mengenal area sekolah ketika jam istirahat. Jadi karena itu dia menghampiri Izumi. “

    Last Updated : 2021-07-05
  • Dandelion, Wish, and Wind   [7]-Kami-sama, Dia Sangat Keren!

    Kali ini tanpa Maps dan drama tersesat, Izumi pun tiba di rumah. Setelah mengucapkan salam, ia menyimpan sepatunya di rak sepatu dan menggantinya dengan slipper yang khusus disediakan untuk dipakai di dalam ruangan. Suara orang dewasa yang berbicang dari arah ruang tamu sayup-sayup tertangkap oleh indra pendengarannya. Tanpa menaruh rasa penasaran dengan hal itu, pemuda itu bergegas menuju kamarnya. Setelah mengganti seragam sekolahnya, Izumi bersantai sambil memainkan ponselnya. Ia menggeser layar ponselnya, melihat satu persatu hasil jepretannya sore ini. Lumayan, pikir Izumi. Rasa haus yang mendadak datang membuat tenggorokan Izumi terasa kering. Pemuda itu meletakkan ponselnya lalu melangkah turun ke dapur. “Ah, Izumi-kun, kapan pulangnya?” sambut Tsubaki ketika Izumi memasuki dapur. Wanita itu tengah menuangkan ocha dari teko ke dalam gelas yang nantinya akan disuguhkan kepada tamu-tamunya. “Bagaimana hari pertamamu d

    Last Updated : 2021-07-05
  • Dandelion, Wish, and Wind   [8]-Sunset & Ramen

    Setelah jam sekolah berakhir, seperti biasa Izumi tak langsung pulang. Menghabiskan waktu menatap pemandangan dari jendela kelasnya kini menjadi kebiasaan barunya. Riuh rendah suara anak-anak klub olahraga sayup-sayup terdengar di telinga Izumi, membuat pemuda itu mengarahkan pandangannya ke bawah menatap anak-anak klub basket yang tengah berlatih di lapangan. Iris obsidian milik Izumi tak sengaja menangkap sosok seorang gadis yang tengah menyapa salah seorang anggota klub basket yang sedang beristirahat. Izumi mengenal kedua orang itu. Gadis itu adalah Misumi Nana, teman sekelasnya. Lalu orang yang disapa olehnya adalah Ryu. Entah apa yang mereka bicarakan. Namun dari bahasa tubuh mereka Izumi bisa melihat kalau mereka berdua akrab satu sama lain. Tanpa sadar Izumi menghela napas panjang. Ia meraih tasnya lalu beranjak meninggalkan ruang kelas yang sudah kosong. Ketika melewati koridor di lantai satu Izumi tak sengaja melihat Yuki. Gadis itu baru saja keluar dari ruang guru

    Last Updated : 2021-07-05
  • Dandelion, Wish, and Wind   [9]-Ryuzaki's Crush

    Setelah itu ia tak menyinggung apapun tentang Izumi atau keluarganya. Izumi pun demikian, pemuda itu tak mengatakan apapun. Mereka berdua kembali berjalan dalam keheningan. Sampai di persimpangan tempat mereka biasa berpisah jalan, Izumi dan Yuki mengambil arah yang berbeda. Izumi tetap lurus, sedangkan Yuki mengambil jalan berbelok yang mengarah langsung menuju tempat tinggalnya. Izumi sempat menawarkan diri untuk mengantar gadis itu pulang sebagai balasan karena telah menemaninya sore ini. Namun Yuki menolak dengan alasan rumahnya tak jauh dari tempat mereka. Izumi pun mengalah. “Kalau begitu, sampai besok!” ucap Izumi. “Un, hati-hati di jalan, Senpai!” balas Yuki dengan nada riang seperti biasanya. Gadis itu melambaikan tangan sekilas kepada Izumi lalu berbalik melangkah. Di belakang, Izumi terus memperhatikan punggung Yuki yang bergerak semakin menjauh. Rambut silver panjang gadis itu terlihat begitu berkilau tertimpa cahaya lampu yang menyala di

