Liana merasa dirinya begitu hancur ketika tiba-tiba seseorang yang begitu membuatnya kesal selama ini, datang melamarnya. Dia berpikir bahwa yang dilakukan lelaki itu adalah sebuah kelicikan. Namum siapa sangka, ternyata lamaran itu datang akibat sebuah kesalahpahaman yang terjadi di antara mereka. Kini Liana harus mencari berbagai cara agar pernikahan mereka gagal terjadi sehingga membuatnya bisa kembali bersama sang pujaan hati. Di sisi lain, Andreas adalah seorang CEO muda sebuah perusahaan rintisan, yang mencari istri lugu, baik hati, dan keibuan. Karenanya dia memilih untuk menikahi Liana yang merupakan seorang gadis desa sederhana. Namun siapa sangka, ternyata tak ada kata sederhana dalam kamus istrinya itu. Apakah mereka akan mampu bertahan hanya demi kedua orang tua mereka masing-masing, atau mereka harus bercerai yang kemudian akan membuat banyak orang kecewa serta image buruk bagi perusahaan rintisan yang sedang dibangun Andreas?
Lihat lebih banyakLiana berdiri di depan cermin rias, memandangi bayangannya sendiri yang memantul dari sana. Sebuah gamis kasual berwarna kuning pastel yang dipadukan dengan hijab warna senada. Sebuah tuspin mutiara sederhana disematkan pada hijab cantiknya yang makin mempermanis penampilan. Ditatapnya bayangan di depan cermin itu sambil tersenyum sendiri.
'Cantik juga aku,' batinnya. Lalu sejurus kemudian diketuk sendiri keningnya dengan kepalan telapak tangannya tiga kali sambil sedikit menggeleng berusaha menyadarkan dirinya dari kesombongan kecil yang barusan dilakukannya. Dia merasa malu sendiri mengamati sikapnya akhir-akhir ini.
"Ah, apa-apaan aku ini? Memalukan sekali," gumamnya seraya tertawa kecil sambil menutup mulutnya dengan sebelah tangan lainnya.
Sore ini, seperti biasa, pertemuan karang taruna sekaligus kesempatan melihat Jun, lelaki yang ditaksirnya hampir setahun terakhir ini. Pasalnya, dua kali pertemuan, Jun tak datang sebagai pembimbing, karena ada urusan study banding ke Sumatera, sebagai perwakilan dari Universitas tempatnya mengajar.
Liana menyambar sling bag berwarna coklat tanah favorit yang hampir selalu dibawanya seraya melangkah menuju pintu kamar. Hatinya merasa berbunga-bunga, karena hari ini dia bisa bertemu kembali dengan pujaan hatinya setelah sekitar dua minggu tak bersua.
Memang Jun belum menyatakan cintanya, tapi Liana begitu yakin jika Jun juga menyimpan perasaan yang sama dengannya. Liana akan sabar menanti hingga Jun melamarnya, karena dia tahu kalau Jun itu bukan tipe lelaki yang akan mengajak wanita untuk pacaran, dia itu adalah seorang lelaki yang sudah hijrah, sebutan populernya saat ini. Karenanya, Liana begitu teguh dan sabar menunggu sang pujaan hati, meski tanpa hubungan pasti.
Sebab Jun pula, yang membuat Liana mantap berhijab hingga saat ini. Lelaki itu seakan memiliki kesan teramat sempurna di mata Liana, hingga membuat gadis berlesung pipit itu terkagum-kagum, terutama kegigihan dan kemandiriannya.
Sejurus kemudian terasa ponselnya bergetar. Segera saja dia merogoh tas yang tergantung di pundaknya itu, berharap itu pesan dari Jun. Disapunya layar ponsel yang terkunci, dibacanya sebuah pesan chat yang mendarat di sebuah aplikasi chat hijau, yang kontan membuat dunia Liana berubah seketika. Yang tadinya dia seakan berada di hamparan rumput hijau nan indah, kini mendadak menjadi sebuah lautan api membara. Bunga-bunga bermekaran dalam hatinya mendadak berubah menjadi dedaunan kering berguguran. Gadis itu mendadak kehilangan mood baik dan berubah menjadi sangat gusar.
