Sudah dua jam berlalu, tapi keluarga Nadendra belum juga pamit untuk pulang, bahkan sepertinya mereka begitu kerasan berada di rumah Sanusi, sang calon besan. Terdengar suara tawa bersahutan dari kedua pasang suami istri paruh baya itu. Sementara Liana makin gusar saja di ruang tengah sembari menguping pembicaraan mereka yang bahkan kini tak membahas tentang dirinya sama sekali.
"Bisa-bisanya bapak akrab sama pak Narendra. Gak nyadar apa anak gadis kesayangannya ini lagi bosen dan sebel banget?" gumam Liana sembari tanpa sadar dirinya merobek-robek kertas koran yang tergeletak begitu saja di ruang tengah.
Sementara di luar, ada tiga orang remaja tanggung belasan tahun yang menatap kagum terhadap sebuah mobil yang tengah terparkir di pinggir jalan di depan rumah Sanusi itu. Salah satunya adalah Dimas, adik Liana.
"Wih, iki montor larang mesti (ini pasti mobil mahal), mulus," ucapnya seraya membulatkan mata dan memonyongkan bibirnya.
"Aku kalau gede mau beli yang kayak gini, tak bawa si mbok'e jalan-jalan ke alun-alun," timpal Yanto, salah satu teman Dimas yang berbadan cungkring dan berkulit hitam legam.
"Punya mobil ginian, kok jalan-jalane mung ke alun-alun, hu... gak keren kamu, Yan," ejek Dimas kemudian, seraya menepuk agak keras kepala bagian belakang Yanto.
Yanto cungkring itu hanya mengelus-elus kepala bagian belakangnya seraya sedikit memejamkan mata, kemudian berkata, "Ya habisnya aku itu tahunya cuma alun-alun saja. Mau ke luar kota aku takut nyasar, mengko (nanti) aku diamuk'i sama si mbok'e. Hahahaha...."
Ketiga anak itu tertawa terbahak-bahak mendengar ucapan Yanto. Kemudian Samsul, teman Dimas yang gendut dan bermata sipit, tiba-tiba memotong pembicaraan mereka.
"Sik, sik. Aku lali (lupa). Aku hari ini gak dibolehin pulang siang-siang. Bapak mau ngajak aku ke kota mau beli gabus (spons) buat nembel kursi tamu yang gembos. Duh, jam berapa ini wes, Dim?"
Dimas melihat jam tangan yang melingkar di pergelangan tangan kirinya, kemudian menjawab, " Wis jam sebelas, wis siang ini, Sul. Wis-wis sana cepetan pulang, kalau telat nanti kamu bisa dicancang (diikat) bapakmu kayak kemarin."
Akhirnya Samsul segera mengayuh sepeda BMXnya dengan cepat meninggalkan tempat itu, disusul Yanto yang berteriak memanggil Samsul.
"Sul, tunggu, barengan pulangnya!"
Tinggal Dimas sendirian di tempat itu sembari kepalanya menggeleng melihat tingkah kedua sahabatnya itu. Kemudian ia segera menuntun sepedanya memasuki halaman rumah dan memarkirnya di depan teras, di bawah pohon jambu.
Dimas memasuki rumah lewat pintu depan, tapi dia sempat penasaran dengan penampakan dua sandal bermerk Hit Pupus dan sebuah sandal wanita berhak yang tak mungkin dipakai oleh ibunya maupun Liana. Dia berpikir kalau di ruang tamu pasti ada tamu. Dia sempat berpikir untuk lewat pintu samping saja, hanya saja karena penasaran dengan tamu, yang sepertinya tak biasa itu, maka dia putuskan untuk bersiasat dengan pura-pura tak tahu sehingga bisa tahu siapa gerangan tamu pemilik mobil mulus yang terkesan mahal itu.
'Kayaknya pemilik mobil tadi ada di dalam rumah,' batin Dimas sembari melangkah masuk.
"Assalamualaikum," salam Dimas seketika memasuki ruang tamu.
"Waalaikumsalam,"jawab yang berada di dalam ruangan hampir bersamaan.
