“Izumi-kun—” panggil Tsubaki ketika Izumi telah menghabiskan potongan terakhir steak-nya. Wanita itu tak langsung melanjutkan ucapannya. Sebaliknya ia menunggu Izumi terlebih dulu meneguk isi gelasnya. Lalu ketika pemuda itu meletakkan kembali gelasnya yang sudah kosong, Tsubaki meneruskan kalimatnya. “—bagaimana kabarmu?” mungkin sedikit terlambat kalau ia baru menanyakannya sekarang. Namun Tsubaki tahu, Izumi menangkap maksud pertanyaannya.
“Kami baik-baik saja selama sepuluh tahun ini jika itu yang ingin Anda ketahui. Meskipun Anda meninggalkan kami,” jawab Izumi. Ia mengucapkan kalimat terakhirnya dengan nada lirih. Sangat lirih hampir tak terdengar bahkan oleh Tsubaki.
“Takumi— ”
Mendengar nama ayahnya disebut Izumi tersenyum sinis. Ia membalas tatapan ibunya dengan ekspresi mencibir. “Untuk apa bertanya tentang ayahku? Mengharapkan cerita kalau beliau memanggil nama Anda di saat terakhirnya?”
“Izumi-kun—”
“Aku akan kembali ke atas. Terimakasih atas makanannya.” Izumi memotong ucapan Tsubaki lalu beranjak dari kursinya dan melangkah keluar meninggalkan ibunya sendirian yang kini tengah menatap kepergiannya dengan mata berkaca-kaca. Sampai di dalam kamarnya Izumi mengunci pintu lalu melangkah ke menuju jendela. Dibukanya jendela kaca itu lebar-lebar hingga angin malam yang sejuk leluasa masuk ke dalam kamarnya. Izumi menyandarkan punggungnya pada kusen jendela. Seluruh organ di dalam tubuhnya saat ini terasa seperti diremas kuat membuat Izumi ingin berteriak sekuat tenaga. Namun pada akhirnya keinginan itu hanya bisa tersalurkan dengan sebuah helaan napas panjang nan berat yang keluar dari bibir Izumi beberapa saat kemudian. Menyebalkan!
Esok harinya setelah menghabiskan sarapannya dengan cepat, Izumi bergegas berangkat menuju sekolah barunya. Waktu baru menunjukkan pukul tujuh lewat lima belas menit—seharusnya masih terlalu pagi untuk terburu-buru berangkat karena takut terlambat. Namun Izumi memilih untuk pergi lebih awal karena entah mengapa perasaannya menjadi sesak jika lebih lama berada di rumah.
Menolak tawaran ayah Ryu yang ingin mengantarnya, Izumi memilih untuk berjalan kaki dipandu dengan aplikasi Maps dari ponselnya. Ia berharap setidaknya dengan berjalan emosinya yang sedikit bergejolak dari tadi malam bisa mereda. Jarak kediaman keluarga Nakagawa dengan Sakurai Goukou hanya tiga puluh lima menit dengan berjalan kaki—tidak terlalu lama menurut Izumi. Dengan mengikuti petunjuk dari ponselnya ia mengira semuanya akan lancar. Namun ternyata tidak. Di tengah perjalanan Maps Izumi tiba-tiba error dan berakhir membuatnya tersesat di tempat yang penuh dengan persimpangan jalan. Pemuda itu merutuk pelan pada kesialan di hari pertamanya. Ia menatap ke sekeliling berharap ada orang yang bisa ia tanyai. Sayangnya entah karena masih pagi atau dia yang terlalu sial, tak ada satupun orang yang melintas di tempat itu. Yah mungkin karena jalanan itu memang bukan jalan raya yang biasa dilalui oleh kendaraan banyak. Akhirnya Izumi memilih berjalan sesuai kemauan kakinya melangkah. Meskipun pada akhirnya pilihan itu malah membuatnya semakin tersesat. Pukul delapan kurang lima belas menit–sepuluh menit setelah ia berjalan tanpa arah, Izumi masih belum menemukan sekolahnya. Kenapa persimpangannya banyak sekali? sungut Izumi dalam hati ketika ia kembali dihadapkan dengan persimpangan jalan. Izumi mendengus pelan sambil terus melangkah. Kali ini ia beruntung, ketika berbelok iris obsidiannya melihat sosok gadis yang mengenakan seragam yang sama dengannya tengah berjalan beberapa langkah di depannya. Ia mempercepat langkahnya mengejar gadis itu.
