Bel istirahat berdering nyaring tepat ketika Asahi-Sensei menyelesaikan penjelasan mata pelajaran Sejarah Jepang yang beliau ajarkan. Setelah mengucapkan kata sampai jumpa kepada siswanya Asahi-Sensei—guru laki-laki muda yang Izumi tebak masih berusia dua puluhan akhir itu membawa bukunya dan berjalan meninggalkan kelas. Setelah Asahi-Sensei keluar sebagian siswa juga ikut keluar entah untuk makan siang atau melakukan kegiatan yang lain.
Dari tempat duduknya Izumi melayangkan pandang ke luar jendela. Hampir saja ia tenggelam dalam lamunannya kalau saja seseorang tidak menghampirinya. “A-ano … Yoshino-kun?”
Izumi menoleh menatap gadis berambut hitam sebahu yang berdiri di dekat mejanya. Gadis itu Ketua OSIS yang kebetulan satu kelas dengannya yang dimintai tolong oleh Asahi-Sensei sebelumnya untuk membawa Izumi berkeliling mengenal area sekolah ketika jam istirahat. Jadi karena itu dia menghampiri Izumi.
“Kaichou?”
“Namaku Misumi Nana.” Ia memperkenalkan namanya kepada Izumi. “Mau berkeliling sekarang?” Gadis itu tersenyum canggung.
“Baik,” balas Izumi. Mengikuti langkah gadis bernama Misumi Nana itu Izumi melangkah keluar kelas.
“Gedung yang kita tempati ini terdiri dari tiga lantai ditambah lantai dasar khusus untuk loker sepatu. Lantai satu terdiri dari ruangan untuk kelas satu dan ruang guru. Lantai dua untuk ruang kelas dua dan begitu seterusnya.” Nana mulai menjelaskan tentang lingkungan sekolah pada Izumi. Pemuda itu menyimak dengan seksama. Keduanya sekarang berada di luar ruangan. “Lalu gedung ini—” Nana menunjuk bangunan dua lantai yang terletak berseberangan dari tempat mereka keluar tadi. “—di lantai satu ada perpustakaan, ruang audio visual, dan lab bahasa. Sedangkan di lantai dua ruang OSIS serta lab sains. Aku tak perlu masuk untuk menunjukkanmu ruangannya, kan?” Izumi mengangguk sebagai jawaban. Mereka kembali berpindah tempat. Kali ini Nana menunjukkan kepada Izumi ruang klub untuk para siswa yang ikut kegiatan ekstrakulikuler, lapangan olahraga, kantin dan kolam renang sekolah. “Kira-kira begitu area sekolah ini,” ucap Nana mengakhiri ‘tour’ singkat mereka.
“Sekolah ini ternyata lebih luas dari dugaanku,” komentar Izumi.
Nana mengangguk membenarkan ucapannya. “Ja, kalau begitu ayo kita kembali. Atau kau mau ke kantin? Jam istirahat masih tersisa tujuh menit lagi.”
“Tidak, aku mau ke kelas saja,” ujar Izumi. “Arigatou Kaichou,” lanjutnya.
“Douitashimashite. Kalau tak keberatan panggil saja aku Nana atau Misumi,” timpal Nana.
“Aa, baiklah … Nana.”
Nana menatap Izumi dengan lekat lalu tersenyum tipis kepada pemuda itu. “Kau tahu Yoshino-kun, aku sedikit terkejut ketika kau memperkenalkan diri tadi,” terang Nana selagi mereka kembali menuju kelas. Izumi mengerutkan kening sedikit bingung dengan ucapan gadis itu. Namun ia tak menanyakan apapun. Hingga akhirnya Nana meneruskan kalimatnya. “Aku ingat dulu aku juga punya teman yang memiliki nama keluarga yang sama denganmu. Sungguh kebetulan yang aneh, bukan?” Nana terkekeh membuat kedua matanya menyipit hampir menyembunyikan iris coklatnya.
“Temanmu itu …” ucap Izumi pelan.
