Fery menilik kondisi Suci yang bajunya basah terkena semburan sayur sop. Dia juga melihat bagian tangan juga kaki takutnya terkena luka bakar seperti dulu.“Tangan kamu nggak kenapa-napa, kan?” tanya Fery tampak khawatir.“Nggak apa-apa, Mas. Supnya udah gak terlalu panas. Tapi … bagaimana Mas Fery makan siangnya?” Suci tampak begitu menyesal.“Sudah, nggak usah kamu pikirin. Aku bisa beli makan siang di kantin. Kamu belum makan juga, kan?” tanya Fery. Suci pun menggeleng pelan.“Ya sudah, sekarang kita ke ruanganku dulu, abis itu kita beli makan di kantin,” ajak Fery seraya menuntun tangan Suci menuju ruangannya.“Kita mau ngapain?” tanya Suci kebingungan. Bukannya mereka mau makan, tapi kenapa Fery malah mengajaknya ke ruangan? Otaknya masih tak mengerti.“Bersihin baju kamu dulu, masa makan mau bau kaya gini.” Fery menjelaskan. Suci pun hanya menuruti ajakan suaminya.“Duduk,” ujar Fery yang menarik kursi besi di depan mejanya. Lelaki itu lantas mengambil lap bersih dan membasahi
Hari-hari Fery sekarang, dia lalui dengan penuh kebahagiaan. Bangun dalam keadaan segar dan ceria. Dia senang sekali melihat Suci yang kelelahan setelah melayaninya semalaman.“Masih ngantuk?” ledeknya sambil mencium puncak kepala Suci dari belakang. Suci tengah mencuci bekas sarapan mereka berdua. Fery memeluknya erat dan mencium pipi sang istri dengan gemas.“Lemes,” jawab Suci dengan jujur. “Ya udah, nanti kamu istirahat aja nggak usah ngapa-ngapain. Atau perlu cari pembatu?” tanya Fery. Suci sontak menghentikan gerakan tangannya dan menoleh ke belakang dengan mata melotot.“Kenapa?” Fery menautkan alisnya bingung.“Aku nggak mau. Ntar Mas nikahin lagi pembantu itu.” Bibir Suci cemberut.Fery sontak tertawa. “Apaan, sih? kita cari yang udah tua, kan, bisa. Kamu punya sodara, mungkin. Atau tetangga yang bisa kerja di sini.”“Ibu aku, gimana?” tawar Suci.Kini giliran Fery yang melotot. “Masa iya ngerjain orangtua sendiri? Durhaka itu namanya. Oh iya, kamu kalau mau nengok orang
“Bu, aku mau ke rumahnya Kang Fahri dulu, ya. Aku mau agar urusanku dengan dia lekas beres dan nggak punya hubungan lagi,” ucap Suci.“Baiklah, Teh. Tapi ingat, jangan sampai menyakiti. Jangan sampai ada dendam yang tersisa di hubungan kalian. Yang namanya laki-laki biasanya suka nekad.” Yati—ibunya Suci—mengingatkan.“Iya, Bu, aku ngerti. Aku akan hati-hati ngomong sama Kang Fahri. Aku pergi dulu ya.” Suci bangkit dari kursi dan meraih tas selempangnya.“Iya, Ibu doain kalian bisa selesai dengan baik.” Yati ikut bangkit.“Aamiin. Oh iya, Bu. Mas Fery suruh aku cariin pembantu buat di rumah. Kira-kira siapa ya yang bisa disuruh?” tanya Suci yang urung melanjutkan langkahnya.“Buat pembantu, ya? Mau yang muda apa yang sudah tua aja?”“Yang udah ibu-ibu aja, Bu. Siapa ya kira-kira?” Suci balik bertanya.“Emangnya kamu udah nggak mampu ngurusin rumah, Teh?”“Mas Fery itu … tiap malem bikin capek, Bu. Aku suka lelah kalau pagi.”“euleuuh, kirain teh apa. Iya atuh, kalau gitu mah. Nanti I
Suci duduk termenung di sofa depan TV. Pikirannya melayang pada kejadian tadi. Ucapan ibunya Fahri begitu menusuk. Suci bahkan tak menyadari kehadiran sang suami yang baru saja pulang.“Suci?” Lelaki itu berulang kali menegus sang istri, tetapi Suci masih tenggelam dalam lamunan.“Sayang.” Fery akhirnya mendaratkan ciuman di pipi gadis itu hingga Suci terlonjak kaget.“Astagfirullah, Mas. kirain siapa. Maen cium aja,” ujar Suci sambil memegang dadanya yang berdebar kencang.“Abisnya dari tadi dipanggil, kok, nggak nyahut aja. Lagi ngelamunin apaan, sih?” Fery pun ikut duduk di samping Suci.Suci terdiam. Dia tidak mau menceritakan kejelekan ibunya Fahri.“Tadi nggak jadi ke rumah Ibu? Kamu sedih karena itu?” tanya Fery menebak.Suci pun menggeleng pelan. “Aku tadi ke rumah Ibu. Bawa kue yang Mas beli kemarin. Nggak apa-apa, kan?”“Lho, ya nggak apa-apa, lah. Di sini juga kebanyakan. Aku malah seneng kamu bilang dibawa ke rumah Ibu. Terus gimana? Apa ada yang bikin kamu sedih? Nggak bi