“Ano, permisi!”
Gadis itu menoleh. Sosok gadis berambut silver panjang—gadis yang kemarin tak sengaja bertemu dengannya—Fujihara Yuki, berhenti melangkah dan menoleh ke belakang ke arah Izumi. “Izumi-san?” pandangannya kemudian tertuju pada seragam yang dikenakan Izumi. “Seragam itu … Izumi-san juga di Sakurai Goukou?” lanjutnya.
“Fujihara-san?” Izumi menghela napas lega. Kali ini ia tidak perlu tersesat lagi.
“Tersesat?” tanya Yuki selagi mereka berjalan.
Izumi mengangguk. “Daritadi aku hanya berjalan berputar-putar,” keluhnya.
Yuki tersenyum kecil mendengar jawaban Izumi. “Kenapa tidak berangkat bersama dengan Nakagawa-kun?”
“Dia sudah berangkat duluan. Kudengar ada latihan pagi atau semacamnya,” balas Izumi. Ia tadi sempat mendengar ibunya mengatakan hal seperti itu kepadanya.
“Ah, benar juga. Anak-anak klub basket sekarang rutin latihan tiap pagi dan sore untuk persiapan turnamen musim panas nanti,” jelas Yuki. “Ne, tak keberatan jika aku memanggil Izumi-san dengan sebutan Senpai mulai sekarang?” tanya Yuki.
“Tak apa. Tapi darimana kau tahu kalau aku akan menjadi seniormu?” tanya Izumi balik.
Yuki menunjuk sekilas ke arah dasi yang dikenakan Izumi. Pemuda itu ikut melihat dasinya sendiri lalu melempar tatapan penuh tanda tanya kepada Yuki. “Di Sakurai-Goukou warna dasi menunjukkan di kelas berapa mereka berada. Biru untuk siswa kelas satu, merah untuk kelas dua, dan hijau untuk siswa kelas tiga,” jelas Yuki.
“Aa jadi begitu.”
Izumi menganggukkan kepala mengerti dan tak mengatakan apa-apa setelah itu. Dia dan Yuki berjalan dalam diam. Di sekeliling mereka kini sudah mulai ramai dengan para siswa yang juga mengenakan seragam yang sama. Dan di ujung jalan gerbang sekolah bertuliskan Sakurai Goukou sudah terlihat. Tiba di sekolah Izumi langsung menuju ruang guru—yang sebelumnya ditunjukkan oleh Yuki—untuk menyerahkan dokumen kepindahannya. Setelah urusannya di ruang guru selesai, Izumi berjalan menuju kelasnya bersama dengan seorang guru laki-laki bernama Asahi yang sebelumnya memperkenalkan diri sebagai wali kelasnya.
“Bahasa Jepangmu sangat lancar walaupun kau tinggal di luar negeri,” ujar Asahi-Sensei dalam perjalanan menuju kelas.
“Di rumah Ayah saya selalu menggunakan bahasa jepang untuk mengobrol,” balas Izumi. Sudah dua orang yang mengatakan hal yang sama kepadanya. Kemarin Fujihara Yuki dan sekarang gurunya.
“Begitu, ma Sensei rasa kau tak akan kesulitan beradaptasi dengan kehidupan di sekolah jepang.” Izumi mengangguk sopan menanggapi hal itu.
Langkah Izumi dan Asahi-Sensei berhenti di depan kelas 3-A. Dari luar terdengar suara beberapa orang tertawa dan mengobrol yang kemudian berubah menjadi hening seketika begitu pintu kelas dibuka. Izumi bisa melihat ekspresi penasaran di wajah sebagian penghuni kelas ketika dirinya masuk bersama dengan Asahi-Sensei. Ekspresi itu tak bertahan lama karena sesudahnya Asahi-Sensei memperkenalkan Izumi, membuat rasa penasaran mereka terjawab.
