“Duduk!” titah Ani pada Fery setelah semua tamu sudah bubar. Lelaki tampan itu pun menuruti perintah sang ibu.“Jadi, selama ini, kamu pernah menikah dengan wanita tadi di belakang kami?” tanya Ani dengan tangan bersedekap di dada.Fery tampak tak nyaman. “Iya, Ma. Aku minta maaf. Aku akui aku salah. Aku juga sudah menerima balasan atas sikap burukku pada Amanda. Aku mendapatkan istri yang buruk seperti Yuni. Aku kapok,” ungkap Fery tampak menyesal.“Jadi … kamu nikahin dia cuman buat nyakitin Amanda? Gila kamu Fer! Kapan Mama sama Papa ngajarin kamu bersikap tak baik seperti itu?” Ani benar-benar marah.Fery menunduk dalam. Akhirnya yang dia sembunyikan, terbongkar juga. “Jangan-jangan, kamu nikahin Suci juga cuma main-main,” tuduh Ani lagi.“Ma, jangan begitu,” tegur Sofyan. Namun, wanita cantik itu tak mau mendengar debat dari suaminya. “Coba saja Papa pikir, bagaimana mungkin anak kita jadi tukang main perempuan seperti itu. Gak bermoral!” Ani mendengkus kesal.“Iya, Ma, maaf.
“Mau ke mana, Fer?” tanya Ani yang heran melihat putranya tergesa-gesa.“Aku harus ke rumah sakit, Ma. Ada pasien yang harus ditolong,” sahut Fery menyambar kunci mobilnya.Ani manggut-manggut. Dia mengerti dengan profesi sang putra sebagai seorang dokter yang harus siap kapan saja.“Hati-hati, Mas,” ujar Suci yang mengekori Fery hingga ke garasi.“Iya, Sayang. Maaf, ya, harus aku tinggalin,” ujar Fery yang dibarengi dengkusan kesal. “Si Yuni itu ada-ada saja.”Mata Suci melebar saat mendengar nama itu disebut. “Jadi … yang mau lahiran itu Mbak Yuni?” tanyanya dengan nada cemburu. Wajahnya mendadak cemberut.Fery menangkap itu. “Iya, kata bidan yang jaga Yuni harus menadapat tindakan operasi secar. Aku mohon kamu mengerti, ya. Ini adalah tugasku sebagai dokter,” jelas Fery yang menangkap kecemburuan di wajah istrinya.Suci mengangguk dengan wajah muram. “Iya, Mas. Aku mengerti. Hati-hati, ya,” ucapnya mencoba mengikhlaskan.Fery menelan salivanya. “Ci, maaf. Aku harus melakukan tu
“Kok udah pulang lagi, Mas?” tanya Suci yang heran melihat suaminya kembali dalam waktu sekejap. Sepertinya membantu proses kelahiran tidak akan secepat itu.Fery hanya menahan tawa sambil menggeleng.“Iiish, Mas ini ditanya malah ketawa. Udah beres Mbak Yuni lahirannya? Atau nggak jadi?” Suci masih mencecar dengan pertanyaan sambil mengekori Fery menuju kamar mereka.“Pusing aku melihat kelakuannya Yuni itu. Dia nggak mau melahirkan normal hanya karena nggak mau jadi dower katanya.” Fery kembali menahan tawa.“Iiish, emang mungkin bener, Mas,” sahut Suci.Fery berbalik menghadap istriny. “Otot vagina itu elastis, bisa melebar dan mengerut lagi. Walaupun memang tidak akan sama dengan gadis perawan, tapi bisa diperbaiki dengan latihan senam kegel,” jelas Fery.“Senam kegel?” Suci menelengkan wajahnya.“Iya. Nanti setelah kamu lahiran, kamu bisa ikut kelas senam kegel, aerobic dan yang lainnya. Supaya tubuh kamu sehat, bukan apa-apa,” ujar Fery.Suci masih bengong tidak mengerti.“Sudah
