Beranda / Romansa / Dandelion, Wish, and Wind / [7]-Kami-sama, Dia Sangat Keren!

Share

[7]-Kami-sama, Dia Sangat Keren!

Penulis: Sasakiya
last update Terakhir Diperbarui: 2021-07-05 19:53:20

Kali ini tanpa Maps dan drama tersesat, Izumi pun tiba di rumah. Setelah mengucapkan salam, ia menyimpan sepatunya di rak sepatu dan menggantinya dengan slipper yang khusus disediakan untuk dipakai di dalam ruangan. Suara orang dewasa yang berbicang dari arah ruang tamu sayup-sayup tertangkap oleh indra pendengarannya. Tanpa menaruh rasa penasaran dengan hal itu, pemuda itu bergegas menuju kamarnya.

Setelah mengganti seragam sekolahnya, Izumi bersantai sambil memainkan ponselnya. Ia menggeser layar ponselnya, melihat satu persatu hasil jepretannya sore ini. Lumayan, pikir Izumi. Rasa haus yang mendadak datang membuat tenggorokan Izumi terasa kering. Pemuda itu meletakkan ponselnya lalu melangkah turun ke dapur.

“Ah, Izumi-kun, kapan pulangnya?” sambut Tsubaki ketika Izumi memasuki dapur. Wanita itu tengah menuangkan ocha dari teko ke dalam gelas yang nantinya akan disuguhkan kepada tamu-tamunya. “Bagaimana hari pertamamu di SMA Jepang?” lanjut Tsubaki.

“Biasa saja, tak ada yang khusus.”

“Begitu. Apa kau membutuhkan sesuatu?” Tsubaki kembali bertanya.

“Aku hanya ingin minum,” ujar Izumi.

Ja, mau ocha?” tawar Tsubaki yang dibalas dengan anggukan pelan dari Izumi.

Tsubaki mengambil satu gelas lagi, mengisinya dengan ocha lalu menyerahkannya kepada Izumi. Setelah itu ia mengeluarkan seloyang chiffon cake coklat dari dalam oven lalu mulai memotong-motongnya. Tangan wanita itu bergerak dengan cekatan membagi-bagi potongan chiffon cake itu ke atas piring mungil yang telah ia siapkan. Sambil menyesap ocha-nya, Izumi memperhatikan ibunya dalam diam. Siluet seorang pria dan wanita serta anak kecil yang tengah tersenyum tiba-tiba muncul di benaknya yang langsung menghilang ketika suara Tsubaki kembali terdengar.

“Izumi-kun, Mama tinggal ke depan dulu, ya. Mama mau menyuguhkan ini untuk tamu Makoto-san.” Tsubaki mengangkat gelas ocha serta piring kue coklat yang telah ia tata di atas baki. Sebelum langkahnya mencapai pintu, Tsubaki menoleh sebentar ke arah Izumi sembari berkata, “Kuenya masih ada di atas meja, lalu di kulkas juga ada buah-buahan. Ambil saja sesukamu, jangan merasa sungkan.” Tsubaki mengakhiri ucapannya dengan senyuman kemudian berlalu meninggalkan dapur.

Izumi menatap kue yang dimaksud Tsubaki, terlihat begitu manis membuat pemuda itu ragu untuk mencobanya. Sejak tinggal di Amerika entah mengapa toleransi indra pengecap Izumi terhadap rasa manis menurun drastis. Ia tak bisa makan makanan manis.

Izumi menghabiskan ocha-nya kemudian mencuci gelas yang sudah kosong itu lalu meletakkannya kembali di atas rak. Setelah itu ia kembali naik menuju kamarnya. Di atas tangga ia bertemu dengan Ryu yang ternyata baru kembali dari sekolah.

Yo,” sapa Ryu canggung.

Izumi hanya menanggapinya dengan anggukan. Pemuda itu lalu melangkah menuju kamarnya. Namun ketika tangannya baru menyentuh kenop pintu dan belum sempat membukanya, suara Ryu membuat Izumi kembali menoleh.