[Selamat sore Liana, sedang apa? Minggu ini aku akan pulang. Jadi, bisakah kita sejenak bertemu agar bisa saling mengenal baik?]
Sebuah chat dari Andreas, seorang lelaki yang sering membuatnya gusar akhir-akhir ini. Karena Andreas, yang merupakan teman bisnis Kinanti, kakak sepupu Liana, terus menerus mengiriminya chat dan mengajaknya berkenalan. Padahal menurut gadis itu, dia telah secara terang-terangan menolak Andreas dengan halus. Namun, alih-alih berhenti, Andreas makin menjadi-jadi saja untuk mendekatinya.
'Apa? Orang ini benar-benar keterlaluan. Mengajakku bertemu? Ini sudah kelewat batas. Aku bukan wanita murahan yang seenaknya saja bisa diajak keluar. Dia pikir aku ini apa?' Liana membatin dengan gusar.
[Untuk anda yang terhormat, saya harap anda mengerti, bahwa kita ini bukan mahram, jadi harap anda perhatikan dan ingat baik-baik, bahwa saya tidak akan pernah bertemu apalagi hanya berdua dengan lelaki yang bukan mahram saya. Hal tersebut bisa menjadi fitnah dan yang jelas itu sebuah dosa yang pantang saya lakukan. Jika memang anda benar-benar menghormati dan menghargai wanita, apalagi anak gadis orang yang dijaga sejak bayi oleh orang tuanya, seharusnya anda tidak mengajaknya bermain-main. Lelaki sejati itu tak akan mengajak anak gadis orang keluar tanpa meminta dengan sopan kepada orang tua gadis itu, apalagi tanpa hubungan yang halal. Maaf saya bukan wanita macam itu], balasnya dengan perasaan begitu geram.
[Baiklah, maafkan aku jika yang aku lakukan ini membuatmu tersinggung dan merasa terganggu. Jika seperti itu kemauanmu, aku akan menuruti keinginanmu itu.]
Liana membaca balasan si virus, julukan yang dia berikan untuk Andreas selama ini, dengan perasan yang sangat senang. Karena menurutnya, jawaban dari Andreas itu menunjukkan bahwa lelaki itu akan menghentikan tingkahnya yang telah membuat gadis itu geram dan kesal selama ini.
'Akhirnya aku berhasil membuatnya tersinggung dan menyerah. Aku membuatnya menyadari bahwa aku tak menyukainya. Dan aku harap ini adalah pesannya yang terakhir dan aku benar-benar terbebas dari gangguannya,' batin gadis itu.
Gadis dua puluh satu tahun itu memang benar-benar menjaga dirinya untuk tidak sembarangan keluar dengan lelaki. Meski dulu dia adalah seorang gadis tomboy yang memiliki banyak teman lelaki dan sering nongkrong bersama mereka. Tapi, sejak kehadiran Jun setahun terakhir ini, dia mulai berubah, karena sepertinya Jun merupakan lelaki yang taat beragama. Tentu saja, menyesuaikan diri dengan Jun adalah salah satu usahanya untuk bisa menarik perhatian lelaki itu. Bahkan sepertinya, usahanya itu tak sia-sia, karena delapan bulan terakhir ini, dia lumayan dekat dengan Jun dan sering berbalas chat meski isinya bukanlah sebuah pesan romantis atau rayuan, tapi paling tidak dia sudah sangat intens berkomunikasi dengan lelaki itu, di tengah sulitnya gadis-gadis lain mendekatinya.
Liana melanjutkan langkahnya yang sempat tertunda tadi, menuju balai desa untuk menghadiri rapat pengurus karang taruna yang pastinya dia juga akan dapat bertemu dengan Jun. Meski hanya dengan melihatnya saja dan sesekali saling bertukar senyum, itu sudah lebih dari cukup untuk gadis itu.
***
Sudah hampir dua minggu berlalu sejak chat terakhir yang dikirim Andreas. Hingga detik ini, tak ada satu pun chat dari lelaki itu yang mampir ke aplikasi chat Liana. Rupanya balasan pesan kemarin benar-benar menohok hati lelaki itu dan membuatnya paham. Liana merasa begitu lega, seakan terbebas dari sebuah beban berat yang sempat mengganggunya kemarin, setiap hari Andreas pasti mengiriminya pesan chat, dan itu bisa berkali-kali dalam sehari, seperti rutinitas minum obat saja, bahkan mungkin lebih tepatnya minum racun.
