Sejuknya udara musim semi menyambut Izumi begitu pemuda itu membuka pintu depan. Di halaman sosok pemuda yang ia kenali sebagai Ryu tampak sedang asyik bermain dengan seekor anjing berwarna coklat. Dengan sedikit canggung Izumi melangkah menghampiri Ryu dan anjingnya. Begitu melihat Izumi, anjing itu berlari ke arahnya lalu mengendus kaki pemuda itu dengan antusias. “Sepertinya Kuma menyukaimu, Kak. Biasanya dia tak seramah ini pada orang yang baru dilihatnya,” komentar Ryu.
“Jadi namamu Kuma, ya?” ujar Izumi sembari berjongkok lalu mengelus kepala Kuma. Anjing coklat itu menjulurkan lidah sambil mengibaskan ekornya dengan girang. Ryu yang melihat interaksi antara Izumi dengan Kuma tersenyum tipis.
“Mau ikut mengajaknya jalan-jalan?” tawar Ryu yang disusul oleh anggukan singkat dari Izumi.
Suasana kawasan perumahan tempat tinggal keluarga Nakagawa tampak begitu lengang pagi itu. Selagi berjalan Izumi melihat sekelilingnya dengan seksama. Rumah-rumah yang berderet di tepi jalan itu terlihat begitu mewah, jelas sekali kalau daerah itu adalah termasuk kawasan perumahan elit.
“Apa di Amerika juga ada bunga Sakura?” tanya Ryu selagi mereka berjalan.
Izumi mengangguk. “Un. Tapi tidak sebanyak di sini,” jawab Izumi. Ingatannya tiba-tiba memutar kenangan ketika ia dan ayahnya mengunjungi Botanic Garden di New York saat musim semi setahun yang lalu. Musim semi terakhir Izumi bersama sang ayah, Yoshino Takumi. “Izumi, kau tahu. Setiap kali melihat sakura di sini, Tou-san berharap agar suatu saat nanti kita bisa melihat sakura langsung di Jepang. Tou-san pikir sakura di sana lebih indah daripada yang di sini.” Ucapan Yoshino Takumi kembali terngiang di telinga Izumi, membuat pemuda itu tersenyum pahit. Apanya yang beda, sakura di mana-mana terlihat sama. Tou-san, batin Izumi.
“Kak, kau baik-baik saja?” tanya Ryu yang menyadari perubahan ekspresi Izumi.
“Eh? Ah, ya. Aku tak apa,” balas Izumi yang tersadarkan dari lamunannya karena pertanyaan Ryu.
Setelah berjalan sekitar lima belas menit Ryu mengajak Izumi berhenti di area taman. Taman itu terlihat begitu asri. Banyak pohon sakura yang tengah bermekaran tumbuh di tempat itu.
“Kuma suka bermain di tempat ini. Bukan begitu, Kuma?”
Kuma membalas pertanyaan tuannya dengan gonggongan sebagai tanda setuju. Lalu tanpa diduga anjing itu tiba-tiba berlari kencang, membuat Ryu yang memegang tali kekangnya sedikit terseret mengikuti langkahnya. “Chotto! Jangan tiba-tiba lari seperti ini!” protes Ryu. Namun anjing itu tak menghiraukannya dan malah terus berlari dengan semangat. “Gomen, Kak! Akan kutunggu di depan sana!” teriak Ryu pada Izumi yang tertinggal beberapa langkah di belakang.
Kepala Izumi refleks mengangguk meskipun ia tahu Ryu tak melihatnya. Pemuda itu kemudian meneruskan langkahnya menyusul Ryu dan Kuma yang kini mulai tak terlihat dari pandangan. Di tengah perjalanan tiba-tiba alunan musik biola sayup-sayup tertangkap oleh indra pendengaran Izumi. Pemuda itu menghentikan langkahnya. Beberapa meter di sebelah kanannya sosok gadis berambut sillver yang berdiri membelakangi Izumi tengah memainkan biolanya dengan khidmat. Berlatarkan langit biru tanpa awan, pohon sakura yang bermekaran, ditambah dengan semilir angin yang menggugurkan beberapa kelopak sakura menimpa kepala sang gadis membuat Izumi terkesima melihat sosoknya. Tanpa Izumi sadari kedua kakinya kini bergerak sendiri, membawanya mendekat ke arah gadis itu.
Seakan sadar akan kehadiran Izumi, gadis itu menghentikan permainan biolanya dan berbalik menghadapnya. Pandangan mereka beradu beberapa detik sebelum akhirnya gadis itu membawa langkahnya mendekat ke arah Izumi. “Ada sesuatu yang bisa saya bantu?” tanya gadis itu dengan ramah. Ia tersenyum hingga membuat kedua matanya menyipit.