"Nah, ini anak saya yang nomor dua, Pak. Namanya Dimas, adiknya Liana," ucap Sanusi memperkenalkan Dimas pada Narendra, kemudian memanggil putranya itu, "Sini, Le. Salim sama bapak dan ibu Narendra, terus salim juga sama Andreas, calonnya mbakmu." Sanusi berucap dengan wajah sumringah.
Dimas tersenyum sembari menunduk memberi salam kepada Narendra sekeluarga, kemudian bersalaman dengan Narendra dan Puspa, lalu dia juga menyalami Andreas sembari menatapnya penuh selidik.
"Oh, ini toh, mas-mas yang biasanya bikin mbak senyum-senyum sendiri itu. Hihihi..." ucap Dimas seketika selesai dengan tatapannya tadi, "Pantesan, wong mas'e ngganteng," ucapnya lagi seraya mengacungkan kedua jempolnya ke arah Andreas.
Sontak saja seluruh ruangan tertawa mendengar celotehan Dimas. Apa lagi Andreas yang terlihat menyukai remaja itu seketika bertemu, bahkan dia sempat berpikir bahwa Dimas adalah salah satu jalan yang bisa membuatnya makin dekat dengan Liana. Karena, selama ini Andreas merasa sedikit kesulitan mengenal gadis itu. Untung saja si gadis menyuruhnya untuk datang melamar, jika tidak, dia pasti akan kebingungan mengetahui kepastian perasaan Liana selama ini.
Menjelang dzuhur, keluarga Narendra baru pulang. Liana yang sedari tadi menguping sembari tak henti-henti bergumam dan mendengus itu pun, merasa sedikit lega dengan pamitnya mereka.
"Waduh, sudah siang banget ini pak Sanusi. Tamunya kerasan, gak kerasa pisang gorengnya hampir habis juga. Hahahaha..." ucap Narendra ketika tersadar bahwa waktu telah bergulir begitu banyak sejak mereka bertamu tadi.
Pertemuan pertama yang begitu akrab dan menyenangkan, menurut mereka. Silaturahmi pertama antara calon besan itu berjalan begitu lancar, bahkan di luar dugaan mereka kalau akhirnya mereka akan menjadi seakrab ini.
"Yo, saya malah seneng toh, Pak, kalau suguhan kami yang cuma pisang goreng ini bisa cocok sama lidah bapak sekeluarga. Nanti kalau ada pisang yang mateng lagi, tak suruh Liana nganter ke rumah bapak, atau kalau ada pisang kepok atau pisang candi muda yang bagus, tak bikinin keripik pisang. Istri saya ini jago bikin cemilan dari berbagai hasil tanah di halaman belakang. Pokok cocok saja, saya seneng banget. Wong bahannya kami tanam sendiri. Di belakang itu saya tanami macem-macem, ada bothe, singkong, ubi, jamu-jamuan juga ada," ucap Sanusi menjelaskan perihal halaman belakangnya dengan antusias
"Boleh-boleh. Di kota itu apa-apa beli, Pak. Jadinya tidak terjamin juga bagaimana kualitasnya. Kalau dari hasil tanam sendiri itu enak, lebih jelas kalau gak dikasih obat macam-macam. Oh ya, wes kelamaan ini, kalau dibiarin bisa-bisa kami nginep," kelakar Narendra yang diikuti gelak tawa seisi ruangan, "Kami mau pamit dulu, Pak. Dan sesuai pembicaraan kita barusan, acara lamarannya gak perlu nunda-nunda lagi, minggu depan saja. Nanti kita pakai cara adat saja, biar kekeluargaan, tidak perlu pakai cara modern, biar keluarga kita makin saling mengenal."
"Saya manut saja bagaimana enaknya. Wong ini niat baik. Insyaallah bakal baik terus dan lancar."
"Ya sudah, kami pamit dulu," ucap Narendra.
"Sebentar-sebentar, tak panggilin Liana, ya."
"O iya, sampai lupa sama calon mantu, sudah berasa mantu lama soalnya. Hahaha...." kelakar Narendra lagi yang diikuti gelak tawa seluruh orang di ruangan itu.