Seperti biasa, tiap akhir pekan, gadis itu akan membantu kedua orang tuanya untuk mengurus rumah di pagi hari, karena TK tempatnya mengajar sedang libur, sedangkan kuliahnya masuk pada sore hari. Dengan perasaan yang sangat senang, Liana menyiram pot-pot bunga di halaman rumah seraya bersenandung riang. Dia merasa bunga-bunga terlihat makin hari makin indah saja. Sanusi, ayah Liana, sedang sibuk menganyam bambu untuk memperbaiki dinding kandang kambing yang mulai lapuk karena termakan usia, sedangkan Suyatmi, ibu Liana, sedang sibuk di dapur membuat kerupuk dari sisa-sisa nasi.
Wanita paruh baya itu memang paling kreatif jika urusan mendaur ulang makanan. Dia pernah berkata bahwa jika dibuat kerupuk, maka nasi sisa akan bisa dimakan lagi dan tidak terbuang sia-sia. Karena, membuang-buang makanan bisa menjadi penutup pintu rezeki, katanya. Pasalnya hal itu masuk dalam menghambur-hamburkan makanan, dan itu salah satu hal yang dibenci Tuhan.
Tiba-tiba ada sebuah mobil SUV sport mewah berwarna putih, berhenti di jalan depan rumah. Mobil itu tak memasuki halaman, tapi sepertinya mereka memang hendak menuju rumah. Mobil itu berhenti terparkir di pinggir jalan, tepat di depan pagar bambu depan rumah. Sejenak Sanusi menghentikan kegiatannya, begitupun dengan Liana, seraya menatap penasaran dan menunggu siapa gerangan penumpang mobil ini.
Pintu mobil terbuka. Seorang lelaki setengah baya berpakaian batik dan memakai celana coklat tua dengan perawakan gagah keluar dari dalam mobil, disusul seorang wanita paruh baya memakai gamis hijau pastel yang anggun. Sepasang suami istri yang serasi, suami yang gagah dan istrinya begitu elegan. Dengan riasan sederhana membuatnya tampak cantik alami. Namun, baik Liana atau Sanusi, sama sekali tak pernah merasa mengenal kedua orang itu, pun mereka sepertinya bukan penduduk kampung Delima maupun kampung sebelah.
Sanusi mulai berdiri seraya mengibaskan kedua tangannya pada celana pendek yang dipakainya, sedangkan Liana masih berdiri mematung berusaha menerka-nerka siapa mereka. Kemudian turunlah seorang pemuda memakai kemeja krem bergaris yang dipadukan dengan celana jeans berwarna hitam. Penampilannya rapi dan sangat sopan. Sejenak Liana merasa seakan wajahnya begitu familiar, tapi entah siapa dia. Gadis itu masih berusaha mengingat-ingat kembali sebelum tiba-tiba….
Brakkk.....
Botol semprot yang dipakainya untuk menyiram bunga sejak tadi, jatuh dan sisa air yang berada di dalamnya pun tumpah. Gadis itu kaget setengah mati seraya tak percaya dengan penglihatannya, bahkan dia berharap jika dia hanya salah mengira saja.
'Itu Andreas, dia benar-benar Andreas. Untuk apa dia datang ke rumahku?' batin gadis itu.
