“Aku bersumpah ini tidak seperti yang kamu lihat, Ci. Aku bisa jelaskan,” ujar Fery dan meminta agar Suci kembalil duduk. Sementara dia dengan posisi semula, berlutut di depan istrinya.Suci masih menunduk, tak mau membalas tatapan sang suami. Hatinya masih diliputi rasa cemburu.“Tadi, saat aku sampai di rumah sakit, ada Yuni yang mencegat di jalan. Dia nangis-nangis bilang belum punya baju untuk calon bayinya. Aku merasa kasihan, jadi aku kasih dia lima ratus ribu buat beli baju bayi. Aku sama sekali nggak nyangka kalau ini semua hanya jebakan untuk membuat kita bertengkar.” Fery mengembus napas kasar dengan mata yang memejam, berusaha menenangkan hatinya yang diliputi amarah.Rasanya dia ingin membunuh orang.Suci masih terdiam. Hatinya masih kacau. “Ci, tolong percaya,” pinta Fery dengan wajah memelas.“Berarti Mas masih peduli sama Mbak Yuni. Bukannya Mas tau kalau bayi yang dikandung Mbak Yuni itu bukan anakmu.” Suci masih merajuk.“Bukan masalah peduli atau nggak, Ci. Aku Cuma
“Yun, apa benar kamu belum beli baju bayinya?” tanya Yadi jadi penasaran, padahal waktu gajian kemarin dia sudah sisihkan uang untuk baju bayi itu. Dia sadar jika tak lama lagi Yuni akan melahirkan.Yuni diam dengan bibir yang cemberut.“Yun, jawab,” pinta Yadi setengah berteriak. Lelaki itu mulai kesal dengan sikap Yuni yang suka seenaknya.“Iya belum,” jawabnya ketus.“Astagfirullah.” Yadi mengusap wajah dan menyugar rambutnya dengan kasar. Tak habis pikir dengan wanitanya ini. Walaupun mereka belum resmi menikah, tetapi Yadi sudah berniat untuk mengurus Yuni sampai melahirkan, lalu mereka menikah. Fery memberi dua ruangan untuk mereka, karena tahu jika Yuni dan Yadi belum memiliki ikatan yang sah. Meskipun pada kenyataannya Yuni dan Yadi tetap saja sering melakukan hubungan suami istri.“Yun, kamu tau sendiri, kan, gajiku berapa? Kamu harusnya mikir, dari mana lagi aku dapat uang untuk beli peralatan bayi? Sementara kamu sebentar lagi mau lahiran.” Yadi mulai mencecar.“Ya, itu sih
Suci bangun sebelum subuh. Dia melepaskan tangan Fery yang melingkari perutnya. Lelaki itu memang tak pernah membiarkannya lepas apalagi jauh. Fery harus selalu tidur sambil memeluk Suci.Gadis yang tak lagi perawan itu berjalan mengendap agar sang suami tak terganggu tidurnya. Dia ingin melakukan tes pagi ini, sesuai perkataan suaminya jika urine di pagi hari itu yang paling akurat untuk dilakukan tes.Suci mengambil satu buah alat tes kehamilan yang kemarin diberikan oleh Fery. Lalu, dia mengendap ke kamar mandi untuk menampung air seninya. Dengan jantung yang berdebar hebat dia mencelupkan alat itu ke wadah kecil yang sudah berisi air seni. Suci menunggu beberapa saat sambil memejamkan matanya. Lalu, dia membuka matanya perlahan, dan tampak dua garis merah terpampang di sana.Suci memekik girang sampai air seni di wadah itu jatuh dan tumpah ke lantai. Dia tatap benda kecil itu dengan mata berkaca-kaca. Dirinya kini tengah berbadan dua. Dia mengandung anak dari lelaki yang mulai d