"Dim, panggilin mbakmu, bilang kalau bapak mertuanya mau pulang!" suruh Sanusi pada Dimas. Dan saking akrabnya mereka, hingga Sanusi menyebut Narendra sebagai 'bapak mertua' bagi Liana.
Dimas melangkah ke dalam rumah segera setelah Sanusi menyuruhnya untuk memanggil liana. Tak lama berselang, Liana datang dengan wajah yang sedikit bersungut-sungut, tapi berusaha disamarkannya karena dia tak ingin membuat kekacauan di tengah kebahagiaan yang dirasakan bapak dan ibunya itu.
"Nah, ini mantu ayuku sudah keluar," ucap Puspa seketika melihat Liana keluar sambil menunduk. Puspa berpikir jika Liana menunduk sebab malu, tapi nyatanya gadis itu menunduk sebab tak ingin wajah marahnya yang terlihat masam itu bisa jelas terlihat oleh tamunya saat ini, dan lagi dia tak ingin melihat wajah Andreas yang baginya terasa begitu menyebalkan.
"Ya wis, kami pamit dulu, ya," ucap Narendra seraya bersalaman kepada Sanusi dan Suyatmi.
Mereka saling bersalaman, begitu juga Andreas, yang menyalami kedua calon mertuanya dengan begitu hormat, kemudian dia juga menyalami Dimas dengan sebuah salam khas anak muda. Kedua calon ipar itu kelihatan akrab meski pertama bertemu, karena memang Dimas adalah anak yang supel dan menyenangkan. Liana yang melihat hal itu, sedikit merasa gusar.
Kemudian Sanusi menyuruh putrinya itu untuk bersalaman dengan kedua calon mertua dan calon tunangannya.
Liana menyalami Puspa dengan begitu hormat, tapi dia tak menyalami Narendra dan Andreas. Dia hanya berisyarat hormat kepada kedua lelaki itu dengan kedua telapak tangan yang disatukan di depan dada. Hal itu karena apa yang diketahuinya akhir-akhir ini selama mengenal Jun. Selain itu, dia juga sengaja melakukannya agar Narendra menjadi sedikit tersinggung, tapi tak membuatnya mendapat predikat sebagai perusuh, dia masih bisa berkelit dengan dalih aturan agama. Karena terkadang beberapa sikapnya yang syar'i tapi sedikit berbeda dengan kebiasaan, membuat beberapa orang bergunjing karena tersinggung dan kurang senang. Dan ini bisa menjadi kesan pertama yang sedikit tak disenangi mereka, pikir Liana.
Sontak saja, sikap Liana yang semacam itu, berhasil mengejutkan Narendra dan istrinya. Namun, alih-alih mereka tersinggung dan marah, Narendra dan Puspa malah kagum dan memuji sikap calon menantunya itu. Padahal sebelumnya, Sanusi sempat kaget dan hampir memarahi putrinya itu.
"Wah, pak Sanusi ini punya putri yang luar biasa memang. Andreas, kamu ini beruntung banget," ucap Narendra seraya menepuk punggung putranya itu. Andreas tersenyum senang digoda ayahnya seperti itu.