“Hari ini kita kedatangan murid pindahan dari Amerika. Bapak harap kalian bisa berteman baik dengannya.” Asahi-Sensei melemparkan pandangan ke seluruh siswa sebelum akhirnya ia kembali menatap Izumi yang berdiri di sampingnya lalu berujar, “Silakan perkenalkan dirimu, Nak!”
“Yoshino Izumi desu. Yoroshiku onegaishimasu.”
Sebagian siswa di kelas itu membalasnya dengan kalimat ‘salam kenal’ dan sebagian lagi menepukkan tangan. Asahi-Sensei setelah itu meminta Izumi duduk di kursi ketiga dari belakang yang terletak persis di pinggir jendela. Beberapa siswa memberinya tatapan ramah saat Izumi tengah berjalan ke tempat duduknya. Setelah itu kegiatan belajar dimulai dan Izumi memulai harinya sebagai seorang siswa di SMA Jepang untuk pertama kalinya.
Bel istirahat berdering nyaring tepat ketika Asahi-Sensei menyelesaikan penjelasan mata pelajaran Sejarah Jepang yang beliau ajarkan. Setelah mengucapkan kata sampai jumpa kepada siswanya Asahi-Sensei—guru laki-laki muda yang Izumi tebak masih berusia dua puluhan akhir itu membawa bukunya dan berjalan meninggalkan kelas. Setelah Asahi-Sensei keluar sebagian siswa juga ikut keluar entah untuk makan siang atau melakukan kegiatan yang lain. Dari tempat duduknya Izumi melayangkan pandang ke luar jendela. Hampir saja ia tenggelam dalam lamunannya kalau saja seseorang tidak menghampirinya. “A-ano … Yoshino-kun?” Izumi menoleh menatap gadis berambut hitam sebahu yang berdiri di dekat mejanya. Gadis itu Ketua OSIS yang kebetulan satu kelas dengannya yang dimintai tolong oleh Asahi-Sensei sebelumnya untuk membawa Izumi berkeliling mengenal area sekolah ketika jam istirahat. Jadi karena itu dia menghampiri Izumi. “
Kali ini tanpa Maps dan drama tersesat, Izumi pun tiba di rumah. Setelah mengucapkan salam, ia menyimpan sepatunya di rak sepatu dan menggantinya dengan slipper yang khusus disediakan untuk dipakai di dalam ruangan. Suara orang dewasa yang berbicang dari arah ruang tamu sayup-sayup tertangkap oleh indra pendengarannya. Tanpa menaruh rasa penasaran dengan hal itu, pemuda itu bergegas menuju kamarnya. Setelah mengganti seragam sekolahnya, Izumi bersantai sambil memainkan ponselnya. Ia menggeser layar ponselnya, melihat satu persatu hasil jepretannya sore ini. Lumayan, pikir Izumi. Rasa haus yang mendadak datang membuat tenggorokan Izumi terasa kering. Pemuda itu meletakkan ponselnya lalu melangkah turun ke dapur. “Ah, Izumi-kun, kapan pulangnya?” sambut Tsubaki ketika Izumi memasuki dapur. Wanita itu tengah menuangkan ocha dari teko ke dalam gelas yang nantinya akan disuguhkan kepada tamu-tamunya. “Bagaimana hari pertamamu d
Setelah jam sekolah berakhir, seperti biasa Izumi tak langsung pulang. Menghabiskan waktu menatap pemandangan dari jendela kelasnya kini menjadi kebiasaan barunya. Riuh rendah suara anak-anak klub olahraga sayup-sayup terdengar di telinga Izumi, membuat pemuda itu mengarahkan pandangannya ke bawah menatap anak-anak klub basket yang tengah berlatih di lapangan. Iris obsidian milik Izumi tak sengaja menangkap sosok seorang gadis yang tengah menyapa salah seorang anggota klub basket yang sedang beristirahat. Izumi mengenal kedua orang itu. Gadis itu adalah Misumi Nana, teman sekelasnya. Lalu orang yang disapa olehnya adalah Ryu. Entah apa yang mereka bicarakan. Namun dari bahasa tubuh mereka Izumi bisa melihat kalau mereka berdua akrab satu sama lain. Tanpa sadar Izumi menghela napas panjang. Ia meraih tasnya lalu beranjak meninggalkan ruang kelas yang sudah kosong. Ketika melewati koridor di lantai satu Izumi tak sengaja melihat Yuki. Gadis itu baru saja keluar dari ruang guru
