“Aku berangkat dulu, ya. kamu baik-baik di rumah,” ujar Fery sebelum berangkat kerja. Dia peluk dan cium kening Suci penuh sayang. Neneh kembali menyenggol tangan Yati sambil menahan tawa.“Suaminya Suci romantis sekali ya, Yat. Dia kelihatannya sayang banget. Duh, beruntungnya anakmu,” bisik Neneh.Yati hanya tersenyum.“Bu, aku berangkat dulu,” pamit Fery pada Yati dan mencium tangan keriput itu, meski Yati belum begitu tua, tetapi kesusahan hidup membuatnya terlihat jauh lebih tua dari usia sebenarnya.Yati tampak masih tak biasa dicium tangannya oleh Fery yang notabene memiliki status sosial yang jauh di atasnya. Dia merasa malu memberikan tangan kasarnya untuk dicium seorang dokter meski itu menantunya sendiri.Fery pun mengangguk sopan pada Neneh. “Tolong bantu istri saya di rumahya, Bi. Saya ingin Suci tidak kecapean, biar bisa segera hamil,” ujar Fery dengan senyuman ramah.“Ah, iya, tentu saja, Cep Dokter. Bibi pasti akan bantuin semua pekerjaan rumah,” jawab Neneh.Fery pun
Fery turun dari mobilnya dan melangkah menuju ke ruang kliniknya. Namun, langkahnya terhenti karena ada Yuni yang menghalangi jalannya.“Mas,” sapanya dengan wajah yang dibuat sedih. “Apa kabar?”Wajah Fery berubah masam. “Baik,” jawabnya.Yuni tersenyum miris. “Kamu sekarang terlihat bahagia. Sedangkan aku hidup sengsara. Apa kamu tidak kasian sama aku, Mas?”“Kasian apa maksudmu? Bukannya aku sudah biarkan kamu sama Yadi untuk tinggal di mess?”“Gaji Yadi Cuma cukup buat makan, nggak akan cukup buat beli baju dan peralatan bayi,” ujar Yuni.Fery mengembus napas kasar. “Kamu harus berusaha belajar menerima keadaan, Yun. Bagaimanapun juga ini adalah pilihan kamu sendiri, bukan? Kamu sendiri yang memilih untuk hidup dengan Yadi.”“Semua ini karena kebodohanku, Mas. Aku ingin kamu tetap bertahan di sisiku. Itu semua karena aku benar-benar cinta sama kamu. Aku takut kamu balikan sama si Tonggos itu,” cerocos Yuni.Fery menggelengkan kepalanya. “Itulah yang membuatku malas sama kamu, Y
“Aku bersumpah ini tidak seperti yang kamu lihat, Ci. Aku bisa jelaskan,” ujar Fery dan meminta agar Suci kembalil duduk. Sementara dia dengan posisi semula, berlutut di depan istrinya.Suci masih menunduk, tak mau membalas tatapan sang suami. Hatinya masih diliputi rasa cemburu.“Tadi, saat aku sampai di rumah sakit, ada Yuni yang mencegat di jalan. Dia nangis-nangis bilang belum punya baju untuk calon bayinya. Aku merasa kasihan, jadi aku kasih dia lima ratus ribu buat beli baju bayi. Aku sama sekali nggak nyangka kalau ini semua hanya jebakan untuk membuat kita bertengkar.” Fery mengembus napas kasar dengan mata yang memejam, berusaha menenangkan hatinya yang diliputi amarah.Rasanya dia ingin membunuh orang.Suci masih terdiam. Hatinya masih kacau. “Ci, tolong percaya,” pinta Fery dengan wajah memelas.“Berarti Mas masih peduli sama Mbak Yuni. Bukannya Mas tau kalau bayi yang dikandung Mbak Yuni itu bukan anakmu.” Suci masih merajuk.“Bukan masalah peduli atau nggak, Ci. Aku Cuma
“Yun, apa benar kamu belum beli baju bayinya?” tanya Yadi jadi penasaran, padahal waktu gajian kemarin dia sudah sisihkan uang untuk baju bayi itu. Dia sadar jika tak lama lagi Yuni akan melahirkan.Yuni diam dengan bibir yang cemberut.“Yun, jawab,” pinta Yadi setengah berteriak. Lelaki itu mulai kesal dengan sikap Yuni yang suka seenaknya.“Iya belum,” jawabnya ketus.“Astagfirullah.” Yadi mengusap wajah dan menyugar rambutnya dengan kasar. Tak habis pikir dengan wanitanya ini. Walaupun mereka belum resmi menikah, tetapi Yadi sudah berniat untuk mengurus Yuni sampai melahirkan, lalu mereka menikah. Fery memberi dua ruangan untuk mereka, karena tahu jika Yuni dan Yadi belum memiliki ikatan yang sah. Meskipun pada kenyataannya Yuni dan Yadi tetap saja sering melakukan hubungan suami istri.“Yun, kamu tau sendiri, kan, gajiku berapa? Kamu harusnya mikir, dari mana lagi aku dapat uang untuk beli peralatan bayi? Sementara kamu sebentar lagi mau lahiran.” Yadi mulai mencecar.“Ya, itu sih