    Last Updated : 2021-07-05
  • Dandelion, Wish, and Wind   [10]-Ujian

    Hari-hari berlalu sebagaimana adanya. Ujian tengah semester di Sakurai Goukou pun dimulai begitu Bulan Mei masuk minggu ketiga. Dan untuk sementara, semua kegiatan klub diliburkan sampai ujian selesai. Di hari pertama pelaksanaan ujian sebelum berangkat ke sekolah, Izumi menikmati sarapannya dengan tenang. Berkebalikan dengan Ryu, pemuda itu sejak tadi terlihat sedikit gusar. Pandangannya terfokus pada buku catatan yang ada di tangan kirinya. Sedangkan tangan kanannya yang memegang sumpit bergerak tanpa memperhatikan letak makanan yang akan diambilnya. Hampir saja sumpit kayu itu mendarat dalam gelas ocha-nya.“Ryuzaki, letakkan bukumu sejenak dan makanlah dengan benar!” tegur Makoto.Ryu melepaskan pandangannya dari buku yang sedari tadi menyita perhatiannya. Saat ia mengangkat wajah, Ryu melihat sepasang iris obsidian milik ayahnya tengah menatapnya dengan tajam. Tanpa diminta dua kali, Ryu meletakkan buku itu di sampingnya tanpa menutup

    Last Updated : 2021-07-05

Latest chapter

  • Dandelion, Wish, and Wind   [61] Petaka di Sore Hari

    "Pagi!" Seperti biasa Yuki membalas sapaan anak yang menyapanya dengan ceria. Gadis itu melangkah dengan santai menuju loker sepatunya sambil sesekali bersenandung kecil. Ditariknya pintu loker besi itu dengan pelan. Tak disangka puluhan kaleng bekas berkelontang dari dalam lokernya dan jatuh berserakan di lantai, mengundang perhatian anak-anak yang lainnya untuk melihat apa yang terjadi. "Apa-apaan ini?!" Yuki menatap lokernya sendiri yang dipenuhi oleh sampah kaleng bekas. Terdapat secarik kertas ditempel dengan selotip di bagian dalam lokernya. Yuki menarik lepas kertas itu, membaca rangkaian huruf yang ditulis dengan tinta merah menyala. 'ENYAH KAU!!' begitu bunyi kalimat yang tertulis di sana. "Yuki!" Terlihat seorang gadis menyeruak di antara kerumunan anak-anak yang ada di sana, menghampiri Yuki dengan tergesa. "Anna." "Apa yang terjadi? Siapa yang melakukan ini padamu?" tanya gadis yang dipanggil Anna itu. Raut wajah Anna penuh dengan kekhawatiran melihat kejadian yang

  • Dandelion, Wish, and Wind   [60]-Pengagum Rahasia

    Waktu berlalu, hari berganti. Para siswa kelas tiga semakin disibukkan dengan persiapan ujian masuk perguruan tinggi. Kesibukan itu, membuat Izumi perlahan lupa dengan suratnya. Eksistensi benda itu hampir menghilang sepenuhnya dari kepala Izumi, kalau saja dia tak menemukan setangkai krisan putih di loker sepatunya, kira-kira satu minggu setelah kejadian surat tanpa nama itu. Terdapat selembar kertas yang digulung kemudian diikat pada tangkai krisan itu, seolah seperti sebuah pita. Izumi melepas ikatannya, membaca sebaris kalimat pendek yang tertulis di sana. Musim ujian semakin dekat. Senpai, semangat! Izumi menengok kiri-kanan, berpikir mungkin masih ada jejak keberadaan orang yang meletakkan krisan itu di sekitar sana namun nihil. Memang area loker cukup ramai dengan lalu datang anak-anak yang berganti sepatu. Akan tetapi mereka terlihat tak terlalu peduli dan sibuk dengan urusan masing-masing. Menghela napas pendek, Izumi melipat kertas itu, mengikatnya kembali ke bentuk semul

  • Dandelion, Wish, and Wind   [59]-Apa Kau Pernah Berpikir Menjadi Seorang Pianis?

