Kini Liana sedang duduk dengan kaki menjuntai di bibir ranjang. Berulang kali dia menghela nafas dalam-dalam menahan amarah. Teringat kembali kejadian dua pekan lalu, saat dia membalas pesan Andreas dengan cukup kasar, menurutnya. Tapi, Andreas malah datang melamarnya hari ini.
Sejurus kemudian Liana mencari ponsel yang sejak pagi dibiarkan tergeletak saja di atas ranjang, sebab dia sibuk menguping pembicaraan kedua orang tuanya dengan keluarga Narendra. Diusapnya layar ponsel, kemudian terlihat ada notifikasi chat dari sebuah aplikasi hijau. Dia membuka aplikasi itu, yang ternyata sebuah chat dari Jun, pujaan hatinya.Belum sempat Liana membuka chat itu, tiba-tiba terdengar pintu kamar yang diketuk dari luar.
"Nduk, dipanggil bapakmu."
Rupanya Suyatmi yang mengetuk pintu memanggil putrinya untuk keluar dan menemui Sanusi.
"Iya, Bu. Sebentar."
Dengan malas dan ogah-ogahan, Liana keluar dari kamar untuk menemui ayahnya yang sedang menunggu di ruang depan.
Liana membuka pintu kamar, dan ternyata Suyatmi sudah tidak ada, wanita itu sudah terlebih dahulu pergi menuju ruang tamu depan.
Liana melangkah menuju ruang tamu, tapi kemudian terdengar suara Dimas megejeknya yang sontak membuat Liana geram.
"Ciye... ciye... yang mau tunangan sama wong ngganteng."
Liana membulatkan matanya menatap adik semata wayangnya itu dengan wajah marah.
"Diem kamu! gak usah ikut-ikut, masih kecil juga."
"Ciye.. ngambek nih ye.. gara-gara malu, tuh." Dimas tertawa sedikit tertahan melihat tingkah Liana yang dipikirnya sedang marah karena malu.
Liana melangkah menghampiri Dimas, yang sedang tiduran sambil menonton televisi, hendak mencubit lengan adiknya itu. Tapi ternyata Dimas punya senjata andalan yang bisa menghentikan kakaknya itu.
"Ibuk..." teriak Dimas, yang sukses membuat Suyatmi berteriak menegur Liana dari ruang tamu.
"Liana.., gak usah bercanda sama adikmu. Ke sini cepat, ditunggu sama bapakmu ini, lho."
Liana menghentikan perbuatannya kemudian segera berbalik melangkah menuju ruang tamu, tapi sebelumnya dia mengancam Dimas dengan kepalan tangannya.
"Awas, kowe, tak pites (gencet) nanti kalau ngece (mengejek) terus."
"Weeekkkk..." Dimas menjawab ancaman kakaknya itu dengan mengeluarkan lidah pertanda bahwa dia tidak takut dengan ancaman kakaknya itu.
Di ruang tamu, Sanusi dan Suyatmi sudah menunggu putri tersayang mereka. Ketika Liana muncul, Sanusi segera memanggilnya sembari menyunggingkan senyuman sumringah.
"Nah, sini, sini, Nduk. Duduk di dekat bapak!" panggil Sanusi.
Melihat senyum Sanusi begitu sumringah dengan sinar mata berbinar bahagia, Liana jadi semakin resah. Dia tak mau senyuman bahagia itu hilang dari wajah ayahnya, apa lagi jika dialah yang menjadi penyebabnya.
Liana duduk di dekat Sanusi. Kembali dia menghela nafas dalam-dalam, berusaha mengontrol dirinya. Dia siap mendengar apapun perkataan kedua orang tuanya itu sambil dia akan memikirkan cara lain yang lebih aman untuk menggagalkan pertunangan itu.
"Nduk, bapak sama ibuk ini seneng banget kedatangan tamu pak Andreas tadi. Bapak endak nyangka kalau kamu ternyata sudah punya calon sendiri. Kok endak ngomong kalau Andreas mau dateng? Tahu gitu tadi tak nyuruh ibumu belanja dan bikin makanan buat suguhan."
"Anu, Pak. saya gak tahu kalau dia akan datang, kok," jawab Liana singkat.