Hari ketiga setelah kepulangan Yuni dari rumah sakit, dia masih tak mau menyusui anaknya. Yadi sudah menyerah dengan sikap ibu dari anaknya itu. Lelah untuk membujuk. Sepertinya wanita itu tidak akan pernah berubah tabiatnya.Yuni membereskan pakaiannya ke dalam tas besar. Hanya pakaiannya yang bagus saja yang dia bawa, sedangkan baju-baju lusuhnya dia biarkan begitu saja.Bayi mungil itu menangis saat Yadi tinggalkan ke kamar mandi dan Yuni tak menggubrisnya sama sekali.Yadi keluar terburu-buru dan menggelengkan kepalanya saat melihat Yuni begitu santai, seolah tangisan itu tak terdengar olehnya.“Kamu gendong dulu sebentar kan, bisa, Yun. Kamu nggak kasian apa?” ujar Yadi yang sudah habis kesabaran. Dia bahkan tak bisa fokus bekerja. Sebentar-sebentar pulang untuk melihat keadaan putri yang dia beri nama Ayna.“Males. Kamu kan bisa cepetan di kamar mandi, kenapa pake lama,” sahut Yuni dengan entengnya.“Astagfirullah,” ucap Yadi sambil meraih bayi itu dan menimangnya. Yadi paham k
Yadi pulang ke kampungnya membawa sang putri. Ibunya begitu bahagia saat melihat kepulangan sang putra, walaupun agak kaget karena putranya pulang membawa bayi.“Duh, Yadi … kamu bawa anaknya siapa ini?” tanya sang ibu yang heran.Yadi tampak kikuk. Dia merasa bersalah karena punya anak tanpa pernikahan.“Kok diam, Yad? Kamu nggak bawa kabur anak orang, kan?” sang ibu semakin penasaran.“Nggak lah, Mak. ini anak aku,” jawab Yadi malu-malu.“Anak kamu? kapan kamu nikah, Yad? Kenapa nggak bilang sama Emak?” wanita kurus itu terlihat sedih.“Itu, Mak. Maaf. Aku sebenernya belum nikah. Aku minta maaf. Ini anak aku sama pacarku, Mak,” jawab Yadi takut-takut.“Astagfirullah, Yadi.” Wanita bernama Wiwin itu mengusap wajahnya dengan kasar. Tak percaya jika putranya bisa berbuat seperti itu.“Iya, Mak, aku minta maaf,” jawabnya dengan wajah memelas.“Terus, ke mana ibunya sekarang?” tanya Wiwin. Tangannya terulur ingin mengambil sang bayi ke pangkuannya. Yadi pun memberikan bayi itu pada sang
Keesokan harinya, kakak dari ayahnya Yadi datang ke rumah Wiwin. Dia dengan tak tahu malu menawarkan untuk menukar tanah warisan.“Kamu, kan, tau kalau tanah yang aku tanami padi sekarang lebih luas. Jadi, aku tawarkan untuk menukarnya dengan punya Kas Hasan.”Yadi dan Wiwin saling melempar pandang. Uwaknya itu memang suka mencari kesempatan dalam kesempitan.“Maaf, Wak, tapi … tanah itu sudah ada yang menawar,” jawab Yadi.Lelaki berpangsi hitam itu melebarkan matanya.“Dengar, Yadi. Sebetulnya dulu, tanah itu adalah bagianku. Tapi aku dan bapakmu sepakat untuk menukarnya karena aku yang lebih pintar mengolah sawah dan bapakmu hanya bisa berkebun saja,” tukas lelaki bernama Hamdan itu.“Tap sekarang, aku sudah tua. Sudah tak mampu lagi mengolah sawah. Mungkin kamu bisa lebih baik mengolahnya.” Lelaki itu mencari alasan.Wiwin terdiam. Dia masih ingat dengan cerita dulu saat suami dan kakaknya bertukar tanah itu, karena Hamdan ingin tanah yang harganya jauh lebih mahal saat itu. Su
Orang-orang kampong mulai mendekati Yadi dan Wiwin. Mereka ada yang terang-terangan meminta ditraktir, minta jatah da nada yang berpura-pura pinjam uang. Padahal orang-orang itu dulunya sering menghina Wiwin juga Yadi karena mereka orang miskin.“Makin banyak saja yang datang buat pinjem uang ya, Yad.” Wiwin menggeleng pelan sambil tertawa miris. Di gendongannya ada Ayna yang baru terlelap setelah minum susu.“Iya, Mak. Mereka kayaknya nggak inget bagaimana mereka menghina kita dulu.” Yadi ikut tertawa miris sambil melihat para tukang yang sedang membangun rumah barunya. “Dikira kita nggak punya keperluan.”“Kemarin Ceu Yeyen ke sini, dia ngomongin soal mau jodohin anaknya sama kamu,” kekeh Wiwin.“Waduh!” Yadi sampai kaget mendengarnya. Dulu, siapa yang mau mendapatkan menantu seperti dirinya. Bahkan Yuni pun selalu merendahkan dirinya karena miskin.“Kamu tau kan, anaknya Ceu Yeyen? Itu si Wida yang kalau pake baju kaya kurang bahan,” jelas Wiwin.Yadi hanya tertawa pelan. “Iya, Ma