Ano, maaf untuk yang kemarin. Aku tidak bermaksud menyinggung Kakak.” Ryu mengucapkan kalimatnya dengan cepat sambil menangkupkan kedua tangannya di depan wajah. Setelah itu dengan sedikit tergesa-gesa ia menuju kamarnya sendiri. Melihat tingkah Ryu dalam hati Izumi tersenyum geli. Ia melepaskan pegangannya dari kenop pintu dan melangkah menghampiri Ryu sebelum pemuda itu masuk ke dalam kamarnya.

“Ryuzaki-kun.”

Gantian Ryu yang menoleh. Sorot matanya sedikit terkejut menyadari Izumi kini sudah berada di dekatnya. “Ya?”

“Kumaafkan. Tapi tolong jangan tanyakan hal-hal seperti kemarin. Itu urusanku, biarkan aku yang menanganinya sendiri.” Ekspresi Izumi melunak. Ia menepuk pundak Ryu sekilas sebelum akhirnya pemuda itu kembali ke dalam kamarnya.

Hubungan Izumi dan Ryu mulai akrab sejak saat itu layaknya saudara. Namun meskipun begitu hubungan Izumi dengan ibunya sama sekali belum mengalami perkembangan. Pemuda itu masih bersikap kaku kepada Tsubaki. Bahkan setiap kali wanita itu berbicara dengannya, Izumi hanya menanggapinya dengan singkat.

Tak terasa waktu berjalan begitu cepat. Satu bulan telah berlalu sejak Izumi pertama kali tiba di Jepang. Pemuda itu mulai terbiasa dengan kehidupan di sana, termasuk kesehariannya di sekolah barunya yang ternyata tak jauh berbeda dengan sekolah lamanya di Amerika.

Suasana perpustakaan sekolah hari itu terlihat lumayan ramai dikunjungi oleh para siswa termasuk Izumi. Mei sudah tiba, itu berarti ujian mid semester sudah dekat. Hal itu yang membuat Izumi akhir-akhir ini lebih banyak menghabiskan waktunya di perpustakaan. Sembari menenteng bukunya, Izumi melangkah menuju tempat duduk yang terletak di dekat jendela­­­­­—tempat yang menjadi spot favoritnya.

Izumi membuka buku paket Sejarah Jepangnya lalu membacanya dengan seksama. Tangan pemuda itu sesekali memberi garis bawah atau catatan kecil pada bagian yang penting agar mudah diingat.

“Izumi-Senpai?”

Izumi mengalihkan pandangan dari buku yang sedang ia baca lalu menatap orang yang baru saja memanggilnya. “Ternyata kau, Fujihara-san,” balas Izumi.

Yuki tersenyum tipis. Ia meletakkan setumpuk buku yang dibawanya di atas meja lalu ikut duduk di kursi sebelah Izumi. “Apa yang kau baca, Senpai?” tanya Yuki. Izumi mengangkat bukunya memperlihatkan sampul buku tersebut kepada Yuki. Gadis itu membaca susunan huruf-huruf yang tertera di sana lalu menganggukkan kepala tanda mengerti. Setelah itu Yuki sendiri mengambil salah satu dari sekian buku yang ia bawa dan mulai membacanya.

Selagi membaca bukunya, Yuki sesekali mencuri-curi pandang ke arah Izumi yang tengah duduk di sampingnya. Wajah pemuda itu tampak serius. Kedua bola matanya bergerak menelusuri setiap kata dan kalimat yang tertulis di halaman bukunya. Yuki tanpa sadar mengangkat sebelah tangannya untuk menyangga wajahnya. Buku yang ia baca dibiarkan tergeletak terbuka begitu saja di atas meja. Kedua iris gadis itu tertuju pada Izumi, menatap tanpa terlewat setiap gestur kecil pemuda itu.