Setelah itu ia tak menyinggung apapun tentang Izumi atau keluarganya. Izumi pun demikian, pemuda itu tak mengatakan apapun. Mereka berdua kembali berjalan dalam keheningan. Sampai di persimpangan tempat mereka biasa berpisah jalan, Izumi dan Yuki mengambil arah yang berbeda. Izumi tetap lurus, sedangkan Yuki mengambil jalan berbelok yang mengarah langsung menuju tempat tinggalnya. Izumi sempat menawarkan diri untuk mengantar gadis itu pulang sebagai balasan karena telah menemaninya sore ini. Namun Yuki menolak dengan alasan rumahnya tak jauh dari tempat mereka. Izumi pun mengalah. “Kalau begitu, sampai besok!” ucap Izumi. “Un, hati-hati di jalan, Senpai!” balas Yuki dengan nada riang seperti biasanya. Gadis itu melambaikan tangan sekilas kepada Izumi lalu berbalik melangkah. Di belakang, Izumi terus memperhatikan punggung Yuki yang bergerak semakin menjauh. Rambut silver panjang gadis itu terlihat begitu berkilau tertimpa cahaya lampu yang menyala di
Hari-hari berlalu sebagaimana adanya. Ujian tengah semester di Sakurai Goukou pun dimulai begitu Bulan Mei masuk minggu ketiga. Dan untuk sementara, semua kegiatan klub diliburkan sampai ujian selesai. Di hari pertama pelaksanaan ujian sebelum berangkat ke sekolah, Izumi menikmati sarapannya dengan tenang. Berkebalikan dengan Ryu, pemuda itu sejak tadi terlihat sedikit gusar. Pandangannya terfokus pada buku catatan yang ada di tangan kirinya. Sedangkan tangan kanannya yang memegang sumpit bergerak tanpa memperhatikan letak makanan yang akan diambilnya. Hampir saja sumpit kayu itu mendarat dalam gelas ocha-nya.“Ryuzaki, letakkan bukumu sejenak dan makanlah dengan benar!” tegur Makoto.Ryu melepaskan pandangannya dari buku yang sedari tadi menyita perhatiannya. Saat ia mengangkat wajah, Ryu melihat sepasang iris obsidian milik ayahnya tengah menatapnya dengan tajam. Tanpa diminta dua kali, Ryu meletakkan buku itu di sampingnya tanpa menutup
Setelah tiga hari lamanya, ujian tengah semester yang menguras otak akhirnya berakhir. Asahi-Sensei yang menjadi pengawas ujian di hari terakhir memberikan pengumuman sebelum meninggalkan kelas kalau hasil ujian akan keluar setelah sepuluh hari. Izumi membereskan alat tulisnya sambil menghembuskan napas lega. Setidaknya setelah ini dia bisa bersantai sejenak sambil menunggu pengumuman hasil ujian. Dia merasa cukup percaya diri kalau nilainya akan baik-baik saja karena sudah mempersiapkan diri dengan baik untuk menghadapi ujian ini. Namun ada satu hal yang mengganggu pikirannya. Izumi tak yakin nilai ujian Bahasa Jepangnya akan sebaik mata pelajaran yang lainnya. Jujur saja, Izumi ragu apakah dia akan lulus di mata pelajaran itu. Tumbuh besar di luar negeri ditambah sekolahnya dari SD sampai SMA satupun tak ada yang mengajarkan mata pelajaran Bahasa Jepang. Meskipun tak kesulitan berbicara dalam bahasa Jepang, Izumi akui dia benar-benar kurang di bagian menulis.