Liana yang berpikir bahwa sikapnya akan menimbulkan sedikit masalah, menjadi kecewa dengan yang terjadi. Gagal sudah usaha pertamanya, tapi dia tak berputus asa untuk mencari cara lainnya
Sanusi dan Suyatmi melangkah masuk rumah seketika mobil Narendra menghilang di pertigaan yang terletak di sebelah timur rumah mereka. Sementara Liana sudah lebih dulu masuk sejak Narendra membalikkan tubuhnya melangkah ke arah mobil mereka.Kini Liana sedang duduk dengan kaki menjuntai di bibir ranjang. Berulang kali dia menghela nafas dalam-dalam menahan amarah. Teringat kembali kejadian dua pekan lalu, saat dia membalas pesan Andreas dengan cukup kasar, menurutnya. Tapi, Andreas malah datang melamarnya hari ini.Sejurus kemudian Liana mencari ponsel yang sejak pagi dibiarkan tergeletak saja di atas ranjang, sebab dia sibuk menguping pembicaraan kedua orang tuanya dengan keluarga Narendra. Diusapnya layar ponsel, kemudian terlihat ada notifikasi chat dari sebuah aplikasi hijau. Dia membuka aplikasi itu, yang ternyata sebuah chat dari Jun, pujaan hatinya.Belum sempat Liana membuka chat itu, tiba-tiba terdengar pintu kamar yang diketuk dari lua
Mentari pagi mengintip malu dari persembunyiannya, menimbulkan semburat jingga indah arunika dari ufuk timur. Kokok ayam pun mulai bersahutan, membangunkan penduduk kampung Delima agar segera beraktifitas di Senin pagi yang cerah ini. Namun, cerahnya hari, tak seperti hati Liana yang sedang diliputi kabut kekecewaan akibat kejadian kemarin dan kenyataan bahwa hari ini dia tak akan bisa bertemu dengan Jun.Liana berdiri dengan raut wajah datar tanpa ekspresi di depan teras rumahnya, menunggu Sanusi mengeluarkan motor dari dalam rumah. Sebuah motor bebek empat tak kesayangannya, yang telah membantu berbagai pekerjaan maupun keperluan lainnya. Sementara Dimas, dia telah berangkat terlebih dahulu, kira-kira dua puluh menit yang lalu mengendarai sepeda BMXnya. Seperti biasa, siswa SMP kelas dua itu berangkat sekolah bersama teman-temannya."Ayo, Nduk, kita berangk
Sebuah ruangan berukuran sembilan meter persegi, di mana di dalamnya terdapat sebuah whiteboard bertuliskan data kegiatan bulanan kampung Delima, seorang lelaki berperawakan langsing sedang duduk berkutat dengan tumpukan kertas yang tercecer di atas meja yang tepat berada di hadapannya. Dia adalah Ahmad Junaedi. Seorang pemuda kampung yang begitu aktif dalam berbagai kegiatan pemuda di beberapa desa sekecamatan Duku, dan salah satunya adalah kampung Delima. Dia adalah pembimbing berbagai kegiatan kepemudaan di kampung itu. Terlihat sesekali Jun, panggilan akrabnya, membenahi posisi peci putihnya yang beberapa kali terlihat miring, sambil terus berkutat dengan berbagai laporan dan catatan kegiatan karang taruna para pemuda di kampung itu, hingga kemudian konsentrasinya terpecah oleh sebuah notifikasi pesan chat dari ponsel yang tergeletak begitu saja di sebelah tumpukan kertas yang sedang diperiksanya. Diperiksanya
Junaedi merupakan anak sulung dari empat bersaudara. Lelaki kelahiran kampung Duku itu merupakan seorang dosen di sebuah universitas negeri di kota Baya. Dia mengajar seminggu tiga kali, selain itu dia juga mengajar di beberapa universitas swasta di kota Bayu, sehingga dia lebih sering pulang ke kampung Duku dan juga aktif di berbagai kegiatan kepemudaan.Jun merupakan salah satu anak kampung yang terbilang sukses. Meski hanya anak seorang petani, tapi Jun bisa menempuh pendidikan hingga jenjang Strata Tiga, hal yang jarang atau mungkin hanya Jun lah satu-satunya putra kampung Duku yang berhasil kuliah sampai S3. Selain itu, profesinya sebagai dosen sebuah universitas negeri, membawa sebuah kebanggaan tersendiri, baik bagi keluarganya maupun masyarakat kampung Duku.Dia merupakan pemuda yang lumayan populer di semua kalangan, baik di