Izumi-Senpai, ekspresinya serius sekali. Sejak dia pindah ke sekolah ini, kami memang sering mengobrol. Hanya saja aku tak pernah begitu memperhatikannya dari jarak sedekat ini. Matanya terlihat begitu indah, dengan kedua iris yang sehitam batu obsidian. Lalu bulu matanya terlihat begitu panjang dan lentik. Sampai-sampai aku yang seorang perempuan iri melihatnya. Hidungnya tidak terlalu mancung, tapi terlihat begitu proporsional di wajahnya. Dan bibirnya begitu menarik dengan warna merah muda alaminya. Kami-sama, ini pertama kalinya aku memperhatikannya sampai sedetail ini. Wajah Izumi-Senpai benar-benar tampan.

“…hara, Fujihara-san!”

Panggilan Izumi  membuat Yuki tersentak. Saat ia menyadarinya pandangan Izumi kini sudah tak lagi tertuju pada bukunya, melainkan ke arah dirinya. “Y-ya?”

“Ada sesuatu di wajahku? Dari tadi kau terus melihat ke arahku,” ujar Izumi.

Wajah Yuki terasa panas, malu karena tertangkap basah oleh Izumi kalau ia sedari tadi terus memperhatikan pemuda itu. Sebelum Izumi menyadari perubahan rona wajahnya, Yuki menundukkan wajahnya dalam-dalam.

Izumi menghela napas pelan lalu menutup buku yang ia baca. “Jam istirahat hampir habis. Aku akan kembali ke kelas. Sampai nanti.” Izumi menepuk puncak kepala Yuki dengan pelan kemudian berlalu meninggalkan perpustakaan. Itu pertama kalinya, dia menatapku seperti itu. Izumi menutup sebagian wajahnya dengan buku yang ia bawa, menyembunyikan rona merah yang mendadak muncul di sana.

Sementara itu Yuki yang masih berada di perpustakaan, memegang kepalanya sendiri. Meski hanya sekilas namun sentuhan tangan Izumi seperti masih terasa di puncak kepalanya. Wajahnya kembali terasa panas sedangkan jantungnya terasa berdetak dua kali lebih cepat dari biasanya. Kenapa jantungku malah berdebar tak karuan begini?

Bab terkait

  • Dandelion, Wish, and Wind   [8]-Sunset & Ramen

    Setelah jam sekolah berakhir, seperti biasa Izumi tak langsung pulang. Menghabiskan waktu menatap pemandangan dari jendela kelasnya kini menjadi kebiasaan barunya. Riuh rendah suara anak-anak klub olahraga sayup-sayup terdengar di telinga Izumi, membuat pemuda itu mengarahkan pandangannya ke bawah menatap anak-anak klub basket yang tengah berlatih di lapangan. Iris obsidian milik Izumi tak sengaja menangkap sosok seorang gadis yang tengah menyapa salah seorang anggota klub basket yang sedang beristirahat. Izumi mengenal kedua orang itu. Gadis itu adalah Misumi Nana, teman sekelasnya. Lalu orang yang disapa olehnya adalah Ryu. Entah apa yang mereka bicarakan. Namun dari bahasa tubuh mereka Izumi bisa melihat kalau mereka berdua akrab satu sama lain. Tanpa sadar Izumi menghela napas panjang. Ia meraih tasnya lalu beranjak meninggalkan ruang kelas yang sudah kosong. Ketika melewati koridor di lantai satu Izumi tak sengaja melihat Yuki. Gadis itu baru saja keluar dari ruang guru

    Terakhir Diperbarui : 2021-07-05
  • Dandelion, Wish, and Wind   [9]-Ryuzaki's Crush