Nana menoleh, “Ah dia dulu teman SD ku meskipun hanya beberapa bulan saja. Kami cukup sering bermain bersama. Tapi di pertengahan semester kelas tiga, dia berhenti datang ke sekolah. Kudengar dia dan keluarganya pindah ke luar kota. Sejak saat itu aku tak pernah bertemu atau mendengar kabar darinya selama sepuluh tahun ini. Aku jadi sedikit penasaran di mana dan apa yang ia lakukan sekarang.” Nana menghentikan langkahnya sejenak. Pandangannya lalu tertuju pada semak dandelion yang tumbuh di antara tanaman bunga sekolah. “Dandelion,” ia lalu bergumam pelan.
“Apa?”
“Bunga itu, dandelion,” tunjuknya. “Dulu temanku bercerita kalau dengan meniup bunga dandelion harapan kita akan dikabulkan.” Kekehan tawa kembali terdengar dari bibirnya. “Lucu sekali bagaimana kami dulu mempercayai hal semacam itu. Bahkan ketika dia pergi aku mulai melakukan hal itu dengan harapan suatu saat kami bisa bertemu lagi. Lambat laun aku mulai sadar, kalau itu hanya fantasi untuk menyenangkan anak-anak. Ah, maaf. Yoshino-kun pasti bosan karena aku malah bercerita hal yang tak perlu. Karena kalian memiliki nama yang mirip aku jadi teringat dengannya,” ujar Nana sembari memutar-mutar helaian rambut hitamnya dengan jari telunjuknya.
“Daijoubu,” balas Izumi.
Setelah melewati area taman sekolah mereka berdua kini sudah masuk kembali ke gedung awal. Kali ini Izumi dan Nana hanya berjalan tanpa suara. Sampai di ujung tangga sebelum lantai tiga, Nana menghentikan langkahnya secara tiba-tiba membuat Izumi yang berjalan di belakangnya juga ikut berhenti secara refleks.
“Yoshino-kun, apa kau punya adik?” tanya gadis itu tiba-tiba. Mata coklatnya menatap Izumi dengan serius. Izumi mengangguk singkat membuat kedua iris itu sedikit membelalak karena terkejut.
“Hanya saja kami memiliki nama keluarga yang berbeda.”
Rasa terkejut itu berubah menjadi kecewa. Nana menghela napas pelan. “Souka,” ucapnya lalu kembali melangkah menaiki tangga.
“Ne, kenapa kau begitu penasaran dengannya? Maksudku selama sepuluh tahun ini dia tak pernah berusaha menghubungimu. Memangnya sepenting apa dia bagimu?”
Nana menoleh. “Aku hanya ingin tahu kabarnya dan mengapa dia tiba-tiba pergi hari itu. Aku tak bisa memberitahumu alasannya, tapi sejak dulu sampai sekarang Haru-kun bagiku….” Nana kembali tersenyum lalu melanjutkan langkahnya. Gadis itu tak menyadari kalau tangan Izumi mengepal sesaat setelah Nana menyelesaikan kalimatnya.
Haru, huh?
Seringaian kecil terbit di wajah Izumi meskipun hanya sesaat. Setelah itu ia melangkah menaiki anak tangga satu persatu, menyusul Nana kembali ke kelas mereka. Di depan kelas setelah mengucapkan terimakasih sekali lagi, Izumi menuju tempat duduknya. Begitu duduk ia langsung mengarahkan pandangannya keluar jendela melihat pemandangan langit biru Bulan April yang sedikit terik sampai akhirnya suara bel masuk membuat fokusnya teralihkan.
Pukul empat sore bel pulang berdentang dan hari pertama Izumi di Sakurai Goukou berjalan dengan lancar. Pemuda itu tanpa kesulitan langsung bisa menyesuaikan dirinya dengan kegiatan belajar di Jepang. Tanpa beranjak dari tempat duduknya, Izumi memperhatikan teman-teman sekelasnya yang mulai meninggalkan ruang kelas satu persatu. Sore itu Izumi tak langsung pulang dan memilih untuk menikmati waktu sore dari jendela kelasnya. Ruang kelas 3-A sudah sepi dan hanya Izumi satu-satunya orang yang masih berada di sana.