“Jadi begitu, Yoshino-kun ke sini dengan Kaito dan yang lainnya,” ujar Nana setelah mendengar penjelasan Izumi.“Nana tinggal di daerah ini?” tanya Izumi.“Un, rumahku tak jauh dari sini. Kalau Yoshino-kun?”“Aku tinggal di Setagaya,” balas Izumi.“Aa souka.”Baik Nana maupun Izumi tak mengatakan apa-apa setelah itu. Keduanya terdiam, membiarkan suara burung-burung mengisi keheningan di antara mereka. Iris obsidian Izumi kembali tertuju ke arah matahari sore yang terlihat akan terbenam beberapa menit ke depan. Sedangkan Nana yang duduk di sebelahnya memutar-mutar setangkai dandelion yang dipetiknya.Kenapa suasananya jadi canggung begini? batin Nana dan Izumi bersamaan.Izumi mendadak berdiri, membuat Nana menengadah menatapnya. “Gomen, Nana. Aku mau pulang duluan,” ujar Izumi.“Eh? Hati-hati di jalan,&rdqu
Keesokan harinya, pagi-pagi sekali Izumi berangkat ke sekolah hingga tak satupun orang di rumah itu yang menyadarinya. Sengaja Izumi melakukannya, mengingat apa yang terjadi semalam. Izumi tak yakin hari ini ia bisa bersikap seperti biasa, jika bertemu dengan mereka terlebih dengan ibunya. Oleh karena itu, untuk sementara ini Izumi memilih untuk menghindar. Udara terasa dingin karena hari masih terlalu pagi. Bahkan langit pun masih terlihat kelabu. Lampu-lampu masih terlihat menyala di beberapa rumah. Izumi berjalan dalam diam, begitu tenang dan tak terburu-buru. Ia menarik napas dalam-dalam, membiarkan udara segar mengisi paru-parunya. Suasana pagi yang hening hari itu, entah mengapa membuat Izumi merasa damai. Emosinya tak lagi bergejolak seperti tadi malam. Dia sudah merasa lebih tenang kali ini. Sampai di sekolah—seperti yang sudah Izumi duga sebelumnya—tempat itu masih sepi. Bahkan bisa dibilang dia siswa yang pertama tiba di sana. Setelah mengganti sepatu dan m
"Pagi!" Seperti biasa Yuki membalas sapaan anak yang menyapanya dengan ceria. Gadis itu melangkah dengan santai menuju loker sepatunya sambil sesekali bersenandung kecil. Ditariknya pintu loker besi itu dengan pelan. Tak disangka puluhan kaleng bekas berkelontang dari dalam lokernya dan jatuh berserakan di lantai, mengundang perhatian anak-anak yang lainnya untuk melihat apa yang terjadi. "Apa-apaan ini?!" Yuki menatap lokernya sendiri yang dipenuhi oleh sampah kaleng bekas. Terdapat secarik kertas ditempel dengan selotip di bagian dalam lokernya. Yuki menarik lepas kertas itu, membaca rangkaian huruf yang ditulis dengan tinta merah menyala. 'ENYAH KAU!!' begitu bunyi kalimat yang tertulis di sana. "Yuki!" Terlihat seorang gadis menyeruak di antara kerumunan anak-anak yang ada di sana, menghampiri Yuki dengan tergesa. "Anna." "Apa yang terjadi? Siapa yang melakukan ini padamu?" tanya gadis yang dipanggil Anna itu. Raut wajah Anna penuh dengan kekhawatiran melihat kejadian yang
Waktu berlalu, hari berganti. Para siswa kelas tiga semakin disibukkan dengan persiapan ujian masuk perguruan tinggi. Kesibukan itu, membuat Izumi perlahan lupa dengan suratnya. Eksistensi benda itu hampir menghilang sepenuhnya dari kepala Izumi, kalau saja dia tak menemukan setangkai krisan putih di loker sepatunya, kira-kira satu minggu setelah kejadian surat tanpa nama itu. Terdapat selembar kertas yang digulung kemudian diikat pada tangkai krisan itu, seolah seperti sebuah pita. Izumi melepas ikatannya, membaca sebaris kalimat pendek yang tertulis di sana. Musim ujian semakin dekat. Senpai, semangat! Izumi menengok kiri-kanan, berpikir mungkin masih ada jejak keberadaan orang yang meletakkan krisan itu di sekitar sana namun nihil. Memang area loker cukup ramai dengan lalu datang anak-anak yang berganti sepatu. Akan tetapi mereka terlihat tak terlalu peduli dan sibuk dengan urusan masing-masing. Menghela napas pendek, Izumi melipat kertas itu, mengikatnya kembali ke bentuk semul
