Fery semakin kalut, karena Suci sama sekali tak bisa dihubungi. Ponselnya dia matikan saat melarikan diri. Dia juga kesulitan mencari lokasi keberadaan Suci sekarang.“Dit, mesti gimana ini gue?” tanya Fery dengan wajah yang kalut. Dia sengaja ke rumah sahabatnya itu ingin meminta masukan.“Ya iyalah, elu sendiri yang salah. Kalo elu di posisi si Suci juga nggak akan jauh begitu. Buat apa mertahanin suami yang gak mau menghargai keberadaannya. Cewek mana yang mau diduain?” Radit malah balik menyalahkan.“Ya, elu, Dit. Gue lagi kalut gini, elu malah nyalahin.” Fery semakin terlihat sedih.“Nggak ada cara lain, elu mesti lapor polisi,” jawab Radit.Fery langsung mendongak. “Aku … akan coba,” sahutnya meski terlihat ragu.“Atau elu bisa share ke orang-orang foto binik lu, Fer. Grup-grup WA atau sosmed elu. Kali aja ada yang lihat dia di mana, gitu. Jangan lupa cantumin nomor Hp elu, dan untuk lebih menarik lagi, elu cantumin imbalan yang bakal didapat kalau ada yang bisa ngasih inform
“Nah, sudah tidur bayinya. Di mana kamarnya?” tanya Suci.Daven langsung bangkit dari tempat duduknya. Dia lantas meminta Suci untuk ikut dengannya.“Ini kamarnya. Belum dibereskan selama beberapa hari, karena pengasuh yang terakhir itu bego. Hanya mau momong bayi saja, tanpa mau membereskan kamar dan rumah,” katanya dengan nada yang ketus.Suci sontak melotot. “Ya iyalah, mana mungkin seorang pengasuh bayi mampu membereskan rumah sebesar ini. Anda sangat tidak manusiawi. Pantas saja tidak ada yang betah.”“Kata siapa tidak ada yang betah?” balas Davendra.“Ini buktinya, nggak ada yang bertahan bekerja di sini. kasian sekali kamu, Dek,” ucap Suci yang mau membaringkan bayi berumur dua bulan itu ke dalam boks bayi. Namun, baru beberapa saat nempel di kasur bayi itu kembali bangun dan menangis.“Cup, cup, Sayang.” Suci kembali mengambil bayi itu dari boks-nya dan kembali menimang. Bayi itu pun kembali diam.“Coba saja Anda lihat, anak ini maunya digendong terus. Gimana mau beres-beres?”
Fery terperangah saat ada pesan yang masuk ke nomor whatsappnya. Pesan yang mengabarkan jika dia tahu keberadaan Suci saat ini.Tak menunggu lama, Fery langsung menelepon si pengirim pesan dan menanyakan alamat di mana Suci berada.“Ibu, tolong katakan di mana posisi Ibu sekarang. Saya akan ke sana sekarang juga,” ucap Fery dengan penuh semangat.“Tapi … saya dapat imbalan kan?” tanya si Ibu.“Iya, Bu, saya janji akan kasih ibu imbalan. Tapi tolong, kasih tau saya di mana istri saya sekarang.” Fery memohon dengan sangat.“Saya dapat berapa kira-kira?” tanya si ibu.“Ibu sebutkan saja mau berapa? Nanti saya usahakan penuhi,” ujar Fery.“Saya minta sepuluh juta, boleh?” tanyanya.“Boleh, Bu. Tapi, tolong katakan di mana istri saya sekarang,” jawab Fery mulai tak sabar.“Emmh, itu, Mbaknya ada di rumah Juragan Daven. Katanya kemarin dia lagi nyari pekerjaan,” ucap si Ibu.“Ok, Bu. sekarang Ibu share lokasi sama saya, biar saya langsung ke sana. kalau benar itu istri saya, saya janji aka