Liana merapikan buku dan beberapa kertas berisi tugas anak-anak didiknya yang sempat berserakan di atas meja guru. Seorang anak mendekatinya seraya menyerahkan selembar kertas berisi tugas yang tadi sempat diberikan Liana pada anak muridnya di kelas A. "Ini, Bu," ucap anak itu seraya tersenyum. Liana menerima kertas itu sembari sedikit berjongkok dan membalas senyum anak muridnya. "Makasih, Sayang," ucap Liana. Kemudian tak lama dia kembali lagi dengan wajah datarnya sembari terus membereskan meja dan memasukkan berbagai alat tulis ke dalam tas kerjanya, sedangkan anak tadi telah berbalik dan kembali ke tempat duduknya. Kemudian terdengar suara pintu kelas diketuk. Liana segera menoleh ke arah sumber suara tadi. Terlihat Rohimah sedang berdiri di depan pintu memandang Liana sembari tersenyum. Seketika melihat Liana menoleh, Rohimah berkata, "Tak tunggu di bangku depan, ya?" Sembari berisyarat dengan tangannya, Rohimah memberitahukan pada L
Liana duduk dengan posisi miring tepat di belakang Sanusi. Motor bebek itu melaju begitu cepat menjelajahi tiap ruas jalan provinsi yang kini mereka lewati. Sekelebat kenangan akan kebaikan dan kasih sayang ayahnya, kembali memenuhi tiap ruang kepala Liana. Bagaimana sang ayah yang hanya petani kampung dengan lahan seadanya itu, bisa membuatnya seperti saat ini. Meski hanya menempuh pendidikan di sebuah universitas terbuka, tapi bukan hal mudah bagi Sanusi untuk memenuhi keinginan putrinya itu. Bahkan, belajar di universitas terbuka sebenarnya pernah ditentang oleh Sanusi, dan dia lebih menyarankan sang putri kesayangannya itu untuk meneruskan pendidikan di universitas negeri di luar kota. Namun, karena berbagai pertimbangan, Liana menolak saran ayahnya itu. Bahkan, Liana begitu ingat, bagaimana sang ayah begitu melarangnya untuk ikut turun ke sawah seperti yang banyak dilakukan gadis-gadis lain di kampungnya. Bahkan hanya Liana saja lah satu-satunya
"Mbak, permisi," sapa Sanusi pada seorang pramuniaga yang kebetulan berdiri di bagian baju muslimah. "Iya, ada yang bisa saya bantu, Bapak?" jawab pramuniaga itu begitu sopan. Departemen store ini, selain terkenal dengan harga murah dan kelengkapan produknya, juga terkenal dengan pelayanannya. "Mau cari baju buat lamarane anak saya ini, Mbak." Sanusi berkata seraya berisyarat dengan tangannya yang meraih pundak Liana. Dengan raut wajah gembira dan bangga, Sanusi melanjutkan perkataannya, "Carikan yang mantesi (pantas) dan Mriyayeni (anggun) ya, Mbak! Calonnya itu wong priyayi (orang kelas atas). Saya endak masalah sama hargae, sing penting bagus buat anak saya ini. Saya endak nyangka, Mbak, apa yang saya dan ibune angan-angankan sejak dia lahir
Liana begitu sibuk dengan tugas kuliahnya ketika tiba-tiba ponselnya berdering sebab sebuah panggilan telepon dari aplikasi hijau mendarat pada ponselnya. Terpampang jelas sebuah tulisan "Virus" pada layar ponsel itu. Liana yang sejak tadi memang sedang dalam suasana hati yang tidak baik-baik saja, serta badan yang lumayan kecapekan, malah makin kesal dengan hadirnya notifikasi panggilan dari Andreas. Memang, sejak awal masuknya chat pertama dari Andreas, Liana langsung saja tak menyukai segala tentang lelaki itu. Sebenarnya tak ada alasan jelas asal mula ketidaksukaan Liana pada lelaki pengusaha itu, kecuali hanya karena dia tak mau ada lelaki lain yang mengganggunya, sebab dia hanya menginginkan Jun seorang. Liana mendengus beberapa kali dan menggerutu tak jelas sebelum menjawab panggilan dari Andreas. "Ya Assalamualaikum," ucap Liana seketika menerima panggilan dari calon tunangannya itu. "Waalaikum Salam, Liana apa kabar?" ucap A