“Ah t-tidak,” balas Izumi. Dalam hati ia mengutuk suaranya sendiri yang mendadak gagap. “Aku hanya tertarik karena mendengar permainan biolamu. Kau memainkan lagunya dengan baik. Aku suka,” tambah Izumi yang sesaat kemudian merasa malu sendiri mendengar kalimat itu keluar dari mulutnya. Bodoh! Bodoh! Izumi bodoh! Sejak kapan kau jadi banyak bicara begini pada orang yang baru saja kau temui? Terlebih kalimat tadi ‘aku suka’? dalam hati Izumi kembali merutuk dirinya sendiri. Dengan sedikit ragu ia menatap gadis itu untuk melihat reaksinya. Di luar dugaan gadis itu tersenyum tipis. Sementara rona merah terlihat jelas di kedua pipi putihnya membuat gadis itu terlihat begitu imut di mata Izumi. Eh, imut?
“A-arigatou,” ucap gadis itu sedikit tersipu. Keduanya lalu sama-sama terdiam membiarkan hanya suara angin memecahkan keheningan di antara mereka. Hal itu berlangsung beberapa saat hingga akhirnya sebuah suara lain mengalihkan perhatian mereka berdua.
“Ternyata masih di sini.”
Baik Izumi dan gadis itu sama-sama menoleh. Ternyata Ryu yang kembali mencari Izumi ke tempat semula karena beranggapan pemuda itu tersesat setelah tak kunjung menyusul dirinya. Wajah Ryu terlihat sedikit basah karena peluh, mungkin Kuma membuatnya berlari terlalu jauh. Iris Ryu lalu tertuju pada sosok lain yang berdiri di dekat Izumi. Sedetik kemudian ekspresinya terlihat sedikit heran. “Fujihara?” ucapnya lalu melemparkan pandangan ke arah Izumi untuk bertanya lebih lanjut. “Kakak mengenalnya?”
Izumi menggeleng pelan. Iris obsidiannya kembali menatap gadis itu dan Ryu secara bergantian. “Ryuzaki-kun no tomodachi—temannya Ryuzaki-kun?”
Ryu dan gadis itu mengangguk serempak. “Nakagawa-kun dan aku teman sekelas di sekolah kami. Aku Fujihara Yuki. Salam kenal eto … —” Fujihara Yuki menatap Izumi dengan tatapan seolah mengatakan ‘tolong beritahu aku namamu’.
“Izumi. Yoroshiku ne Fujihara-san,” ujar Izumi balas memperkenalkan diri.
Ryu yang mendengar Izumi menyebutkan namanya mengerutkan kening. Sedikit bingung dengan nama itu. Izumi? Lalu Haruki siapa? batin Ryu bertanya-tanya. Dia tak pernah mendengar nama itu sebelumnya. Sejak ‘kakak’ barunya itu tiba di rumah mereka sampai detik ini dia memanggilnya Haruki, sesuai dengan nama yang diberitahu oleh ibunya. Dan lagipula sejak tadi pemuda itu tak terlihat keberatan ketika Ryu memanggilnya Haruki. Tetapi mengapa kali ini dia memperkenalkan diri dengan nama lain? Meskipun penasaran pada akhirnya Ryu memilih untuk diam.
“Aku baru tahu kalau Nakagawa-kun punya kakak,” celetuk Yuki saat mereka bertiga keluar bersama dari area taman. Izumi terdiam sedangkan Ryu melirik sekilas ke arah Izumi sebelum akhirnya memberanikan diri untuk menanggapi ucapan Yuki.
“Itu karena Izumi nii-san sejak usia delapan tahun tinggal di Amerika dan baru kembali ke Jepang hari ini. Jadi tak banyak yang tahu kalau kami bersaudara,” terang Ryu. Aku tidak salah bicara, kan? Kenyataannya memang seperti itu, lanjut Ryu dalam hati.
“Jadi begitu ya. Tapi sedikit mengejutkan ternyata Bahasa Jepang Izumi-san masih lancar untuk ukuran orang yang tinggal lama di luar negeri,” ujar Yuki. Sedikit rasa kagum terpancar dari kedua irisnya ketika mengatakan kalimat tersebut.
Ryu terdiam. Seperti memikirkan kalimat yang tepat untuk menjelaskan hal yang ada dalam kepalanya. Namun sebelum ia sempat mengatakan sesuatu, Izumi sudah lebih dulu buka suara. Meskipun pada akhirnya kalimat pemuda itu disela tiba-tiba oleh Yuki.
“Aku—”
“Ah, busnya sudah tiba! Nakagawa-kun, Izumi-san, aku duluan ya. Aku tak ingin terlambat ke tempat kerjaku. Sampai jumpa!”
Yuki melambai sekilas kepada dua pemuda itu sebelum akhirnya kaki jenjangnya berlari kecil menuju halte. Ryu membalas lambaian tangan gadis itu, sedangkan Izumi hanya berdiri dalam diam menatap helaian rambut silver Yuki yang bergerak mengikuti irama langkahnya. Saat sosok gadis itu masuk ke dalam bus dan tak terlihat dalam pandangannya entah mengapa Izumi merasa hatinya sedikit nyeri. Seolah ia baru saja kehilangan hal yang penting baginya. Perasaan aneh apa ini? batin Izumi.