Fery mengajak Suci untuk berjalan-jalan ke kota. Sekalian dia ingin membeli peralatan bayi karena perut Suci sudah mulai membesar. Lelaki yang sudah lama merindukan kehadiran seorang anak itu sungguh antusias ingin segera berbelanja.“Kalau capek bilang, biar kita istirahat dulu,” ujar Fery setelah memasuki area mall. Suci hanya mengangguk.Tangan Fery sesekali mengelus perut yang membuncit itu penuh sayang. Rasanya tak sabar untuk segera bertemu dengan calon bayinya itu.“Mas, udah, ih, malu diliatin orang,” bisik Suci yang tak enak menjadi pusat perhatian orang-orang yang lewat. Mereka tampak senyum-senyum melihat kemesraan yang ditunjukan Fery padanya.“Ya nggap apa-apa, toh kamu istri saya,” jawab Fery yang malah makin mengeratkan rangkulan di pundak Suci.“iihh, Mas. suka gitu.” Suci mendelik.“Sstt, itu toko peralatan bayinya sudah keliatan. Ayo,” bisiknya untuk mengobati kekesalan sang istri. Dia lalu menuntun Suci untuk ke sana. Namun, langkah mereka terhenti saat hampir sa
“Tak perlu basa basi,” jawab ibunya Hanif terlihat emosi. Dia sangat kesal karena melihat Maria yang terlihat mewah. Sementara dirinya justru terlihat kumal.“Baiklah kalau tidak boleh berbasa basi. Sepertinya kalian tetap saja sial walaupun sudah mengusir Maria.” Denis tersenyum miring.Mata Hanif langsung melotot, begitu juga dengan ibunya.“Enak aja kamu bilang kami sial. Hanif ini sekarang bekerja di perusahaan bonafid. Dia ini jadi manager,” balas ibunya Hanif dengan mata melotot.Denis tersenyum miring. “Oh ya? Benarkah? Anak Ibu bilang jadi manager?” tanyanya dengan nada mencibir.“Ya, tentu saja. Bukan begitu, Hanif?” ujar wanita paruh baya itu dengan dagu yang mendongak.“I-iya, tentu saja,” jawab Hanif tergagap.“Oh begitu. Baguslah kalau memang dia sudah jadi manager. Permisi, kami mau mencari peralatan bayi,” pamit Denis yang lalu menuntun Maria untuk memasuki toko.Istrinya Hanif pun ikut mengekor sambil menarik Hanif untuk segera masuk ke dalam toko. Namun, lelaki itu me
Maria tersipu malu saat bangun keesokan harinya. Dia merasa berbunga-bunga karena telah menjadi seorang istri yang utuh bagi Denis. Dia menutupi tubuhnya yang polos dengan handuk yang terserak di lantai.“Mbak, Mbak Maria.” Terdengar panggilang dari Bi Noneng.“I-iya, Bi?” Maria gegas membuka pintu itu sedikit. Ternyata wanita itu tengah menggendong Amanda yang habis menangis.“Astagfirullah, Sayang maafin Mama,” ujar Maria yang langsung membuka pintu dan mengambil Amanda dari tangan Bi Noneng.Wanita paruh baya itu tak sengaja melihat ke dalam kamar di mana ada Denis yang masih terlelap di atas kasur milik Maria.“Eh.” Maria tampak malu karena kepergok telah sekamar.Bi Noneng malah tersenyum dan mengelus pundak Maria. “Sudah sewajarnya, toh? Pak Denis itu suamimu, Mbak. Dia seperti orang gila sewaktu Mbak Maria pergi dari rumah. Dia sering melamun dan gelisah,” ucapnya.“Kalian berhak bahagia. Saya ikut senang, Mbak,” pungkasnya sebelum beranjak pergi.Maria masih terpaku setelah me