Selesai makan malam dan mengerjakan tugasnya, Izumi mengutak-atik kameranya. Foto-foto hasil jepretannya beberapa hari yang lalu dia pindahkan ke dalam laptopnya. Izumi lantas memilih salah satu dari sekian foto, mengeditnya agar terlihat lebih menarik. Raut wajahnya terlihat fokus. Waktu semakin berlalu dan Izumi semakin tenggelam dalam kegiatannya. Sesekali dia membuka ponselnya, mencari tutorial di internet saat menemukan kesulitan dalam menggunakan fungsi fitur-fitur yang tersedia pada perangkat lunak yang dia gunakan untuk mengedit. "Sulit juga," ujar Izumi. Setidaknya butuh waktu satu setengah jam baginya untuk selesai mengedit satu foto. Setelah lama tidak berkecimpung lagi dengan hal-hal yang berkaitan dengan fotografi, Izumi merasa kemampuannya di bidang itu juga ikut menurun. Dulu ketika masih aktif di klub fotografi, untuk mengedit satu foto biasanya dia hanya butuh waktu sekitar dua puluh menit dan sekitar satu jam jika itu berupa foto potret. Setelah menyimpan hasil ker
“Kurasa pembahasannya sampai di sini dulu. Detailnya akan kita bahas lagi saat rapat berikutnya. Masing-masing divisi jangan lupa untuk merincikan biaya yang diperlukan sebelum diserahkan pada bendahara!” “Baik!” Nana menutup rapat tambahan senja itu dan anak-anak OSIS perlahan membubarkan diri satu persatu dari ruangan. Aizawa-Sensei—pembina OSIS Sakurai Goukou menghampiri Nana, memberikan sejumlah dokumen dan catatan kecil yang akan dibutuhkan dalam persiapan acara ke depannya. Perempuan itu meletakkan tangannya di bahu Nana. “Aku mengandalkanmu.” “Arigatou, Sensei,” balas Nana sopan sembari membungkukkan badan. Setelah mengunci Ruang OSIS dan mengembalikan kuncinya ke ruang guru, Nana berjalan menuju loker untuk mengganti sepatunya. Gadis itu melihat sejenak ke arah loker Izumi meskipun tak ada siapapun di sana. Dering singkat dari ponselnya, membuat Nana tak berlama-lama di sana. Dia berganti sepatu dengan cepat lalu bergegas ke depan sekolah, di mana bibinya sudah menunggu un
Senin, Izumi sudah kembali masuk sekolah seperti biasanya. Tiga hari tak masuk rasanya dia telah melewatkan banyak hal, terutama menyangkut mata pelajarannya. Oleh karena itu dia berusaha mengejar ketertinggalannya dengan meminjam catatan dari Kaito yang secara sukarela memberikannya.Izumi melemaskan persendian tangannya, berusaha mengurangi rasa pegal pada buku-buku jarinya setelah cukup banyak menyalin catatan materi dari Kaito ke bukunya sendiri. Pandangan Izumi menyapu ruang kelas 3-A yang berangsur-angsur sepi. Hanya tinggal dia dan Ichijou yang terlihat sedang bersiap-siap untuk pulang.“Izumi, kau masih belum mau pulang?” tanya Ichijou sambil memasukkan buku terakhir ke dalam tas sekolahnya.Izumi membalasnya dengan gelengan lalu mengangkat catatan yang masih harus dia salin. “Aku akan pulang setelah menyelesaikan ini.”“Kalau begitu, aku duluan. Sampai besok!”“Sampai besok!” balas Izumi.Kelas sudah sepi dan sekarang hanya tinggal dirinya yang ada di sana. Agar tak terlalu b
