"Mbak, sudah lebih enak kan? Nggak terlalu capek?" tanya Dina saat Meira keluar dari kamarnya. Kedua perempuan itu saling lempar senyum lalu Meira mengangguk pelan. Dia melihat jam di dinding yang menunjuk angka sebelas siang. Cukup lama tidurnya, dua jam lebih. Aldo pun masih terlelap di ranjang. Dia tampak begitu lelah karena perjalanan pertamanya yang cukup panjang. Meira sengaja membiarkan anak lelakinya puas istirahat. "Makan siang, Mbak. Ibu bawakan pecel nih sama rempeyek." Dina membuka tudung saji dari anyaman rotan itu saat Meira sudah duduk di kursi makan bersamanya. Dina masih membuat es coklat di teko kecil lalu mengambil gorengan di piring. "Masih kenyang, Din. Masa baru bangun langsung suruh makan lagi." Meira tersenyum tipis. "Eh nggak apa-apa kali, Mbak. Mbak Meira nggak diet kan? Sudah langsing begini masa diet." Dina nyengir lagi lalu meneguk segelas es coklatnya. "Nggaklah, Din. Malah pengen nambah berat badan sekilo dua kilo biar ideal." "Itu juga sudah idea
"Kamu!" Meira menunjuk lelaki di hadapannya. Dia cukup kaget melihat laki-laki itu berada di teras rumah Dina detik ini."Mbak Meira?" ucapnya tak kalah kaget. "Kalian saling kenal?" Dina menatap Doni dan Meira bergantian. "Kenal tadi pagi. Kebetulan Mbak Meira ini istirahat di Masjid Annur. Makanya aku kenal. Kebetulan aku salah satu takmir masjid itu." Doni menjelaskan kebingungan Dina. Meira pun mengangguk pelan. "Oh, iya, tadi aku jemput Mbak Mei di sana. Memangnya tempat tinggal kamu di sekitar masjid itu, Mas? Bukannya waktu itu kamu bilang tak jauh dari sini ya?" tanya Meira lagi. "Iya, itu juga nggak terlalu jauh dari sini kan, Din." Doni meringis kecil sembari garuk-garuk kepala. "Jauh kali itu, dua puluh menitan." "Belum satu jam. Masih dekatlah." Doni tak mau kalah. Melihat dua orang saling berdebat di depannya, Meira berdehem pelan. Dina dan Doni pun saling tatap lalu sama-sama mengalihkan pandangannya pada Meira. "Eh, maaf, Mbak. Sampai lupa ada Mbak Mei di sini. T
"Gimana, Vin? Sudah bisa dilacak keberadaannya?" Baim mulai cemas saat Vino belum menemukan keberadaan Meira di layar laptopnya. "Sebentar. Ini baru memasukkan nomor handphonenya. Sekarang nomornya mati, Im. Cuma setelah aku cek sebelumnya dia ada di Jogja, tak jauh dari candi Prambanan. Kalau sekarang belum bisa dilacak, nomornya mati." Vino begitu meyakinkan sembari terus mengamati laptopnya. "Dekat Candi Prambanan, Jogja?" tanya Baim seolah tak percaya. "Betul, kenapa memangnya?" Baim terdiam. Dia benar-benar tak menyangka jika Meira pergi sejauh itu. "Ada masalah apa kamu sama istrimu, Im?" Vino mulai penasaran. "Entahlah. Sepertinya aku salah langkah." Merebahkan punggungnya ke sofa, Baim memejamkan kedua matanya pelan. Pikirannya kacau dan tak tahu harus percaya pada siapa. Pengakuan keluarganya, keterangan Una atau penjelasan singkat dari pesan-pesan yang dikirimkan Meira. Baim pusing. Mereka semua orang-orang yang Baim percaya, tapi dia yakin ada yang berdusta tentang ma
