Fery dan Suci sampai di Suniagara sudah lewat waktu Magrib. Untungnya mereka tadi mandi dulu di rest area sekalian makan lagi.Suci mengempaskan diri di kasur karena dirinya merasa sangat lelah.“Sholat dulu, Ci. Abis itu kita tidur,” ajak Fery sambil melangkah ke kamar mandi untuk wudhu. Suci pun ikut menyusul agar bisa secepatnya sholat dan tidur. Mata rasanya sudah tinggal lima watt.Selesai salat, Suci kembali merebahkan dirinya ke kasur. Benar-benar hari yang sangat melelahkan. Setelah ikut menghadiri sidang perceraian sang suami, lalu melalui perjalanan jauh, dan diselingi bercinta di rest area.“Capek?” Fery berbisik dari belakang Suci. Dia menyampirkan rambut Suci yang tergerai ke dada. “Aku pijitn, ya.”“Aah, Bapak mah ujungnya suka minta yang lain.” Suci cemberut.“Eeh, siapa bilang? Sini, aku cuman kasian sama kamu. Duu, duu, duu capek ya, istriku ini.” Fery mulai memijit pundak Suci secara perlahan.Suci pun kembali memejamkan matanya merasakan nikmatnya pijatan tangan Fer
“Mmh, aku mau nganter makanan buat Mas Fery,” jawab Suci dengan jujur.“Ooh.” Yuni mendelik pada bungkusan yang dibawa oleh Suci. Bibirnya mencebik.“Kamu katanya udah kawin ya sama Mas Fery?”tanyanya dengan nada yang ketus.Suci mengangguk pelan. “I-iya, Mbak. Mas Fery yang minta.”“Halaah, itu paling buat manas-manasin aku. Persis kaya dulu dia ngawinin aku, cuman buat manas-manasin si Tonggos itu.” Yuni tersenyum mencibir.“Sa-ya tidak tau, Mbak. Mas Fery ….”“Halaah, kamu jangan mimpi, deh, Suci. Mas Fery itu nggak mungkin suka sama kamu. Dia belum pernah menyentuhmu, kan?” Yuni menertawakan.“Nggak, Mbak. Kami sudah melakukannya,” jawab Suci malu-malu dan membuat tawa Yuni terhenti seketika.“Apa? tidak mungkin!” Dia menggeleng tak percaya jika Fery bisa menyentuh pembantunya itu. Walaupun Yuni akui jika sekarang penampilan Suci jauh lebih baik.“Benar, Mbak. Kami melakukannya di rumah orangtuanya Mas Fery.”Jawaban Suci barusan semakin membuat Yuni terbelalak. Dia merasa panas
Fery menilik kondisi Suci yang bajunya basah terkena semburan sayur sop. Dia juga melihat bagian tangan juga kaki takutnya terkena luka bakar seperti dulu.“Tangan kamu nggak kenapa-napa, kan?” tanya Fery tampak khawatir.“Nggak apa-apa, Mas. Supnya udah gak terlalu panas. Tapi … bagaimana Mas Fery makan siangnya?” Suci tampak begitu menyesal.“Sudah, nggak usah kamu pikirin. Aku bisa beli makan siang di kantin. Kamu belum makan juga, kan?” tanya Fery. Suci pun menggeleng pelan.“Ya sudah, sekarang kita ke ruanganku dulu, abis itu kita beli makan di kantin,” ajak Fery seraya menuntun tangan Suci menuju ruangannya.“Kita mau ngapain?” tanya Suci kebingungan. Bukannya mereka mau makan, tapi kenapa Fery malah mengajaknya ke ruangan? Otaknya masih tak mengerti.“Bersihin baju kamu dulu, masa makan mau bau kaya gini.” Fery menjelaskan. Suci pun hanya menuruti ajakan suaminya.“Duduk,” ujar Fery yang menarik kursi besi di depan mejanya. Lelaki itu lantas mengambil lap bersih dan membasahi
Hari-hari Fery sekarang, dia lalui dengan penuh kebahagiaan. Bangun dalam keadaan segar dan ceria. Dia senang sekali melihat Suci yang kelelahan setelah melayaninya semalaman.“Masih ngantuk?” ledeknya sambil mencium puncak kepala Suci dari belakang. Suci tengah mencuci bekas sarapan mereka berdua. Fery memeluknya erat dan mencium pipi sang istri dengan gemas.“Lemes,” jawab Suci dengan jujur. “Ya udah, nanti kamu istirahat aja nggak usah ngapa-ngapain. Atau perlu cari pembatu?” tanya Fery. Suci sontak menghentikan gerakan tangannya dan menoleh ke belakang dengan mata melotot.“Kenapa?” Fery menautkan alisnya bingung.“Aku nggak mau. Ntar Mas nikahin lagi pembantu itu.” Bibir Suci cemberut.Fery sontak tertawa. “Apaan, sih? kita cari yang udah tua, kan, bisa. Kamu punya sodara, mungkin. Atau tetangga yang bisa kerja di sini.”“Ibu aku, gimana?” tawar Suci.Kini giliran Fery yang melotot. “Masa iya ngerjain orangtua sendiri? Durhaka itu namanya. Oh iya, kamu kalau mau nengok orang