Setelah Yuki pergi, Izumi dan Ryu kembali meneruskan langkah mereka. Sembari menuntun Kuma di sampingnya, sesekali Ryu melirik ke arah Izumi. Wajah pemuda itu terlihat datar tanpa ekspresi. Namun sorot yang terpancar dari kedua matanya terlihat sedikit sendu. Seolah ada sesuatu yang mengganggunya di sana.
“Ano … Haruki Nii-san—eh maksudku Izumi Nii-san?” panggil Ryu ragu. Izumi tak menjawab. Namun juga tak mengabaikan panggilan Ryu. Ia menoleh sebentar—memberi isyarat agar Ryu meneruskan ucapannya. Setelah itu Izumi kembali mengarahkan pandangannya pada jalan di depan mereka. “Maaf, kalau ucapanku pada Fujihara tadi menyinggung Kakak. Aku—”
“Daijoubu,” sela Izumi. “Lagipula Ryuzaki-kun apa yang kau katakan tadi tidak sepenuhnya salah,” lanjut Izumi.
“Souka yokatta,” balas Ryu. “Ne Nii-san, Mama … bagaimana hubungan kalian?” tanya Ryu tiba-tiba ketika ia dan Izumi kini sudah hampir tiba di rumah. Pintu gerbang kediaman Keluarga Nakagawa kini hanya berjarak kurang dari satu meter. Ryu menghentikan langkahnya begitupun dengan Izumi. Pertanyaan Ryu sepertinya membuatnya sedikit terkejut. Pandangannya yang sedari tadi tertuju ke arah jalanan kini beralih menatap Ryu.
“Itu kurasa tak ada kaitannya denganmu. Ne, Ryuzaki-kun.” Ryu tersentak. Baik nada suara maupun pandangan Izumi kepadanya kali ini sama-sama dingin.
“Aku tahu itu tak ada hubungannya denganku. Tapi aku hanya ingin Kakak tahu, Mama selama ini begitu merindukanmu. Dia sangat ingin bertemu denganmu!” jelas Ryu. Ah, kenapa aku mengatakan hal ini? Padahal sebelumnya aku sudah bilang pada diriku untuk tidak mencampuri urusan mereka berdua.
“Apa wanita itu memintamu untuk mengatakan hal ini padaku?”
“Apa—”
“Lagipula untuk apa dia merindukan orang yang sudah dia telantarkan bertahun-tahun yang lalu,” lanjut Izumi. Kali ini nada suaranya terdengar datar namun sorot mata pemuda itu belum berubah. Ryu yang mendengar ucapan Izumi mendadak merasa marah. Ia kesal dengan cara Izumi memanggil ibunya sendiri dengan sebutan ‘wanita itu’. Terkesan seperti pemuda itu tak menaruh rasa hormat pada sosok yang telah membawanya ke dunia ini.
“Kakak tak mengerti! Mama dia … selalu memikirkanmu selama ini. Dia benar-benar ingin bertemu denganmu,” ujar Ryu.
“Ingin bertemu denganku, untuk apa? Hanya untuk memamerkan padaku kalau dia bahagia dengan kalian—keluarga barunya?” balas Izumi sinis membuat Ryu terkejut karena ucapannya. Ryu mengepalkan tangannya tanpa sadar. Ia tahu ini salahnya karena salah memilih topik pembicaraan. Namun Ryu tak pernah menyangka Izumi akan mengatakan hal-hal seperti itu. Karena Ryu tak kunjung mengatakan apapun, Izumi kembali meneruskan langkahnya. Mendahului Ryu yang kini berdiri kaku di tempatnya dengan segenap emosi yang terpancar dari kedua iris hazelnya. Ketika tangannya baru menyentuh gerbang besi itu Izumi menoleh ke belakang. Bibirnya bergerak tanpa suara. Setelah itu tanpa memedulikan Ryu yang menangkap ucapannya atau tidak, Izumi melangkah masuk ke dalam rumah.
Setelah mengucap ‘tadaima’ dengan nada lirih, Izumi melangkah masuk. Ketika melewati ruang tengah yang menghubungkan tangga dengan lantai dua, Izumi melangkah cepat tanpa menimbulkan suara. Sengaja ia melakukannya karena tak ingin bertemu dengan penghuni rumah itu saat ini. Sampai di dalam kamarnya Izumi langsung menjatuhkan tubuhnya di atas kasur. Iris obsidiannya menerawang jauh ke luar jendela. Sementara benaknya sedikit mengulang perdebatan kecilnya dengan Ryu beberapa saat yang lalu. Sedikit rasa bersalah muncul dalam diri Izumi yang kemudian tergantikan oleh rasa tidak suka. Ia tidak suka ketika orang lain bertanya-tanya atau mengatakan hal-hal yang berhubungan dengan dia dan ibunya.
Sementara itu Ryu yang masih belum beranjak dari tempatnya, tersadarkan oleh Kuma yang berdiri menjulurkan badannya dengan menggunakan kedua kaki depannya untuk bertumpu pada kaki Ryu. Kuma mendongak menatap Ryu seakan bertanya apakah tuannya baik-baik saja. Ryu yang melihat tingkah anjingnya menghela napas pelan lalu mengelus bagian bawah leher Kuma. “Gomen ne Kuma, aku dari tadi mengabaikanmu. Ayo, kita pulang sekarang,” ujar Ryu. Selagi berjalan pulang, Ryu mengingat kembali kalimat yang Izumi tujukan kepadanya tadi sebelum pemuda itu membuka gerbang.