    Setelah itu ia tak menyinggung apapun tentang Izumi atau keluarganya. Izumi pun demikian, pemuda itu tak mengatakan apapun. Mereka berdua kembali berjalan dalam keheningan. Sampai di persimpangan tempat mereka biasa berpisah jalan, Izumi dan Yuki mengambil arah yang berbeda. Izumi tetap lurus, sedangkan Yuki mengambil jalan berbelok yang mengarah langsung menuju tempat tinggalnya. Izumi sempat menawarkan diri untuk mengantar gadis itu pulang sebagai balasan karena telah menemaninya sore ini. Namun Yuki menolak dengan alasan rumahnya tak jauh dari tempat mereka. Izumi pun mengalah. “Kalau begitu, sampai besok!” ucap Izumi. “Un, hati-hati di jalan, Senpai!” balas Yuki dengan nada riang seperti biasanya. Gadis itu melambaikan tangan sekilas kepada Izumi lalu berbalik melangkah. Di belakang, Izumi terus memperhatikan punggung Yuki yang bergerak semakin menjauh. Rambut silver panjang gadis itu terlihat begitu berkilau tertimpa cahaya lampu yang menyala di

    Terakhir Diperbarui : 2021-07-05
  • Dandelion, Wish, and Wind   [10]-Ujian

    Hari-hari berlalu sebagaimana adanya. Ujian tengah semester di Sakurai Goukou pun dimulai begitu Bulan Mei masuk minggu ketiga. Dan untuk sementara, semua kegiatan klub diliburkan sampai ujian selesai. Di hari pertama pelaksanaan ujian sebelum berangkat ke sekolah, Izumi menikmati sarapannya dengan tenang. Berkebalikan dengan Ryu, pemuda itu sejak tadi terlihat sedikit gusar. Pandangannya terfokus pada buku catatan yang ada di tangan kirinya. Sedangkan tangan kanannya yang memegang sumpit bergerak tanpa memperhatikan letak makanan yang akan diambilnya. Hampir saja sumpit kayu itu mendarat dalam gelas ocha-nya.“Ryuzaki, letakkan bukumu sejenak dan makanlah dengan benar!” tegur Makoto.Ryu melepaskan pandangannya dari buku yang sedari tadi menyita perhatiannya. Saat ia mengangkat wajah, Ryu melihat sepasang iris obsidian milik ayahnya tengah menatapnya dengan tajam. Tanpa diminta dua kali, Ryu meletakkan buku itu di sampingnya tanpa menutup

    Terakhir Diperbarui : 2021-07-05
  • Dandelion, Wish, and Wind   [11]-Bowling

    Setelah tiga hari lamanya, ujian tengah semester yang menguras otak akhirnya berakhir. Asahi-Sensei yang menjadi pengawas ujian di hari terakhir memberikan pengumuman sebelum meninggalkan kelas kalau hasil ujian akan keluar setelah sepuluh hari. Izumi membereskan alat tulisnya sambil menghembuskan napas lega. Setidaknya setelah ini dia bisa bersantai sejenak sambil menunggu pengumuman hasil ujian. Dia merasa cukup percaya diri kalau nilainya akan baik-baik saja karena sudah mempersiapkan diri dengan baik untuk menghadapi ujian ini. Namun ada satu hal yang mengganggu pikirannya. Izumi tak yakin nilai ujian Bahasa Jepangnya akan sebaik mata pelajaran yang lainnya. Jujur saja, Izumi ragu apakah dia akan lulus di mata pelajaran itu. Tumbuh besar di luar negeri ditambah sekolahnya dari SD sampai SMA satupun tak ada yang mengajarkan mata pelajaran Bahasa Jepang. Meskipun tak kesulitan berbicara dalam bahasa Jepang, Izumi akui dia benar-benar kurang di bagian menulis.

    Terakhir Diperbarui : 2021-07-07
  • Dandelion, Wish, and Wind   [12]-Kenangan yang Tak Ingin Kuingat

    “Jadi begitu, Yoshino-kun ke sini dengan Kaito dan yang lainnya,” ujar Nana setelah mendengar penjelasan Izumi.“Nana tinggal di daerah ini?” tanya Izumi.“Un, rumahku tak jauh dari sini. Kalau Yoshino-kun?”“Aku tinggal di Setagaya,” balas Izumi.“Aa souka.”Baik Nana maupun Izumi tak mengatakan apa-apa setelah itu. Keduanya terdiam, membiarkan suara burung-burung mengisi keheningan di antara mereka. Iris obsidian Izumi kembali tertuju ke arah matahari sore yang terlihat akan terbenam beberapa menit ke depan. Sedangkan Nana yang duduk di sebelahnya memutar-mutar setangkai dandelion yang dipetiknya.Kenapa suasananya jadi canggung begini? batin Nana dan Izumi bersamaan.Izumi mendadak berdiri, membuat Nana menengadah menatapnya. “Gomen, Nana. Aku mau pulang duluan,” ujar Izumi.“Eh? Hati-hati di jalan,&rdqu