“Aku nggak mau pulang. Mas sebaiknya pulang saja, dan balikan sama Bu Manda. Aku mau di sini saja.” Suci menggeleng dengan bibir yang cemberut.Daven tersenyum bahagia, karena dia tak perlu kehilangan pengasuh anaknya. “Kamu dengar sendiri, kan, kalau Suci tidak mau pulang?” ucapnya.“Tolong jangan ikut campur dengan urusan keluarga. Anda bisa saya tuntut karena telah menyembunyikan istri saya,” ancam Fery.Mata Daven melebar. “Siapa yang menyembunyikan? Aku hanya menerima permintaan dia untuk bekerja di sini. Tolong jangan mengada-ngada.” Lelaki itu tak terima.“OK, kalau begitu, saya juga minta tolong sama Anda, suruh Suci pulang. Pecat dia, agar dia tak lagi bekerja di sini,” pinta Fery dengan tegas.“Lho, itu haknya Suci, mau terus di sini atau mau pulang. Sebagai suami, seharusnya Anda sadar diri, kenapa Suci pergi dari rumah.” Daven malah menasihati.Fery melengos. Memang benar apa yang dikatakan lelaki ini. Dia memang salah karena telah mengatakan ingin rujuk dengan Amanda kare
Fery menatap wajah Suci yang menjadi background layar ponselnya. Wajah yang sangat ayu dan polos, matanya menunjukan ketulusan.“Maafkan aku, Ci. Aku memang salah sudah membuat kamu kecewa,” gumamnya. Fery sangat merindukan istri kecilnya itu. Rumah besarnya kini terasa sepi tanpa celotehan Suci. Fery terbayang saat Suci manyun saat kecapean karena bercinta semalaman. Sungguh sangat menggemaskan.Lamunan Fery tak terasa membawanya ke alam mimpi. Dia terlelap begitu saja, hingga pada pukul 00.00 suara alarm membangunkannya. Fery pun terperanjat kaget karena lupa menyalakan alarm untuk apa.Matanya memicing melihat pada layar ponsel. Sesaat kesadarannya belum kembali. Namun, lama-lama dia semakin sadar dengan alarm yang membangunkannya.“Astagfirullah, Suci ulang tahun hari ini,” ujar Fery dengan kaget. Dia lalu bangun dan mencoba untuk menelepon sang istri. Sayangnya Suci mematikan ponselnya, hingga Fery hanya bisa mendengkus kesal.“Kenapa kamu matikan ponselnya, Suci?” rutuknya. Dia
Amanda mendekat pada Suci dan memeluknya. “Selamat ulang tahun, Ci. Semua doa terbaik buat kamu, ya. Jangan pergi lagi, kasian Fery. Dia kayak orang gila nyariin kamu,” ujar Amanda dengan tawa pelan.Wajah Suci sontak memerah karena malu. Dia melirik pada sang suami yang sedari tadi tak mau jauh darinya.“Tuh, denger,” ucap Fery sambil mendekatkan wajahnya ke telinga Suci. Gadis itu pun menyenggol Fery karena malu.“Beneran, Ci. Fery syok banget saat tau kamu pergi. Dia kayak orang gila nyariin kamu. kalau saja kamu lihat, kamu pasti kasihan,” lanjut Amanda.“Dia cemburu sama kamu, Manda,” ujar Fery disertai kekehan jahil.Suci sontak menoleh sambil melotot. Sikutnya pun ikut bergerak menyenggol perut suaminya. “Mas apaan, sih?” desisnya geram. Namun, Fery dan Amanda justru tertawa melihatnya.“Kamu ini lucu, Ci. Ga mesti cemburu sama aku. Nggak mungkin juga aku mau balik sama Fery. Kalau anak ini lahir nanti, kita bisa menjaganya sama-sama. Nggak usah pake rebutan segala. Kita bisa
Ani mengajak sang suami untuk menginap di rumah Fery. Dia teramat senang dengan berita kehamilan Suci. Dia juga sebenarnya senang dengan kehamilan Amanda, hanya saja wanita itu bukan lagi menantunya. Tak mungkin untuk memaksakan kehendaknya, walaupun Ani memang sayang pada mantan menantunya itu.“Kita bikin syukuran yang meriah. Undang semua tetangga dan keluarga, biar mereka tau tentang kehamilan Suci," ujar Ani. “Apa nggak terlalu terburu-buru, Ma?” tanya Fery.“Nggak, pokoknya kita harus segera bikin syukuran. Yang namanya bersyukur itu tidak ada kata buru-buru. Kita itu harus bersyukur setiap saat, Fer. Bedanya sekarang kita sambil berbagi pada tetangga, supanya kehamilan istri kamu diberkahi,” ungkap Ani.“Iya, Ma. Aku pasrah aja deh, gimana Mama,” jawab Fery.Ani lalu menyuruh Ceu Neneh untuk belanja aneka bahan untuk masakan, juga makanan kering untuk dibagikan pada tetangga. Wanita yang masih cantik di usaianya yang tak muda lagi, berencana mengadakan pengajian dengan mengund