Maria gegas menyilangkan kedua tangan pada dua area sensitifnya. Dia begitu malu dengan perlakuan Denis padanya. Maria hendak jongkok untuk mengambil lagi handuknya, tetapi tangan Denis lekas menahannya.Maria mendongak melihat pada lelaki yang menggelengkan kepalanya. Denis lalu menarik Maria agar kembali tegak berdiri.“Ba-pak, saya ….” Wajah Maria sudah merah saking malunya.“Ini bukan pertama kali kamu melakukannya, bukan? Seharusnya aku yang mesti malu, karena ini adalah hal yang pertama buatku,” ucap Denis yang semakin membuat Maria tersipu malu. Wanita itu menunduk dalam.“Saya … rasanya tidak pantas untuk Bapak. Saya ini hanya perempuan miskin pembawa sial,” ucap Maria dengan suara tercekat. Namun, Denis justru menarik dagu Maria agar kembali menatapnya.“Aku akan buktikan jika kamu adalah wanita yang penuh keberuntungan,” balas Denis dengan tatapan lekat. Dia berusaha memupuk cinta itu agar semakin subur. Maria bukan wanita yang sulit untuk dicintai. Wanita itu begitu tulus
Maria hanya diam selama perjalanan. Dengan hati terpaksa Maria ikut pulang dengan Denis. Mau bagaimana lagi, Amanda tak bisa lepas darinya. Anak itu menangis keras saat Maria menyerahkan pada Denis.Entah apa yang akan terjadi nanti, mungkin Maria akan minta Denis untuk mencarikan baby sitter baru, lalu dirinya akan meminta cerai dan pergi.Denis sesekali melirik ke samping kirinya dan melihat Maria yang memangku Amanda yang tertidur lelap.“Kamu sudah makan?” tanya Denis yang merasa kasihan sekali melihat istrinya itu begitu kurus.Maria mengangguk pelan.“Makan apa?” telisik Denis penasaran.Maria terdiam sejenak sebelum akhirnya menjawab, “Aku makan bubur sisa Amanda tadi.”Denis memejamkan matanyanya sejenak dan menggeleng. Pantas saja wanita itu begitu kurus, karena hanya makan makanan sisa anaknya. Lelaki itu beristigfar dalam hatinya.Benar kata Amanda, jika Maria adalah wanita terbaik yang bisa menggantikannya.“Kita makan dulu,” ujar Denis lalu membelokan mobilnya menuju sebu
Fery segera membuat pengumuman orang hilang dan menyebarnya di berbagai media sosial. Dia yakin cara itu akan jauh lebih mudah dilihat orang-orang saat ini.Dia juga menjanjikan akan memberi imbalan yang besar bagi yang memberikan kabar tentang keberadaan Maria seperti dulu.Fery sangat khawatir dengan nasib Amanda juga pengasuhnya itu.Maria hanya wanita lemah yang membawa seorang bayi. Dia yakin akan susah untuk mendapatkan pekerjaan untuk memenuhi kebutuhan.Saat ini Maria sedang menyetrika di sebuah rumah. Sementara Amanda duduk sambil memainkan boneka usang yang ditemukan Maria di tempat sampah. Boneka monyet yang dia ambil dan dicuci sampai bersih, lalu dia berikan untuk mainannya Amanda.Beruntung anak itu sangat baik dan tak banyak rewel. Asal sudah kenyang maka tak akan ada lagi rengekan.Setiap hari Maria mengutamakan perutnya Amanda sebelum dia yang makan. Asalkan Amanda sudah kenyang, maka dia akan memakan sisanya, walaupun itu hanya bubur nasi.Tubuh Maria semakin kurus
Mobil Denis meluncur cepat menuju kontrakan Fany. Dia merasa yakin jika Maria akan pergi dan menginap di sana.Denis memukuli handel stirnya saking tak sabar. Jalanan dipadati kendaraan, sehingga macet.“Sial! Kenapa malah macet segala!” rutuk Denis sangat kesal. Berulang kali dia melirik pada jam yang melingkar di tangannya, sudah hampir jam 9 malam.“Mudah-mudahan saja Maria benar ke rumahnya Fany. Kalau tidak ….” Denis bahkan tak mampu melanjutkan kalimatnya sendiri. Dia khawatir jika terjadi apa-apa pada Maria juga Amanda.Mobilnya perlahan melaju, hingga akhirnya menemukan persimpangan, Denis memilih jalan lain yang tidak macet walaupun lebih jauh.“Huuft!” Dia mengembus napas kasar. Kemacetan telah membuatnya hampir kehilangan akal sehat.“Jakarta semakin hari semakin macet aja. Mengerikan!” umpatnya kesal. Namun, sekarang mobil itu sudah melaju kencang menuju kontrakan Fany yang jaraknya tak jauh lagi.Denis memarkir mobil sembarangan. Dia membanting pintu dan melangkah cepat
