“Kamu nyusul ke sini, Ci?” jawab Fery yang berusaha mencari topik obrolan lain.“Iya, Pak. Abisnya Bapak lama. Saya udah laper.” Suci tertawa kecil.“Ya sudah, ayo sini,” ajak Fery melambaikan tangannya. “Lho, kok ada Kang Fahri di sini?” tanya Suci yang merasa heran.“Eh, i-iya … aku … abis dari rumah sodara, terus mampir dulu ke sini,” jawab Fahri terlihat kikuk. Tangannya menggaruk tengkuknya.“Ooh, kebetulan sekali,” sahut gadis itu dengan senyuman manis. Namun, berbeda dengan Fery yang memasang wajah masam.“Ayo, Kang ikut makan sama kita,” ajak Suci dengan ramah.“Eh, nggak, Ci, terima kasih. Aku harus segera pulang. Lain kali aja ya. Aku permisi, assalamualaikum.” Fahri mundur lantas pergi dari sana menembus guyuran hujan.Suci menatapnya dengan heran.“Sudah, ayo, kita makan dulu. Tangan kamu dingin gini. Mending nggak usah pop mie, kita makan soto aja ya?” tawar Fery dan Suci pun mengangguk setuju.Suci dan Fery duduk berhadapan di meja kecil dengan semangkuk soto yang mas
Fery dan Suci sampai di Suniagara sudah lewat waktu Magrib. Untungnya mereka tadi mandi dulu di rest area sekalian makan lagi.Suci mengempaskan diri di kasur karena dirinya merasa sangat lelah.“Sholat dulu, Ci. Abis itu kita tidur,” ajak Fery sambil melangkah ke kamar mandi untuk wudhu. Suci pun ikut menyusul agar bisa secepatnya sholat dan tidur. Mata rasanya sudah tinggal lima watt.Selesai salat, Suci kembali merebahkan dirinya ke kasur. Benar-benar hari yang sangat melelahkan. Setelah ikut menghadiri sidang perceraian sang suami, lalu melalui perjalanan jauh, dan diselingi bercinta di rest area.“Capek?” Fery berbisik dari belakang Suci. Dia menyampirkan rambut Suci yang tergerai ke dada. “Aku pijitn, ya.”“Aah, Bapak mah ujungnya suka minta yang lain.” Suci cemberut.“Eeh, siapa bilang? Sini, aku cuman kasian sama kamu. Duu, duu, duu capek ya, istriku ini.” Fery mulai memijit pundak Suci secara perlahan.Suci pun kembali memejamkan matanya merasakan nikmatnya pijatan tangan Fer
“Mmh, aku mau nganter makanan buat Mas Fery,” jawab Suci dengan jujur.“Ooh.” Yuni mendelik pada bungkusan yang dibawa oleh Suci. Bibirnya mencebik.“Kamu katanya udah kawin ya sama Mas Fery?”tanyanya dengan nada yang ketus.Suci mengangguk pelan. “I-iya, Mbak. Mas Fery yang minta.”“Halaah, itu paling buat manas-manasin aku. Persis kaya dulu dia ngawinin aku, cuman buat manas-manasin si Tonggos itu.” Yuni tersenyum mencibir.“Sa-ya tidak tau, Mbak. Mas Fery ….”“Halaah, kamu jangan mimpi, deh, Suci. Mas Fery itu nggak mungkin suka sama kamu. Dia belum pernah menyentuhmu, kan?” Yuni menertawakan.“Nggak, Mbak. Kami sudah melakukannya,” jawab Suci malu-malu dan membuat tawa Yuni terhenti seketika.“Apa? tidak mungkin!” Dia menggeleng tak percaya jika Fery bisa menyentuh pembantunya itu. Walaupun Yuni akui jika sekarang penampilan Suci jauh lebih baik.“Benar, Mbak. Kami melakukannya di rumah orangtuanya Mas Fery.”Jawaban Suci barusan semakin membuat Yuni terbelalak. Dia merasa panas
