Yadi pulang ke kampungnya membawa sang putri. Ibunya begitu bahagia saat melihat kepulangan sang putra, walaupun agak kaget karena putranya pulang membawa bayi.“Duh, Yadi … kamu bawa anaknya siapa ini?” tanya sang ibu yang heran.Yadi tampak kikuk. Dia merasa bersalah karena punya anak tanpa pernikahan.“Kok diam, Yad? Kamu nggak bawa kabur anak orang, kan?” sang ibu semakin penasaran.“Nggak lah, Mak. ini anak aku,” jawab Yadi malu-malu.“Anak kamu? kapan kamu nikah, Yad? Kenapa nggak bilang sama Emak?” wanita kurus itu terlihat sedih.“Itu, Mak. Maaf. Aku sebenernya belum nikah. Aku minta maaf. Ini anak aku sama pacarku, Mak,” jawab Yadi takut-takut.“Astagfirullah, Yadi.” Wanita bernama Wiwin itu mengusap wajahnya dengan kasar. Tak percaya jika putranya bisa berbuat seperti itu.“Iya, Mak, aku minta maaf,” jawabnya dengan wajah memelas.“Terus, ke mana ibunya sekarang?” tanya Wiwin. Tangannya terulur ingin mengambil sang bayi ke pangkuannya. Yadi pun memberikan bayi itu pada sang
Keesokan harinya, kakak dari ayahnya Yadi datang ke rumah Wiwin. Dia dengan tak tahu malu menawarkan untuk menukar tanah warisan.“Kamu, kan, tau kalau tanah yang aku tanami padi sekarang lebih luas. Jadi, aku tawarkan untuk menukarnya dengan punya Kas Hasan.”Yadi dan Wiwin saling melempar pandang. Uwaknya itu memang suka mencari kesempatan dalam kesempitan.“Maaf, Wak, tapi … tanah itu sudah ada yang menawar,” jawab Yadi.Lelaki berpangsi hitam itu melebarkan matanya.“Dengar, Yadi. Sebetulnya dulu, tanah itu adalah bagianku. Tapi aku dan bapakmu sepakat untuk menukarnya karena aku yang lebih pintar mengolah sawah dan bapakmu hanya bisa berkebun saja,” tukas lelaki bernama Hamdan itu.“Tap sekarang, aku sudah tua. Sudah tak mampu lagi mengolah sawah. Mungkin kamu bisa lebih baik mengolahnya.” Lelaki itu mencari alasan.Wiwin terdiam. Dia masih ingat dengan cerita dulu saat suami dan kakaknya bertukar tanah itu, karena Hamdan ingin tanah yang harganya jauh lebih mahal saat itu. Su
Orang-orang kampong mulai mendekati Yadi dan Wiwin. Mereka ada yang terang-terangan meminta ditraktir, minta jatah da nada yang berpura-pura pinjam uang. Padahal orang-orang itu dulunya sering menghina Wiwin juga Yadi karena mereka orang miskin.“Makin banyak saja yang datang buat pinjem uang ya, Yad.” Wiwin menggeleng pelan sambil tertawa miris. Di gendongannya ada Ayna yang baru terlelap setelah minum susu.“Iya, Mak. Mereka kayaknya nggak inget bagaimana mereka menghina kita dulu.” Yadi ikut tertawa miris sambil melihat para tukang yang sedang membangun rumah barunya. “Dikira kita nggak punya keperluan.”“Kemarin Ceu Yeyen ke sini, dia ngomongin soal mau jodohin anaknya sama kamu,” kekeh Wiwin.“Waduh!” Yadi sampai kaget mendengarnya. Dulu, siapa yang mau mendapatkan menantu seperti dirinya. Bahkan Yuni pun selalu merendahkan dirinya karena miskin.“Kamu tau kan, anaknya Ceu Yeyen? Itu si Wida yang kalau pake baju kaya kurang bahan,” jelas Wiwin.Yadi hanya tertawa pelan. “Iya, Ma
Fery mengajak Suci untuk berjalan-jalan ke kota. Sekalian dia ingin membeli peralatan bayi karena perut Suci sudah mulai membesar. Lelaki yang sudah lama merindukan kehadiran seorang anak itu sungguh antusias ingin segera berbelanja.“Kalau capek bilang, biar kita istirahat dulu,” ujar Fery setelah memasuki area mall. Suci hanya mengangguk.Tangan Fery sesekali mengelus perut yang membuncit itu penuh sayang. Rasanya tak sabar untuk segera bertemu dengan calon bayinya itu.“Mas, udah, ih, malu diliatin orang,” bisik Suci yang tak enak menjadi pusat perhatian orang-orang yang lewat. Mereka tampak senyum-senyum melihat kemesraan yang ditunjukan Fery padanya.“Ya nggap apa-apa, toh kamu istri saya,” jawab Fery yang malah makin mengeratkan rangkulan di pundak Suci.“iihh, Mas. suka gitu.” Suci mendelik.“Sstt, itu toko peralatan bayinya sudah keliatan. Ayo,” bisiknya untuk mengobati kekesalan sang istri. Dia lalu menuntun Suci untuk ke sana. Namun, langkah mereka terhenti saat hampir sa