    Terakhir Diperbarui : 2021-07-08
  • Dandelion, Wish, and Wind   [13]-Obentō

    Keesokan harinya, pagi-pagi sekali Izumi berangkat ke sekolah hingga tak satupun orang di rumah itu yang menyadarinya. Sengaja Izumi melakukannya, mengingat apa yang terjadi semalam. Izumi tak yakin hari ini ia bisa bersikap seperti biasa, jika bertemu dengan mereka terlebih dengan ibunya. Oleh karena itu, untuk sementara ini Izumi memilih untuk menghindar. Udara terasa dingin karena hari masih terlalu pagi. Bahkan langit pun masih terlihat kelabu. Lampu-lampu masih terlihat menyala di beberapa rumah. Izumi berjalan dalam diam, begitu tenang dan tak terburu-buru. Ia menarik napas dalam-dalam, membiarkan udara segar mengisi paru-parunya. Suasana pagi yang hening hari itu, entah mengapa membuat Izumi merasa damai. Emosinya tak lagi bergejolak seperti tadi malam. Dia sudah merasa lebih tenang kali ini. Sampai di sekolah—seperti yang sudah Izumi duga sebelumnya—tempat itu masih sepi. Bahkan bisa dibilang dia siswa yang pertama tiba di sana. Setelah mengganti sepatu dan m

    Terakhir Diperbarui : 2021-07-17
  • Dandelion, Wish, and Wind   [14]-Sport Day (1)

    Tak terasa hari terus berganti dan acara Sport Day yang ditunggu-tunggu pun akhirnya tiba. Di hari pertama olahraga yang dilombakan terdiri dari renang, voli, dan basket. Sambil menunggu pertandingan basket dimulai, Izumi ikut bergabung dengan teman-teman sekelasnya untuk menyemangati tim voli kelas 3-A yang sedang bertanding di lapangan melawan tim voli dari kelas 3-E.“Meskipun sebelumnya tak pernah bergabung dengan klub voli, tapi kemampuan dua orang itu tak perlu diragukan. Mereka selalu menjadi andalan dari kelas kita setiap ada pertandingan voli di acara Sport Day,” celetuk Kaito sambil menunjuk ke arah Jun dan Shuu selagi mereka menonton pertandingan.Walaupun baru pertama kali melihat permainan Jun dan Shuu, Izumi dalam hari membenarkan ucapan Kaito. Di antara anak-anak yang mewakili kelas 3-A, kemampuan keduanya memang yang paling menonjol. Suara tepuk tangan bersambut dengan teriakan penuh semangat terdengar dari anak-anak 3-A ke

    Terakhir Diperbarui : 2021-07-23
  • Dandelion, Wish, and Wind   [15]-Sport Day (2)

    Sport Day-Hari Kedua Keringat mengucur deras membasahi wajah Izumi. Pemuda itu bisa merasakan bagian belakang kaos olahraga yang dikenakannya basah oleh keringat. Saat ini kelas Izumi tengah bertanding melawan tim sepak bola dari Kelas 2-D. Pertandingan berlangsung dengan sengit. Kedua tim sama-sama kuat dan saat ini skor pertandingan masih seri—2-2. Di pinggir lapangan suara penonton terdengar riuh memberikan semangat kepada tim mereka masing-masing yang sedang bertanding. Waktu yang tersisa kini hanya tinggal tujuh menit. Kedua tim masih saling berusaha untuk bertahan dan menyerang. Sebelum pertandingan benar-benar berakhir, setidaknya salah satu tim harus berusaha mencetak gol untuk menentukan pemenangnya. Setelah menerima operan bola dari Ichijou, Izumi berlari menggiring bola itu menuju daerah lawan. Sesekali ia berputar menghindari para pemain dari Kelas 2-D yang berusaha untuk merebut bola itu. Setelah merasa cukup be