“Duduk!” titah Ani pada Fery setelah semua tamu sudah bubar. Lelaki tampan itu pun menuruti perintah sang ibu.“Jadi, selama ini, kamu pernah menikah dengan wanita tadi di belakang kami?” tanya Ani dengan tangan bersedekap di dada.Fery tampak tak nyaman. “Iya, Ma. Aku minta maaf. Aku akui aku salah. Aku juga sudah menerima balasan atas sikap burukku pada Amanda. Aku mendapatkan istri yang buruk seperti Yuni. Aku kapok,” ungkap Fery tampak menyesal.“Jadi … kamu nikahin dia cuman buat nyakitin Amanda? Gila kamu Fer! Kapan Mama sama Papa ngajarin kamu bersikap tak baik seperti itu?” Ani benar-benar marah.Fery menunduk dalam. Akhirnya yang dia sembunyikan, terbongkar juga. “Jangan-jangan, kamu nikahin Suci juga cuma main-main,” tuduh Ani lagi.“Ma, jangan begitu,” tegur Sofyan. Namun, wanita cantik itu tak mau mendengar debat dari suaminya. “Coba saja Papa pikir, bagaimana mungkin anak kita jadi tukang main perempuan seperti itu. Gak bermoral!” Ani mendengkus kesal.“Iya, Ma, maaf.
“Tak perlu basa basi,” jawab ibunya Hanif terlihat emosi. Dia sangat kesal karena melihat Maria yang terlihat mewah. Sementara dirinya justru terlihat kumal.“Baiklah kalau tidak boleh berbasa basi. Sepertinya kalian tetap saja sial walaupun sudah mengusir Maria.” Denis tersenyum miring.Mata Hanif langsung melotot, begitu juga dengan ibunya.“Enak aja kamu bilang kami sial. Hanif ini sekarang bekerja di perusahaan bonafid. Dia ini jadi manager,” balas ibunya Hanif dengan mata melotot.Denis tersenyum miring. “Oh ya? Benarkah? Anak Ibu bilang jadi manager?” tanyanya dengan nada mencibir.“Ya, tentu saja. Bukan begitu, Hanif?” ujar wanita paruh baya itu dengan dagu yang mendongak.“I-iya, tentu saja,” jawab Hanif tergagap.“Oh begitu. Baguslah kalau memang dia sudah jadi manager. Permisi, kami mau mencari peralatan bayi,” pamit Denis yang lalu menuntun Maria untuk memasuki toko.Istrinya Hanif pun ikut mengekor sambil menarik Hanif untuk segera masuk ke dalam toko. Namun, lelaki itu me
Maria tersipu malu saat bangun keesokan harinya. Dia merasa berbunga-bunga karena telah menjadi seorang istri yang utuh bagi Denis. Dia menutupi tubuhnya yang polos dengan handuk yang terserak di lantai.“Mbak, Mbak Maria.” Terdengar panggilang dari Bi Noneng.“I-iya, Bi?” Maria gegas membuka pintu itu sedikit. Ternyata wanita itu tengah menggendong Amanda yang habis menangis.“Astagfirullah, Sayang maafin Mama,” ujar Maria yang langsung membuka pintu dan mengambil Amanda dari tangan Bi Noneng.Wanita paruh baya itu tak sengaja melihat ke dalam kamar di mana ada Denis yang masih terlelap di atas kasur milik Maria.“Eh.” Maria tampak malu karena kepergok telah sekamar.Bi Noneng malah tersenyum dan mengelus pundak Maria. “Sudah sewajarnya, toh? Pak Denis itu suamimu, Mbak. Dia seperti orang gila sewaktu Mbak Maria pergi dari rumah. Dia sering melamun dan gelisah,” ucapnya.“Kalian berhak bahagia. Saya ikut senang, Mbak,” pungkasnya sebelum beranjak pergi.Maria masih terpaku setelah me