"Dre, makan siang bareng kami, yuk!" ajak Kinanti pada Andreas seraya meletakkan setumpuk map berisi berkas laporan administrasi perusahaan di atas meja kerja Andreas.Andreas yang sedari tadi menunduk karena sedang memeriksa beberapa laporan lain yang datang sebelum ini, mendongakkan kepala memandang Kinanti kemudian menjawab, "Oke, aku kelarin ini dulu. Tunggu lima menit, entar aku keluar.""Oke, kita tunggu di parkiran saja, ya? Pakai mobil mas Agung saja! Biar simpel," Andreas mengangguk mengiyakan. Kinanti beranjak meninggalkan ruangan Andreas menuju ruangan AgungTak berapa lama berselang, Andreas keluar dari ruangannya kemudian melongok ke dalam ruangan Agung, di mana Kinanti juga sedang berada di sana."Ayo,
"Liatin apa kamu Ndre?" tanya Kinanti pada Andreas sembari membawa nampan berisi beberapa gelas sirup dingin dan sepiring bolu coklat."Cuma liatin foto kamu, soalnya aku sepertinya ada kenal satu." Andreas tetap bergeming sembari memandang foto lawas yang menempel pada dinding ruang tamu rumah Kinanti."Itu fotoku pas masih kecil, pas di kampung, rumah asli bapak. Gak mungkin lah kamu ada kenal, mereka semua saudara-saudaraku.""Kayaknya cuma perasaan aku aja deh." Andreas berbalik kemudian melangkah menuju sofa di mana Kinanti dan Agung, tunangan Kinanti, sedang duduk."Minum dulu, Ndre!" pinta Agung."Kuy lah, kita bahas kerjaan aja! Move on
"Mas Andreas, ditimbali (dipanggil) ayah sama bunda, ditunggu di bawah gak pake lama yo!" Terdengar suara ketukan pintu di kamar Andreas dibarengi dengan teriakan nyaring Yessy, adik bungsu Andreas."Iya," jawab Andreas dari dalam kamar tanpa membuka pintu. Andreas bergegas bangkit dari duduknya sembari merapikan sajadah yang barusan dipakai untuk melaksanakan sholat isya.Andreas baru saja pulang dari kantor, dan memang akhir-akhir ini dia biasa pulang setelah petang. Pasalnya perusahaan yang dirintisnya sedang mengalami perkembangan yang cukup baik. Mereka saat ini sedang banyak menerima berbagai tawaran pembukaan cabang usaha baru maupun penawaran investasi dari berbagai investor, dan itu menjadi penyebab pekerjaan makin banyak yang harus diselesaikan.Andreas bergegas ke
"Liana, aku enggak pernah nyangka, kamu bisa dapet anak kota, mana tajir pula," ucap Yatik, terapis kecantikan keliling, seraya membalurkan lulur ke tubuh Liana. "Kamu kok bisa bejo banget gitu, sih?" Liana hanya tersenyum sebentar, kemudian berkata, "Kenapa, Mbak? Menurutku sih biasa aja, gak terlalu istimewa." "Kamu ini, gak ilok ngeremehke rejekine gusti Alloh. Hal seperti itu haruse kamu syukuri. Apa lagi, tadi Dimas ngomong kalau calonmu itu yo ngganteng. Sempurna banget hidup kamu, Li." Atik bersemangat sekali membahas keberuntungan Liana. Sementara sang empunya nikmat, malah merasa mendapat siksaan. "Ya… entahlah, Mbak. Wong aku yo aslinya gak kenal sama dia." "Lha, kok iso? Mana bisa endak kena
Liana begitu sibuk dengan tugas kuliahnya ketika tiba-tiba ponselnya berdering sebab sebuah panggilan telepon dari aplikasi hijau mendarat pada ponselnya. Terpampang jelas sebuah tulisan "Virus" pada layar ponsel itu. Liana yang sejak tadi memang sedang dalam suasana hati yang tidak baik-baik saja, serta badan yang lumayan kecapekan, malah makin kesal dengan hadirnya notifikasi panggilan dari Andreas. Memang, sejak awal masuknya chat pertama dari Andreas, Liana langsung saja tak menyukai segala tentang lelaki itu. Sebenarnya tak ada alasan jelas asal mula ketidaksukaan Liana pada lelaki pengusaha itu, kecuali hanya karena dia tak mau ada lelaki lain yang mengganggunya, sebab dia hanya menginginkan Jun seorang. Liana mendengus beberapa kali dan menggerutu tak jelas sebelum menjawab panggilan dari Andreas. "Ya Assalamualaikum," ucap Liana seketika menerima panggilan dari calon tunangannya itu. "Waalaikum Salam, Liana apa kabar?" ucap A