"Dre, makan siang bareng kami, yuk!" ajak Kinanti pada Andreas seraya meletakkan setumpuk map berisi berkas laporan administrasi perusahaan di atas meja kerja Andreas.Andreas yang sedari tadi menunduk karena sedang memeriksa beberapa laporan lain yang datang sebelum ini, mendongakkan kepala memandang Kinanti kemudian menjawab, "Oke, aku kelarin ini dulu. Tunggu lima menit, entar aku keluar.""Oke, kita tunggu di parkiran saja, ya? Pakai mobil mas Agung saja! Biar simpel," Andreas mengangguk mengiyakan. Kinanti beranjak meninggalkan ruangan Andreas menuju ruangan AgungTak berapa lama berselang, Andreas keluar dari ruangannya kemudian melongok ke dalam ruangan Agung, di mana Kinanti juga sedang berada di sana."Ayo,
"Liatin apa kamu Ndre?" tanya Kinanti pada Andreas sembari membawa nampan berisi beberapa gelas sirup dingin dan sepiring bolu coklat."Cuma liatin foto kamu, soalnya aku sepertinya ada kenal satu." Andreas tetap bergeming sembari memandang foto lawas yang menempel pada dinding ruang tamu rumah Kinanti."Itu fotoku pas masih kecil, pas di kampung, rumah asli bapak. Gak mungkin lah kamu ada kenal, mereka semua saudara-saudaraku.""Kayaknya cuma perasaan aku aja deh." Andreas berbalik kemudian melangkah menuju sofa di mana Kinanti dan Agung, tunangan Kinanti, sedang duduk."Minum dulu, Ndre!" pinta Agung."Kuy lah, kita bahas kerjaan aja! Move on
"Mas Andreas, ditimbali (dipanggil) ayah sama bunda, ditunggu di bawah gak pake lama yo!" Terdengar suara ketukan pintu di kamar Andreas dibarengi dengan teriakan nyaring Yessy, adik bungsu Andreas."Iya," jawab Andreas dari dalam kamar tanpa membuka pintu. Andreas bergegas bangkit dari duduknya sembari merapikan sajadah yang barusan dipakai untuk melaksanakan sholat isya.Andreas baru saja pulang dari kantor, dan memang akhir-akhir ini dia biasa pulang setelah petang. Pasalnya perusahaan yang dirintisnya sedang mengalami perkembangan yang cukup baik. Mereka saat ini sedang banyak menerima berbagai tawaran pembukaan cabang usaha baru maupun penawaran investasi dari berbagai investor, dan itu menjadi penyebab pekerjaan makin banyak yang harus diselesaikan.Andreas bergegas ke
"Liana, aku enggak pernah nyangka, kamu bisa dapet anak kota, mana tajir pula," ucap Yatik, terapis kecantikan keliling, seraya membalurkan lulur ke tubuh Liana. "Kamu kok bisa bejo banget gitu, sih?" Liana hanya tersenyum sebentar, kemudian berkata, "Kenapa, Mbak? Menurutku sih biasa aja, gak terlalu istimewa." "Kamu ini, gak ilok ngeremehke rejekine gusti Alloh. Hal seperti itu haruse kamu syukuri. Apa lagi, tadi Dimas ngomong kalau calonmu itu yo ngganteng. Sempurna banget hidup kamu, Li." Atik bersemangat sekali membahas keberuntungan Liana. Sementara sang empunya nikmat, malah merasa mendapat siksaan. "Ya… entahlah, Mbak. Wong aku yo aslinya gak kenal sama dia." "Lha, kok iso? Mana bisa endak kena
Liana begitu sibuk dengan tugas kuliahnya ketika tiba-tiba ponselnya berdering sebab sebuah panggilan telepon dari aplikasi hijau mendarat pada ponselnya. Terpampang jelas sebuah tulisan "Virus" pada layar ponsel itu. Liana yang sejak tadi memang sedang dalam suasana hati yang tidak baik-baik saja, serta badan yang lumayan kecapekan, malah makin kesal dengan hadirnya notifikasi panggilan dari Andreas. Memang, sejak awal masuknya chat pertama dari Andreas, Liana langsung saja tak menyukai segala tentang lelaki itu. Sebenarnya tak ada alasan jelas asal mula ketidaksukaan Liana pada lelaki pengusaha itu, kecuali hanya karena dia tak mau ada lelaki lain yang mengganggunya, sebab dia hanya menginginkan Jun seorang. Liana mendengus beberapa kali dan menggerutu tak jelas sebelum menjawab panggilan dari Andreas. "Ya Assalamualaikum," ucap Liana seketika menerima panggilan dari calon tunangannya itu. "Waalaikum Salam, Liana apa kabar?" ucap A