“Jangan terlalu ikut campur pada hal-hal yang bukan urusanmu, Ryuzaki-kun.”
Ryu menggeleng pelan. Helaan napas berat kembali keluar dari bibirnya. Ia mendongak sebentar menatap langit biru yang entah sejak kapan mulai tertutupi oleh gumpalan awan cumulus. Ya, kau harus berhenti untuk melibatkan diri pada urusan orang lain, Ryuzaki, kata hati Ryu.
Setelah memastikan Kuma aman dalam kandangnya, Ryu lalu masuk ke dalam rumahnya. Sebelum naik ke kamarnya, Ryu menyempatkan diri ke dapur untuk mencari minuman guna menghilangkan rasa hausnya. Ketika memasuki dapur Ryu melihat ibunya di sana. Wanita itu tampaknya belum menyadari kehadiran Ryu karena posisinya membelakangi pintu dapur.
“Mama sedang apa?”
Mendengar suara Ryu yang tiba-tiba muncul membuat Tsubaki memekik pelan karena kaget. Wanita itu mengalihkan fokusnya dari mangkok berisi adonan kue yang ia aduk dan menoleh ke arah Ryu. “Ryu-kun, kau mengagetkan Mama. Lain kali jangan muncul tiba-tiba seperti itu,” tegur Tsubaki.
“Gomen,” balas Ryu.
Pemuda itu kemudian melangkah menuju kulkas dan membukanya. Sekaleng jus persik dingin kini berpindah dari dalam kulkas ke tangannya. Rasa haus yang sedari tadi ia rasakan menghilang dalam sekejap ketika cairan manis itu melewati tenggorokannya. Ryu meletakkan jusnya yang tersisa setengah lalu kembali mengamati ibunya yang kini tengah menuang adonan yang tadi diaduknya ke dalam loyang lalu memanggangnya dalam oven. Ah, rupanya wanita itu sedang membuat kue.
“Ryu-kun,” panggil Tsubaki. Ia menghampiri Ryu lalu ikut duduk di kursi sebelah pemuda itu. “Habis keluar dengan Izumi-kun?” tanya Tsubaki yang kemudian dijawab dengan anggukan oleh Ryu. Mengetahui hal itu Tsubaki tersenyum tipis. Tangannya terulur mengusap punggung tangan Ryu dengan lembut. “Ryu-kun, akrablah dengan Izumi-kun, ya!”
“Baik,” balas Ryu pelan. Iris hazelnya tertuju pada wajah ibunya yang masih menatapnya dengan senyum khasnya. Senyuman hangat yang selalu membuat Ryu merasa tenang. Dia dan Tsubaki memang tak mempunyai hubungan darah. Namun Ryu menyayangi wanita itu seperti ibunya sendiri. Kehadiran Tsubaki dalam Keluarga Nakagawa membawa kehangatan yang selama ini Ryu rindukan dari ibu kandungnya sendiri. Wanita itu meninggal ketika usianya baru beranjak dua tahun membuat Ryu tak mengingat banyak hal tentang ibu kandungnya. Hal yang paling ia ingat dari ibunya adalah senyumannya. Bagi Ryu senyum itu adalah warna pada dunianya. Sejak ibunya meninggal dunia Ryu kehilangan warnanya. Hingga pada akhirnya kedatangan Tsubaki di musim semi sepuluh tahun yang lalu sedikit demi sedikit mulai mengembalikan warna itu. Senyuman wanita itu mirip dengan senyum ibunya, seperti halnya yang terekam dalam memori Ryu.
“Ryu-kun?” Suara lembut Tsubaki menyadarkan Ryu yang tenggelam dalam lamunannya. “Kau tak apa-apa?” lanjut Tsubaki yang sedikit heran ketika melihat pandangan putra keduanya sesaat mendadak kosong. Yang ditanya mengangguk disusul dengan kalimat ‘aku tak apa-apa’sebagai jawaban. Tsubaki tak menanyakan apa-apa lagi. Sebaliknya iris violetnya menatap Ryu dengan seksama, seakan memastikan kebenaran jawaban pemuda itu. “Kalau kau ada masalah, jangan sungkan untuk diutarakan. Mama selama ini menganggap Ryu-kun layaknya putra kandungku sendiri, seperti halnya Izumi-kun.” Tsubaki menepuk puncak kepala Ryu dengan pelan lalu beranjak dari kursinya menuju oven untuk memeriksa progres kue yang sedang dipanggangnya.
“Arigatou Mama,” ucap Ryu. Setelah menghabiskan jus persiknya, Ryu pamit pada Tsubaki untuk kembali ke kamarnya. Sampai di lantai dua ia berdiri sebentar di depan pintu kamar Izumi menimbang apakah ia harus mengetuk pintu itu atau tidak. Namun pada akhirnya Ryu mengurungkan niat dan berbalik melangkah menuju kamarnya sendiri.