“Kamu hamil?” tanya Fery dengan mata terperangah kaget. “Kalian … sudah menikah? Atau ….” Lelaki itu tampak menerka-nerka. Fery kembali mengingat kapan kejadian itu terjadi. Karena kalaupun Amanda dan Denis menikah, masa iddah Amanda baru saja usai, tapi perut Amanda sudah menunjukan kehamilan yang lebih dari empat bulan.Wajah Amanda berubah pucat. Mungkin karena dia tak menyangka bisa bertemu dengan Fery di tempat itu. Dia menoleh pada Denis yang juga terlihat kikuk.“Mmm, anu … itu … kami ….” Denis terlihat gugup dan belum bisa menemukan jawaban yang tepat untuk menjawab pertanyaan yang dilontarkan Fery.“Ini … bayiku, kan?” tanya Fery dengan tatapan mengintimidasi. Tangannya menunjuk pada perut Amanda. Sementara wajah wanita itu semakin memucat.“Jawab yang sejujurnya!” ucap Fery dengan tegas. Meski dari wajah kedua orang itu saja dia sudah bisa menyimpulkan jika Amanda memang tengah mengandung anaknya.“Dengar, Fer. Apapun yang sudah terjadi, aku harap kamu tidak akan mengubah ap
“Apa tadi kamu nggak lihat ke mana Suci pergi?” Fery mendekat pada Amanda yang juga ikut mencari.“Nggak, aku terlalu fokus berdebat sama kamu, makanya aku juga nggak lihat Suci pergi,” jawab Amanda yang juga tampak khawatir.“Astagfirullah, Ci. Ke mana kamu?” gumam Fery dengan wajah yang frustrasi.“Apa mungkin dia lagi ke kamar mandi?” tebak Amanda yangn langsung membuat Fery semringah. Iya, kenapa dia tak kepikiran sampai sana. Mungkin saja istri kecilnya itu memang lagi ke toilet. Dia langsing berlari untuk mencari di mana letak toilet. Namun, baru beberapa langkah, Fery kembali berhenti. Dia berpikir masa iya harus masuk ke toilet perempuan, sementara dirinya adalah laki-laki.Fery berbalik ke arah Amanda, lalu meminta mantan istrinya itu untuk membantu mencari Suci di sana.Amanda pun mengikuti permintaan Fery, dia masuk ke dalam toilet yang khusus untuk perempuan. Amanda menunggu beberapa saat di sana, namun sampai gonta-ganti yang keluar dan masuk tidak ada Suci di sana. wan
Suci yang tadi turun dari angkutan umum, langsung berjalan mencari masjid. Dia merasa lelah dan ingin istirahat barang sejenak. Langkahnya terhenti dan bertanya pada ibu-ibu penjual gorengan.“Maaf, Bu, kalau mesjid sebelah mana, ya?” tanyanya dengan kening berpeluh.“Oh, sebelah sana,” tunjuk si ibu pada bangunan tinggi. “Ada di sebelah pabrik cat itu,” lanjutnya.“Oh, iya, Bu. terima kasih,” sahut Suci lalu gegas berjalan ke sana. rasa haus menggelitik tenggorokannya. Dia lalu mampir ke sebuah warung kelontong dan membeli sebotol air mineral.Di sana ada dua ibu-ibu yang sedang mengobrol. Diam-diam Suci mendengarkan saat dia menunggu kembalian.“Juragan Davendra masih belum nemu pengasuh yang cocok ya, buat anak bayinya?”“Lah, siapa yang mau. Orang sombong dan galak macam begitu, mana ada yang tahan. Kemarin si Kokom juga cuman tahan tiga hari. Katanya Juragan Davendra itu kerjanya marah-marah terus. Salah sedikit maen banting perabot,” jawab ibu yang satunya.“Heleh, pantes. Sekar
Fery semakin kalut, karena Suci sama sekali tak bisa dihubungi. Ponselnya dia matikan saat melarikan diri. Dia juga kesulitan mencari lokasi keberadaan Suci sekarang.“Dit, mesti gimana ini gue?” tanya Fery dengan wajah yang kalut. Dia sengaja ke rumah sahabatnya itu ingin meminta masukan.“Ya iyalah, elu sendiri yang salah. Kalo elu di posisi si Suci juga nggak akan jauh begitu. Buat apa mertahanin suami yang gak mau menghargai keberadaannya. Cewek mana yang mau diduain?” Radit malah balik menyalahkan.“Ya, elu, Dit. Gue lagi kalut gini, elu malah nyalahin.” Fery semakin terlihat sedih.“Nggak ada cara lain, elu mesti lapor polisi,” jawab Radit.Fery langsung mendongak. “Aku … akan coba,” sahutnya meski terlihat ragu.“Atau elu bisa share ke orang-orang foto binik lu, Fer. Grup-grup WA atau sosmed elu. Kali aja ada yang lihat dia di mana, gitu. Jangan lupa cantumin nomor Hp elu, dan untuk lebih menarik lagi, elu cantumin imbalan yang bakal didapat kalau ada yang bisa ngasih inform