“Bu, aku mau ke rumahnya Kang Fahri dulu, ya. Aku mau agar urusanku dengan dia lekas beres dan nggak punya hubungan lagi,” ucap Suci.“Baiklah, Teh. Tapi ingat, jangan sampai menyakiti. Jangan sampai ada dendam yang tersisa di hubungan kalian. Yang namanya laki-laki biasanya suka nekad.” Yati—ibunya Suci—mengingatkan.“Iya, Bu, aku ngerti. Aku akan hati-hati ngomong sama Kang Fahri. Aku pergi dulu ya.” Suci bangkit dari kursi dan meraih tas selempangnya.“Iya, Ibu doain kalian bisa selesai dengan baik.” Yati ikut bangkit.“Aamiin. Oh iya, Bu. Mas Fery suruh aku cariin pembantu buat di rumah. Kira-kira siapa ya yang bisa disuruh?” tanya Suci yang urung melanjutkan langkahnya.“Buat pembantu, ya? Mau yang muda apa yang sudah tua aja?”“Yang udah ibu-ibu aja, Bu. Siapa ya kira-kira?” Suci balik bertanya.“Emangnya kamu udah nggak mampu ngurusin rumah, Teh?”“Mas Fery itu … tiap malem bikin capek, Bu. Aku suka lelah kalau pagi.”“euleuuh, kirain teh apa. Iya atuh, kalau gitu mah. Nanti I
Suci duduk termenung di sofa depan TV. Pikirannya melayang pada kejadian tadi. Ucapan ibunya Fahri begitu menusuk. Suci bahkan tak menyadari kehadiran sang suami yang baru saja pulang.“Suci?” Lelaki itu berulang kali menegus sang istri, tetapi Suci masih tenggelam dalam lamunan.“Sayang.” Fery akhirnya mendaratkan ciuman di pipi gadis itu hingga Suci terlonjak kaget.“Astagfirullah, Mas. kirain siapa. Maen cium aja,” ujar Suci sambil memegang dadanya yang berdebar kencang.“Abisnya dari tadi dipanggil, kok, nggak nyahut aja. Lagi ngelamunin apaan, sih?” Fery pun ikut duduk di samping Suci.Suci terdiam. Dia tidak mau menceritakan kejelekan ibunya Fahri.“Tadi nggak jadi ke rumah Ibu? Kamu sedih karena itu?” tanya Fery menebak.Suci pun menggeleng pelan. “Aku tadi ke rumah Ibu. Bawa kue yang Mas beli kemarin. Nggak apa-apa, kan?”“Lho, ya nggak apa-apa, lah. Di sini juga kebanyakan. Aku malah seneng kamu bilang dibawa ke rumah Ibu. Terus gimana? Apa ada yang bikin kamu sedih? Nggak bi
Pagi-pagi Suci dikagetkan dengan kedatangan seorang kurir yang membawa paket yang cukup besar. Di sana tertera untuk dirinya.“Untuk saya?” tanyanya polos.Abang kurir itu pun mengangguk. “Betul Mbak. Untuk Mbak Suci,” jawabnya, lalu dia pamit dan pergi.Suci mengerutkan keningnya. Dia merasa heran, karena tak merasa membeli sesuatu secara online.Rasa penasarannya membuat dia membuka paket dengan kotak besar itu. Matanya langsung melebar saat melihat isinya yang ternyata sebuah gaun yang sangat cantik. Warna dusty pink dengan payet di beberapa bagian. Juga sebuah stileto dan tas selempang dengan warna senada.“Masyaallah, cantik sekali. Kenapa bisa ada yang ngirim ya?” gumamnya.Fery yang libur, keluar dari ruang gym dengan keringat membasahi badan. Dia mendekati sang istri yang sedang terkagum-kagum melihat gaun yang didapatnya.“Lagi ngapain?” tanya Fery sambil senyum-senyum.“Ini, tadi ada orang yang ngirim ini, katanya buat saya. Pas dilihat ternyata isinya baju sama sepatu dan
“Kamu ngapain sih, pake ngeliatin si Suci kayak gitu?” Dinda menyenggol lengan lelaki yang kini sudah resmi menjadi suaminya. Fahri memang terus-terusan menuci pandang pada Suci sejak tadi, karena lelaki merasa cemburu dengan kemesraan yang ditunjukan Fery pada mantan kekasihnya itu.Fahri melengos, sementara Dinda mendengus kesal.“Kenapa? Cantik ya?” sindir Dinda. Fahri hany diam tak mau menjawab, dari pada salah dan membuat pertengkaran yang lebih hebat.Dinda mendelik kesal. Dengan ujung matanya dia dapat menangkap jika Imas, sang ibu mertua juga sedang memperhatikan keromantisan sikap Fery pada Suci.Dari mulai turun dari panggung pelaminan, Fery dengan begitu hati-hati menuntun Suci menuruni anak tangga. Lalu, dia menarik Suci agar berjalan di depannya dan mengambil makanan terlebih dahulu. Tak hanya sampai di situ, Fery pun menyiapkan kursi untuk duduk Suci, bahkan menyuapi gadis itu. Fery benar-benar tampak begitu sayang dengan istrinya.Hal itu membuat Fahri semakin panas ha