Izumi mengambil sebuah puding pemberian Yuki dan menyimpan sisanya di dalam kulkas. Saat sedang menyantap pudingnya, tak lama kemudian Ryu yang sudah berganti pakaian ikut bergabung dengan Izumi di ruang makan. Ryu meraih gelas porselen dari atas rak, mengisinya dengan air dari dispenser. Setelah meneguk habis airnya dan meletakkan gelas itu di wastafel, Ryu mendudukkan diri pada kursi berseberangan dengan Izumi.“Mama sedang keluar?” tanya Ryu setelah sepersekian detik melayangkan pandangannya mengitari area dapur dan ruang makan mencari keberadaan Tsubaki.Izumi mengangguk singkat. Dia mengangkat puding apelnya, menawarkannya pada Ryu. “Kau mau? Di kulkas masih ada.”Ryu menggelengkan kepala. Sebaliknya tangan pemuda itu menjangkau toples berisi cookies dan crackers yang sebelumnya dibawa oleh Izumi. “Ini, aku baru melihatnya. Apa mama yang membelinya?”“Ah, itu Mr. Sharon—pemilik rumah yang kami sewa di Amerika dulu, mengirimkannya untukku. Makan saja kalau kau mau,” ujar Izumi.“S
Usai makan siang dan meminum obatnya, Izumi duduk berselonjor pada tempat tidurnya. Irama piano mengalun dengan lembut melalui earphone yang terpasang di telinganya, menemani Izumi yang tengah asyik membaca manga milik Ryu yang baru sekarang sempat dia baca lagi. Lembar demi lembar habis dilahapnya. Semakin jauh halaman yang dia buka, Izumi merasa cerita itu semakin menarik. Penggambaran setiap karakter dalam cerita itu membuat imajinasinya terasa semakin hidup. Habis satu buku itu dibaca, rasa penasaran Izumi semakin menjadi untuk mengetahui kelanjutan ceritanya. Dalam hati dia sedikit menyayangkan mengapa hanya meminjam satu volume saja. Sepertinya aku harus meminjam lanjutannya nanti, batin Izumi. Dia menguap kecil. Rasa kantuk mulai menghampirinya membuat Izumi memilih untuk tertidur sejenak. Izumi menutup kelopak matanya. Earphone yang terpasang di telinganya sejak tadi terus memutar lagu yang sama. Irama piano itu masih terus mengalun menemaninya hingga ke alam mimpi. [Tadaima,
Tiga hari dirawat di rumah sakit, kondisi Izumi semakin membaik dari hari ke hari. Dia tak lagi menghabiskan waktunya dengan berbaring di atas ranjang. Tenaganya kini bahkan sudah cukup kuat untuk membawa kakinya beranjak keluar dari ruang rawatnya. Meskipun selang infus masih belum dilepas dari tangan kirinya. Akan tetapi terlepas dari hal itu Izumi merasa tubuhnya sudah sehat kembali. Sore itu Izumi berdiri menatap pemandangan yang terlihat dari jendela kamar rawatnya. Di ruangan itu kini hanya ada dirinya. Sejak merasa membaik Izumi memberitahu Tsubaki agar tidak perlu menemaninya sepanjang waktu. Dia juga meminta wanita itu untuk pulang agar bisa beristirahat di rumah. Izumi tahu Tsubaki tak pernah mempermasalahkannya. Namun dia merasa tidak enak hati karena jam istirahat wanita itu banyak terpotong karena mengurusnya selama tiga hari ini. “Perawat tadi bilang kamar nomor berapa?” “Berapa, ya? Aku lupa, antara 209 atau 210?” “210. Itu namanya tertulis di samping pintu.” Izumi
Pagi hari saat membuka mata, Izumi mendapati wajah ibunya yang masih tertidur di samping ranjangnya. Setelah sekian lama itu pertama kalinya Izumi melihat ibunya dari jarak sedekat ini. Dipandangnya sosok itu dengan lekat. Wajah Tsubaki terlihat lelah, membuat Izumi berpikir kalau wanita itu tak tidur dengan nyenyak semalaman karena menunggunya. Mungkin saja wanita itu baru bisa memejamkan mata belum lama ini. Saat memperhatikan wajah ibunya, Izumi baru menyadari ada kerutan samar pada wajah wanita itu yang menandakan kalau usianya sudah bertambah banyak sejak terakhir kali mereka bertemu. Antara sadar dan tidak, tangan Izumi terangkat hendak menyentuh wajah itu. Namun ketika menangkap ada gerakan dari kelopak mata Tsubaki yang terpejam, Izumi dengan cepat menurunkannya tangannya dan pura-pura tertidur. Tsubaki sepertinya sudah mulai terbangun dan Izumi bisa merasakan tangan wanita itu menyentuh keningnya sambil bergumam pelan. “Sepertinya demamnya sudah turun.” Lalu terdengar suara