"Ya wis, gak masalah sih. Mungkin saja calon suamimu itu mau bikin kejutan. Jaman sekarang itu kan usum kalau pakai kejut-kejutan kayak di tivi-tivi. Hahaha....anak muda jaman sekarang." Sanusi tertawa senang diikuti oleh Suyatmi yang juga tertawa geli mendengar kalimat suaminya itu. Kemudian Sanusi melanjutkan kalimatnya, "Jadi, minggu depan, kita akan kedatangan keluarga pak Narendra. Katanya mau lima puluh orang. Nah, besok kamu ikut bapak ke kota, kita belanja baju, ya? Beli baju yang bagus, biar kamu kelihatan cantik dan mriyayeni! (anggun terhormat), jadi bisa sesuai sama keluargane si Andreas itu."
"Iya, Pak," jawab Liana menurut saja karena tak ingin membuat ayahnya kecewa. Apalagi dia begitu paham jika sudah diajak membeli pakaian ke kota, itu tanda ayahnya sedang senang dan tidak main-main. Pasalnya, Liana selama ini hanya membeli pakaian di pasar, itu pun sangat jarang. Biasanya hanya pada waktu hari raya atau jika benar-benar penting. Namun kini, Sanusi mengajaknya berbelanja pakaian ke kota, hal yang jarang terjadi.
"Yo wes, kalau begitu kamu siap-siap saja besok pagi-pagi kita ke kota!" ucap Sanusi.
"Anu, Pak. Endak bisa pagi, nunggu pulangnya ngajar, toh."
"Oh iyo aku lali (lupa). Ya wes jam sepuluh kita berangkat. Tak jemput di sekolahanmu itu wes. Kamu gak usah pulang. Berangkatnya bapak sing nganter."
Liana hanya mengangguk. Dia begitu khawatir melihat bapaknya sangat antusias dan senang dengan datangnya lamaran dari keluarga Narendra tadi.
"Saya mau ke kamar dulu ya, Pak. Soalnya ada yang mau saya kerjakan," pamit Liana kepada Sanusi ketika dirasa pembicaraan mereka telah selesai.
"Ya wes, endak apa-apa. Bapak sik mau ngomong-ngomong sama ibumu. Mau ngabarin saudara-saudara buat acara lamaran minggu depan."
Liana segera melangkah menuju kamarnya. Dia masih teringat akan sebuah chat dari Jun yang belum dibukanya.
Liana segera menutup pintu dan melemparkan tubuh di atas ranjang, lalu membuka pesan chat dari Jun yang sempat tertunda itu.
[ Li, Apakah besok kamu bisa mengikuti rapat di balai desa sepulang mengajar untuk menyusun kepengurusan acara Agustusan nanti?]
Liana sedikit kecewa dengan apa yang dibacanya saat ini, dia ingin sekali datang ke rapat itu dan bertemu Jun, tapi dia juga sudah janji pada ayahnya untuk membeli pakaian di kota.
'Apa beli bajunya ditunda dulu saja, ya?' batin Liana.
Segera saja dia beranjak menuju ke ruang tamu untuk memberi tahu akan hal ini kepada ayahnya.
Sanusi dan Suyatmi kebetulan masih duduk di tuang tamu. Terlihat Sanusi sedang menuliskan sesuatu di atas kertas. Dia menulis daftar saudara yang akan dikabari sekaligus diundangnya datang untuk menyambut keluarga Andreas minggu depan.
"Pak,"panggil Liana. Sanusi segera menoleh mengdengar suara putrinya itu.
"Acara beli bajunya bisa ditunda lusa atau sore saja?" tanya Liana penuh harap.
Sanusi mengernyitkan dahi. Kini dia berbalik penuh menghadap putrinya itu.
"Kamu ada kepentingan? endak bisa ditunda? Soalnya bapak sorenya itu mau ke rumah mas Zainal, malam ke rumah dek Surti, besoknya urus belanjaan, lalu besoknya lagi masih banyak saudara yang mau bapak kabarin."
Liana menggigit bibir bawahnya seraya bola matanya berputar pertanda dia sedang berpikir.
"Besok ada rapat karang taruna di balai desa, Pak. Mau bahas acara Agustusan." ucapnya kemudian.
"Nduk, rapat di balai desa itu endak akan gagal cuma gara-gara kamu endak dateng. Acara Agustusan juga tetep akan jalan meski bukan kamu pengurusnya. Kalau lamaran ini, bisa gagal kalau kamu endak ada, dan bapak bisa malu."
Liana menunduk mendengar perkataan bapaknya tadi. Dia sebenarnya membenarkan apa yang diucapkan bapaknya tadi, hanya saja dia ingin sekali bertemu dengan Jun, mengingat hari ini dia begitu sebal dengan semua yang terjadi.