    Terakhir Diperbarui : 2021-07-26

Bab terbaru

  • Dandelion, Wish, and Wind   [61] Petaka di Sore Hari

    "Pagi!" Seperti biasa Yuki membalas sapaan anak yang menyapanya dengan ceria. Gadis itu melangkah dengan santai menuju loker sepatunya sambil sesekali bersenandung kecil. Ditariknya pintu loker besi itu dengan pelan. Tak disangka puluhan kaleng bekas berkelontang dari dalam lokernya dan jatuh berserakan di lantai, mengundang perhatian anak-anak yang lainnya untuk melihat apa yang terjadi. "Apa-apaan ini?!" Yuki menatap lokernya sendiri yang dipenuhi oleh sampah kaleng bekas. Terdapat secarik kertas ditempel dengan selotip di bagian dalam lokernya. Yuki menarik lepas kertas itu, membaca rangkaian huruf yang ditulis dengan tinta merah menyala. 'ENYAH KAU!!' begitu bunyi kalimat yang tertulis di sana. "Yuki!" Terlihat seorang gadis menyeruak di antara kerumunan anak-anak yang ada di sana, menghampiri Yuki dengan tergesa. "Anna." "Apa yang terjadi? Siapa yang melakukan ini padamu?" tanya gadis yang dipanggil Anna itu. Raut wajah Anna penuh dengan kekhawatiran melihat kejadian yang

  • Dandelion, Wish, and Wind   [60]-Pengagum Rahasia

    Waktu berlalu, hari berganti. Para siswa kelas tiga semakin disibukkan dengan persiapan ujian masuk perguruan tinggi. Kesibukan itu, membuat Izumi perlahan lupa dengan suratnya. Eksistensi benda itu hampir menghilang sepenuhnya dari kepala Izumi, kalau saja dia tak menemukan setangkai krisan putih di loker sepatunya, kira-kira satu minggu setelah kejadian surat tanpa nama itu. Terdapat selembar kertas yang digulung kemudian diikat pada tangkai krisan itu, seolah seperti sebuah pita. Izumi melepas ikatannya, membaca sebaris kalimat pendek yang tertulis di sana. Musim ujian semakin dekat. Senpai, semangat! Izumi menengok kiri-kanan, berpikir mungkin masih ada jejak keberadaan orang yang meletakkan krisan itu di sekitar sana namun nihil. Memang area loker cukup ramai dengan lalu datang anak-anak yang berganti sepatu. Akan tetapi mereka terlihat tak terlalu peduli dan sibuk dengan urusan masing-masing. Menghela napas pendek, Izumi melipat kertas itu, mengikatnya kembali ke bentuk semul

  • Dandelion, Wish, and Wind   [59]-Apa Kau Pernah Berpikir Menjadi Seorang Pianis?

    Selesai makan malam dan mengerjakan tugasnya, Izumi mengutak-atik kameranya. Foto-foto hasil jepretannya beberapa hari yang lalu dia pindahkan ke dalam laptopnya. Izumi lantas memilih salah satu dari sekian foto, mengeditnya agar terlihat lebih menarik. Raut wajahnya terlihat fokus. Waktu semakin berlalu dan Izumi semakin tenggelam dalam kegiatannya. Sesekali dia membuka ponselnya, mencari tutorial di internet saat menemukan kesulitan dalam menggunakan fungsi fitur-fitur yang tersedia pada perangkat lunak yang dia gunakan untuk mengedit. "Sulit juga," ujar Izumi. Setidaknya butuh waktu satu setengah jam baginya untuk selesai mengedit satu foto. Setelah lama tidak berkecimpung lagi dengan hal-hal yang berkaitan dengan fotografi, Izumi merasa kemampuannya di bidang itu juga ikut menurun. Dulu ketika masih aktif di klub fotografi, untuk mengedit satu foto biasanya dia hanya butuh waktu sekitar dua puluh menit dan sekitar satu jam jika itu berupa foto potret. Setelah menyimpan hasil ker