“Nah, sudah tidur bayinya. Di mana kamarnya?” tanya Suci.Daven langsung bangkit dari tempat duduknya. Dia lantas meminta Suci untuk ikut dengannya.“Ini kamarnya. Belum dibereskan selama beberapa hari, karena pengasuh yang terakhir itu bego. Hanya mau momong bayi saja, tanpa mau membereskan kamar dan rumah,” katanya dengan nada yang ketus.Suci sontak melotot. “Ya iyalah, mana mungkin seorang pengasuh bayi mampu membereskan rumah sebesar ini. Anda sangat tidak manusiawi. Pantas saja tidak ada yang betah.”“Kata siapa tidak ada yang betah?” balas Davendra.“Ini buktinya, nggak ada yang bertahan bekerja di sini. kasian sekali kamu, Dek,” ucap Suci yang mau membaringkan bayi berumur dua bulan itu ke dalam boks bayi. Namun, baru beberapa saat nempel di kasur bayi itu kembali bangun dan menangis.“Cup, cup, Sayang.” Suci kembali mengambil bayi itu dari boks-nya dan kembali menimang. Bayi itu pun kembali diam.“Coba saja Anda lihat, anak ini maunya digendong terus. Gimana mau beres-beres?”
“Tak perlu basa basi,” jawab ibunya Hanif terlihat emosi. Dia sangat kesal karena melihat Maria yang terlihat mewah. Sementara dirinya justru terlihat kumal.“Baiklah kalau tidak boleh berbasa basi. Sepertinya kalian tetap saja sial walaupun sudah mengusir Maria.” Denis tersenyum miring.Mata Hanif langsung melotot, begitu juga dengan ibunya.“Enak aja kamu bilang kami sial. Hanif ini sekarang bekerja di perusahaan bonafid. Dia ini jadi manager,” balas ibunya Hanif dengan mata melotot.Denis tersenyum miring. “Oh ya? Benarkah? Anak Ibu bilang jadi manager?” tanyanya dengan nada mencibir.“Ya, tentu saja. Bukan begitu, Hanif?” ujar wanita paruh baya itu dengan dagu yang mendongak.“I-iya, tentu saja,” jawab Hanif tergagap.“Oh begitu. Baguslah kalau memang dia sudah jadi manager. Permisi, kami mau mencari peralatan bayi,” pamit Denis yang lalu menuntun Maria untuk memasuki toko.Istrinya Hanif pun ikut mengekor sambil menarik Hanif untuk segera masuk ke dalam toko. Namun, lelaki itu me
Maria tersipu malu saat bangun keesokan harinya. Dia merasa berbunga-bunga karena telah menjadi seorang istri yang utuh bagi Denis. Dia menutupi tubuhnya yang polos dengan handuk yang terserak di lantai.“Mbak, Mbak Maria.” Terdengar panggilang dari Bi Noneng.“I-iya, Bi?” Maria gegas membuka pintu itu sedikit. Ternyata wanita itu tengah menggendong Amanda yang habis menangis.“Astagfirullah, Sayang maafin Mama,” ujar Maria yang langsung membuka pintu dan mengambil Amanda dari tangan Bi Noneng.Wanita paruh baya itu tak sengaja melihat ke dalam kamar di mana ada Denis yang masih terlelap di atas kasur milik Maria.“Eh.” Maria tampak malu karena kepergok telah sekamar.Bi Noneng malah tersenyum dan mengelus pundak Maria. “Sudah sewajarnya, toh? Pak Denis itu suamimu, Mbak. Dia seperti orang gila sewaktu Mbak Maria pergi dari rumah. Dia sering melamun dan gelisah,” ucapnya.“Kalian berhak bahagia. Saya ikut senang, Mbak,” pungkasnya sebelum beranjak pergi.Maria masih terpaku setelah me