"Baiklah, kalau gitu saya bilang dulu kalau gak bisa hadir."
Sanusi mengangguk kemudian melanjutkan kembali pembicaraannya dengan Suyatmi. Sementara Liana melangkah menuju kamarnya untuk membalas chat dari Jun, meski dengan perasaan begitu kecewa.
Mentari pagi mengintip malu dari persembunyiannya, menimbulkan semburat jingga indah arunika dari ufuk timur. Kokok ayam pun mulai bersahutan, membangunkan penduduk kampung Delima agar segera beraktifitas di Senin pagi yang cerah ini. Namun, cerahnya hari, tak seperti hati Liana yang sedang diliputi kabut kekecewaan akibat kejadian kemarin dan kenyataan bahwa hari ini dia tak akan bisa bertemu dengan Jun.Liana berdiri dengan raut wajah datar tanpa ekspresi di depan teras rumahnya, menunggu Sanusi mengeluarkan motor dari dalam rumah. Sebuah motor bebek empat tak kesayangannya, yang telah membantu berbagai pekerjaan maupun keperluan lainnya. Sementara Dimas, dia telah berangkat terlebih dahulu, kira-kira dua puluh menit yang lalu mengendarai sepeda BMXnya. Seperti biasa, siswa SMP kelas dua itu berangkat sekolah bersama teman-temannya."Ayo, Nduk, kita berangk
Sebuah ruangan berukuran sembilan meter persegi, di mana di dalamnya terdapat sebuah whiteboard bertuliskan data kegiatan bulanan kampung Delima, seorang lelaki berperawakan langsing sedang duduk berkutat dengan tumpukan kertas yang tercecer di atas meja yang tepat berada di hadapannya. Dia adalah Ahmad Junaedi. Seorang pemuda kampung yang begitu aktif dalam berbagai kegiatan pemuda di beberapa desa sekecamatan Duku, dan salah satunya adalah kampung Delima. Dia adalah pembimbing berbagai kegiatan kepemudaan di kampung itu. Terlihat sesekali Jun, panggilan akrabnya, membenahi posisi peci putihnya yang beberapa kali terlihat miring, sambil terus berkutat dengan berbagai laporan dan catatan kegiatan karang taruna para pemuda di kampung itu, hingga kemudian konsentrasinya terpecah oleh sebuah notifikasi pesan chat dari ponsel yang tergeletak begitu saja di sebelah tumpukan kertas yang sedang diperiksanya. Diperiksanya
Junaedi merupakan anak sulung dari empat bersaudara. Lelaki kelahiran kampung Duku itu merupakan seorang dosen di sebuah universitas negeri di kota Baya. Dia mengajar seminggu tiga kali, selain itu dia juga mengajar di beberapa universitas swasta di kota Bayu, sehingga dia lebih sering pulang ke kampung Duku dan juga aktif di berbagai kegiatan kepemudaan.Jun merupakan salah satu anak kampung yang terbilang sukses. Meski hanya anak seorang petani, tapi Jun bisa menempuh pendidikan hingga jenjang Strata Tiga, hal yang jarang atau mungkin hanya Jun lah satu-satunya putra kampung Duku yang berhasil kuliah sampai S3. Selain itu, profesinya sebagai dosen sebuah universitas negeri, membawa sebuah kebanggaan tersendiri, baik bagi keluarganya maupun masyarakat kampung Duku.Dia merupakan pemuda yang lumayan populer di semua kalangan, baik di
Liana merapikan buku dan beberapa kertas berisi tugas anak-anak didiknya yang sempat berserakan di atas meja guru. Seorang anak mendekatinya seraya menyerahkan selembar kertas berisi tugas yang tadi sempat diberikan Liana pada anak muridnya di kelas A. "Ini, Bu," ucap anak itu seraya tersenyum. Liana menerima kertas itu sembari sedikit berjongkok dan membalas senyum anak muridnya. "Makasih, Sayang," ucap Liana. Kemudian tak lama dia kembali lagi dengan wajah datarnya sembari terus membereskan meja dan memasukkan berbagai alat tulis ke dalam tas kerjanya, sedangkan anak tadi telah berbalik dan kembali ke tempat duduknya. Kemudian terdengar suara pintu kelas diketuk. Liana segera menoleh ke arah sumber suara tadi. Terlihat Rohimah sedang berdiri di depan pintu memandang Liana sembari tersenyum. Seketika melihat Liana menoleh, Rohimah berkata, "Tak tunggu di bangku depan, ya?" Sembari berisyarat dengan tangannya, Rohimah memberitahukan pada L