"Kamu mau cari kerja di mana, Mei?" tanya Lasmi saat melihat Meira sibuk mencari lowongan kerja di surat kabar harian yang baru dibelinya. "Nggak tahu, Bu. Buat saya yang penting halal." Meira tersenyum tipis saat menatap Lasmi yang ikut duduk di sampingnya. "Misalnya ada kerjaan merawat bayi atau beberes rumah, apa kamu mau?" Meira kembali menoleh. "Memangnya ada lowongan kerja begitu, Bu? Kalau ada, mau banget. Saya nggak pilih-pilih soal kerjaan. Intinya yang penting halal, Bu. Mengingat usia saya tak muda lagi," ujar Meira sembari melipat surat kabarnya kembali. "Masih kelihatan muda. Dina bilang masih 28 tahun? Cuma beda dua tahun saja sama Dina. Kamu merasa tua karena sudah punya anak sebesar Aldo kan? Aslinya masih muda dan cantik. Kalau nggak kenal kamu, mungkin dipikir belum punya anak. Masih langsing begitu kok." Lasmi kembali memuji. Meira memang masih terlihat cantik dan seksi. Dia memiliki banyak waktu untuk merawat tubuhnya dengan baik karena Aldo sudah cukup besar
Malamnya, Pak Ujang benar-benar datang seperti yang Lasmi bilang. Laki-laki berambut cepak yang sebagian besar berwarna putih itu duduk di ruang tamu saat Meira membawakan teh hangat untuknya. Lasmi pun duduk di sofa lain sembari mengobrol soal anak kedua Ujang yang baru lulus kuliah. "Ini Meira yang saya ceritakan itu, Pak Ujang. Dia ini asli Jakarta, temannya Dina. Anaknya satu, Aldo yang tadi salaman." Lasmi mulai memperkenalkan Meira pada tamunya. Dengan sopan, Meira mengangguk pelan sembari tersenyum tipis pada Pak Ujang yang juga melakukan hal sama. Mereka saling menghormati dan menghargai meski tak saling berjabat tangan. Ujang dan Meira sama-sama tahu jika non mahram memang tak diperbolehkan bersentuhan. "Saya, Meira, Pak. Alhamdulillah bisa dipertemukan dengan Pak Ujang. Semoga pertemuan ini semakin mempererat tali silaturahmi dan memperluas rezeki," ujar Meira setelah duduk di samping Lasmi. "Iya, Neng. Alhamdulillah. Bapak dulu juga asli Bogor. Hanya saja sudah seperemp
Malam ini, Meira tak bisa tidur dengan nyenyak. Dia masih terus gelisah memikirkan pekerjaan yang ditawarkan Ujang itu esok hari. Melihat Aldo yang meringkuk di kasur dengan selimut selendang lebar atau biasa disebut jarik milik Lasmi, Meira kembali merasa nelangsa. Kedua matanya berkaca tiap kali menatap jagoan kecilnya. "Maafkan bunda, Nak. Bunda belum bisa menjadi ibu yang baik buat kamu. Maaf kalau sudah memisahkan kamu dengan ayahmu. Bunda janji akan berusaha keras untuk menjadi ibu sekaligus ayah untukmu, Nak. Bunda akan berjuang dan membuktikan pada ayahmu jika kamu juga bisa sukses meski tanpa nafkah darinya." Setitik embun kembali menetes ke pipi Meira. Dia tak ingin menangis, tapi entah mengapa tiap kali melihat wajah polos anaknya, air mata itu meluncur begitu saja. Dadanya terasa sesak, sakit hati karena kedzaliman suaminya. Meira benar-benar merasa tak ada harganya di mata sang suami. Perih. Rasanya menusuk sampai ulu hati. Meira baru menyadari, ternyata lamanya waktu
Waktu menunjuk angka setengah tujuh. Selesai sarapan, Meira dan Lasmi berbincang di ruang tengah. Sementara Aldo sibuk membaca buku di kamar. Sebelum berangkat ke Solo, Dina sempat mengajak Aldo ke toko buku untuk membeli alat tulis dan buku bacaan. Ada tiga buku yang dia beli, tentang tata surya, perkalian dan kisah Nabi dan Rasul. Sebelum sarapan Meira sempat melihat buku kisah Nabi dan Rasul itu terbuka sebagian. Mungkin kini Aldo melanjutkan bacaannya yang tadi sempat tertunda. Meira tak ingin mengganggu. Baginya, yang penting bacaan Aldo masih seputar anak-anak dan bisa menambah wawasannya.Meira memang tak biasa memberikan gadget untuk buah hatinya. Sejak di Jakarta, Aldo memang terbiasa dengan buku, main dengan teman-temannya atau menonton kartun di televisi saja untuk mengisi waktu luangnya."Assalamualaikum, Din. Ada apa?" Meira mengucap salam setelah menerima panggilan dari Dina. "Wa'alaikumsalam, Mbak. Ini loh Mbak Una mau ngobrol. Ribet banget dari subuh minta disambungi
