Matahari hampir tergelincir di ufuk barat ketika Izumi membuka kedua matanya. Pandangannya bergulir menelusuri sekeliling kamarnya yang mulai dipenuhi cahaya matahari yang berwarna keemasan. Izumi bangun dari kasurnya lalu melakukan peregangan untuk merenggangkan persendiannya yang sedikit kaku—terutama di bagian lehernya. Iris obsidiannya lalu menatap jam weker kecil yang bertengger di atas nakas samping tempat tidurnya. Jarum pendek berwarna hitam itu menunjuk angka lima. Sudah jam segini, sejak kapan aku tertidur? batin Izumi. Pemuda itu kemudian berjalan menuju kamar mandi untuk membasuh wajahnya. Aliran air yang sedikit dingin namun sejuk membuat seluruh jaringan saraf di wajah Izumi terasa segar kembali. Ia menatap lurus ke depan melihat wajahnya sendiri yang terpantul dari cermin yang terpasang di hadapannya. Butir-butir air terlihat menetes dari ujung rambutnya yang basah yang kemudian Izumi seka dengan segera menggunakan handuk yang tergantung di sisi kanannya.
Keluar dari kamar mandi kali ini Izumi berjalan ke tempat koper dan tas punggungnya diletakkan. Setelah mengambil barang yang ia butuhkan dari dalam tasnya, Izumi melangkah ke tepi jendela. Izumi mendudukkan diri di sana. Pandangannya tertuju ke arah luar menatap langit sore di luar sana. Beruntungnya kamar yang Izumi tempati saat ini memiliki jendela yang menghadap ke arah barat. Sehingga ia bisa menikmati senja yang selama ini menjadi hal favorit baginya. Selagi menikmati pemandangan Izumi menghidupkan ponselnya. Beberapa saat kemudian ponsel itu berdering singkat, tanda e-mail masuk yang segera dibuka oleh Izumi. Ternyata dari Ms. Sharon yang menanyakan kabar Izumi setelah tiba di Jepang. Seulas senyum tipis terbit di wajah Izumi ketika membaca kalimat terakhir dari pesan yang dikirim oleh Ms. Sharon kepadanya.
Whenever you want to come back—kapanpun kau ingin kembali, jangan ragu untuk memberi kabar. Kami akan selalu menyambutmu di rumah ini. Bagiku dan Andrew, kau sudah seperti putra kami sendiri, Izumi.
Hatinya tersentuh dengan kebaikan kedua pasangan itu kepada dirinya. Sepuluh tahun terakhir tinggal di Amerika, ia dan ayahnya banyak mendapat bantuan dari Ms. dan Mr. Sharon. Terutama ketika dirinya terpuruk setelah ayahnya meninggal di akhir musim dingin tiga bulan yang lalu, kedua suami istri itulah yang selalu berada di sisinya. Mengingat hal itu Izumi mendadak merindukan mereka berdua meskipun baru satu hari terlewati sejak ia meninggalkan Amerika. Tanpa menunggu lama Izumi segera menuliskan e-mail balasan kepada Ms. Sharon. Lalu setelah memastikan e-mail itu terkirim, Izumi kini meraih earphone-nya dan menancapkan ujung benda itu pada ponselnya dan mulai memutar musik dari playlist-nya. Namun belum sempat earphone itu terpasang di telinganya, tiba-tiba sebuah ketukan pelan dari depan pintu membuat perhatiannya teralihkan. Izumi bangkit dari duduknya lalu melangkah menuju pintu. Ponsel dan earphone yang tadi ia pegang dilempar sembarangan ke atas kasur. Ia memutar kunci pintu kamarnya lalu melongokkan kepala dari pintu yang sengaja ia buka sedikit.