Liana duduk dengan posisi miring tepat di belakang Sanusi. Motor bebek itu melaju begitu cepat menjelajahi tiap ruas jalan provinsi yang kini mereka lewati. Sekelebat kenangan akan kebaikan dan kasih sayang ayahnya, kembali memenuhi tiap ruang kepala Liana. Bagaimana sang ayah yang hanya petani kampung dengan lahan seadanya itu, bisa membuatnya seperti saat ini. Meski hanya menempuh pendidikan di sebuah universitas terbuka, tapi bukan hal mudah bagi Sanusi untuk memenuhi keinginan putrinya itu. Bahkan, belajar di universitas terbuka sebenarnya pernah ditentang oleh Sanusi, dan dia lebih menyarankan sang putri kesayangannya itu untuk meneruskan pendidikan di universitas negeri di luar kota. Namun, karena berbagai pertimbangan, Liana menolak saran ayahnya itu. Bahkan, Liana begitu ingat, bagaimana sang ayah begitu melarangnya untuk ikut turun ke sawah seperti yang banyak dilakukan gadis-gadis lain di kampungnya. Bahkan hanya Liana saja lah satu-satunya
"Mbak, permisi," sapa Sanusi pada seorang pramuniaga yang kebetulan berdiri di bagian baju muslimah. "Iya, ada yang bisa saya bantu, Bapak?" jawab pramuniaga itu begitu sopan. Departemen store ini, selain terkenal dengan harga murah dan kelengkapan produknya, juga terkenal dengan pelayanannya. "Mau cari baju buat lamarane anak saya ini, Mbak." Sanusi berkata seraya berisyarat dengan tangannya yang meraih pundak Liana. Dengan raut wajah gembira dan bangga, Sanusi melanjutkan perkataannya, "Carikan yang mantesi (pantas) dan Mriyayeni (anggun) ya, Mbak! Calonnya itu wong priyayi (orang kelas atas). Saya endak masalah sama hargae, sing penting bagus buat anak saya ini. Saya endak nyangka, Mbak, apa yang saya dan ibune angan-angankan sejak dia lahir
Liana begitu sibuk dengan tugas kuliahnya ketika tiba-tiba ponselnya berdering sebab sebuah panggilan telepon dari aplikasi hijau mendarat pada ponselnya. Terpampang jelas sebuah tulisan "Virus" pada layar ponsel itu. Liana yang sejak tadi memang sedang dalam suasana hati yang tidak baik-baik saja, serta badan yang lumayan kecapekan, malah makin kesal dengan hadirnya notifikasi panggilan dari Andreas. Memang, sejak awal masuknya chat pertama dari Andreas, Liana langsung saja tak menyukai segala tentang lelaki itu. Sebenarnya tak ada alasan jelas asal mula ketidaksukaan Liana pada lelaki pengusaha itu, kecuali hanya karena dia tak mau ada lelaki lain yang mengganggunya, sebab dia hanya menginginkan Jun seorang. Liana mendengus beberapa kali dan menggerutu tak jelas sebelum menjawab panggilan dari Andreas. "Ya Assalamualaikum," ucap Liana seketika menerima panggilan dari calon tunangannya itu. "Waalaikum Salam, Liana apa kabar?" ucap A
"Liana, aku enggak pernah nyangka, kamu bisa dapet anak kota, mana tajir pula," ucap Yatik, terapis kecantikan keliling, seraya membalurkan lulur ke tubuh Liana. "Kamu kok bisa bejo banget gitu, sih?" Liana hanya tersenyum sebentar, kemudian berkata, "Kenapa, Mbak? Menurutku sih biasa aja, gak terlalu istimewa." "Kamu ini, gak ilok ngeremehke rejekine gusti Alloh. Hal seperti itu haruse kamu syukuri. Apa lagi, tadi Dimas ngomong kalau calonmu itu yo ngganteng. Sempurna banget hidup kamu, Li." Atik bersemangat sekali membahas keberuntungan Liana. Sementara sang empunya nikmat, malah merasa mendapat siksaan. "Ya… entahlah, Mbak. Wong aku yo aslinya gak kenal sama dia." "Lha, kok iso? Mana bisa endak kena