Maria gegas menyilangkan kedua tangan pada dua area sensitifnya. Dia begitu malu dengan perlakuan Denis padanya. Maria hendak jongkok untuk mengambil lagi handuknya, tetapi tangan Denis lekas menahannya.Maria mendongak melihat pada lelaki yang menggelengkan kepalanya. Denis lalu menarik Maria agar kembali tegak berdiri.“Ba-pak, saya ….” Wajah Maria sudah merah saking malunya.“Ini bukan pertama kali kamu melakukannya, bukan? Seharusnya aku yang mesti malu, karena ini adalah hal yang pertama buatku,” ucap Denis yang semakin membuat Maria tersipu malu. Wanita itu menunduk dalam.“Saya … rasanya tidak pantas untuk Bapak. Saya ini hanya perempuan miskin pembawa sial,” ucap Maria dengan suara tercekat. Namun, Denis justru menarik dagu Maria agar kembali menatapnya.“Aku akan buktikan jika kamu adalah wanita yang penuh keberuntungan,” balas Denis dengan tatapan lekat. Dia berusaha memupuk cinta itu agar semakin subur. Maria bukan wanita yang sulit untuk dicintai. Wanita itu begitu tulus
Maria hanya diam selama perjalanan. Dengan hati terpaksa Maria ikut pulang dengan Denis. Mau bagaimana lagi, Amanda tak bisa lepas darinya. Anak itu menangis keras saat Maria menyerahkan pada Denis.Entah apa yang akan terjadi nanti, mungkin Maria akan minta Denis untuk mencarikan baby sitter baru, lalu dirinya akan meminta cerai dan pergi.Denis sesekali melirik ke samping kirinya dan melihat Maria yang memangku Amanda yang tertidur lelap.“Kamu sudah makan?” tanya Denis yang merasa kasihan sekali melihat istrinya itu begitu kurus.Maria mengangguk pelan.“Makan apa?” telisik Denis penasaran.Maria terdiam sejenak sebelum akhirnya menjawab, “Aku makan bubur sisa Amanda tadi.”Denis memejamkan matanyanya sejenak dan menggeleng. Pantas saja wanita itu begitu kurus, karena hanya makan makanan sisa anaknya. Lelaki itu beristigfar dalam hatinya.Benar kata Amanda, jika Maria adalah wanita terbaik yang bisa menggantikannya.“Kita makan dulu,” ujar Denis lalu membelokan mobilnya menuju sebu
Fery segera membuat pengumuman orang hilang dan menyebarnya di berbagai media sosial. Dia yakin cara itu akan jauh lebih mudah dilihat orang-orang saat ini.Dia juga menjanjikan akan memberi imbalan yang besar bagi yang memberikan kabar tentang keberadaan Maria seperti dulu.Fery sangat khawatir dengan nasib Amanda juga pengasuhnya itu.Maria hanya wanita lemah yang membawa seorang bayi. Dia yakin akan susah untuk mendapatkan pekerjaan untuk memenuhi kebutuhan.Saat ini Maria sedang menyetrika di sebuah rumah. Sementara Amanda duduk sambil memainkan boneka usang yang ditemukan Maria di tempat sampah. Boneka monyet yang dia ambil dan dicuci sampai bersih, lalu dia berikan untuk mainannya Amanda.Beruntung anak itu sangat baik dan tak banyak rewel. Asal sudah kenyang maka tak akan ada lagi rengekan.Setiap hari Maria mengutamakan perutnya Amanda sebelum dia yang makan. Asalkan Amanda sudah kenyang, maka dia akan memakan sisanya, walaupun itu hanya bubur nasi.Tubuh Maria semakin kurus
Mobil Denis meluncur cepat menuju kontrakan Fany. Dia merasa yakin jika Maria akan pergi dan menginap di sana.Denis memukuli handel stirnya saking tak sabar. Jalanan dipadati kendaraan, sehingga macet.“Sial! Kenapa malah macet segala!” rutuk Denis sangat kesal. Berulang kali dia melirik pada jam yang melingkar di tangannya, sudah hampir jam 9 malam.“Mudah-mudahan saja Maria benar ke rumahnya Fany. Kalau tidak ….” Denis bahkan tak mampu melanjutkan kalimatnya sendiri. Dia khawatir jika terjadi apa-apa pada Maria juga Amanda.Mobilnya perlahan melaju, hingga akhirnya menemukan persimpangan, Denis memilih jalan lain yang tidak macet walaupun lebih jauh.“Huuft!” Dia mengembus napas kasar. Kemacetan telah membuatnya hampir kehilangan akal sehat.“Jakarta semakin hari semakin macet aja. Mengerikan!” umpatnya kesal. Namun, sekarang mobil itu sudah melaju kencang menuju kontrakan Fany yang jaraknya tak jauh lagi.Denis memarkir mobil sembarangan. Dia membanting pintu dan melangkah cepat