Izumi kembali mengeluarkan buku Fisika dan Matematikanya dari dalam tas. Hari ini ia mendapat PR untuk dua mata pelajaran itu. Kuselesaikan saja di sini agar tak perlu repot nanti, batin Izumi. Ditemani alunan musik dari earphone yang terpasang di telinganya, tangan dan otak Izumi mulai bekerja. Tiga puluh menit berlalu PR Matematikanya selesai dikerjakan. Izumi lalu berlanjut membuka buku Fisikanya. Pensil mekanik yang dipegangnya bergerak dengan lincah mentransfer hasil pikiran Izumi ke atas kertas. Izumi menghembuskan napas lega begitu selesai menuliskan jawaban terakhirnya. Kedua PRnya sudah terselesaikan semua dan ia memutuskan untuk pulang sekarang. Izumi merapikan buku dan alat tulisnya kembali ke dalam tas lalu berjalan keluar meninggalkan ruang kelasnya.
Sampai di depan gerbang sekolah, Izumi sejenak berhenti melangkah. Ia mendongak. Pemandangan langit musim semi sore itu menarik perhatiannya. Gumpalan awan yang disinari oleh matahari sore terlihat seperti seekor kuda berbulu keemasan. Tak ingin melewatkan pemandangan itu, Izumi mengeluarkan ponselnya dan menyalakan kamera. Setelah mendapat beberapa foto Izumi kembali menyimpan ponselnya ke dalam saku celana. Belum sempat ia melangkah tiba-tiba seseorang memanggil namanya.
“Izumi-Senpai?” Izumi menoleh. Ternyata Fujihara Yuki. “Ternyata benar, kupikir orang lain,” lanjut Yuki.
“Habis kegiatan klub?” tanya Izumi sedikit penasaran karena gadis itu meninggalkan sekolah sedikit terlambat seperti dirinya. Yuki menggeleng.
“Aku kebagian piket hari ini,” jawab Yuki. “Senpai sendiri? Piket juga?”
“Tidak, aku hanya sengaja menghabiskan waktu di kelas saja,” jawab Izumi.
“Aa souka,” timpal Yuki.
Lalu di sepanjang perjalanan pulang Yuki dan Izumi banyak mengobrol. Gadis itu ternyata memiliki sifat luwes dan mudah akrab dengan orang lain, bahkan dengan Izumi yang notabene baru dikenalnya dua hari. Ia tak terlihat canggung mengajak Izumi bercanda.
Di persimpangan jalan keduanya berpisah. Sebelum pergi Yuki menunjukkan jalan yang mengarah ke perumahan yang ditinggali oleh Keluarga Nakagawa. “Dari sini tinggal lurus saja, nanti akan ketemu jalan yang Izumi-san lewati tadi pagi. Kalau begitu aku duluan, ya. Jangan tersesat lagi, Senpai.” Yuki tertawa kecil mengakhiri ucapannya. Dari kalimatnya terdengar seperti gadis itu sedang meledeknya. Namun Izumi tak mempermasalahkannya dan menanggapinya dengan senyuman. Setelah mengucapkan kalimat ‘sampai besok’ yang dibalas dengan ucapan yang sama oleh Yuki, keduanya berjalan pulang mengambil jalan berbeda menuju rumah mereka masing-masing.
