“Mau ke mana, Fer?” tanya Ani yang heran melihat putranya tergesa-gesa.“Aku harus ke rumah sakit, Ma. Ada pasien yang harus ditolong,” sahut Fery menyambar kunci mobilnya.Ani manggut-manggut. Dia mengerti dengan profesi sang putra sebagai seorang dokter yang harus siap kapan saja.“Hati-hati, Mas,” ujar Suci yang mengekori Fery hingga ke garasi.“Iya, Sayang. Maaf, ya, harus aku tinggalin,” ujar Fery yang dibarengi dengkusan kesal. “Si Yuni itu ada-ada saja.”Mata Suci melebar saat mendengar nama itu disebut. “Jadi … yang mau lahiran itu Mbak Yuni?” tanyanya dengan nada cemburu. Wajahnya mendadak cemberut.Fery menangkap itu. “Iya, kata bidan yang jaga Yuni harus menadapat tindakan operasi secar. Aku mohon kamu mengerti, ya. Ini adalah tugasku sebagai dokter,” jelas Fery yang menangkap kecemburuan di wajah istrinya.Suci mengangguk dengan wajah muram. “Iya, Mas. Aku mengerti. Hati-hati, ya,” ucapnya mencoba mengikhlaskan.Fery menelan salivanya. “Ci, maaf. Aku harus melakukan tu
“Kok udah pulang lagi, Mas?” tanya Suci yang heran melihat suaminya kembali dalam waktu sekejap. Sepertinya membantu proses kelahiran tidak akan secepat itu.Fery hanya menahan tawa sambil menggeleng.“Iiish, Mas ini ditanya malah ketawa. Udah beres Mbak Yuni lahirannya? Atau nggak jadi?” Suci masih mencecar dengan pertanyaan sambil mengekori Fery menuju kamar mereka.“Pusing aku melihat kelakuannya Yuni itu. Dia nggak mau melahirkan normal hanya karena nggak mau jadi dower katanya.” Fery kembali menahan tawa.“Iiish, emang mungkin bener, Mas,” sahut Suci.Fery berbalik menghadap istriny. “Otot vagina itu elastis, bisa melebar dan mengerut lagi. Walaupun memang tidak akan sama dengan gadis perawan, tapi bisa diperbaiki dengan latihan senam kegel,” jelas Fery.“Senam kegel?” Suci menelengkan wajahnya.“Iya. Nanti setelah kamu lahiran, kamu bisa ikut kelas senam kegel, aerobic dan yang lainnya. Supaya tubuh kamu sehat, bukan apa-apa,” ujar Fery.Suci masih bengong tidak mengerti.“Sudah
Hari ketiga setelah kepulangan Yuni dari rumah sakit, dia masih tak mau menyusui anaknya. Yadi sudah menyerah dengan sikap ibu dari anaknya itu. Lelah untuk membujuk. Sepertinya wanita itu tidak akan pernah berubah tabiatnya.Yuni membereskan pakaiannya ke dalam tas besar. Hanya pakaiannya yang bagus saja yang dia bawa, sedangkan baju-baju lusuhnya dia biarkan begitu saja.Bayi mungil itu menangis saat Yadi tinggalkan ke kamar mandi dan Yuni tak menggubrisnya sama sekali.Yadi keluar terburu-buru dan menggelengkan kepalanya saat melihat Yuni begitu santai, seolah tangisan itu tak terdengar olehnya.“Kamu gendong dulu sebentar kan, bisa, Yun. Kamu nggak kasian apa?” ujar Yadi yang sudah habis kesabaran. Dia bahkan tak bisa fokus bekerja. Sebentar-sebentar pulang untuk melihat keadaan putri yang dia beri nama Ayna.“Males. Kamu kan bisa cepetan di kamar mandi, kenapa pake lama,” sahut Yuni dengan entengnya.“Astagfirullah,” ucap Yadi sambil meraih bayi itu dan menimangnya. Yadi paham k
Yadi pulang ke kampungnya membawa sang putri. Ibunya begitu bahagia saat melihat kepulangan sang putra, walaupun agak kaget karena putranya pulang membawa bayi.“Duh, Yadi … kamu bawa anaknya siapa ini?” tanya sang ibu yang heran.Yadi tampak kikuk. Dia merasa bersalah karena punya anak tanpa pernikahan.“Kok diam, Yad? Kamu nggak bawa kabur anak orang, kan?” sang ibu semakin penasaran.“Nggak lah, Mak. ini anak aku,” jawab Yadi malu-malu.“Anak kamu? kapan kamu nikah, Yad? Kenapa nggak bilang sama Emak?” wanita kurus itu terlihat sedih.“Itu, Mak. Maaf. Aku sebenernya belum nikah. Aku minta maaf. Ini anak aku sama pacarku, Mak,” jawab Yadi takut-takut.“Astagfirullah, Yadi.” Wanita bernama Wiwin itu mengusap wajahnya dengan kasar. Tak percaya jika putranya bisa berbuat seperti itu.“Iya, Mak, aku minta maaf,” jawabnya dengan wajah memelas.“Terus, ke mana ibunya sekarang?” tanya Wiwin. Tangannya terulur ingin mengambil sang bayi ke pangkuannya. Yadi pun memberikan bayi itu pada sang