Pagi-pagi Suci dikagetkan dengan kedatangan seorang kurir yang membawa paket yang cukup besar. Di sana tertera untuk dirinya.“Untuk saya?” tanyanya polos.Abang kurir itu pun mengangguk. “Betul Mbak. Untuk Mbak Suci,” jawabnya, lalu dia pamit dan pergi.Suci mengerutkan keningnya. Dia merasa heran, karena tak merasa membeli sesuatu secara online.Rasa penasarannya membuat dia membuka paket dengan kotak besar itu. Matanya langsung melebar saat melihat isinya yang ternyata sebuah gaun yang sangat cantik. Warna dusty pink dengan payet di beberapa bagian. Juga sebuah stileto dan tas selempang dengan warna senada.“Masyaallah, cantik sekali. Kenapa bisa ada yang ngirim ya?” gumamnya.Fery yang libur, keluar dari ruang gym dengan keringat membasahi badan. Dia mendekati sang istri yang sedang terkagum-kagum melihat gaun yang didapatnya.“Lagi ngapain?” tanya Fery sambil senyum-senyum.“Ini, tadi ada orang yang ngirim ini, katanya buat saya. Pas dilihat ternyata isinya baju sama sepatu dan
“Kamu ngapain sih, pake ngeliatin si Suci kayak gitu?” Dinda menyenggol lengan lelaki yang kini sudah resmi menjadi suaminya. Fahri memang terus-terusan menuci pandang pada Suci sejak tadi, karena lelaki merasa cemburu dengan kemesraan yang ditunjukan Fery pada mantan kekasihnya itu.Fahri melengos, sementara Dinda mendengus kesal.“Kenapa? Cantik ya?” sindir Dinda. Fahri hany diam tak mau menjawab, dari pada salah dan membuat pertengkaran yang lebih hebat.Dinda mendelik kesal. Dengan ujung matanya dia dapat menangkap jika Imas, sang ibu mertua juga sedang memperhatikan keromantisan sikap Fery pada Suci.Dari mulai turun dari panggung pelaminan, Fery dengan begitu hati-hati menuntun Suci menuruni anak tangga. Lalu, dia menarik Suci agar berjalan di depannya dan mengambil makanan terlebih dahulu. Tak hanya sampai di situ, Fery pun menyiapkan kursi untuk duduk Suci, bahkan menyuapi gadis itu. Fery benar-benar tampak begitu sayang dengan istrinya.Hal itu membuat Fahri semakin panas ha
“Aku berangkat dulu, ya. kamu baik-baik di rumah,” ujar Fery sebelum berangkat kerja. Dia peluk dan cium kening Suci penuh sayang. Neneh kembali menyenggol tangan Yati sambil menahan tawa.“Suaminya Suci romantis sekali ya, Yat. Dia kelihatannya sayang banget. Duh, beruntungnya anakmu,” bisik Neneh.Yati hanya tersenyum.“Bu, aku berangkat dulu,” pamit Fery pada Yati dan mencium tangan keriput itu, meski Yati belum begitu tua, tetapi kesusahan hidup membuatnya terlihat jauh lebih tua dari usia sebenarnya.Yati tampak masih tak biasa dicium tangannya oleh Fery yang notabene memiliki status sosial yang jauh di atasnya. Dia merasa malu memberikan tangan kasarnya untuk dicium seorang dokter meski itu menantunya sendiri.Fery pun mengangguk sopan pada Neneh. “Tolong bantu istri saya di rumahya, Bi. Saya ingin Suci tidak kecapean, biar bisa segera hamil,” ujar Fery dengan senyuman ramah.“Ah, iya, tentu saja, Cep Dokter. Bibi pasti akan bantuin semua pekerjaan rumah,” jawab Neneh.Fery pun
Fery turun dari mobilnya dan melangkah menuju ke ruang kliniknya. Namun, langkahnya terhenti karena ada Yuni yang menghalangi jalannya.“Mas,” sapanya dengan wajah yang dibuat sedih. “Apa kabar?”Wajah Fery berubah masam. “Baik,” jawabnya.Yuni tersenyum miris. “Kamu sekarang terlihat bahagia. Sedangkan aku hidup sengsara. Apa kamu tidak kasian sama aku, Mas?”“Kasian apa maksudmu? Bukannya aku sudah biarkan kamu sama Yadi untuk tinggal di mess?”“Gaji Yadi Cuma cukup buat makan, nggak akan cukup buat beli baju dan peralatan bayi,” ujar Yuni.Fery mengembus napas kasar. “Kamu harus berusaha belajar menerima keadaan, Yun. Bagaimanapun juga ini adalah pilihan kamu sendiri, bukan? Kamu sendiri yang memilih untuk hidup dengan Yadi.”“Semua ini karena kebodohanku, Mas. Aku ingin kamu tetap bertahan di sisiku. Itu semua karena aku benar-benar cinta sama kamu. Aku takut kamu balikan sama si Tonggos itu,” cerocos Yuni.Fery menggelengkan kepalanya. “Itulah yang membuatku malas sama kamu, Y