Kali ini tanpa Maps dan drama tersesat, Izumi pun tiba di rumah. Setelah mengucapkan salam, ia menyimpan sepatunya di rak sepatu dan menggantinya dengan slipper yang khusus disediakan untuk dipakai di dalam ruangan. Suara orang dewasa yang berbicang dari arah ruang tamu sayup-sayup tertangkap oleh indra pendengarannya. Tanpa menaruh rasa penasaran dengan hal itu, pemuda itu bergegas menuju kamarnya. Setelah mengganti seragam sekolahnya, Izumi bersantai sambil memainkan ponselnya. Ia menggeser layar ponselnya, melihat satu persatu hasil jepretannya sore ini. Lumayan, pikir Izumi. Rasa haus yang mendadak datang membuat tenggorokan Izumi terasa kering. Pemuda itu meletakkan ponselnya lalu melangkah turun ke dapur. “Ah, Izumi-kun, kapan pulangnya?” sambut Tsubaki ketika Izumi memasuki dapur. Wanita itu tengah menuangkan ocha dari teko ke dalam gelas yang nantinya akan disuguhkan kepada tamu-tamunya. “Bagaimana hari pertamamu d
Setelah jam sekolah berakhir, seperti biasa Izumi tak langsung pulang. Menghabiskan waktu menatap pemandangan dari jendela kelasnya kini menjadi kebiasaan barunya. Riuh rendah suara anak-anak klub olahraga sayup-sayup terdengar di telinga Izumi, membuat pemuda itu mengarahkan pandangannya ke bawah menatap anak-anak klub basket yang tengah berlatih di lapangan. Iris obsidian milik Izumi tak sengaja menangkap sosok seorang gadis yang tengah menyapa salah seorang anggota klub basket yang sedang beristirahat. Izumi mengenal kedua orang itu. Gadis itu adalah Misumi Nana, teman sekelasnya. Lalu orang yang disapa olehnya adalah Ryu. Entah apa yang mereka bicarakan. Namun dari bahasa tubuh mereka Izumi bisa melihat kalau mereka berdua akrab satu sama lain. Tanpa sadar Izumi menghela napas panjang. Ia meraih tasnya lalu beranjak meninggalkan ruang kelas yang sudah kosong. Ketika melewati koridor di lantai satu Izumi tak sengaja melihat Yuki. Gadis itu baru saja keluar dari ruang guru
Setelah itu ia tak menyinggung apapun tentang Izumi atau keluarganya. Izumi pun demikian, pemuda itu tak mengatakan apapun. Mereka berdua kembali berjalan dalam keheningan. Sampai di persimpangan tempat mereka biasa berpisah jalan, Izumi dan Yuki mengambil arah yang berbeda. Izumi tetap lurus, sedangkan Yuki mengambil jalan berbelok yang mengarah langsung menuju tempat tinggalnya. Izumi sempat menawarkan diri untuk mengantar gadis itu pulang sebagai balasan karena telah menemaninya sore ini. Namun Yuki menolak dengan alasan rumahnya tak jauh dari tempat mereka. Izumi pun mengalah. “Kalau begitu, sampai besok!” ucap Izumi. “Un, hati-hati di jalan, Senpai!” balas Yuki dengan nada riang seperti biasanya. Gadis itu melambaikan tangan sekilas kepada Izumi lalu berbalik melangkah. Di belakang, Izumi terus memperhatikan punggung Yuki yang bergerak semakin menjauh. Rambut silver panjang gadis itu terlihat begitu berkilau tertimpa cahaya lampu yang menyala di