Suci bangun sebelum subuh. Dia melepaskan tangan Fery yang melingkari perutnya. Lelaki itu memang tak pernah membiarkannya lepas apalagi jauh. Fery harus selalu tidur sambil memeluk Suci.Gadis yang tak lagi perawan itu berjalan mengendap agar sang suami tak terganggu tidurnya. Dia ingin melakukan tes pagi ini, sesuai perkataan suaminya jika urine di pagi hari itu yang paling akurat untuk dilakukan tes.Suci mengambil satu buah alat tes kehamilan yang kemarin diberikan oleh Fery. Lalu, dia mengendap ke kamar mandi untuk menampung air seninya. Dengan jantung yang berdebar hebat dia mencelupkan alat itu ke wadah kecil yang sudah berisi air seni. Suci menunggu beberapa saat sambil memejamkan matanya. Lalu, dia membuka matanya perlahan, dan tampak dua garis merah terpampang di sana.Suci memekik girang sampai air seni di wadah itu jatuh dan tumpah ke lantai. Dia tatap benda kecil itu dengan mata berkaca-kaca. Dirinya kini tengah berbadan dua. Dia mengandung anak dari lelaki yang mulai d
“Kamu hamil?” tanya Fery dengan mata terperangah kaget. “Kalian … sudah menikah? Atau ….” Lelaki itu tampak menerka-nerka. Fery kembali mengingat kapan kejadian itu terjadi. Karena kalaupun Amanda dan Denis menikah, masa iddah Amanda baru saja usai, tapi perut Amanda sudah menunjukan kehamilan yang lebih dari empat bulan.Wajah Amanda berubah pucat. Mungkin karena dia tak menyangka bisa bertemu dengan Fery di tempat itu. Dia menoleh pada Denis yang juga terlihat kikuk.“Mmm, anu … itu … kami ….” Denis terlihat gugup dan belum bisa menemukan jawaban yang tepat untuk menjawab pertanyaan yang dilontarkan Fery.“Ini … bayiku, kan?” tanya Fery dengan tatapan mengintimidasi. Tangannya menunjuk pada perut Amanda. Sementara wajah wanita itu semakin memucat.“Jawab yang sejujurnya!” ucap Fery dengan tegas. Meski dari wajah kedua orang itu saja dia sudah bisa menyimpulkan jika Amanda memang tengah mengandung anaknya.“Dengar, Fer. Apapun yang sudah terjadi, aku harap kamu tidak akan mengubah ap
“Apa tadi kamu nggak lihat ke mana Suci pergi?” Fery mendekat pada Amanda yang juga ikut mencari.“Nggak, aku terlalu fokus berdebat sama kamu, makanya aku juga nggak lihat Suci pergi,” jawab Amanda yang juga tampak khawatir.“Astagfirullah, Ci. Ke mana kamu?” gumam Fery dengan wajah yang frustrasi.“Apa mungkin dia lagi ke kamar mandi?” tebak Amanda yangn langsung membuat Fery semringah. Iya, kenapa dia tak kepikiran sampai sana. Mungkin saja istri kecilnya itu memang lagi ke toilet. Dia langsing berlari untuk mencari di mana letak toilet. Namun, baru beberapa langkah, Fery kembali berhenti. Dia berpikir masa iya harus masuk ke toilet perempuan, sementara dirinya adalah laki-laki.Fery berbalik ke arah Amanda, lalu meminta mantan istrinya itu untuk membantu mencari Suci di sana.Amanda pun mengikuti permintaan Fery, dia masuk ke dalam toilet yang khusus untuk perempuan. Amanda menunggu beberapa saat di sana, namun sampai gonta-ganti yang keluar dan masuk tidak ada Suci di sana. wan
Suci yang tadi turun dari angkutan umum, langsung berjalan mencari masjid. Dia merasa lelah dan ingin istirahat barang sejenak. Langkahnya terhenti dan bertanya pada ibu-ibu penjual gorengan.“Maaf, Bu, kalau mesjid sebelah mana, ya?” tanyanya dengan kening berpeluh.“Oh, sebelah sana,” tunjuk si ibu pada bangunan tinggi. “Ada di sebelah pabrik cat itu,” lanjutnya.“Oh, iya, Bu. terima kasih,” sahut Suci lalu gegas berjalan ke sana. rasa haus menggelitik tenggorokannya. Dia lalu mampir ke sebuah warung kelontong dan membeli sebotol air mineral.Di sana ada dua ibu-ibu yang sedang mengobrol. Diam-diam Suci mendengarkan saat dia menunggu kembalian.“Juragan Davendra masih belum nemu pengasuh yang cocok ya, buat anak bayinya?”“Lah, siapa yang mau. Orang sombong dan galak macam begitu, mana ada yang tahan. Kemarin si Kokom juga cuman tahan tiga hari. Katanya Juragan Davendra itu kerjanya marah-marah terus. Salah sedikit maen banting perabot,” jawab ibu yang satunya.“Heleh, pantes. Sekar