"Mbak, permisi," sapa Sanusi pada seorang pramuniaga yang kebetulan berdiri di bagian baju muslimah. "Iya, ada yang bisa saya bantu, Bapak?" jawab pramuniaga itu begitu sopan. Departemen store ini, selain terkenal dengan harga murah dan kelengkapan produknya, juga terkenal dengan pelayanannya. "Mau cari baju buat lamarane anak saya ini, Mbak." Sanusi berkata seraya berisyarat dengan tangannya yang meraih pundak Liana. Dengan raut wajah gembira dan bangga, Sanusi melanjutkan perkataannya, "Carikan yang mantesi (pantas) dan Mriyayeni (anggun) ya, Mbak! Calonnya itu wong priyayi (orang kelas atas). Saya endak masalah sama hargae, sing penting bagus buat anak saya ini. Saya endak nyangka, Mbak, apa yang saya dan ibune angan-angankan sejak dia lahir
Liana duduk dengan posisi miring tepat di belakang Sanusi. Motor bebek itu melaju begitu cepat menjelajahi tiap ruas jalan provinsi yang kini mereka lewati. Sekelebat kenangan akan kebaikan dan kasih sayang ayahnya, kembali memenuhi tiap ruang kepala Liana. Bagaimana sang ayah yang hanya petani kampung dengan lahan seadanya itu, bisa membuatnya seperti saat ini. Meski hanya menempuh pendidikan di sebuah universitas terbuka, tapi bukan hal mudah bagi Sanusi untuk memenuhi keinginan putrinya itu. Bahkan, belajar di universitas terbuka sebenarnya pernah ditentang oleh Sanusi, dan dia lebih menyarankan sang putri kesayangannya itu untuk meneruskan pendidikan di universitas negeri di luar kota. Namun, karena berbagai pertimbangan, Liana menolak saran ayahnya itu. Bahkan, Liana begitu ingat, bagaimana sang ayah begitu melarangnya untuk ikut turun ke sawah seperti yang banyak dilakukan gadis-gadis lain di kampungnya. Bahkan hanya Liana saja lah satu-satunya
Liana merapikan buku dan beberapa kertas berisi tugas anak-anak didiknya yang sempat berserakan di atas meja guru. Seorang anak mendekatinya seraya menyerahkan selembar kertas berisi tugas yang tadi sempat diberikan Liana pada anak muridnya di kelas A. "Ini, Bu," ucap anak itu seraya tersenyum. Liana menerima kertas itu sembari sedikit berjongkok dan membalas senyum anak muridnya. "Makasih, Sayang," ucap Liana. Kemudian tak lama dia kembali lagi dengan wajah datarnya sembari terus membereskan meja dan memasukkan berbagai alat tulis ke dalam tas kerjanya, sedangkan anak tadi telah berbalik dan kembali ke tempat duduknya. Kemudian terdengar suara pintu kelas diketuk. Liana segera menoleh ke arah sumber suara tadi. Terlihat Rohimah sedang berdiri di depan pintu memandang Liana sembari tersenyum. Seketika melihat Liana menoleh, Rohimah berkata, "Tak tunggu di bangku depan, ya?" Sembari berisyarat dengan tangannya, Rohimah memberitahukan pada L
Junaedi merupakan anak sulung dari empat bersaudara. Lelaki kelahiran kampung Duku itu merupakan seorang dosen di sebuah universitas negeri di kota Baya. Dia mengajar seminggu tiga kali, selain itu dia juga mengajar di beberapa universitas swasta di kota Bayu, sehingga dia lebih sering pulang ke kampung Duku dan juga aktif di berbagai kegiatan kepemudaan.Jun merupakan salah satu anak kampung yang terbilang sukses. Meski hanya anak seorang petani, tapi Jun bisa menempuh pendidikan hingga jenjang Strata Tiga, hal yang jarang atau mungkin hanya Jun lah satu-satunya putra kampung Duku yang berhasil kuliah sampai S3. Selain itu, profesinya sebagai dosen sebuah universitas negeri, membawa sebuah kebanggaan tersendiri, baik bagi keluarganya maupun masyarakat kampung Duku.Dia merupakan pemuda yang lumayan populer di semua kalangan, baik di
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Komen