Hari-hari berlalu sebagaimana adanya. Ujian tengah semester di Sakurai Goukou pun dimulai begitu Bulan Mei masuk minggu ketiga. Dan untuk sementara, semua kegiatan klub diliburkan sampai ujian selesai. Di hari pertama pelaksanaan ujian sebelum berangkat ke sekolah, Izumi menikmati sarapannya dengan tenang. Berkebalikan dengan Ryu, pemuda itu sejak tadi terlihat sedikit gusar. Pandangannya terfokus pada buku catatan yang ada di tangan kirinya. Sedangkan tangan kanannya yang memegang sumpit bergerak tanpa memperhatikan letak makanan yang akan diambilnya. Hampir saja sumpit kayu itu mendarat dalam gelas ocha-nya.“Ryuzaki, letakkan bukumu sejenak dan makanlah dengan benar!” tegur Makoto.Ryu melepaskan pandangannya dari buku yang sedari tadi menyita perhatiannya. Saat ia mengangkat wajah, Ryu melihat sepasang iris obsidian milik ayahnya tengah menatapnya dengan tajam. Tanpa diminta dua kali, Ryu meletakkan buku itu di sampingnya tanpa menutup
Setelah tiga hari lamanya, ujian tengah semester yang menguras otak akhirnya berakhir. Asahi-Sensei yang menjadi pengawas ujian di hari terakhir memberikan pengumuman sebelum meninggalkan kelas kalau hasil ujian akan keluar setelah sepuluh hari. Izumi membereskan alat tulisnya sambil menghembuskan napas lega. Setidaknya setelah ini dia bisa bersantai sejenak sambil menunggu pengumuman hasil ujian. Dia merasa cukup percaya diri kalau nilainya akan baik-baik saja karena sudah mempersiapkan diri dengan baik untuk menghadapi ujian ini. Namun ada satu hal yang mengganggu pikirannya. Izumi tak yakin nilai ujian Bahasa Jepangnya akan sebaik mata pelajaran yang lainnya. Jujur saja, Izumi ragu apakah dia akan lulus di mata pelajaran itu. Tumbuh besar di luar negeri ditambah sekolahnya dari SD sampai SMA satupun tak ada yang mengajarkan mata pelajaran Bahasa Jepang. Meskipun tak kesulitan berbicara dalam bahasa Jepang, Izumi akui dia benar-benar kurang di bagian menulis.
“Jadi begitu, Yoshino-kun ke sini dengan Kaito dan yang lainnya,” ujar Nana setelah mendengar penjelasan Izumi.“Nana tinggal di daerah ini?” tanya Izumi.“Un, rumahku tak jauh dari sini. Kalau Yoshino-kun?”“Aku tinggal di Setagaya,” balas Izumi.“Aa souka.”Baik Nana maupun Izumi tak mengatakan apa-apa setelah itu. Keduanya terdiam, membiarkan suara burung-burung mengisi keheningan di antara mereka. Iris obsidian Izumi kembali tertuju ke arah matahari sore yang terlihat akan terbenam beberapa menit ke depan. Sedangkan Nana yang duduk di sebelahnya memutar-mutar setangkai dandelion yang dipetiknya.Kenapa suasananya jadi canggung begini? batin Nana dan Izumi bersamaan.Izumi mendadak berdiri, membuat Nana menengadah menatapnya. “Gomen, Nana. Aku mau pulang duluan,” ujar Izumi.“Eh? Hati-hati di jalan,&rdqu
Keesokan harinya, pagi-pagi sekali Izumi berangkat ke sekolah hingga tak satupun orang di rumah itu yang menyadarinya. Sengaja Izumi melakukannya, mengingat apa yang terjadi semalam. Izumi tak yakin hari ini ia bisa bersikap seperti biasa, jika bertemu dengan mereka terlebih dengan ibunya. Oleh karena itu, untuk sementara ini Izumi memilih untuk menghindar. Udara terasa dingin karena hari masih terlalu pagi. Bahkan langit pun masih terlihat kelabu. Lampu-lampu masih terlihat menyala di beberapa rumah. Izumi berjalan dalam diam, begitu tenang dan tak terburu-buru. Ia menarik napas dalam-dalam, membiarkan udara segar mengisi paru-parunya. Suasana pagi yang hening hari itu, entah mengapa membuat Izumi merasa damai. Emosinya tak lagi bergejolak seperti tadi malam. Dia sudah merasa lebih tenang kali ini. Sampai di sekolah—seperti yang sudah Izumi duga sebelumnya—tempat itu masih sepi. Bahkan bisa dibilang dia siswa yang pertama tiba di sana. Setelah mengganti sepatu dan m