"Dre, makan siang bareng kami, yuk!" ajak Kinanti pada Andreas seraya meletakkan setumpuk map berisi berkas laporan administrasi perusahaan di atas meja kerja Andreas.Andreas yang sedari tadi menunduk karena sedang memeriksa beberapa laporan lain yang datang sebelum ini, mendongakkan kepala memandang Kinanti kemudian menjawab, "Oke, aku kelarin ini dulu. Tunggu lima menit, entar aku keluar.""Oke, kita tunggu di parkiran saja, ya? Pakai mobil mas Agung saja! Biar simpel," Andreas mengangguk mengiyakan. Kinanti beranjak meninggalkan ruangan Andreas menuju ruangan AgungTak berapa lama berselang, Andreas keluar dari ruangannya kemudian melongok ke dalam ruangan Agung, di mana Kinanti juga sedang berada di sana."Ayo,
"Liatin apa kamu Ndre?" tanya Kinanti pada Andreas sembari membawa nampan berisi beberapa gelas sirup dingin dan sepiring bolu coklat."Cuma liatin foto kamu, soalnya aku sepertinya ada kenal satu." Andreas tetap bergeming sembari memandang foto lawas yang menempel pada dinding ruang tamu rumah Kinanti."Itu fotoku pas masih kecil, pas di kampung, rumah asli bapak. Gak mungkin lah kamu ada kenal, mereka semua saudara-saudaraku.""Kayaknya cuma perasaan aku aja deh." Andreas berbalik kemudian melangkah menuju sofa di mana Kinanti dan Agung, tunangan Kinanti, sedang duduk."Minum dulu, Ndre!" pinta Agung."Kuy lah, kita bahas kerjaan aja! Move on
"Mas Andreas, ditimbali (dipanggil) ayah sama bunda, ditunggu di bawah gak pake lama yo!" Terdengar suara ketukan pintu di kamar Andreas dibarengi dengan teriakan nyaring Yessy, adik bungsu Andreas."Iya," jawab Andreas dari dalam kamar tanpa membuka pintu. Andreas bergegas bangkit dari duduknya sembari merapikan sajadah yang barusan dipakai untuk melaksanakan sholat isya.Andreas baru saja pulang dari kantor, dan memang akhir-akhir ini dia biasa pulang setelah petang. Pasalnya perusahaan yang dirintisnya sedang mengalami perkembangan yang cukup baik. Mereka saat ini sedang banyak menerima berbagai tawaran pembukaan cabang usaha baru maupun penawaran investasi dari berbagai investor, dan itu menjadi penyebab pekerjaan makin banyak yang harus diselesaikan.Andreas bergegas ke
"Liana, aku enggak pernah nyangka, kamu bisa dapet anak kota, mana tajir pula," ucap Yatik, terapis kecantikan keliling, seraya membalurkan lulur ke tubuh Liana. "Kamu kok bisa bejo banget gitu, sih?" Liana hanya tersenyum sebentar, kemudian berkata, "Kenapa, Mbak? Menurutku sih biasa aja, gak terlalu istimewa." "Kamu ini, gak ilok ngeremehke rejekine gusti Alloh. Hal seperti itu haruse kamu syukuri. Apa lagi, tadi Dimas ngomong kalau calonmu itu yo ngganteng. Sempurna banget hidup kamu, Li." Atik bersemangat sekali membahas keberuntungan Liana. Sementara sang empunya nikmat, malah merasa mendapat siksaan. "Ya… entahlah, Mbak. Wong aku yo aslinya gak kenal sama dia." "Lha, kok iso? Mana bisa endak kena
Liana begitu sibuk dengan tugas kuliahnya ketika tiba-tiba ponselnya berdering sebab sebuah panggilan telepon dari aplikasi hijau mendarat pada ponselnya. Terpampang jelas sebuah tulisan "Virus" pada layar ponsel itu. Liana yang sejak tadi memang sedang dalam suasana hati yang tidak baik-baik saja, serta badan yang lumayan kecapekan, malah makin kesal dengan hadirnya notifikasi panggilan dari Andreas. Memang, sejak awal masuknya chat pertama dari Andreas, Liana langsung saja tak menyukai segala tentang lelaki itu. Sebenarnya tak ada alasan jelas asal mula ketidaksukaan Liana pada lelaki pengusaha itu, kecuali hanya karena dia tak mau ada lelaki lain yang mengganggunya, sebab dia hanya menginginkan Jun seorang. Liana mendengus beberapa kali dan menggerutu tak jelas sebelum menjawab panggilan dari Andreas. "Ya Assalamualaikum," ucap Liana seketika menerima panggilan dari calon tunangannya itu. "Waalaikum Salam, Liana apa kabar?" ucap A