Di depan pintu kamarnya Tsubaki—ibunya berdiri sambil tersenyum. “Boleh Mama masuk?” tanya Tsubaki. Izumi mengangguk singkat lalu membuka pintu kamarnya lebih lebar. “Mama membawakanmu kue,” ujar Tsubaki sembari meletakkan nampan yang ia bawa di atas meja. “Lalu ini seragam sekolah barumu,” ia meletakkan paper bag berwarna putih yang juga ikut dibawanya di samping nampan tadi. “Besok Izumi-kun mulai belajar di sekolah yang sama dengan Ryu-kun. Berkas kepindahannya sudah siap?” tanya Tsubaki.
“Hn, sudah,” balas Izumi singkat. Ia mengalihkan pandangan ke sembarang arah agar tak bertemu pandang dengan mata ibunya. Tsubaki yang menyadari hal itu dalam hati hanya bisa menghela napas pelan.
“Mama bisa mengurusnya untukmu,” tawar Tsubaki.
“Daijoubu—tak apa. Aku bisa melakukannya sendiri,” tolak Izumi.
“Aa baiklah. Mama turun dulu, makanlah kuenya. Izumi-kun, tadi kau tak makan siang. Bahkan kau tak keluar ketika Ryu-kun mengajakmu turun ke ruang makan.”
“Aku ketiduran,” balas Izumi. Dia memang tertidur sepulang dari taman tadi dan baru bangun beberapa waktu yang lalu.
“Begitu rupanya. Ah, Mama ke bawah dulu untuk menyiapkan makan malam.” Setelah berkata begitu Tsubaki keluar meninggalkan Izumi kembali sendirian di kamarnya.
Izumi menyandarkan punggungnya diujung tempat tidurnya. Pandangannya menengadah menatap langit-langit sebelum akhirnya kedua iris itu kini tertuju pada paper bag di mejanya. Haruskah aku melakukan semua ini Tou-san, batin Izumi lalu menghela napas panjang.
Tepat pukul tujuh malam, pintu kamar Izumi kembali diketuk. Disusul dengan suara Ryu yang memberitahunya kalau ibunya sudah menunggu Izumi untuk makan malam. Setelah mengatakan hal itu Izumi bisa mendengar suara langkah kaki Ryu yang terburu-buru menjauhi kamarnya. Mungkin pemuda itu merasa canggung dengannya setelah kejadian tadi siang. Sambil membawa nampan berisi kue yang tak habis dimakannya, Izumi keluar dari kamarnya. Sesaat setelah menutup pintu ia tersadar, dirinya belum tahu letak ruang makan di rumah ini. Dan sekarang Ryu yang tadi memanggilnya malah sudah tak kelihatan lagi. Dasar bodoh, gerutu Izumi dalam hati yang tak jelas ditujukan kepada siapa.
Di ujung tangga tanpa diduga Ryu berdiri menunggunya. Mungkin Ryu juga sadar kalau Izumi belum tahu harus kemana. “Dapur dan ruang makannya di sebelah sini,” ujar Ryu ketika Izumi sudah berdiri di dekatnya. Ia berjalan duluan sedangkan Izumi mengikuti dari belakang tanpa suara. Sesampainya di ruang makan Tsubaki sudah berada di sana—duduk menunggu mereka di depan meja yang penuh dengan makanan yang menggugah selera. Air muka wanita itu melembut begitu melihat Ryu dan Izumi berjalan bersama.
“Duduklah,” ujar Tsubaki. Ia beranjak sebentar dari kursinya untuk meletakkan nampan yang Izumi bawa di tempat cucian piring. Alis Tsubaki sedikit bertaut ketika melihat potongan cheese cake yang tersisa setengah di atas piring Izumi. Dia tak menyukainya kah? batin Tsubaki lalu kembali ke meja makan.
“Tou-san tidak pulang?” tanya Ryu yang sedikit heran karena di atas meja hanya terhidang makanan untuk porsi tiga orang. Tsubaki menggeleng.
“Makoto-san bilang dia akan pulang sedikit larut malam ini,” balas Tsubaki.
“Souka,” ujar Ryu lalu mendudukkan diri di kursi sebelah Izumi.