Fery menilik kondisi Suci yang bajunya basah terkena semburan sayur sop. Dia juga melihat bagian tangan juga kaki takutnya terkena luka bakar seperti dulu.“Tangan kamu nggak kenapa-napa, kan?” tanya Fery tampak khawatir.“Nggak apa-apa, Mas. Supnya udah gak terlalu panas. Tapi … bagaimana Mas Fery makan siangnya?” Suci tampak begitu menyesal.“Sudah, nggak usah kamu pikirin. Aku bisa beli makan siang di kantin. Kamu belum makan juga, kan?” tanya Fery. Suci pun menggeleng pelan.“Ya sudah, sekarang kita ke ruanganku dulu, abis itu kita beli makan di kantin,” ajak Fery seraya menuntun tangan Suci menuju ruangannya.“Kita mau ngapain?” tanya Suci kebingungan. Bukannya mereka mau makan, tapi kenapa Fery malah mengajaknya ke ruangan? Otaknya masih tak mengerti.“Bersihin baju kamu dulu, masa makan mau bau kaya gini.” Fery menjelaskan. Suci pun hanya menuruti ajakan suaminya.“Duduk,” ujar Fery yang menarik kursi besi di depan mejanya. Lelaki itu lantas mengambil lap bersih dan membasahi
Hari-hari Fery sekarang, dia lalui dengan penuh kebahagiaan. Bangun dalam keadaan segar dan ceria. Dia senang sekali melihat Suci yang kelelahan setelah melayaninya semalaman.“Masih ngantuk?” ledeknya sambil mencium puncak kepala Suci dari belakang. Suci tengah mencuci bekas sarapan mereka berdua. Fery memeluknya erat dan mencium pipi sang istri dengan gemas.“Lemes,” jawab Suci dengan jujur. “Ya udah, nanti kamu istirahat aja nggak usah ngapa-ngapain. Atau perlu cari pembatu?” tanya Fery. Suci sontak menghentikan gerakan tangannya dan menoleh ke belakang dengan mata melotot.“Kenapa?” Fery menautkan alisnya bingung.“Aku nggak mau. Ntar Mas nikahin lagi pembantu itu.” Bibir Suci cemberut.Fery sontak tertawa. “Apaan, sih? kita cari yang udah tua, kan, bisa. Kamu punya sodara, mungkin. Atau tetangga yang bisa kerja di sini.”“Ibu aku, gimana?” tawar Suci.Kini giliran Fery yang melotot. “Masa iya ngerjain orangtua sendiri? Durhaka itu namanya. Oh iya, kamu kalau mau nengok orang
“Bu, aku mau ke rumahnya Kang Fahri dulu, ya. Aku mau agar urusanku dengan dia lekas beres dan nggak punya hubungan lagi,” ucap Suci.“Baiklah, Teh. Tapi ingat, jangan sampai menyakiti. Jangan sampai ada dendam yang tersisa di hubungan kalian. Yang namanya laki-laki biasanya suka nekad.” Yati—ibunya Suci—mengingatkan.“Iya, Bu, aku ngerti. Aku akan hati-hati ngomong sama Kang Fahri. Aku pergi dulu ya.” Suci bangkit dari kursi dan meraih tas selempangnya.“Iya, Ibu doain kalian bisa selesai dengan baik.” Yati ikut bangkit.“Aamiin. Oh iya, Bu. Mas Fery suruh aku cariin pembantu buat di rumah. Kira-kira siapa ya yang bisa disuruh?” tanya Suci yang urung melanjutkan langkahnya.“Buat pembantu, ya? Mau yang muda apa yang sudah tua aja?”“Yang udah ibu-ibu aja, Bu. Siapa ya kira-kira?” Suci balik bertanya.“Emangnya kamu udah nggak mampu ngurusin rumah, Teh?”“Mas Fery itu … tiap malem bikin capek, Bu. Aku suka lelah kalau pagi.”“euleuuh, kirain teh apa. Iya atuh, kalau gitu mah. Nanti I
Suci duduk termenung di sofa depan TV. Pikirannya melayang pada kejadian tadi. Ucapan ibunya Fahri begitu menusuk. Suci bahkan tak menyadari kehadiran sang suami yang baru saja pulang.“Suci?” Lelaki itu berulang kali menegus sang istri, tetapi Suci masih tenggelam dalam lamunan.“Sayang.” Fery akhirnya mendaratkan ciuman di pipi gadis itu hingga Suci terlonjak kaget.“Astagfirullah, Mas. kirain siapa. Maen cium aja,” ujar Suci sambil memegang dadanya yang berdebar kencang.“Abisnya dari tadi dipanggil, kok, nggak nyahut aja. Lagi ngelamunin apaan, sih?” Fery pun ikut duduk di samping Suci.Suci terdiam. Dia tidak mau menceritakan kejelekan ibunya Fahri.“Tadi nggak jadi ke rumah Ibu? Kamu sedih karena itu?” tanya Fery menebak.Suci pun menggeleng pelan. “Aku tadi ke rumah Ibu. Bawa kue yang Mas beli kemarin. Nggak apa-apa, kan?”“Lho, ya nggak apa-apa, lah. Di sini juga kebanyakan. Aku malah seneng kamu bilang dibawa ke rumah Ibu. Terus gimana? Apa ada yang bikin kamu sedih? Nggak bi