Matahari hampir tergelincir di ufuk barat ketika Izumi membuka kedua matanya. Pandangannya bergulir menelusuri sekeliling kamarnya yang mulai dipenuhi cahaya matahari yang berwarna keemasan. Izumi bangun dari kasurnya lalu melakukan peregangan untuk merenggangkan persendiannya yang sedikit kaku—terutama di bagian lehernya. Iris obsidiannya lalu menatap jam weker kecil yang bertengger di atas nakas samping tempat tidurnya. Jarum pendek berwarna hitam itu menunjuk angka lima. Sudah jam segini, sejak kapan aku tertidur? batin Izumi. Pemuda itu kemudian berjalan menuju kamar mandi untuk membasuh wajahnya. Aliran air yang sedikit dingin namun sejuk membuat seluruh jaringan saraf di wajah Izumi terasa segar kembali. Ia menatap lurus ke depan melihat wajahnya sendiri yang terpantul dari cermin yang terpasang di hadapannya. Butir-butir air terlihat menetes dari ujung rambutnya yang basah yang kemudian Izumi seka dengan segera menggunakan handuk yang tergantung di sisi kanannya.
“Izumi-kun—” panggil Tsubaki ketika Izumi telah menghabiskan potongan terakhir steak-nya. Wanita itu tak langsung melanjutkan ucapannya. Sebaliknya ia menunggu Izumi terlebih dulu meneguk isi gelasnya. Lalu ketika pemuda itu meletakkan kembali gelasnya yang sudah kosong, Tsubaki meneruskan kalimatnya. “—bagaimana kabarmu?” mungkin sedikit terlambat kalau ia baru menanyakannya sekarang. Namun Tsubaki tahu, Izumi menangkap maksud pertanyaannya.“Kami baik-baik saja selama sepuluh tahun ini jika itu yang ingin Anda ketahui. Meskipun Anda meninggalkan kami,” jawab Izumi. Ia mengucapkan kalimat terakhirnya dengan nada lirih. Sangat lirih hampir tak terdengar bahkan oleh Tsubaki.“Takumi— ”Mendengar nama ayahnya disebut Izumi tersenyum sinis. Ia membalas tatapan ibunya dengan ekspresi mencibir. “Untuk apa bertanya tentang ayahku? Mengharapkan cerita kalau beliau memanggil nama A
Bel istirahat berdering nyaring tepat ketika Asahi-Sensei menyelesaikan penjelasan mata pelajaran Sejarah Jepang yang beliau ajarkan. Setelah mengucapkan kata sampai jumpa kepada siswanya Asahi-Sensei—guru laki-laki muda yang Izumi tebak masih berusia dua puluhan akhir itu membawa bukunya dan berjalan meninggalkan kelas. Setelah Asahi-Sensei keluar sebagian siswa juga ikut keluar entah untuk makan siang atau melakukan kegiatan yang lain. Dari tempat duduknya Izumi melayangkan pandang ke luar jendela. Hampir saja ia tenggelam dalam lamunannya kalau saja seseorang tidak menghampirinya. “A-ano … Yoshino-kun?” Izumi menoleh menatap gadis berambut hitam sebahu yang berdiri di dekat mejanya. Gadis itu Ketua OSIS yang kebetulan satu kelas dengannya yang dimintai tolong oleh Asahi-Sensei sebelumnya untuk membawa Izumi berkeliling mengenal area sekolah ketika jam istirahat. Jadi karena itu dia menghampiri Izumi. “
Kali ini tanpa Maps dan drama tersesat, Izumi pun tiba di rumah. Setelah mengucapkan salam, ia menyimpan sepatunya di rak sepatu dan menggantinya dengan slipper yang khusus disediakan untuk dipakai di dalam ruangan. Suara orang dewasa yang berbicang dari arah ruang tamu sayup-sayup tertangkap oleh indra pendengarannya. Tanpa menaruh rasa penasaran dengan hal itu, pemuda itu bergegas menuju kamarnya. Setelah mengganti seragam sekolahnya, Izumi bersantai sambil memainkan ponselnya. Ia menggeser layar ponselnya, melihat satu persatu hasil jepretannya sore ini. Lumayan, pikir Izumi. Rasa haus yang mendadak datang membuat tenggorokan Izumi terasa kering. Pemuda itu meletakkan ponselnya lalu melangkah turun ke dapur. “Ah, Izumi-kun, kapan pulangnya?” sambut Tsubaki ketika Izumi memasuki dapur. Wanita itu tengah menuangkan ocha dari teko ke dalam gelas yang nantinya akan disuguhkan kepada tamu-tamunya. “Bagaimana hari pertamamu d