Setelah mengucap pelan kata ‘itadakimasu’ Izumi, Ryu, dan Tsubaki mulai menikmati makan malam mereka. Sesekali kalimat pujian dilontarkan oleh Ryu yang memuji lezatnya masakan Tsubaki. Sedangkan Izumi lebih banyak terdiam. Sejujurnya pemuda itu memang tak mengatakan apapun selain kata ‘itadakimasu’ tadi. Dan sikap diam Izumi mengundang pertanyaan dari Tsubaki apakah pemuda itu menyukai masakannya atau tidak. Maka wanita itupun memutuskan untuk bertanya.
“Ada apa Izumi-kun? Kau tak suka? Apa rasa makanannya aneh?”
“Tidak, tak ada yang masalah dengan rasanya,” balas Izumi lalu kembali menyuapkan potongan steak ke dalam mulutnya.
Pandangan Tsubaki terus tertuju pada Izumi sampai-sampai mengabaikan makan malamnya. Potongan steak yang tersisa lebih dari setengah ia biarkan begitu saja. Iris violetnya memperhatikan Izumi dengan seksama, sedikit tak percaya kalau setelah sekian lama ia akhirnya bisa makan bersama dengan putranya lagi. Rasa rindu yang begitu besar terpancar dari kedua matanya.
“Gochisousama.”
Suara Ryu menyadarkan Tsubaki. Ia mengalihkan perhatiannya yang sejak tadi tertuju pada Izumi lalu menatap Ryu yang baru saja menyelesaikan makan malamnya. “Mau tambah lagi, Ryu-kun?” tanya Tsubaki.
“Iie, aku sudah kenyang, Ma. Boleh aku keluar duluan? Aku lupa mengganti tempat minum Kuma,” pinta Ryu.
Setelah mendapat anggukan setuju dari ibunya, Ryu berdiri dari kursinya lalu berjalan keluar dari ruang makan membiarkan kakak dan ibunya berdua di sana. Mengganti tempat minum Kuma sebenarnya hanya alasan Ryu. Dia hanya ingin membiarkan Tsubaki berdua dengan putra kandungnya. Ketika makan tadi Ryu tahu perhatian wanita itu terus tertuju pada Izumi. Dari kedua iris violet itu Ryu bisa melihat kerinduan yang amat dalam terpancar di sana. Tsk, menyebalkan. Kenapa sekarang aku malah merasa terancam? batin Ryu kesal.
Ia membuka pintu depan lalu melangkah menuju kandang Kuma. Anjing coklat itu mengonggong dengan antusias begitu melihatnya. Ia langsung berlari keluar dari kandangnya menyambut tuannya. Ryu mengelus kepala Kuma sekilas lalu mendudukkan dirinya di teras menatap langit malam yang bertabur bintang.
Ryu menghela napas berat. Ada sesuatu yang mengganjal di dalam perasaannya. Melihat Tsubaki tersenyum lembut kepada Izumi entah mengapa membuat Ryu merasa terganggu, karena selama ini senyuman itu selalu tertuju kepada dirinya.
Apa sekarang aku sedang cemburu pada kakak tiriku?
Ryu tiba-tiba menertawakan dirinya sendiri. Konyol sekali, dia kini terlihat seperti anak kecil yang merasa terancam dengan saudaranya yang lain karena khawatir kehadirannya akan merebut perhatian orang tuanya.