    Selesai makan malam dan mengerjakan tugasnya, Izumi mengutak-atik kameranya. Foto-foto hasil jepretannya beberapa hari yang lalu dia pindahkan ke dalam laptopnya. Izumi lantas memilih salah satu dari sekian foto, mengeditnya agar terlihat lebih menarik. Raut wajahnya terlihat fokus. Waktu semakin berlalu dan Izumi semakin tenggelam dalam kegiatannya. Sesekali dia membuka ponselnya, mencari tutorial di internet saat menemukan kesulitan dalam menggunakan fungsi fitur-fitur yang tersedia pada perangkat lunak yang dia gunakan untuk mengedit. "Sulit juga," ujar Izumi. Setidaknya butuh waktu satu setengah jam baginya untuk selesai mengedit satu foto. Setelah lama tidak berkecimpung lagi dengan hal-hal yang berkaitan dengan fotografi, Izumi merasa kemampuannya di bidang itu juga ikut menurun. Dulu ketika masih aktif di klub fotografi, untuk mengedit satu foto biasanya dia hanya butuh waktu sekitar dua puluh menit dan sekitar satu jam jika itu berupa foto potret. Setelah menyimpan hasil ker

  • Dandelion, Wish, and Wind   [58]-Potongan Puzzle

    “Kurasa pembahasannya sampai di sini dulu. Detailnya akan kita bahas lagi saat rapat berikutnya. Masing-masing divisi jangan lupa untuk merincikan biaya yang diperlukan sebelum diserahkan pada bendahara!” “Baik!” Nana menutup rapat tambahan senja itu dan anak-anak OSIS perlahan membubarkan diri satu persatu dari ruangan. Aizawa-Sensei—pembina OSIS Sakurai Goukou menghampiri Nana, memberikan sejumlah dokumen dan catatan kecil yang akan dibutuhkan dalam persiapan acara ke depannya. Perempuan itu meletakkan tangannya di bahu Nana. “Aku mengandalkanmu.” “Arigatou, Sensei,” balas Nana sopan sembari membungkukkan badan. Setelah mengunci Ruang OSIS dan mengembalikan kuncinya ke ruang guru, Nana berjalan menuju loker untuk mengganti sepatunya. Gadis itu melihat sejenak ke arah loker Izumi meskipun tak ada siapapun di sana. Dering singkat dari ponselnya, membuat Nana tak berlama-lama di sana. Dia berganti sepatu dengan cepat lalu bergegas ke depan sekolah, di mana bibinya sudah menunggu un

  • Dandelion, Wish, and Wind   [57]-Sepucuk Surat Merah Jambu

    Senin, Izumi sudah kembali masuk sekolah seperti biasanya. Tiga hari tak masuk rasanya dia telah melewatkan banyak hal, terutama menyangkut mata pelajarannya. Oleh karena itu dia berusaha mengejar ketertinggalannya dengan meminjam catatan dari Kaito yang secara sukarela memberikannya.Izumi melemaskan persendian tangannya, berusaha mengurangi rasa pegal pada buku-buku jarinya setelah cukup banyak menyalin catatan materi dari Kaito ke bukunya sendiri. Pandangan Izumi menyapu ruang kelas 3-A yang berangsur-angsur sepi. Hanya tinggal dia dan Ichijou yang terlihat sedang bersiap-siap untuk pulang.“Izumi, kau masih belum mau pulang?” tanya Ichijou sambil memasukkan buku terakhir ke dalam tas sekolahnya.Izumi membalasnya dengan gelengan lalu mengangkat catatan yang masih harus dia salin. “Aku akan pulang setelah menyelesaikan ini.”“Kalau begitu, aku duluan. Sampai besok!”“Sampai besok!” balas Izumi.Kelas sudah sepi dan sekarang hanya tinggal dirinya yang ada di sana. Agar tak terlalu b

  • Dandelion, Wish, and Wind   [56]-S'more

    Izumi mengambil sebuah puding pemberian Yuki dan menyimpan sisanya di dalam kulkas. Saat sedang menyantap pudingnya, tak lama kemudian Ryu yang sudah berganti pakaian ikut bergabung dengan Izumi di ruang makan. Ryu meraih gelas porselen dari atas rak, mengisinya dengan air dari dispenser. Setelah meneguk habis airnya dan meletakkan gelas itu di wastafel, Ryu mendudukkan diri pada kursi berseberangan dengan Izumi.“Mama sedang keluar?” tanya Ryu setelah sepersekian detik melayangkan pandangannya mengitari area dapur dan ruang makan mencari keberadaan Tsubaki.Izumi mengangguk singkat. Dia mengangkat puding apelnya, menawarkannya pada Ryu. “Kau mau? Di kulkas masih ada.”Ryu menggelengkan kepala. Sebaliknya tangan pemuda itu menjangkau toples berisi cookies dan crackers yang sebelumnya dibawa oleh Izumi. “Ini, aku baru melihatnya. Apa mama yang membelinya?”“Ah, itu Mr. Sharon—pemilik rumah yang kami sewa di Amerika dulu, mengirimkannya untukku. Makan saja kalau kau mau,” ujar Izumi.“S