Maria gegas menyilangkan kedua tangan pada dua area sensitifnya. Dia begitu malu dengan perlakuan Denis padanya. Maria hendak jongkok untuk mengambil lagi handuknya, tetapi tangan Denis lekas menahannya.Maria mendongak melihat pada lelaki yang menggelengkan kepalanya. Denis lalu menarik Maria agar kembali tegak berdiri.“Ba-pak, saya ….” Wajah Maria sudah merah saking malunya.“Ini bukan pertama kali kamu melakukannya, bukan? Seharusnya aku yang mesti malu, karena ini adalah hal yang pertama buatku,” ucap Denis yang semakin membuat Maria tersipu malu. Wanita itu menunduk dalam.“Saya … rasanya tidak pantas untuk Bapak. Saya ini hanya perempuan miskin pembawa sial,” ucap Maria dengan suara tercekat. Namun, Denis justru menarik dagu Maria agar kembali menatapnya.“Aku akan buktikan jika kamu adalah wanita yang penuh keberuntungan,” balas Denis dengan tatapan lekat. Dia berusaha memupuk cinta itu agar semakin subur. Maria bukan wanita yang sulit untuk dicintai. Wanita itu begitu tulus
Maria hanya diam selama perjalanan. Dengan hati terpaksa Maria ikut pulang dengan Denis. Mau bagaimana lagi, Amanda tak bisa lepas darinya. Anak itu menangis keras saat Maria menyerahkan pada Denis.Entah apa yang akan terjadi nanti, mungkin Maria akan minta Denis untuk mencarikan baby sitter baru, lalu dirinya akan meminta cerai dan pergi.Denis sesekali melirik ke samping kirinya dan melihat Maria yang memangku Amanda yang tertidur lelap.“Kamu sudah makan?” tanya Denis yang merasa kasihan sekali melihat istrinya itu begitu kurus.Maria mengangguk pelan.“Makan apa?” telisik Denis penasaran.Maria terdiam sejenak sebelum akhirnya menjawab, “Aku makan bubur sisa Amanda tadi.”Denis memejamkan matanyanya sejenak dan menggeleng. Pantas saja wanita itu begitu kurus, karena hanya makan makanan sisa anaknya. Lelaki itu beristigfar dalam hatinya.Benar kata Amanda, jika Maria adalah wanita terbaik yang bisa menggantikannya.“Kita makan dulu,” ujar Denis lalu membelokan mobilnya menuju sebu
Fery segera membuat pengumuman orang hilang dan menyebarnya di berbagai media sosial. Dia yakin cara itu akan jauh lebih mudah dilihat orang-orang saat ini.Dia juga menjanjikan akan memberi imbalan yang besar bagi yang memberikan kabar tentang keberadaan Maria seperti dulu.Fery sangat khawatir dengan nasib Amanda juga pengasuhnya itu.Maria hanya wanita lemah yang membawa seorang bayi. Dia yakin akan susah untuk mendapatkan pekerjaan untuk memenuhi kebutuhan.Saat ini Maria sedang menyetrika di sebuah rumah. Sementara Amanda duduk sambil memainkan boneka usang yang ditemukan Maria di tempat sampah. Boneka monyet yang dia ambil dan dicuci sampai bersih, lalu dia berikan untuk mainannya Amanda.Beruntung anak itu sangat baik dan tak banyak rewel. Asal sudah kenyang maka tak akan ada lagi rengekan.Setiap hari Maria mengutamakan perutnya Amanda sebelum dia yang makan. Asalkan Amanda sudah kenyang, maka dia akan memakan sisanya, walaupun itu hanya bubur nasi.Tubuh Maria semakin kurus
Mobil Denis meluncur cepat menuju kontrakan Fany. Dia merasa yakin jika Maria akan pergi dan menginap di sana.Denis memukuli handel stirnya saking tak sabar. Jalanan dipadati kendaraan, sehingga macet.“Sial! Kenapa malah macet segala!” rutuk Denis sangat kesal. Berulang kali dia melirik pada jam yang melingkar di tangannya, sudah hampir jam 9 malam.“Mudah-mudahan saja Maria benar ke rumahnya Fany. Kalau tidak ….” Denis bahkan tak mampu melanjutkan kalimatnya sendiri. Dia khawatir jika terjadi apa-apa pada Maria juga Amanda.Mobilnya perlahan melaju, hingga akhirnya menemukan persimpangan, Denis memilih jalan lain yang tidak macet walaupun lebih jauh.“Huuft!” Dia mengembus napas kasar. Kemacetan telah membuatnya hampir kehilangan akal sehat.“Jakarta semakin hari semakin macet aja. Mengerikan!” umpatnya kesal. Namun, sekarang mobil itu sudah melaju kencang menuju kontrakan Fany yang jaraknya tak jauh lagi.Denis memarkir mobil sembarangan. Dia membanting pintu dan melangkah cepat