Keesokan harinya, kakak dari ayahnya Yadi datang ke rumah Wiwin. Dia dengan tak tahu malu menawarkan untuk menukar tanah warisan.“Kamu, kan, tau kalau tanah yang aku tanami padi sekarang lebih luas. Jadi, aku tawarkan untuk menukarnya dengan punya Kas Hasan.”Yadi dan Wiwin saling melempar pandang. Uwaknya itu memang suka mencari kesempatan dalam kesempitan.“Maaf, Wak, tapi … tanah itu sudah ada yang menawar,” jawab Yadi.Lelaki berpangsi hitam itu melebarkan matanya.“Dengar, Yadi. Sebetulnya dulu, tanah itu adalah bagianku. Tapi aku dan bapakmu sepakat untuk menukarnya karena aku yang lebih pintar mengolah sawah dan bapakmu hanya bisa berkebun saja,” tukas lelaki bernama Hamdan itu.“Tap sekarang, aku sudah tua. Sudah tak mampu lagi mengolah sawah. Mungkin kamu bisa lebih baik mengolahnya.” Lelaki itu mencari alasan.Wiwin terdiam. Dia masih ingat dengan cerita dulu saat suami dan kakaknya bertukar tanah itu, karena Hamdan ingin tanah yang harganya jauh lebih mahal saat itu. Su
Orang-orang kampong mulai mendekati Yadi dan Wiwin. Mereka ada yang terang-terangan meminta ditraktir, minta jatah da nada yang berpura-pura pinjam uang. Padahal orang-orang itu dulunya sering menghina Wiwin juga Yadi karena mereka orang miskin.“Makin banyak saja yang datang buat pinjem uang ya, Yad.” Wiwin menggeleng pelan sambil tertawa miris. Di gendongannya ada Ayna yang baru terlelap setelah minum susu.“Iya, Mak. Mereka kayaknya nggak inget bagaimana mereka menghina kita dulu.” Yadi ikut tertawa miris sambil melihat para tukang yang sedang membangun rumah barunya. “Dikira kita nggak punya keperluan.”“Kemarin Ceu Yeyen ke sini, dia ngomongin soal mau jodohin anaknya sama kamu,” kekeh Wiwin.“Waduh!” Yadi sampai kaget mendengarnya. Dulu, siapa yang mau mendapatkan menantu seperti dirinya. Bahkan Yuni pun selalu merendahkan dirinya karena miskin.“Kamu tau kan, anaknya Ceu Yeyen? Itu si Wida yang kalau pake baju kaya kurang bahan,” jelas Wiwin.Yadi hanya tertawa pelan. “Iya, Ma
Fery mengajak Suci untuk berjalan-jalan ke kota. Sekalian dia ingin membeli peralatan bayi karena perut Suci sudah mulai membesar. Lelaki yang sudah lama merindukan kehadiran seorang anak itu sungguh antusias ingin segera berbelanja.“Kalau capek bilang, biar kita istirahat dulu,” ujar Fery setelah memasuki area mall. Suci hanya mengangguk.Tangan Fery sesekali mengelus perut yang membuncit itu penuh sayang. Rasanya tak sabar untuk segera bertemu dengan calon bayinya itu.“Mas, udah, ih, malu diliatin orang,” bisik Suci yang tak enak menjadi pusat perhatian orang-orang yang lewat. Mereka tampak senyum-senyum melihat kemesraan yang ditunjukan Fery padanya.“Ya nggap apa-apa, toh kamu istri saya,” jawab Fery yang malah makin mengeratkan rangkulan di pundak Suci.“iihh, Mas. suka gitu.” Suci mendelik.“Sstt, itu toko peralatan bayinya sudah keliatan. Ayo,” bisiknya untuk mengobati kekesalan sang istri. Dia lalu menuntun Suci untuk ke sana. Namun, langkah mereka terhenti saat hampir sa
Fery mengerjapkan matanya. Ponsel di atas nakas dari tadi tak henti berdering. Dia ambil dan melihat layarnya dengan mata memicing.“Amanda?” gumam Fery saat melihat nama di layar ponselnya. Dia gegas mengangkat panggilan itu karena merasa heran di jam segini mantan istrinya itu menelepon.“Halo,” sapa Fery dengan sedikit ragu. Dia melirik pada Suci yang terlelap di sampingnya.Alis fery bertautan saat mendengar suara Denis di seberang sana seperti yang menangis.“Denis?” tanya Fery dengan nada yang bingung.“Iya, Fer. Ini gue.”“Ada apa?” tanya Fery yang mulai mencurigai sesuatu.“Amanda, Fer,” sahut Denis dengan suara yang tercekat.“Amanda? Amanda kenapa?” tanya Fery semakin bingung.“Amanda kritis. Dia pendarahan hebat saat melahirkan,” jawab Denis yang kini suara itu sudah bercampur isak.“Apa?!” pekik Fery sangat kaget dengan ucapan Denis barusan.“Iya, Fer. Amanda sedang kritis sekarang, dia masuk ruang ICU,” sahut Denis.Fery terdiam. Meski Amanda bukan lagi istrinya, tetapi w