Tak terasa hari terus berganti dan acara Sport Day yang ditunggu-tunggu pun akhirnya tiba. Di hari pertama olahraga yang dilombakan terdiri dari renang, voli, dan basket. Sambil menunggu pertandingan basket dimulai, Izumi ikut bergabung dengan teman-teman sekelasnya untuk menyemangati tim voli kelas 3-A yang sedang bertanding di lapangan melawan tim voli dari kelas 3-E.“Meskipun sebelumnya tak pernah bergabung dengan klub voli, tapi kemampuan dua orang itu tak perlu diragukan. Mereka selalu menjadi andalan dari kelas kita setiap ada pertandingan voli di acara Sport Day,” celetuk Kaito sambil menunjuk ke arah Jun dan Shuu selagi mereka menonton pertandingan.Walaupun baru pertama kali melihat permainan Jun dan Shuu, Izumi dalam hari membenarkan ucapan Kaito. Di antara anak-anak yang mewakili kelas 3-A, kemampuan keduanya memang yang paling menonjol. Suara tepuk tangan bersambut dengan teriakan penuh semangat terdengar dari anak-anak 3-A ke
"Pagi!" Seperti biasa Yuki membalas sapaan anak yang menyapanya dengan ceria. Gadis itu melangkah dengan santai menuju loker sepatunya sambil sesekali bersenandung kecil. Ditariknya pintu loker besi itu dengan pelan. Tak disangka puluhan kaleng bekas berkelontang dari dalam lokernya dan jatuh berserakan di lantai, mengundang perhatian anak-anak yang lainnya untuk melihat apa yang terjadi. "Apa-apaan ini?!" Yuki menatap lokernya sendiri yang dipenuhi oleh sampah kaleng bekas. Terdapat secarik kertas ditempel dengan selotip di bagian dalam lokernya. Yuki menarik lepas kertas itu, membaca rangkaian huruf yang ditulis dengan tinta merah menyala. 'ENYAH KAU!!' begitu bunyi kalimat yang tertulis di sana. "Yuki!" Terlihat seorang gadis menyeruak di antara kerumunan anak-anak yang ada di sana, menghampiri Yuki dengan tergesa. "Anna." "Apa yang terjadi? Siapa yang melakukan ini padamu?" tanya gadis yang dipanggil Anna itu. Raut wajah Anna penuh dengan kekhawatiran melihat kejadian yang
Waktu berlalu, hari berganti. Para siswa kelas tiga semakin disibukkan dengan persiapan ujian masuk perguruan tinggi. Kesibukan itu, membuat Izumi perlahan lupa dengan suratnya. Eksistensi benda itu hampir menghilang sepenuhnya dari kepala Izumi, kalau saja dia tak menemukan setangkai krisan putih di loker sepatunya, kira-kira satu minggu setelah kejadian surat tanpa nama itu. Terdapat selembar kertas yang digulung kemudian diikat pada tangkai krisan itu, seolah seperti sebuah pita. Izumi melepas ikatannya, membaca sebaris kalimat pendek yang tertulis di sana. Musim ujian semakin dekat. Senpai, semangat! Izumi menengok kiri-kanan, berpikir mungkin masih ada jejak keberadaan orang yang meletakkan krisan itu di sekitar sana namun nihil. Memang area loker cukup ramai dengan lalu datang anak-anak yang berganti sepatu. Akan tetapi mereka terlihat tak terlalu peduli dan sibuk dengan urusan masing-masing. Menghela napas pendek, Izumi melipat kertas itu, mengikatnya kembali ke bentuk semul