“Izumi-kun—” panggil Tsubaki ketika Izumi telah menghabiskan potongan terakhir steak-nya. Wanita itu tak langsung melanjutkan ucapannya. Sebaliknya ia menunggu Izumi terlebih dulu meneguk isi gelasnya. Lalu ketika pemuda itu meletakkan kembali gelasnya yang sudah kosong, Tsubaki meneruskan kalimatnya. “—bagaimana kabarmu?” mungkin sedikit terlambat kalau ia baru menanyakannya sekarang. Namun Tsubaki tahu, Izumi menangkap maksud pertanyaannya.“Kami baik-baik saja selama sepuluh tahun ini jika itu yang ingin Anda ketahui. Meskipun Anda meninggalkan kami,” jawab Izumi. Ia mengucapkan kalimat terakhirnya dengan nada lirih. Sangat lirih hampir tak terdengar bahkan oleh Tsubaki.“Takumi— ”Mendengar nama ayahnya disebut Izumi tersenyum sinis. Ia membalas tatapan ibunya dengan ekspresi mencibir. “Untuk apa bertanya tentang ayahku? Mengharapkan cerita kalau beliau memanggil nama A
Bel istirahat berdering nyaring tepat ketika Asahi-Sensei menyelesaikan penjelasan mata pelajaran Sejarah Jepang yang beliau ajarkan. Setelah mengucapkan kata sampai jumpa kepada siswanya Asahi-Sensei—guru laki-laki muda yang Izumi tebak masih berusia dua puluhan akhir itu membawa bukunya dan berjalan meninggalkan kelas. Setelah Asahi-Sensei keluar sebagian siswa juga ikut keluar entah untuk makan siang atau melakukan kegiatan yang lain. Dari tempat duduknya Izumi melayangkan pandang ke luar jendela. Hampir saja ia tenggelam dalam lamunannya kalau saja seseorang tidak menghampirinya. “A-ano … Yoshino-kun?” Izumi menoleh menatap gadis berambut hitam sebahu yang berdiri di dekat mejanya. Gadis itu Ketua OSIS yang kebetulan satu kelas dengannya yang dimintai tolong oleh Asahi-Sensei sebelumnya untuk membawa Izumi berkeliling mengenal area sekolah ketika jam istirahat. Jadi karena itu dia menghampiri Izumi. “
Kali ini tanpa Maps dan drama tersesat, Izumi pun tiba di rumah. Setelah mengucapkan salam, ia menyimpan sepatunya di rak sepatu dan menggantinya dengan slipper yang khusus disediakan untuk dipakai di dalam ruangan. Suara orang dewasa yang berbicang dari arah ruang tamu sayup-sayup tertangkap oleh indra pendengarannya. Tanpa menaruh rasa penasaran dengan hal itu, pemuda itu bergegas menuju kamarnya. Setelah mengganti seragam sekolahnya, Izumi bersantai sambil memainkan ponselnya. Ia menggeser layar ponselnya, melihat satu persatu hasil jepretannya sore ini. Lumayan, pikir Izumi. Rasa haus yang mendadak datang membuat tenggorokan Izumi terasa kering. Pemuda itu meletakkan ponselnya lalu melangkah turun ke dapur. “Ah, Izumi-kun, kapan pulangnya?” sambut Tsubaki ketika Izumi memasuki dapur. Wanita itu tengah menuangkan ocha dari teko ke dalam gelas yang nantinya akan disuguhkan kepada tamu-tamunya. “Bagaimana hari pertamamu d
Setelah jam sekolah berakhir, seperti biasa Izumi tak langsung pulang. Menghabiskan waktu menatap pemandangan dari jendela kelasnya kini menjadi kebiasaan barunya. Riuh rendah suara anak-anak klub olahraga sayup-sayup terdengar di telinga Izumi, membuat pemuda itu mengarahkan pandangannya ke bawah menatap anak-anak klub basket yang tengah berlatih di lapangan. Iris obsidian milik Izumi tak sengaja menangkap sosok seorang gadis yang tengah menyapa salah seorang anggota klub basket yang sedang beristirahat. Izumi mengenal kedua orang itu. Gadis itu adalah Misumi Nana, teman sekelasnya. Lalu orang yang disapa olehnya adalah Ryu. Entah apa yang mereka bicarakan. Namun dari bahasa tubuh mereka Izumi bisa melihat kalau mereka berdua akrab satu sama lain. Tanpa sadar Izumi menghela napas panjang. Ia meraih tasnya lalu beranjak meninggalkan ruang kelas yang sudah kosong. Ketika melewati koridor di lantai satu Izumi tak sengaja melihat Yuki. Gadis itu baru saja keluar dari ruang guru