Fery mengerjapkan matanya. Ponsel di atas nakas dari tadi tak henti berdering. Dia ambil dan melihat layarnya dengan mata memicing.“Amanda?” gumam Fery saat melihat nama di layar ponselnya. Dia gegas mengangkat panggilan itu karena merasa heran di jam segini mantan istrinya itu menelepon.“Halo,” sapa Fery dengan sedikit ragu. Dia melirik pada Suci yang terlelap di sampingnya.Alis fery bertautan saat mendengar suara Denis di seberang sana seperti yang menangis.“Denis?” tanya Fery dengan nada yang bingung.“Iya, Fer. Ini gue.”“Ada apa?” tanya Fery yang mulai mencurigai sesuatu.“Amanda, Fer,” sahut Denis dengan suara yang tercekat.“Amanda? Amanda kenapa?” tanya Fery semakin bingung.“Amanda kritis. Dia pendarahan hebat saat melahirkan,” jawab Denis yang kini suara itu sudah bercampur isak.“Apa?!” pekik Fery sangat kaget dengan ucapan Denis barusan.“Iya, Fer. Amanda sedang kritis sekarang, dia masuk ruang ICU,” sahut Denis.Fery terdiam. Meski Amanda bukan lagi istrinya, tetapi w
Fery masih diam merenungi apa yang telah terjadi. Rasanya semua ini bagaikan mimpi. Amanda yang seharusnya menikmati kebahagiaan dengan Denis, justru harus syahid saat melahirkan anaknya. Mengingat Amanda telah melahirkan, Fery langsung terperanjat.“Bayinya. Di mana dia?” ucapnya sembari mencari-cari keberadaan suster yang bisa memberikan informasi di mana bayinya Amanda berada.Suci pun ikut mencari keberadaan Suster, tetapi tak mereka temukan.“Ayo, kita tanya ke resepsionis aja,” ajak Suci.Fery pun mengangguk pelan lalu melangkah dengan gontai. beruntung tak harus pergi ke lobi rumah sakit, karena saat di lorong, mereka bertemu dengan suster yang mau mengecek pasien ke ruangan.“Sus, maaf, mau tanya, kalau ruangan perawatan bayi di mana ya?” tanya Fery.“Oh, ruang perawatan bayi di lantai dua Gedung Zaitun. Di sebelah sana, Pak.” Suster itu menunjukan letak gedung yang berada di sebelah kiri ruang ICU.Fery dan Suci pun gegas pergi ke sana setelah mengucapkan terima kasih.Sete
Suci terdiam saat mendengar penjelasan Fery tentang Amanda kecil yang diminta Denis untuk merawatnya.“Dia itu anakmu yang sah, Mas. Bu Manda hamil di saat masih menjadi istrimu,” ucap Suci yang sedih karena suaminya akan meninggalkan bayi itu dengan Denis.“Aku tau, Ci. Aku juga inginnya bawa Amanda untuk tinggal sama kita, tapi … aku juga merasa kasihan dengan Denis. Aku bisa melihat bagaimana tulusnya cinta Denis pada Amanda. Aku bahkan merasa malu karena Denis bisa mencintai Amanda, menjaga dia dengan baik di saat Amanda hamil. Apa yang bisa aku katakan saat Denis minta untuk merawat anak itu? Aku merasa sangat tega jika membawa anak itu. Aku merasa merebut sesuatu yang selama ini Denis tanam,” cerocos Fery.Suci terdiam. Fery benar. Denis begitu menyayangi Amanda dengan tulus, bahkan jauh melebihi sayang Fery pada mantan istrinya itu.“Aku sudah putuskan, jika Amanda kecil akan tinggal dengan Denis, dan aku akan memantau perkembangan Amanda setiap hari. Setiap akhir pekan kita
“Fery?” Denis menautkan alisnya.“Iya, Pak,” jawab wanita berseragam putih itu sambil meminta Denis memberikan Amanda kecil padanya.Denis refleks menariknya menjauh dan membuat Amanda semakin kencang menangis.“Pak, kasian bayinya. Biar saya kasih susu dulu.” Wanita itu mengangkat tangannya meraup-raup untuk mengambil Amanda.Denis mengalah. Dia memberikan bayi itu pada sang baby sitter.Wanita berkuncir kuda itu lalu duduk dan memberikan botol susu pada Amanda. Bayi itupun langsung diam dan menyedot susu. Amanda terlihat sangat kehausan.Denis berdiri diam sambil memperhatikan bagaimana wanita itu menimang bayinya. Awalnya dia tidak suka saat melihat wanita itu ada di sana. Dia tidak mau ada orang lain yang ikut mengurus Amanda kecilnya. Namun, setelah bayi itu menangis dan tak mau diam, dia mengerti kenapa Fery menyewakannya seorang baby sitter.Denis keluar dari ruangan itu dan langsung menghubungi Fery. Dia ingin mengucapkan terima kasih padanya.“Halo,” ucap Fery di seberang san