“Bagaimana kamu bisa ada di sini?” tanya Denis terperanjat turun dari tempat tidurnya.“Aahh, semalam, kan, aku anter kamu pulang ke sini. kenapa kamu lupa?” Irene malah menguap.“Sial!’ umpat Denis yang langsung pergi ke kamar mandi.“Kamu cepat pakai baju dan pulang!” usir Denis sambil membanting pintu kamar mandinya.Irene justru semakin berleha-leha di atas tempat tidur. Namun, rasa haus menyiksa tenggorokannya. Dia lalu bangkit dan turun. Sambil celingak-celinguk dia mencari dapur. Lalu, matanya menangkap sosok Maria yang sedang menyiapkan sarapan.“Hei, kamu pembantu di sini?” tanya Irene sambil memainkan rambutnya. Maria meliriknya dengan hati yang teramat sakit. Irene hanya mengenakan pakaian seadanya.“Iya, Mbak. Mau sesuatu?” tanya Maria dengan sopan.“Aku haus,” jawab Irene yang kemudian duduk di kursi makan.“Tunggu sebentar, saya ambilkan air,” kata Maria yang berbalik menuju dapur dan tak lama kembali dengan segelas air putih.“Silakan diminum, Mbak,” ucap Maria sambil m
Meski tahu jika Denis sama sekali tak menganggapnya seorang istri, tetapi bagi Maria sikap Denis yang seperti itu tetap saja keterlaluan dan melukai harga dirinya sebagai istri. Apalagi sekarang Denis sudah berani membawa wanita lain ke rumah mereka.Maria tak bisa memejamkan matanya. Hatinya gelisah memikirkan apa yang tengah dilakukan dua insan berlainan jenis itu di kamar suaminya.Amanda sudah tidur sejak tadi setelah kenyang menyusu, tetapi Maria tak bisa ikut terlelap padahal badannya sangat lelah.Maria menatap sendu pada Amanda. Jika bukan karena rasa sayangnya pada anak itu, mungkin dia sudah memilih untuk kembali melarikan diri dan menghilang saja.Maria keluar dari kamarnya dan mengendap mendekat ke kamar Denis. Ingin rasanya mendobrak pintu kamar itu dan menyuruh wanita yang datang bersama Denis itu untuk pergi. Namun, hatinya masih tak berani melakukannya.Rasa pedih dan tak berdaya membuatnya luruh dan bersimpuh di lantai dingin itu dengan air mata yang berderai.Kemudia
Pagi-pagi Denis seperti biasanya hendak sarapan setelah bersiap dengan setelan kerjanya. Maria sengaja menyiapkan sendiri sarapan untuk lelaki yang kini menjadi suaminya. Walaupun dia tahu jika Denis tak akan pernah menganggapnya sebagai seorang istri, tetapi bagi Maria kewajiban tetaplah kewajiban.“Ke mana Bibi? Kenapa kamu yang nyiapin sarapan?” tanya Denis sambil menarik kursi.“Mmh, ada. Bibi lagi beresin perabotan bekas masak,” jawab Maria ragu-ragu.“Lain kali biar si Bibi aja yang nyiapin sarapan. Kamu urus Amanda saja,” kata Denis.Maria mengangguk pelan tak bisa mendebat.“Ingat, pernikahan ini hanya status saja, Maria. Jangan kamu anggap serius. Tidak perlu kamu melayani aku seperti seorang istri. Mengerti?” Denis kembali mengingatkan.“Iya, pak. Saya mengerti. Tapi maaf, saya di sini hanya sebagai pelayan, karena itu saya juga berkewajiban melakukan apapun sebagai pelayan,” sahut Maria dengan suara yang parau.“Hmm, baiklah. Tapi … saya harap kamu tidak melalaikan tugas