Setelah itu ia tak menyinggung apapun tentang Izumi atau keluarganya. Izumi pun demikian, pemuda itu tak mengatakan apapun. Mereka berdua kembali berjalan dalam keheningan. Sampai di persimpangan tempat mereka biasa berpisah jalan, Izumi dan Yuki mengambil arah yang berbeda. Izumi tetap lurus, sedangkan Yuki mengambil jalan berbelok yang mengarah langsung menuju tempat tinggalnya. Izumi sempat menawarkan diri untuk mengantar gadis itu pulang sebagai balasan karena telah menemaninya sore ini. Namun Yuki menolak dengan alasan rumahnya tak jauh dari tempat mereka. Izumi pun mengalah. “Kalau begitu, sampai besok!” ucap Izumi. “Un, hati-hati di jalan, Senpai!” balas Yuki dengan nada riang seperti biasanya. Gadis itu melambaikan tangan sekilas kepada Izumi lalu berbalik melangkah. Di belakang, Izumi terus memperhatikan punggung Yuki yang bergerak semakin menjauh. Rambut silver panjang gadis itu terlihat begitu berkilau tertimpa cahaya lampu yang menyala di
Hari-hari berlalu sebagaimana adanya. Ujian tengah semester di Sakurai Goukou pun dimulai begitu Bulan Mei masuk minggu ketiga. Dan untuk sementara, semua kegiatan klub diliburkan sampai ujian selesai. Di hari pertama pelaksanaan ujian sebelum berangkat ke sekolah, Izumi menikmati sarapannya dengan tenang. Berkebalikan dengan Ryu, pemuda itu sejak tadi terlihat sedikit gusar. Pandangannya terfokus pada buku catatan yang ada di tangan kirinya. Sedangkan tangan kanannya yang memegang sumpit bergerak tanpa memperhatikan letak makanan yang akan diambilnya. Hampir saja sumpit kayu itu mendarat dalam gelas ocha-nya.“Ryuzaki, letakkan bukumu sejenak dan makanlah dengan benar!” tegur Makoto.Ryu melepaskan pandangannya dari buku yang sedari tadi menyita perhatiannya. Saat ia mengangkat wajah, Ryu melihat sepasang iris obsidian milik ayahnya tengah menatapnya dengan tajam. Tanpa diminta dua kali, Ryu meletakkan buku itu di sampingnya tanpa menutup
Setelah tiga hari lamanya, ujian tengah semester yang menguras otak akhirnya berakhir. Asahi-Sensei yang menjadi pengawas ujian di hari terakhir memberikan pengumuman sebelum meninggalkan kelas kalau hasil ujian akan keluar setelah sepuluh hari. Izumi membereskan alat tulisnya sambil menghembuskan napas lega. Setidaknya setelah ini dia bisa bersantai sejenak sambil menunggu pengumuman hasil ujian. Dia merasa cukup percaya diri kalau nilainya akan baik-baik saja karena sudah mempersiapkan diri dengan baik untuk menghadapi ujian ini. Namun ada satu hal yang mengganggu pikirannya. Izumi tak yakin nilai ujian Bahasa Jepangnya akan sebaik mata pelajaran yang lainnya. Jujur saja, Izumi ragu apakah dia akan lulus di mata pelajaran itu. Tumbuh besar di luar negeri ditambah sekolahnya dari SD sampai SMA satupun tak ada yang mengajarkan mata pelajaran Bahasa Jepang. Meskipun tak kesulitan berbicara dalam bahasa Jepang, Izumi akui dia benar-benar kurang di bagian menulis.