Pagi-pagi Suci dikagetkan dengan kedatangan seorang kurir yang membawa paket yang cukup besar. Di sana tertera untuk dirinya.“Untuk saya?” tanyanya polos.Abang kurir itu pun mengangguk. “Betul Mbak. Untuk Mbak Suci,” jawabnya, lalu dia pamit dan pergi.Suci mengerutkan keningnya. Dia merasa heran, karena tak merasa membeli sesuatu secara online.Rasa penasarannya membuat dia membuka paket dengan kotak besar itu. Matanya langsung melebar saat melihat isinya yang ternyata sebuah gaun yang sangat cantik. Warna dusty pink dengan payet di beberapa bagian. Juga sebuah stileto dan tas selempang dengan warna senada.“Masyaallah, cantik sekali. Kenapa bisa ada yang ngirim ya?” gumamnya.Fery yang libur, keluar dari ruang gym dengan keringat membasahi badan. Dia mendekati sang istri yang sedang terkagum-kagum melihat gaun yang didapatnya.“Lagi ngapain?” tanya Fery sambil senyum-senyum.“Ini, tadi ada orang yang ngirim ini, katanya buat saya. Pas dilihat ternyata isinya baju sama sepatu dan
“Tak perlu basa basi,” jawab ibunya Hanif terlihat emosi. Dia sangat kesal karena melihat Maria yang terlihat mewah. Sementara dirinya justru terlihat kumal.“Baiklah kalau tidak boleh berbasa basi. Sepertinya kalian tetap saja sial walaupun sudah mengusir Maria.” Denis tersenyum miring.Mata Hanif langsung melotot, begitu juga dengan ibunya.“Enak aja kamu bilang kami sial. Hanif ini sekarang bekerja di perusahaan bonafid. Dia ini jadi manager,” balas ibunya Hanif dengan mata melotot.Denis tersenyum miring. “Oh ya? Benarkah? Anak Ibu bilang jadi manager?” tanyanya dengan nada mencibir.“Ya, tentu saja. Bukan begitu, Hanif?” ujar wanita paruh baya itu dengan dagu yang mendongak.“I-iya, tentu saja,” jawab Hanif tergagap.“Oh begitu. Baguslah kalau memang dia sudah jadi manager. Permisi, kami mau mencari peralatan bayi,” pamit Denis yang lalu menuntun Maria untuk memasuki toko.Istrinya Hanif pun ikut mengekor sambil menarik Hanif untuk segera masuk ke dalam toko. Namun, lelaki itu me
Maria tersipu malu saat bangun keesokan harinya. Dia merasa berbunga-bunga karena telah menjadi seorang istri yang utuh bagi Denis. Dia menutupi tubuhnya yang polos dengan handuk yang terserak di lantai.“Mbak, Mbak Maria.” Terdengar panggilang dari Bi Noneng.“I-iya, Bi?” Maria gegas membuka pintu itu sedikit. Ternyata wanita itu tengah menggendong Amanda yang habis menangis.“Astagfirullah, Sayang maafin Mama,” ujar Maria yang langsung membuka pintu dan mengambil Amanda dari tangan Bi Noneng.Wanita paruh baya itu tak sengaja melihat ke dalam kamar di mana ada Denis yang masih terlelap di atas kasur milik Maria.“Eh.” Maria tampak malu karena kepergok telah sekamar.Bi Noneng malah tersenyum dan mengelus pundak Maria. “Sudah sewajarnya, toh? Pak Denis itu suamimu, Mbak. Dia seperti orang gila sewaktu Mbak Maria pergi dari rumah. Dia sering melamun dan gelisah,” ucapnya.“Kalian berhak bahagia. Saya ikut senang, Mbak,” pungkasnya sebelum beranjak pergi.Maria masih terpaku setelah me