“Bagaimana kamu bisa ada di sini?” tanya Denis terperanjat turun dari tempat tidurnya.“Aahh, semalam, kan, aku anter kamu pulang ke sini. kenapa kamu lupa?” Irene malah menguap.“Sial!’ umpat Denis yang langsung pergi ke kamar mandi.“Kamu cepat pakai baju dan pulang!” usir Denis sambil membanting pintu kamar mandinya.Irene justru semakin berleha-leha di atas tempat tidur. Namun, rasa haus menyiksa tenggorokannya. Dia lalu bangkit dan turun. Sambil celingak-celinguk dia mencari dapur. Lalu, matanya menangkap sosok Maria yang sedang menyiapkan sarapan.“Hei, kamu pembantu di sini?” tanya Irene sambil memainkan rambutnya. Maria meliriknya dengan hati yang teramat sakit. Irene hanya mengenakan pakaian seadanya.“Iya, Mbak. Mau sesuatu?” tanya Maria dengan sopan.“Aku haus,” jawab Irene yang kemudian duduk di kursi makan.“Tunggu sebentar, saya ambilkan air,” kata Maria yang berbalik menuju dapur dan tak lama kembali dengan segelas air putih.“Silakan diminum, Mbak,” ucap Maria sambil m
Meski tahu jika Denis sama sekali tak menganggapnya seorang istri, tetapi bagi Maria sikap Denis yang seperti itu tetap saja keterlaluan dan melukai harga dirinya sebagai istri. Apalagi sekarang Denis sudah berani membawa wanita lain ke rumah mereka.Maria tak bisa memejamkan matanya. Hatinya gelisah memikirkan apa yang tengah dilakukan dua insan berlainan jenis itu di kamar suaminya.Amanda sudah tidur sejak tadi setelah kenyang menyusu, tetapi Maria tak bisa ikut terlelap padahal badannya sangat lelah.Maria menatap sendu pada Amanda. Jika bukan karena rasa sayangnya pada anak itu, mungkin dia sudah memilih untuk kembali melarikan diri dan menghilang saja.Maria keluar dari kamarnya dan mengendap mendekat ke kamar Denis. Ingin rasanya mendobrak pintu kamar itu dan menyuruh wanita yang datang bersama Denis itu untuk pergi. Namun, hatinya masih tak berani melakukannya.Rasa pedih dan tak berdaya membuatnya luruh dan bersimpuh di lantai dingin itu dengan air mata yang berderai.Kemudia
Pagi-pagi Denis seperti biasanya hendak sarapan setelah bersiap dengan setelan kerjanya. Maria sengaja menyiapkan sendiri sarapan untuk lelaki yang kini menjadi suaminya. Walaupun dia tahu jika Denis tak akan pernah menganggapnya sebagai seorang istri, tetapi bagi Maria kewajiban tetaplah kewajiban.“Ke mana Bibi? Kenapa kamu yang nyiapin sarapan?” tanya Denis sambil menarik kursi.“Mmh, ada. Bibi lagi beresin perabotan bekas masak,” jawab Maria ragu-ragu.“Lain kali biar si Bibi aja yang nyiapin sarapan. Kamu urus Amanda saja,” kata Denis.Maria mengangguk pelan tak bisa mendebat.“Ingat, pernikahan ini hanya status saja, Maria. Jangan kamu anggap serius. Tidak perlu kamu melayani aku seperti seorang istri. Mengerti?” Denis kembali mengingatkan.“Iya, pak. Saya mengerti. Tapi maaf, saya di sini hanya sebagai pelayan, karena itu saya juga berkewajiban melakukan apapun sebagai pelayan,” sahut Maria dengan suara yang parau.“Hmm, baiklah. Tapi … saya harap kamu tidak melalaikan tugas