"Mbak, permisi," sapa Sanusi pada seorang pramuniaga yang kebetulan berdiri di bagian baju muslimah. "Iya, ada yang bisa saya bantu, Bapak?" jawab pramuniaga itu begitu sopan. Departemen store ini, selain terkenal dengan harga murah dan kelengkapan produknya, juga terkenal dengan pelayanannya. "Mau cari baju buat lamarane anak saya ini, Mbak." Sanusi berkata seraya berisyarat dengan tangannya yang meraih pundak Liana. Dengan raut wajah gembira dan bangga, Sanusi melanjutkan perkataannya, "Carikan yang mantesi (pantas) dan Mriyayeni (anggun) ya, Mbak! Calonnya itu wong priyayi (orang kelas atas). Saya endak masalah sama hargae, sing penting bagus buat anak saya ini. Saya endak nyangka, Mbak, apa yang saya dan ibune angan-angankan sejak dia lahir
Liana duduk dengan posisi miring tepat di belakang Sanusi. Motor bebek itu melaju begitu cepat menjelajahi tiap ruas jalan provinsi yang kini mereka lewati. Sekelebat kenangan akan kebaikan dan kasih sayang ayahnya, kembali memenuhi tiap ruang kepala Liana. Bagaimana sang ayah yang hanya petani kampung dengan lahan seadanya itu, bisa membuatnya seperti saat ini. Meski hanya menempuh pendidikan di sebuah universitas terbuka, tapi bukan hal mudah bagi Sanusi untuk memenuhi keinginan putrinya itu. Bahkan, belajar di universitas terbuka sebenarnya pernah ditentang oleh Sanusi, dan dia lebih menyarankan sang putri kesayangannya itu untuk meneruskan pendidikan di universitas negeri di luar kota. Namun, karena berbagai pertimbangan, Liana menolak saran ayahnya itu. Bahkan, Liana begitu ingat, bagaimana sang ayah begitu melarangnya untuk ikut turun ke sawah seperti yang banyak dilakukan gadis-gadis lain di kampungnya. Bahkan hanya Liana saja lah satu-satunya
Liana merapikan buku dan beberapa kertas berisi tugas anak-anak didiknya yang sempat berserakan di atas meja guru. Seorang anak mendekatinya seraya menyerahkan selembar kertas berisi tugas yang tadi sempat diberikan Liana pada anak muridnya di kelas A. "Ini, Bu," ucap anak itu seraya tersenyum. Liana menerima kertas itu sembari sedikit berjongkok dan membalas senyum anak muridnya. "Makasih, Sayang," ucap Liana. Kemudian tak lama dia kembali lagi dengan wajah datarnya sembari terus membereskan meja dan memasukkan berbagai alat tulis ke dalam tas kerjanya, sedangkan anak tadi telah berbalik dan kembali ke tempat duduknya. Kemudian terdengar suara pintu kelas diketuk. Liana segera menoleh ke arah sumber suara tadi. Terlihat Rohimah sedang berdiri di depan pintu memandang Liana sembari tersenyum. Seketika melihat Liana menoleh, Rohimah berkata, "Tak tunggu di bangku depan, ya?" Sembari berisyarat dengan tangannya, Rohimah memberitahukan pada L
Junaedi merupakan anak sulung dari empat bersaudara. Lelaki kelahiran kampung Duku itu merupakan seorang dosen di sebuah universitas negeri di kota Baya. Dia mengajar seminggu tiga kali, selain itu dia juga mengajar di beberapa universitas swasta di kota Bayu, sehingga dia lebih sering pulang ke kampung Duku dan juga aktif di berbagai kegiatan kepemudaan.Jun merupakan salah satu anak kampung yang terbilang sukses. Meski hanya anak seorang petani, tapi Jun bisa menempuh pendidikan hingga jenjang Strata Tiga, hal yang jarang atau mungkin hanya Jun lah satu-satunya putra kampung Duku yang berhasil kuliah sampai S3. Selain itu, profesinya sebagai dosen sebuah universitas negeri, membawa sebuah kebanggaan tersendiri, baik bagi keluarganya maupun masyarakat kampung Duku.Dia merupakan pemuda yang lumayan populer di semua kalangan, baik di