Maria gegas menyilangkan kedua tangan pada dua area sensitifnya. Dia begitu malu dengan perlakuan Denis padanya. Maria hendak jongkok untuk mengambil lagi handuknya, tetapi tangan Denis lekas menahannya.Maria mendongak melihat pada lelaki yang menggelengkan kepalanya. Denis lalu menarik Maria agar kembali tegak berdiri.“Ba-pak, saya ….” Wajah Maria sudah merah saking malunya.“Ini bukan pertama kali kamu melakukannya, bukan? Seharusnya aku yang mesti malu, karena ini adalah hal yang pertama buatku,” ucap Denis yang semakin membuat Maria tersipu malu. Wanita itu menunduk dalam.“Saya … rasanya tidak pantas untuk Bapak. Saya ini hanya perempuan miskin pembawa sial,” ucap Maria dengan suara tercekat. Namun, Denis justru menarik dagu Maria agar kembali menatapnya.“Aku akan buktikan jika kamu adalah wanita yang penuh keberuntungan,” balas Denis dengan tatapan lekat. Dia berusaha memupuk cinta itu agar semakin subur. Maria bukan wanita yang sulit untuk dicintai. Wanita itu begitu tulus
Maria hanya diam selama perjalanan. Dengan hati terpaksa Maria ikut pulang dengan Denis. Mau bagaimana lagi, Amanda tak bisa lepas darinya. Anak itu menangis keras saat Maria menyerahkan pada Denis.Entah apa yang akan terjadi nanti, mungkin Maria akan minta Denis untuk mencarikan baby sitter baru, lalu dirinya akan meminta cerai dan pergi.Denis sesekali melirik ke samping kirinya dan melihat Maria yang memangku Amanda yang tertidur lelap.“Kamu sudah makan?” tanya Denis yang merasa kasihan sekali melihat istrinya itu begitu kurus.Maria mengangguk pelan.“Makan apa?” telisik Denis penasaran.Maria terdiam sejenak sebelum akhirnya menjawab, “Aku makan bubur sisa Amanda tadi.”Denis memejamkan matanyanya sejenak dan menggeleng. Pantas saja wanita itu begitu kurus, karena hanya makan makanan sisa anaknya. Lelaki itu beristigfar dalam hatinya.Benar kata Amanda, jika Maria adalah wanita terbaik yang bisa menggantikannya.“Kita makan dulu,” ujar Denis lalu membelokan mobilnya menuju sebu
Fery segera membuat pengumuman orang hilang dan menyebarnya di berbagai media sosial. Dia yakin cara itu akan jauh lebih mudah dilihat orang-orang saat ini.Dia juga menjanjikan akan memberi imbalan yang besar bagi yang memberikan kabar tentang keberadaan Maria seperti dulu.Fery sangat khawatir dengan nasib Amanda juga pengasuhnya itu.Maria hanya wanita lemah yang membawa seorang bayi. Dia yakin akan susah untuk mendapatkan pekerjaan untuk memenuhi kebutuhan.Saat ini Maria sedang menyetrika di sebuah rumah. Sementara Amanda duduk sambil memainkan boneka usang yang ditemukan Maria di tempat sampah. Boneka monyet yang dia ambil dan dicuci sampai bersih, lalu dia berikan untuk mainannya Amanda.Beruntung anak itu sangat baik dan tak banyak rewel. Asal sudah kenyang maka tak akan ada lagi rengekan.Setiap hari Maria mengutamakan perutnya Amanda sebelum dia yang makan. Asalkan Amanda sudah kenyang, maka dia akan memakan sisanya, walaupun itu hanya bubur nasi.Tubuh Maria semakin kurus
Mobil Denis meluncur cepat menuju kontrakan Fany. Dia merasa yakin jika Maria akan pergi dan menginap di sana.Denis memukuli handel stirnya saking tak sabar. Jalanan dipadati kendaraan, sehingga macet.“Sial! Kenapa malah macet segala!” rutuk Denis sangat kesal. Berulang kali dia melirik pada jam yang melingkar di tangannya, sudah hampir jam 9 malam.“Mudah-mudahan saja Maria benar ke rumahnya Fany. Kalau tidak ….” Denis bahkan tak mampu melanjutkan kalimatnya sendiri. Dia khawatir jika terjadi apa-apa pada Maria juga Amanda.Mobilnya perlahan melaju, hingga akhirnya menemukan persimpangan, Denis memilih jalan lain yang tidak macet walaupun lebih jauh.“Huuft!” Dia mengembus napas kasar. Kemacetan telah membuatnya hampir kehilangan akal sehat.“Jakarta semakin hari semakin macet aja. Mengerikan!” umpatnya kesal. Namun, sekarang mobil itu sudah melaju kencang menuju kontrakan Fany yang jaraknya tak jauh lagi.Denis memarkir mobil sembarangan. Dia membanting pintu dan melangkah cepat