Setelah jam sekolah berakhir, seperti biasa Izumi tak langsung pulang. Menghabiskan waktu menatap pemandangan dari jendela kelasnya kini menjadi kebiasaan barunya. Riuh rendah suara anak-anak klub olahraga sayup-sayup terdengar di telinga Izumi, membuat pemuda itu mengarahkan pandangannya ke bawah menatap anak-anak klub basket yang tengah berlatih di lapangan. Iris obsidian milik Izumi tak sengaja menangkap sosok seorang gadis yang tengah menyapa salah seorang anggota klub basket yang sedang beristirahat. Izumi mengenal kedua orang itu. Gadis itu adalah Misumi Nana, teman sekelasnya. Lalu orang yang disapa olehnya adalah Ryu. Entah apa yang mereka bicarakan. Namun dari bahasa tubuh mereka Izumi bisa melihat kalau mereka berdua akrab satu sama lain. Tanpa sadar Izumi menghela napas panjang. Ia meraih tasnya lalu beranjak meninggalkan ruang kelas yang sudah kosong. Ketika melewati koridor di lantai satu Izumi tak sengaja melihat Yuki. Gadis itu baru saja keluar dari ruang guru
Setelah itu ia tak menyinggung apapun tentang Izumi atau keluarganya. Izumi pun demikian, pemuda itu tak mengatakan apapun. Mereka berdua kembali berjalan dalam keheningan. Sampai di persimpangan tempat mereka biasa berpisah jalan, Izumi dan Yuki mengambil arah yang berbeda. Izumi tetap lurus, sedangkan Yuki mengambil jalan berbelok yang mengarah langsung menuju tempat tinggalnya. Izumi sempat menawarkan diri untuk mengantar gadis itu pulang sebagai balasan karena telah menemaninya sore ini. Namun Yuki menolak dengan alasan rumahnya tak jauh dari tempat mereka. Izumi pun mengalah. “Kalau begitu, sampai besok!” ucap Izumi. “Un, hati-hati di jalan, Senpai!” balas Yuki dengan nada riang seperti biasanya. Gadis itu melambaikan tangan sekilas kepada Izumi lalu berbalik melangkah. Di belakang, Izumi terus memperhatikan punggung Yuki yang bergerak semakin menjauh. Rambut silver panjang gadis itu terlihat begitu berkilau tertimpa cahaya lampu yang menyala di
Hari-hari berlalu sebagaimana adanya. Ujian tengah semester di Sakurai Goukou pun dimulai begitu Bulan Mei masuk minggu ketiga. Dan untuk sementara, semua kegiatan klub diliburkan sampai ujian selesai. Di hari pertama pelaksanaan ujian sebelum berangkat ke sekolah, Izumi menikmati sarapannya dengan tenang. Berkebalikan dengan Ryu, pemuda itu sejak tadi terlihat sedikit gusar. Pandangannya terfokus pada buku catatan yang ada di tangan kirinya. Sedangkan tangan kanannya yang memegang sumpit bergerak tanpa memperhatikan letak makanan yang akan diambilnya. Hampir saja sumpit kayu itu mendarat dalam gelas ocha-nya.“Ryuzaki, letakkan bukumu sejenak dan makanlah dengan benar!” tegur Makoto.Ryu melepaskan pandangannya dari buku yang sedari tadi menyita perhatiannya. Saat ia mengangkat wajah, Ryu melihat sepasang iris obsidian milik ayahnya tengah menatapnya dengan tajam. Tanpa diminta dua kali, Ryu meletakkan buku itu di sampingnya tanpa menutup
Setelah tiga hari lamanya, ujian tengah semester yang menguras otak akhirnya berakhir. Asahi-Sensei yang menjadi pengawas ujian di hari terakhir memberikan pengumuman sebelum meninggalkan kelas kalau hasil ujian akan keluar setelah sepuluh hari. Izumi membereskan alat tulisnya sambil menghembuskan napas lega. Setidaknya setelah ini dia bisa bersantai sejenak sambil menunggu pengumuman hasil ujian. Dia merasa cukup percaya diri kalau nilainya akan baik-baik saja karena sudah mempersiapkan diri dengan baik untuk menghadapi ujian ini. Namun ada satu hal yang mengganggu pikirannya. Izumi tak yakin nilai ujian Bahasa Jepangnya akan sebaik mata pelajaran yang lainnya. Jujur saja, Izumi ragu apakah dia akan lulus di mata pelajaran itu. Tumbuh besar di luar negeri ditambah sekolahnya dari SD sampai SMA satupun tak ada yang mengajarkan mata pelajaran Bahasa Jepang. Meskipun tak kesulitan berbicara dalam bahasa Jepang, Izumi akui dia benar-benar kurang di bagian menulis.