"Mbak, permisi," sapa Sanusi pada seorang pramuniaga yang kebetulan berdiri di bagian baju muslimah. "Iya, ada yang bisa saya bantu, Bapak?" jawab pramuniaga itu begitu sopan. Departemen store ini, selain terkenal dengan harga murah dan kelengkapan produknya, juga terkenal dengan pelayanannya. "Mau cari baju buat lamarane anak saya ini, Mbak." Sanusi berkata seraya berisyarat dengan tangannya yang meraih pundak Liana. Dengan raut wajah gembira dan bangga, Sanusi melanjutkan perkataannya, "Carikan yang mantesi (pantas) dan Mriyayeni (anggun) ya, Mbak! Calonnya itu wong priyayi (orang kelas atas). Saya endak masalah sama hargae, sing penting bagus buat anak saya ini. Saya endak nyangka, Mbak, apa yang saya dan ibune angan-angankan sejak dia lahir
Liana duduk dengan posisi miring tepat di belakang Sanusi. Motor bebek itu melaju begitu cepat menjelajahi tiap ruas jalan provinsi yang kini mereka lewati. Sekelebat kenangan akan kebaikan dan kasih sayang ayahnya, kembali memenuhi tiap ruang kepala Liana. Bagaimana sang ayah yang hanya petani kampung dengan lahan seadanya itu, bisa membuatnya seperti saat ini. Meski hanya menempuh pendidikan di sebuah universitas terbuka, tapi bukan hal mudah bagi Sanusi untuk memenuhi keinginan putrinya itu. Bahkan, belajar di universitas terbuka sebenarnya pernah ditentang oleh Sanusi, dan dia lebih menyarankan sang putri kesayangannya itu untuk meneruskan pendidikan di universitas negeri di luar kota. Namun, karena berbagai pertimbangan, Liana menolak saran ayahnya itu. Bahkan, Liana begitu ingat, bagaimana sang ayah begitu melarangnya untuk ikut turun ke sawah seperti yang banyak dilakukan gadis-gadis lain di kampungnya. Bahkan hanya Liana saja lah satu-satunya
Liana merapikan buku dan beberapa kertas berisi tugas anak-anak didiknya yang sempat berserakan di atas meja guru. Seorang anak mendekatinya seraya menyerahkan selembar kertas berisi tugas yang tadi sempat diberikan Liana pada anak muridnya di kelas A. "Ini, Bu," ucap anak itu seraya tersenyum. Liana menerima kertas itu sembari sedikit berjongkok dan membalas senyum anak muridnya. "Makasih, Sayang," ucap Liana. Kemudian tak lama dia kembali lagi dengan wajah datarnya sembari terus membereskan meja dan memasukkan berbagai alat tulis ke dalam tas kerjanya, sedangkan anak tadi telah berbalik dan kembali ke tempat duduknya. Kemudian terdengar suara pintu kelas diketuk. Liana segera menoleh ke arah sumber suara tadi. Terlihat Rohimah sedang berdiri di depan pintu memandang Liana sembari tersenyum. Seketika melihat Liana menoleh, Rohimah berkata, "Tak tunggu di bangku depan, ya?" Sembari berisyarat dengan tangannya, Rohimah memberitahukan pada L
Junaedi merupakan anak sulung dari empat bersaudara. Lelaki kelahiran kampung Duku itu merupakan seorang dosen di sebuah universitas negeri di kota Baya. Dia mengajar seminggu tiga kali, selain itu dia juga mengajar di beberapa universitas swasta di kota Bayu, sehingga dia lebih sering pulang ke kampung Duku dan juga aktif di berbagai kegiatan kepemudaan.Jun merupakan salah satu anak kampung yang terbilang sukses. Meski hanya anak seorang petani, tapi Jun bisa menempuh pendidikan hingga jenjang Strata Tiga, hal yang jarang atau mungkin hanya Jun lah satu-satunya putra kampung Duku yang berhasil kuliah sampai S3. Selain itu, profesinya sebagai dosen sebuah universitas negeri, membawa sebuah kebanggaan tersendiri, baik bagi keluarganya maupun masyarakat kampung Duku.Dia merupakan pemuda yang lumayan populer di semua kalangan, baik di