“Bagaimana kamu bisa ada di sini?” tanya Denis terperanjat turun dari tempat tidurnya.“Aahh, semalam, kan, aku anter kamu pulang ke sini. kenapa kamu lupa?” Irene malah menguap.“Sial!’ umpat Denis yang langsung pergi ke kamar mandi.“Kamu cepat pakai baju dan pulang!” usir Denis sambil membanting pintu kamar mandinya.Irene justru semakin berleha-leha di atas tempat tidur. Namun, rasa haus menyiksa tenggorokannya. Dia lalu bangkit dan turun. Sambil celingak-celinguk dia mencari dapur. Lalu, matanya menangkap sosok Maria yang sedang menyiapkan sarapan.“Hei, kamu pembantu di sini?” tanya Irene sambil memainkan rambutnya. Maria meliriknya dengan hati yang teramat sakit. Irene hanya mengenakan pakaian seadanya.“Iya, Mbak. Mau sesuatu?” tanya Maria dengan sopan.“Aku haus,” jawab Irene yang kemudian duduk di kursi makan.“Tunggu sebentar, saya ambilkan air,” kata Maria yang berbalik menuju dapur dan tak lama kembali dengan segelas air putih.“Silakan diminum, Mbak,” ucap Maria sambil m
Meski tahu jika Denis sama sekali tak menganggapnya seorang istri, tetapi bagi Maria sikap Denis yang seperti itu tetap saja keterlaluan dan melukai harga dirinya sebagai istri. Apalagi sekarang Denis sudah berani membawa wanita lain ke rumah mereka.Maria tak bisa memejamkan matanya. Hatinya gelisah memikirkan apa yang tengah dilakukan dua insan berlainan jenis itu di kamar suaminya.Amanda sudah tidur sejak tadi setelah kenyang menyusu, tetapi Maria tak bisa ikut terlelap padahal badannya sangat lelah.Maria menatap sendu pada Amanda. Jika bukan karena rasa sayangnya pada anak itu, mungkin dia sudah memilih untuk kembali melarikan diri dan menghilang saja.Maria keluar dari kamarnya dan mengendap mendekat ke kamar Denis. Ingin rasanya mendobrak pintu kamar itu dan menyuruh wanita yang datang bersama Denis itu untuk pergi. Namun, hatinya masih tak berani melakukannya.Rasa pedih dan tak berdaya membuatnya luruh dan bersimpuh di lantai dingin itu dengan air mata yang berderai.Kemudia
Pagi-pagi Denis seperti biasanya hendak sarapan setelah bersiap dengan setelan kerjanya. Maria sengaja menyiapkan sendiri sarapan untuk lelaki yang kini menjadi suaminya. Walaupun dia tahu jika Denis tak akan pernah menganggapnya sebagai seorang istri, tetapi bagi Maria kewajiban tetaplah kewajiban.“Ke mana Bibi? Kenapa kamu yang nyiapin sarapan?” tanya Denis sambil menarik kursi.“Mmh, ada. Bibi lagi beresin perabotan bekas masak,” jawab Maria ragu-ragu.“Lain kali biar si Bibi aja yang nyiapin sarapan. Kamu urus Amanda saja,” kata Denis.Maria mengangguk pelan tak bisa mendebat.“Ingat, pernikahan ini hanya status saja, Maria. Jangan kamu anggap serius. Tidak perlu kamu melayani aku seperti seorang istri. Mengerti?” Denis kembali mengingatkan.“Iya, pak. Saya mengerti. Tapi maaf, saya di sini hanya sebagai pelayan, karena itu saya juga berkewajiban melakukan apapun sebagai pelayan,” sahut Maria dengan suara yang parau.“Hmm, baiklah. Tapi … saya harap kamu tidak melalaikan tugas