"Pagi!" Seperti biasa Yuki membalas sapaan anak yang menyapanya dengan ceria. Gadis itu melangkah dengan santai menuju loker sepatunya sambil sesekali bersenandung kecil. Ditariknya pintu loker besi itu dengan pelan. Tak disangka puluhan kaleng bekas berkelontang dari dalam lokernya dan jatuh berserakan di lantai, mengundang perhatian anak-anak yang lainnya untuk melihat apa yang terjadi. "Apa-apaan ini?!" Yuki menatap lokernya sendiri yang dipenuhi oleh sampah kaleng bekas. Terdapat secarik kertas ditempel dengan selotip di bagian dalam lokernya. Yuki menarik lepas kertas itu, membaca rangkaian huruf yang ditulis dengan tinta merah menyala. 'ENYAH KAU!!' begitu bunyi kalimat yang tertulis di sana. "Yuki!" Terlihat seorang gadis menyeruak di antara kerumunan anak-anak yang ada di sana, menghampiri Yuki dengan tergesa. "Anna." "Apa yang terjadi? Siapa yang melakukan ini padamu?" tanya gadis yang dipanggil Anna itu. Raut wajah Anna penuh dengan kekhawatiran melihat kejadian yang
Waktu berlalu, hari berganti. Para siswa kelas tiga semakin disibukkan dengan persiapan ujian masuk perguruan tinggi. Kesibukan itu, membuat Izumi perlahan lupa dengan suratnya. Eksistensi benda itu hampir menghilang sepenuhnya dari kepala Izumi, kalau saja dia tak menemukan setangkai krisan putih di loker sepatunya, kira-kira satu minggu setelah kejadian surat tanpa nama itu. Terdapat selembar kertas yang digulung kemudian diikat pada tangkai krisan itu, seolah seperti sebuah pita. Izumi melepas ikatannya, membaca sebaris kalimat pendek yang tertulis di sana. Musim ujian semakin dekat. Senpai, semangat! Izumi menengok kiri-kanan, berpikir mungkin masih ada jejak keberadaan orang yang meletakkan krisan itu di sekitar sana namun nihil. Memang area loker cukup ramai dengan lalu datang anak-anak yang berganti sepatu. Akan tetapi mereka terlihat tak terlalu peduli dan sibuk dengan urusan masing-masing. Menghela napas pendek, Izumi melipat kertas itu, mengikatnya kembali ke bentuk semul
Selesai makan malam dan mengerjakan tugasnya, Izumi mengutak-atik kameranya. Foto-foto hasil jepretannya beberapa hari yang lalu dia pindahkan ke dalam laptopnya. Izumi lantas memilih salah satu dari sekian foto, mengeditnya agar terlihat lebih menarik. Raut wajahnya terlihat fokus. Waktu semakin berlalu dan Izumi semakin tenggelam dalam kegiatannya. Sesekali dia membuka ponselnya, mencari tutorial di internet saat menemukan kesulitan dalam menggunakan fungsi fitur-fitur yang tersedia pada perangkat lunak yang dia gunakan untuk mengedit. "Sulit juga," ujar Izumi. Setidaknya butuh waktu satu setengah jam baginya untuk selesai mengedit satu foto. Setelah lama tidak berkecimpung lagi dengan hal-hal yang berkaitan dengan fotografi, Izumi merasa kemampuannya di bidang itu juga ikut menurun. Dulu ketika masih aktif di klub fotografi, untuk mengedit satu foto biasanya dia hanya butuh waktu sekitar dua puluh menit dan sekitar satu jam jika itu berupa foto potret. Setelah menyimpan hasil ker
“Kurasa pembahasannya sampai di sini dulu. Detailnya akan kita bahas lagi saat rapat berikutnya. Masing-masing divisi jangan lupa untuk merincikan biaya yang diperlukan sebelum diserahkan pada bendahara!” “Baik!” Nana menutup rapat tambahan senja itu dan anak-anak OSIS perlahan membubarkan diri satu persatu dari ruangan. Aizawa-Sensei—pembina OSIS Sakurai Goukou menghampiri Nana, memberikan sejumlah dokumen dan catatan kecil yang akan dibutuhkan dalam persiapan acara ke depannya. Perempuan itu meletakkan tangannya di bahu Nana. “Aku mengandalkanmu.” “Arigatou, Sensei,” balas Nana sopan sembari membungkukkan badan. Setelah mengunci Ruang OSIS dan mengembalikan kuncinya ke ruang guru, Nana berjalan menuju loker untuk mengganti sepatunya. Gadis itu melihat sejenak ke arah loker Izumi meskipun tak ada siapapun di sana. Dering singkat dari ponselnya, membuat Nana tak berlama-lama di sana. Dia berganti sepatu dengan cepat lalu bergegas ke depan sekolah, di mana bibinya sudah menunggu un
Senin, Izumi sudah kembali masuk sekolah seperti biasanya. Tiga hari tak masuk rasanya dia telah melewatkan banyak hal, terutama menyangkut mata pelajarannya. Oleh karena itu dia berusaha mengejar ketertinggalannya dengan meminjam catatan dari Kaito yang secara sukarela memberikannya.Izumi melemaskan persendian tangannya, berusaha mengurangi rasa pegal pada buku-buku jarinya setelah cukup banyak menyalin catatan materi dari Kaito ke bukunya sendiri. Pandangan Izumi menyapu ruang kelas 3-A yang berangsur-angsur sepi. Hanya tinggal dia dan Ichijou yang terlihat sedang bersiap-siap untuk pulang.“Izumi, kau masih belum mau pulang?” tanya Ichijou sambil memasukkan buku terakhir ke dalam tas sekolahnya.Izumi membalasnya dengan gelengan lalu mengangkat catatan yang masih harus dia salin. “Aku akan pulang setelah menyelesaikan ini.”“Kalau begitu, aku duluan. Sampai besok!”“Sampai besok!” balas Izumi.Kelas sudah sepi dan sekarang hanya tinggal dirinya yang ada di sana. Agar tak terlalu b