Selesai makan malam dan mengerjakan tugasnya, Izumi mengutak-atik kameranya. Foto-foto hasil jepretannya beberapa hari yang lalu dia pindahkan ke dalam laptopnya. Izumi lantas memilih salah satu dari sekian foto, mengeditnya agar terlihat lebih menarik. Raut wajahnya terlihat fokus. Waktu semakin berlalu dan Izumi semakin tenggelam dalam kegiatannya. Sesekali dia membuka ponselnya, mencari tutorial di internet saat menemukan kesulitan dalam menggunakan fungsi fitur-fitur yang tersedia pada perangkat lunak yang dia gunakan untuk mengedit. "Sulit juga," ujar Izumi. Setidaknya butuh waktu satu setengah jam baginya untuk selesai mengedit satu foto. Setelah lama tidak berkecimpung lagi dengan hal-hal yang berkaitan dengan fotografi, Izumi merasa kemampuannya di bidang itu juga ikut menurun. Dulu ketika masih aktif di klub fotografi, untuk mengedit satu foto biasanya dia hanya butuh waktu sekitar dua puluh menit dan sekitar satu jam jika itu berupa foto potret. Setelah menyimpan hasil ker
“Kurasa pembahasannya sampai di sini dulu. Detailnya akan kita bahas lagi saat rapat berikutnya. Masing-masing divisi jangan lupa untuk merincikan biaya yang diperlukan sebelum diserahkan pada bendahara!” “Baik!” Nana menutup rapat tambahan senja itu dan anak-anak OSIS perlahan membubarkan diri satu persatu dari ruangan. Aizawa-Sensei—pembina OSIS Sakurai Goukou menghampiri Nana, memberikan sejumlah dokumen dan catatan kecil yang akan dibutuhkan dalam persiapan acara ke depannya. Perempuan itu meletakkan tangannya di bahu Nana. “Aku mengandalkanmu.” “Arigatou, Sensei,” balas Nana sopan sembari membungkukkan badan. Setelah mengunci Ruang OSIS dan mengembalikan kuncinya ke ruang guru, Nana berjalan menuju loker untuk mengganti sepatunya. Gadis itu melihat sejenak ke arah loker Izumi meskipun tak ada siapapun di sana. Dering singkat dari ponselnya, membuat Nana tak berlama-lama di sana. Dia berganti sepatu dengan cepat lalu bergegas ke depan sekolah, di mana bibinya sudah menunggu un
Senin, Izumi sudah kembali masuk sekolah seperti biasanya. Tiga hari tak masuk rasanya dia telah melewatkan banyak hal, terutama menyangkut mata pelajarannya. Oleh karena itu dia berusaha mengejar ketertinggalannya dengan meminjam catatan dari Kaito yang secara sukarela memberikannya.Izumi melemaskan persendian tangannya, berusaha mengurangi rasa pegal pada buku-buku jarinya setelah cukup banyak menyalin catatan materi dari Kaito ke bukunya sendiri. Pandangan Izumi menyapu ruang kelas 3-A yang berangsur-angsur sepi. Hanya tinggal dia dan Ichijou yang terlihat sedang bersiap-siap untuk pulang.“Izumi, kau masih belum mau pulang?” tanya Ichijou sambil memasukkan buku terakhir ke dalam tas sekolahnya.Izumi membalasnya dengan gelengan lalu mengangkat catatan yang masih harus dia salin. “Aku akan pulang setelah menyelesaikan ini.”“Kalau begitu, aku duluan. Sampai besok!”“Sampai besok!” balas Izumi.Kelas sudah sepi dan sekarang hanya tinggal dirinya yang ada di sana. Agar tak terlalu b
Izumi mengambil sebuah puding pemberian Yuki dan menyimpan sisanya di dalam kulkas. Saat sedang menyantap pudingnya, tak lama kemudian Ryu yang sudah berganti pakaian ikut bergabung dengan Izumi di ruang makan. Ryu meraih gelas porselen dari atas rak, mengisinya dengan air dari dispenser. Setelah meneguk habis airnya dan meletakkan gelas itu di wastafel, Ryu mendudukkan diri pada kursi berseberangan dengan Izumi.“Mama sedang keluar?” tanya Ryu setelah sepersekian detik melayangkan pandangannya mengitari area dapur dan ruang makan mencari keberadaan Tsubaki.Izumi mengangguk singkat. Dia mengangkat puding apelnya, menawarkannya pada Ryu. “Kau mau? Di kulkas masih ada.”Ryu menggelengkan kepala. Sebaliknya tangan pemuda itu menjangkau toples berisi cookies dan crackers yang sebelumnya dibawa oleh Izumi. “Ini, aku baru melihatnya. Apa mama yang membelinya?”“Ah, itu Mr. Sharon—pemilik rumah yang kami sewa di Amerika dulu, mengirimkannya untukku. Makan saja kalau kau mau,” ujar Izumi.“S