“Jadi begitu, Yoshino-kun ke sini dengan Kaito dan yang lainnya,” ujar Nana setelah mendengar penjelasan Izumi.“Nana tinggal di daerah ini?” tanya Izumi.“Un, rumahku tak jauh dari sini. Kalau Yoshino-kun?”“Aku tinggal di Setagaya,” balas Izumi.“Aa souka.”Baik Nana maupun Izumi tak mengatakan apa-apa setelah itu. Keduanya terdiam, membiarkan suara burung-burung mengisi keheningan di antara mereka. Iris obsidian Izumi kembali tertuju ke arah matahari sore yang terlihat akan terbenam beberapa menit ke depan. Sedangkan Nana yang duduk di sebelahnya memutar-mutar setangkai dandelion yang dipetiknya.Kenapa suasananya jadi canggung begini? batin Nana dan Izumi bersamaan.Izumi mendadak berdiri, membuat Nana menengadah menatapnya. “Gomen, Nana. Aku mau pulang duluan,” ujar Izumi.“Eh? Hati-hati di jalan,&rdqu
"Pagi!" Seperti biasa Yuki membalas sapaan anak yang menyapanya dengan ceria. Gadis itu melangkah dengan santai menuju loker sepatunya sambil sesekali bersenandung kecil. Ditariknya pintu loker besi itu dengan pelan. Tak disangka puluhan kaleng bekas berkelontang dari dalam lokernya dan jatuh berserakan di lantai, mengundang perhatian anak-anak yang lainnya untuk melihat apa yang terjadi. "Apa-apaan ini?!" Yuki menatap lokernya sendiri yang dipenuhi oleh sampah kaleng bekas. Terdapat secarik kertas ditempel dengan selotip di bagian dalam lokernya. Yuki menarik lepas kertas itu, membaca rangkaian huruf yang ditulis dengan tinta merah menyala. 'ENYAH KAU!!' begitu bunyi kalimat yang tertulis di sana. "Yuki!" Terlihat seorang gadis menyeruak di antara kerumunan anak-anak yang ada di sana, menghampiri Yuki dengan tergesa. "Anna." "Apa yang terjadi? Siapa yang melakukan ini padamu?" tanya gadis yang dipanggil Anna itu. Raut wajah Anna penuh dengan kekhawatiran melihat kejadian yang
Waktu berlalu, hari berganti. Para siswa kelas tiga semakin disibukkan dengan persiapan ujian masuk perguruan tinggi. Kesibukan itu, membuat Izumi perlahan lupa dengan suratnya. Eksistensi benda itu hampir menghilang sepenuhnya dari kepala Izumi, kalau saja dia tak menemukan setangkai krisan putih di loker sepatunya, kira-kira satu minggu setelah kejadian surat tanpa nama itu. Terdapat selembar kertas yang digulung kemudian diikat pada tangkai krisan itu, seolah seperti sebuah pita. Izumi melepas ikatannya, membaca sebaris kalimat pendek yang tertulis di sana. Musim ujian semakin dekat. Senpai, semangat! Izumi menengok kiri-kanan, berpikir mungkin masih ada jejak keberadaan orang yang meletakkan krisan itu di sekitar sana namun nihil. Memang area loker cukup ramai dengan lalu datang anak-anak yang berganti sepatu. Akan tetapi mereka terlihat tak terlalu peduli dan sibuk dengan urusan masing-masing. Menghela napas pendek, Izumi melipat kertas itu, mengikatnya kembali ke bentuk semul