Izumi mengambil sebuah puding pemberian Yuki dan menyimpan sisanya di dalam kulkas. Saat sedang menyantap pudingnya, tak lama kemudian Ryu yang sudah berganti pakaian ikut bergabung dengan Izumi di ruang makan. Ryu meraih gelas porselen dari atas rak, mengisinya dengan air dari dispenser. Setelah meneguk habis airnya dan meletakkan gelas itu di wastafel, Ryu mendudukkan diri pada kursi berseberangan dengan Izumi.“Mama sedang keluar?” tanya Ryu setelah sepersekian detik melayangkan pandangannya mengitari area dapur dan ruang makan mencari keberadaan Tsubaki.Izumi mengangguk singkat. Dia mengangkat puding apelnya, menawarkannya pada Ryu. “Kau mau? Di kulkas masih ada.”Ryu menggelengkan kepala. Sebaliknya tangan pemuda itu menjangkau toples berisi cookies dan crackers yang sebelumnya dibawa oleh Izumi. “Ini, aku baru melihatnya. Apa mama yang membelinya?”“Ah, itu Mr. Sharon—pemilik rumah yang kami sewa di Amerika dulu, mengirimkannya untukku. Makan saja kalau kau mau,” ujar Izumi.“S
Usai makan siang dan meminum obatnya, Izumi duduk berselonjor pada tempat tidurnya. Irama piano mengalun dengan lembut melalui earphone yang terpasang di telinganya, menemani Izumi yang tengah asyik membaca manga milik Ryu yang baru sekarang sempat dia baca lagi. Lembar demi lembar habis dilahapnya. Semakin jauh halaman yang dia buka, Izumi merasa cerita itu semakin menarik. Penggambaran setiap karakter dalam cerita itu membuat imajinasinya terasa semakin hidup. Habis satu buku itu dibaca, rasa penasaran Izumi semakin menjadi untuk mengetahui kelanjutan ceritanya. Dalam hati dia sedikit menyayangkan mengapa hanya meminjam satu volume saja. Sepertinya aku harus meminjam lanjutannya nanti, batin Izumi. Dia menguap kecil. Rasa kantuk mulai menghampirinya membuat Izumi memilih untuk tertidur sejenak. Izumi menutup kelopak matanya. Earphone yang terpasang di telinganya sejak tadi terus memutar lagu yang sama. Irama piano itu masih terus mengalun menemaninya hingga ke alam mimpi. [Tadaima,
Tiga hari dirawat di rumah sakit, kondisi Izumi semakin membaik dari hari ke hari. Dia tak lagi menghabiskan waktunya dengan berbaring di atas ranjang. Tenaganya kini bahkan sudah cukup kuat untuk membawa kakinya beranjak keluar dari ruang rawatnya. Meskipun selang infus masih belum dilepas dari tangan kirinya. Akan tetapi terlepas dari hal itu Izumi merasa tubuhnya sudah sehat kembali. Sore itu Izumi berdiri menatap pemandangan yang terlihat dari jendela kamar rawatnya. Di ruangan itu kini hanya ada dirinya. Sejak merasa membaik Izumi memberitahu Tsubaki agar tidak perlu menemaninya sepanjang waktu. Dia juga meminta wanita itu untuk pulang agar bisa beristirahat di rumah. Izumi tahu Tsubaki tak pernah mempermasalahkannya. Namun dia merasa tidak enak hati karena jam istirahat wanita itu banyak terpotong karena mengurusnya selama tiga hari ini. “Perawat tadi bilang kamar nomor berapa?” “Berapa, ya? Aku lupa, antara 209 atau 210?” “210. Itu namanya tertulis di samping pintu.” Izumi
Pagi hari saat membuka mata, Izumi mendapati wajah ibunya yang masih tertidur di samping ranjangnya. Setelah sekian lama itu pertama kalinya Izumi melihat ibunya dari jarak sedekat ini. Dipandangnya sosok itu dengan lekat. Wajah Tsubaki terlihat lelah, membuat Izumi berpikir kalau wanita itu tak tidur dengan nyenyak semalaman karena menunggunya. Mungkin saja wanita itu baru bisa memejamkan mata belum lama ini. Saat memperhatikan wajah ibunya, Izumi baru menyadari ada kerutan samar pada wajah wanita itu yang menandakan kalau usianya sudah bertambah banyak sejak terakhir kali mereka bertemu. Antara sadar dan tidak, tangan Izumi terangkat hendak menyentuh wajah itu. Namun ketika menangkap ada gerakan dari kelopak mata Tsubaki yang terpejam, Izumi dengan cepat menurunkannya tangannya dan pura-pura tertidur. Tsubaki sepertinya sudah mulai terbangun dan Izumi bisa merasakan tangan wanita itu menyentuh keningnya sambil bergumam pelan. “Sepertinya demamnya sudah turun.” Lalu terdengar suara