  • Dandelion, Wish, and Wind   [58]-Potongan Puzzle

    “Kurasa pembahasannya sampai di sini dulu. Detailnya akan kita bahas lagi saat rapat berikutnya. Masing-masing divisi jangan lupa untuk merincikan biaya yang diperlukan sebelum diserahkan pada bendahara!” “Baik!” Nana menutup rapat tambahan senja itu dan anak-anak OSIS perlahan membubarkan diri satu persatu dari ruangan. Aizawa-Sensei—pembina OSIS Sakurai Goukou menghampiri Nana, memberikan sejumlah dokumen dan catatan kecil yang akan dibutuhkan dalam persiapan acara ke depannya. Perempuan itu meletakkan tangannya di bahu Nana. “Aku mengandalkanmu.” “Arigatou, Sensei,” balas Nana sopan sembari membungkukkan badan. Setelah mengunci Ruang OSIS dan mengembalikan kuncinya ke ruang guru, Nana berjalan menuju loker untuk mengganti sepatunya. Gadis itu melihat sejenak ke arah loker Izumi meskipun tak ada siapapun di sana. Dering singkat dari ponselnya, membuat Nana tak berlama-lama di sana. Dia berganti sepatu dengan cepat lalu bergegas ke depan sekolah, di mana bibinya sudah menunggu un

  • Dandelion, Wish, and Wind   [57]-Sepucuk Surat Merah Jambu

    Senin, Izumi sudah kembali masuk sekolah seperti biasanya. Tiga hari tak masuk rasanya dia telah melewatkan banyak hal, terutama menyangkut mata pelajarannya. Oleh karena itu dia berusaha mengejar ketertinggalannya dengan meminjam catatan dari Kaito yang secara sukarela memberikannya.Izumi melemaskan persendian tangannya, berusaha mengurangi rasa pegal pada buku-buku jarinya setelah cukup banyak menyalin catatan materi dari Kaito ke bukunya sendiri. Pandangan Izumi menyapu ruang kelas 3-A yang berangsur-angsur sepi. Hanya tinggal dia dan Ichijou yang terlihat sedang bersiap-siap untuk pulang.“Izumi, kau masih belum mau pulang?” tanya Ichijou sambil memasukkan buku terakhir ke dalam tas sekolahnya.Izumi membalasnya dengan gelengan lalu mengangkat catatan yang masih harus dia salin. “Aku akan pulang setelah menyelesaikan ini.”“Kalau begitu, aku duluan. Sampai besok!”“Sampai besok!” balas Izumi.Kelas sudah sepi dan sekarang hanya tinggal dirinya yang ada di sana. Agar tak terlalu b

  • Dandelion, Wish, and Wind   [56]-S'more

    Izumi mengambil sebuah puding pemberian Yuki dan menyimpan sisanya di dalam kulkas. Saat sedang menyantap pudingnya, tak lama kemudian Ryu yang sudah berganti pakaian ikut bergabung dengan Izumi di ruang makan. Ryu meraih gelas porselen dari atas rak, mengisinya dengan air dari dispenser. Setelah meneguk habis airnya dan meletakkan gelas itu di wastafel, Ryu mendudukkan diri pada kursi berseberangan dengan Izumi.“Mama sedang keluar?” tanya Ryu setelah sepersekian detik melayangkan pandangannya mengitari area dapur dan ruang makan mencari keberadaan Tsubaki.Izumi mengangguk singkat. Dia mengangkat puding apelnya, menawarkannya pada Ryu. “Kau mau? Di kulkas masih ada.”Ryu menggelengkan kepala. Sebaliknya tangan pemuda itu menjangkau toples berisi cookies dan crackers yang sebelumnya dibawa oleh Izumi. “Ini, aku baru melihatnya. Apa mama yang membelinya?”“Ah, itu Mr. Sharon—pemilik rumah yang kami sewa di Amerika dulu, mengirimkannya untukku. Makan saja kalau kau mau,” ujar Izumi.“S