Selesai makan malam dan mengerjakan tugasnya, Izumi mengutak-atik kameranya. Foto-foto hasil jepretannya beberapa hari yang lalu dia pindahkan ke dalam laptopnya. Izumi lantas memilih salah satu dari sekian foto, mengeditnya agar terlihat lebih menarik. Raut wajahnya terlihat fokus. Waktu semakin berlalu dan Izumi semakin tenggelam dalam kegiatannya. Sesekali dia membuka ponselnya, mencari tutorial di internet saat menemukan kesulitan dalam menggunakan fungsi fitur-fitur yang tersedia pada perangkat lunak yang dia gunakan untuk mengedit. "Sulit juga," ujar Izumi. Setidaknya butuh waktu satu setengah jam baginya untuk selesai mengedit satu foto. Setelah lama tidak berkecimpung lagi dengan hal-hal yang berkaitan dengan fotografi, Izumi merasa kemampuannya di bidang itu juga ikut menurun. Dulu ketika masih aktif di klub fotografi, untuk mengedit satu foto biasanya dia hanya butuh waktu sekitar dua puluh menit dan sekitar satu jam jika itu berupa foto potret. Setelah menyimpan hasil ker
“Kurasa pembahasannya sampai di sini dulu. Detailnya akan kita bahas lagi saat rapat berikutnya. Masing-masing divisi jangan lupa untuk merincikan biaya yang diperlukan sebelum diserahkan pada bendahara!” “Baik!” Nana menutup rapat tambahan senja itu dan anak-anak OSIS perlahan membubarkan diri satu persatu dari ruangan. Aizawa-Sensei—pembina OSIS Sakurai Goukou menghampiri Nana, memberikan sejumlah dokumen dan catatan kecil yang akan dibutuhkan dalam persiapan acara ke depannya. Perempuan itu meletakkan tangannya di bahu Nana. “Aku mengandalkanmu.” “Arigatou, Sensei,” balas Nana sopan sembari membungkukkan badan. Setelah mengunci Ruang OSIS dan mengembalikan kuncinya ke ruang guru, Nana berjalan menuju loker untuk mengganti sepatunya. Gadis itu melihat sejenak ke arah loker Izumi meskipun tak ada siapapun di sana. Dering singkat dari ponselnya, membuat Nana tak berlama-lama di sana. Dia berganti sepatu dengan cepat lalu bergegas ke depan sekolah, di mana bibinya sudah menunggu un
Senin, Izumi sudah kembali masuk sekolah seperti biasanya. Tiga hari tak masuk rasanya dia telah melewatkan banyak hal, terutama menyangkut mata pelajarannya. Oleh karena itu dia berusaha mengejar ketertinggalannya dengan meminjam catatan dari Kaito yang secara sukarela memberikannya.Izumi melemaskan persendian tangannya, berusaha mengurangi rasa pegal pada buku-buku jarinya setelah cukup banyak menyalin catatan materi dari Kaito ke bukunya sendiri. Pandangan Izumi menyapu ruang kelas 3-A yang berangsur-angsur sepi. Hanya tinggal dia dan Ichijou yang terlihat sedang bersiap-siap untuk pulang.“Izumi, kau masih belum mau pulang?” tanya Ichijou sambil memasukkan buku terakhir ke dalam tas sekolahnya.Izumi membalasnya dengan gelengan lalu mengangkat catatan yang masih harus dia salin. “Aku akan pulang setelah menyelesaikan ini.”“Kalau begitu, aku duluan. Sampai besok!”“Sampai besok!” balas Izumi.Kelas sudah sepi dan sekarang hanya tinggal dirinya yang ada di sana. Agar tak terlalu b
Izumi mengambil sebuah puding pemberian Yuki dan menyimpan sisanya di dalam kulkas. Saat sedang menyantap pudingnya, tak lama kemudian Ryu yang sudah berganti pakaian ikut bergabung dengan Izumi di ruang makan. Ryu meraih gelas porselen dari atas rak, mengisinya dengan air dari dispenser. Setelah meneguk habis airnya dan meletakkan gelas itu di wastafel, Ryu mendudukkan diri pada kursi berseberangan dengan Izumi.“Mama sedang keluar?” tanya Ryu setelah sepersekian detik melayangkan pandangannya mengitari area dapur dan ruang makan mencari keberadaan Tsubaki.Izumi mengangguk singkat. Dia mengangkat puding apelnya, menawarkannya pada Ryu. “Kau mau? Di kulkas masih ada.”Ryu menggelengkan kepala. Sebaliknya tangan pemuda itu menjangkau toples berisi cookies dan crackers yang sebelumnya dibawa oleh Izumi. “Ini, aku baru melihatnya. Apa mama yang membelinya?”“Ah, itu Mr. Sharon—pemilik rumah yang kami sewa di Amerika dulu, mengirimkannya untukku. Makan saja kalau kau mau,” ujar Izumi.“S