  • Dandelion, Wish, and Wind   [55]- I Am Selfish, I Know

    Usai makan siang dan meminum obatnya, Izumi duduk berselonjor pada tempat tidurnya. Irama piano mengalun dengan lembut melalui earphone yang terpasang di telinganya, menemani Izumi yang tengah asyik membaca manga milik Ryu yang baru sekarang sempat dia baca lagi. Lembar demi lembar habis dilahapnya. Semakin jauh halaman yang dia buka, Izumi merasa cerita itu semakin menarik. Penggambaran setiap karakter dalam cerita itu membuat imajinasinya terasa semakin hidup. Habis satu buku itu dibaca, rasa penasaran Izumi semakin menjadi untuk mengetahui kelanjutan ceritanya. Dalam hati dia sedikit menyayangkan mengapa hanya meminjam satu volume saja. Sepertinya aku harus meminjam lanjutannya nanti, batin Izumi. Dia menguap kecil. Rasa kantuk mulai menghampirinya membuat Izumi memilih untuk tertidur sejenak. Izumi menutup kelopak matanya. Earphone yang terpasang di telinganya sejak tadi terus memutar lagu yang sama. Irama piano itu masih terus mengalun menemaninya hingga ke alam mimpi. [Tadaima,

  • Dandelion, Wish, and Wind   [54]-The Hidden Truth

    Tiga hari dirawat di rumah sakit, kondisi Izumi semakin membaik dari hari ke hari. Dia tak lagi menghabiskan waktunya dengan berbaring di atas ranjang. Tenaganya kini bahkan sudah cukup kuat untuk membawa kakinya beranjak keluar dari ruang rawatnya. Meskipun selang infus masih belum dilepas dari tangan kirinya. Akan tetapi terlepas dari hal itu Izumi merasa tubuhnya sudah sehat kembali. Sore itu Izumi berdiri menatap pemandangan yang terlihat dari jendela kamar rawatnya. Di ruangan itu kini hanya ada dirinya. Sejak merasa membaik Izumi memberitahu Tsubaki agar tidak perlu menemaninya sepanjang waktu. Dia juga meminta wanita itu untuk pulang agar bisa beristirahat di rumah. Izumi tahu Tsubaki tak pernah mempermasalahkannya. Namun dia merasa tidak enak hati karena jam istirahat wanita itu banyak terpotong karena mengurusnya selama tiga hari ini. “Perawat tadi bilang kamar nomor berapa?” “Berapa, ya? Aku lupa, antara 209 atau 210?” “210. Itu namanya tertulis di samping pintu.” Izumi

  • Dandelion, Wish, and Wind   [53] Membuka Luka Lama

    Pagi hari saat membuka mata, Izumi mendapati wajah ibunya yang masih tertidur di samping ranjangnya. Setelah sekian lama itu pertama kalinya Izumi melihat ibunya dari jarak sedekat ini. Dipandangnya sosok itu dengan lekat. Wajah Tsubaki terlihat lelah, membuat Izumi berpikir kalau wanita itu tak tidur dengan nyenyak semalaman karena menunggunya. Mungkin saja wanita itu baru bisa memejamkan mata belum lama ini. Saat memperhatikan wajah ibunya, Izumi baru menyadari ada kerutan samar pada wajah wanita itu yang menandakan kalau usianya sudah bertambah banyak sejak terakhir kali mereka bertemu. Antara sadar dan tidak, tangan Izumi terangkat hendak menyentuh wajah itu. Namun ketika menangkap ada gerakan dari kelopak mata Tsubaki yang terpejam, Izumi dengan cepat menurunkannya tangannya dan pura-pura tertidur. Tsubaki sepertinya sudah mulai terbangun dan Izumi bisa merasakan tangan wanita itu menyentuh keningnya sambil bergumam pelan. “Sepertinya demamnya sudah turun.” Lalu terdengar suara

DMCA.com Protection Status