“Bagaimana kamu bisa ada di sini?” tanya Denis terperanjat turun dari tempat tidurnya.“Aahh, semalam, kan, aku anter kamu pulang ke sini. kenapa kamu lupa?” Irene malah menguap.“Sial!’ umpat Denis yang langsung pergi ke kamar mandi.“Kamu cepat pakai baju dan pulang!” usir Denis sambil membanting pintu kamar mandinya.Irene justru semakin berleha-leha di atas tempat tidur. Namun, rasa haus menyiksa tenggorokannya. Dia lalu bangkit dan turun. Sambil celingak-celinguk dia mencari dapur. Lalu, matanya menangkap sosok Maria yang sedang menyiapkan sarapan.“Hei, kamu pembantu di sini?” tanya Irene sambil memainkan rambutnya. Maria meliriknya dengan hati yang teramat sakit. Irene hanya mengenakan pakaian seadanya.“Iya, Mbak. Mau sesuatu?” tanya Maria dengan sopan.“Aku haus,” jawab Irene yang kemudian duduk di kursi makan.“Tunggu sebentar, saya ambilkan air,” kata Maria yang berbalik menuju dapur dan tak lama kembali dengan segelas air putih.“Silakan diminum, Mbak,” ucap Maria sambil m
Meski tahu jika Denis sama sekali tak menganggapnya seorang istri, tetapi bagi Maria sikap Denis yang seperti itu tetap saja keterlaluan dan melukai harga dirinya sebagai istri. Apalagi sekarang Denis sudah berani membawa wanita lain ke rumah mereka.Maria tak bisa memejamkan matanya. Hatinya gelisah memikirkan apa yang tengah dilakukan dua insan berlainan jenis itu di kamar suaminya.Amanda sudah tidur sejak tadi setelah kenyang menyusu, tetapi Maria tak bisa ikut terlelap padahal badannya sangat lelah.Maria menatap sendu pada Amanda. Jika bukan karena rasa sayangnya pada anak itu, mungkin dia sudah memilih untuk kembali melarikan diri dan menghilang saja.Maria keluar dari kamarnya dan mengendap mendekat ke kamar Denis. Ingin rasanya mendobrak pintu kamar itu dan menyuruh wanita yang datang bersama Denis itu untuk pergi. Namun, hatinya masih tak berani melakukannya.Rasa pedih dan tak berdaya membuatnya luruh dan bersimpuh di lantai dingin itu dengan air mata yang berderai.Kemudia
Pagi-pagi Denis seperti biasanya hendak sarapan setelah bersiap dengan setelan kerjanya. Maria sengaja menyiapkan sendiri sarapan untuk lelaki yang kini menjadi suaminya. Walaupun dia tahu jika Denis tak akan pernah menganggapnya sebagai seorang istri, tetapi bagi Maria kewajiban tetaplah kewajiban.“Ke mana Bibi? Kenapa kamu yang nyiapin sarapan?” tanya Denis sambil menarik kursi.“Mmh, ada. Bibi lagi beresin perabotan bekas masak,” jawab Maria ragu-ragu.“Lain kali biar si Bibi aja yang nyiapin sarapan. Kamu urus Amanda saja,” kata Denis.Maria mengangguk pelan tak bisa mendebat.“Ingat, pernikahan ini hanya status saja, Maria. Jangan kamu anggap serius. Tidak perlu kamu melayani aku seperti seorang istri. Mengerti?” Denis kembali mengingatkan.“Iya, pak. Saya mengerti. Tapi maaf, saya di sini hanya sebagai pelayan, karena itu saya juga berkewajiban melakukan apapun sebagai pelayan,” sahut Maria dengan suara yang parau.“Hmm, baiklah. Tapi … saya harap kamu tidak melalaikan tugas