Usai makan siang dan meminum obatnya, Izumi duduk berselonjor pada tempat tidurnya. Irama piano mengalun dengan lembut melalui earphone yang terpasang di telinganya, menemani Izumi yang tengah asyik membaca manga milik Ryu yang baru sekarang sempat dia baca lagi. Lembar demi lembar habis dilahapnya. Semakin jauh halaman yang dia buka, Izumi merasa cerita itu semakin menarik. Penggambaran setiap karakter dalam cerita itu membuat imajinasinya terasa semakin hidup. Habis satu buku itu dibaca, rasa penasaran Izumi semakin menjadi untuk mengetahui kelanjutan ceritanya. Dalam hati dia sedikit menyayangkan mengapa hanya meminjam satu volume saja. Sepertinya aku harus meminjam lanjutannya nanti, batin Izumi. Dia menguap kecil. Rasa kantuk mulai menghampirinya membuat Izumi memilih untuk tertidur sejenak. Izumi menutup kelopak matanya. Earphone yang terpasang di telinganya sejak tadi terus memutar lagu yang sama. Irama piano itu masih terus mengalun menemaninya hingga ke alam mimpi. [Tadaima,
Tiga hari dirawat di rumah sakit, kondisi Izumi semakin membaik dari hari ke hari. Dia tak lagi menghabiskan waktunya dengan berbaring di atas ranjang. Tenaganya kini bahkan sudah cukup kuat untuk membawa kakinya beranjak keluar dari ruang rawatnya. Meskipun selang infus masih belum dilepas dari tangan kirinya. Akan tetapi terlepas dari hal itu Izumi merasa tubuhnya sudah sehat kembali. Sore itu Izumi berdiri menatap pemandangan yang terlihat dari jendela kamar rawatnya. Di ruangan itu kini hanya ada dirinya. Sejak merasa membaik Izumi memberitahu Tsubaki agar tidak perlu menemaninya sepanjang waktu. Dia juga meminta wanita itu untuk pulang agar bisa beristirahat di rumah. Izumi tahu Tsubaki tak pernah mempermasalahkannya. Namun dia merasa tidak enak hati karena jam istirahat wanita itu banyak terpotong karena mengurusnya selama tiga hari ini. “Perawat tadi bilang kamar nomor berapa?” “Berapa, ya? Aku lupa, antara 209 atau 210?” “210. Itu namanya tertulis di samping pintu.” Izumi
Pagi hari saat membuka mata, Izumi mendapati wajah ibunya yang masih tertidur di samping ranjangnya. Setelah sekian lama itu pertama kalinya Izumi melihat ibunya dari jarak sedekat ini. Dipandangnya sosok itu dengan lekat. Wajah Tsubaki terlihat lelah, membuat Izumi berpikir kalau wanita itu tak tidur dengan nyenyak semalaman karena menunggunya. Mungkin saja wanita itu baru bisa memejamkan mata belum lama ini. Saat memperhatikan wajah ibunya, Izumi baru menyadari ada kerutan samar pada wajah wanita itu yang menandakan kalau usianya sudah bertambah banyak sejak terakhir kali mereka bertemu. Antara sadar dan tidak, tangan Izumi terangkat hendak menyentuh wajah itu. Namun ketika menangkap ada gerakan dari kelopak mata Tsubaki yang terpejam, Izumi dengan cepat menurunkannya tangannya dan pura-pura tertidur. Tsubaki sepertinya sudah mulai terbangun dan Izumi bisa merasakan tangan wanita itu menyentuh keningnya sambil bergumam pelan. “Sepertinya demamnya sudah turun.” Lalu terdengar suara