  • Dandelion, Wish, and Wind   [55]- I Am Selfish, I Know

    Usai makan siang dan meminum obatnya, Izumi duduk berselonjor pada tempat tidurnya. Irama piano mengalun dengan lembut melalui earphone yang terpasang di telinganya, menemani Izumi yang tengah asyik membaca manga milik Ryu yang baru sekarang sempat dia baca lagi. Lembar demi lembar habis dilahapnya. Semakin jauh halaman yang dia buka, Izumi merasa cerita itu semakin menarik. Penggambaran setiap karakter dalam cerita itu membuat imajinasinya terasa semakin hidup. Habis satu buku itu dibaca, rasa penasaran Izumi semakin menjadi untuk mengetahui kelanjutan ceritanya. Dalam hati dia sedikit menyayangkan mengapa hanya meminjam satu volume saja. Sepertinya aku harus meminjam lanjutannya nanti, batin Izumi. Dia menguap kecil. Rasa kantuk mulai menghampirinya membuat Izumi memilih untuk tertidur sejenak. Izumi menutup kelopak matanya. Earphone yang terpasang di telinganya sejak tadi terus memutar lagu yang sama. Irama piano itu masih terus mengalun menemaninya hingga ke alam mimpi. [Tadaima,

  • Dandelion, Wish, and Wind   [54]-The Hidden Truth

    Tiga hari dirawat di rumah sakit, kondisi Izumi semakin membaik dari hari ke hari. Dia tak lagi menghabiskan waktunya dengan berbaring di atas ranjang. Tenaganya kini bahkan sudah cukup kuat untuk membawa kakinya beranjak keluar dari ruang rawatnya. Meskipun selang infus masih belum dilepas dari tangan kirinya. Akan tetapi terlepas dari hal itu Izumi merasa tubuhnya sudah sehat kembali. Sore itu Izumi berdiri menatap pemandangan yang terlihat dari jendela kamar rawatnya. Di ruangan itu kini hanya ada dirinya. Sejak merasa membaik Izumi memberitahu Tsubaki agar tidak perlu menemaninya sepanjang waktu. Dia juga meminta wanita itu untuk pulang agar bisa beristirahat di rumah. Izumi tahu Tsubaki tak pernah mempermasalahkannya. Namun dia merasa tidak enak hati karena jam istirahat wanita itu banyak terpotong karena mengurusnya selama tiga hari ini. “Perawat tadi bilang kamar nomor berapa?” “Berapa, ya? Aku lupa, antara 209 atau 210?” “210. Itu namanya tertulis di samping pintu.” Izumi

  • Dandelion, Wish, and Wind   [53] Membuka Luka Lama

    Pagi hari saat membuka mata, Izumi mendapati wajah ibunya yang masih tertidur di samping ranjangnya. Setelah sekian lama itu pertama kalinya Izumi melihat ibunya dari jarak sedekat ini. Dipandangnya sosok itu dengan lekat. Wajah Tsubaki terlihat lelah, membuat Izumi berpikir kalau wanita itu tak tidur dengan nyenyak semalaman karena menunggunya. Mungkin saja wanita itu baru bisa memejamkan mata belum lama ini. Saat memperhatikan wajah ibunya, Izumi baru menyadari ada kerutan samar pada wajah wanita itu yang menandakan kalau usianya sudah bertambah banyak sejak terakhir kali mereka bertemu. Antara sadar dan tidak, tangan Izumi terangkat hendak menyentuh wajah itu. Namun ketika menangkap ada gerakan dari kelopak mata Tsubaki yang terpejam, Izumi dengan cepat menurunkannya tangannya dan pura-pura tertidur. Tsubaki sepertinya sudah mulai terbangun dan Izumi bisa merasakan tangan wanita itu menyentuh keningnya sambil bergumam pelan. “Sepertinya demamnya sudah turun.” Lalu terdengar suara

Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status