Usai makan siang dan meminum obatnya, Izumi duduk berselonjor pada tempat tidurnya. Irama piano mengalun dengan lembut melalui earphone yang terpasang di telinganya, menemani Izumi yang tengah asyik membaca manga milik Ryu yang baru sekarang sempat dia baca lagi. Lembar demi lembar habis dilahapnya. Semakin jauh halaman yang dia buka, Izumi merasa cerita itu semakin menarik. Penggambaran setiap karakter dalam cerita itu membuat imajinasinya terasa semakin hidup. Habis satu buku itu dibaca, rasa penasaran Izumi semakin menjadi untuk mengetahui kelanjutan ceritanya. Dalam hati dia sedikit menyayangkan mengapa hanya meminjam satu volume saja. Sepertinya aku harus meminjam lanjutannya nanti, batin Izumi. Dia menguap kecil. Rasa kantuk mulai menghampirinya membuat Izumi memilih untuk tertidur sejenak. Izumi menutup kelopak matanya. Earphone yang terpasang di telinganya sejak tadi terus memutar lagu yang sama. Irama piano itu masih terus mengalun menemaninya hingga ke alam mimpi. [Tadaima,
Tiga hari dirawat di rumah sakit, kondisi Izumi semakin membaik dari hari ke hari. Dia tak lagi menghabiskan waktunya dengan berbaring di atas ranjang. Tenaganya kini bahkan sudah cukup kuat untuk membawa kakinya beranjak keluar dari ruang rawatnya. Meskipun selang infus masih belum dilepas dari tangan kirinya. Akan tetapi terlepas dari hal itu Izumi merasa tubuhnya sudah sehat kembali. Sore itu Izumi berdiri menatap pemandangan yang terlihat dari jendela kamar rawatnya. Di ruangan itu kini hanya ada dirinya. Sejak merasa membaik Izumi memberitahu Tsubaki agar tidak perlu menemaninya sepanjang waktu. Dia juga meminta wanita itu untuk pulang agar bisa beristirahat di rumah. Izumi tahu Tsubaki tak pernah mempermasalahkannya. Namun dia merasa tidak enak hati karena jam istirahat wanita itu banyak terpotong karena mengurusnya selama tiga hari ini. “Perawat tadi bilang kamar nomor berapa?” “Berapa, ya? Aku lupa, antara 209 atau 210?” “210. Itu namanya tertulis di samping pintu.” Izumi
Pagi hari saat membuka mata, Izumi mendapati wajah ibunya yang masih tertidur di samping ranjangnya. Setelah sekian lama itu pertama kalinya Izumi melihat ibunya dari jarak sedekat ini. Dipandangnya sosok itu dengan lekat. Wajah Tsubaki terlihat lelah, membuat Izumi berpikir kalau wanita itu tak tidur dengan nyenyak semalaman karena menunggunya. Mungkin saja wanita itu baru bisa memejamkan mata belum lama ini. Saat memperhatikan wajah ibunya, Izumi baru menyadari ada kerutan samar pada wajah wanita itu yang menandakan kalau usianya sudah bertambah banyak sejak terakhir kali mereka bertemu. Antara sadar dan tidak, tangan Izumi terangkat hendak menyentuh wajah itu. Namun ketika menangkap ada gerakan dari kelopak mata Tsubaki yang terpejam, Izumi dengan cepat menurunkannya tangannya dan pura-pura tertidur. Tsubaki sepertinya sudah mulai terbangun dan Izumi bisa merasakan tangan wanita itu menyentuh keningnya sambil bergumam pelan. “Sepertinya demamnya sudah turun.” Lalu terdengar suara