"Maaf, permisi Bu." Ujang sedikit membungkukkan badan saat melihat majikannya duduk di kursi tak jauh dari kolam renang. Sundari memang terbiasa duduk santai di kursi panjang itu sembari menikmati sinar mentari pagi. Dia sering berjemur di sana setelah olah raga ringan. Seperti detik ini, dia melakukan kegiatan yang sama seperti pagi sebelumnya. Sundari menoleh lalu membenarkan duduknya. "Iya, Pak Ujang. Ada apa?" tanyanya begitu ramah sembari melambaikan tangan, meminta Ujang untuk mendekat. "Begini, Bu. Saya sudah menemukan baby sitter yang cocok buat Mbak Dee. Ini tetangga baru saya, Meira." Ujang memperkenalkan Meira pada majikannya. Meira mengangguk pelan dengan senyum tipisnya. "Alhamdulillah, Pak Ujang. Akhirnya dapat juga pengasuh Dee." Sundari tersenyum lalu meminta Meira dan Ujang duduk di kursi lain yang tak jauh dari tempat duduknya. "Mbak Meira ini baru datang dari Jakarta, Bu." Pak Ujang kembali menjelaskan. "Oh, asli Jakarta?" Kali ini Meira mengangguk. "Iya, Bu.
Dalam perjalanan pulang, Raka mampir ke toko kue. Dia membeli beberapa kue favorit istrinya. Hari ini sengaja pulang cepat karena Raka mendadak kangen dengan Meira. Tapi, saat masih mengantri di kasir, tiba-tiba handphonenya berdering. Nama Boy muncul di layar. Raka memang meminta Boy untuk menjaga Aldo dan Meira, memberikan informasi apapun tentang mereka saat di luar rumah karena tak ingin terjadi sesuatu hal buruk pada anak sambung dan istrinya itu. Biasanya Boy tak pernah menelepon atau memberi kabar tertentu, tapi kali dia mengirimkan beberapa foto Meira dan Aldo saat bertemu Baim di depan sekolah. [Bos, Ada Pak Baim di depan sekolah Mas Aldo. Sepertinya dia mau antar Bu Meira dan Mas Aldo pulang. Tapi tadi Bu Meira sempat menolak ajakannya.]Raka menatap layar handphonenya dengan wajah tegang. Meski dia tahu Meira dan Baim sepakat untuk sama-sama belajar menjadi orang tua yang baik bagi Aldo, membebaskan Baim bertemu dengan Aldo kapanpun dan berusaha memberikan kasih sayang ya
Meira melirik jam mungil di tangannya, hadiah spesial dari sang suami tempo hari. Jarum jamenunjuk angka satu leboh sedikit. Meira baru saja menidurkan Dee di kamarnya lalu segera menuruni tangga karena sudah janji akan menjemput Aldo sore ini."Hari ini sama besok, Aldo mau dijemput bunda. Boleh, Bun?" pinta Aldo setelah sarapan pagi tadi. Tanpa menolak, Meira pun mengiyakan. Jarang sekali Aldo minta dijemput, mungkin dia sedang merindukan bundanya atau memang karena menjelang hari lahirnya jadi sedikit manja. Biasanya Meira juga sering jemput Aldo di sekolah sembari jalan-jalan dengan Dee, hanya saja akhir-akhir ini memang cukup sibuk. Ada beberapa hal yang harus dia kerjakan setelah sah menjadi istri Raka. Terlebih pasca kecelakaan beberapa hari lalu. "Mbak, tolong nanti sesekali cek Dee ya? Dia sudah tidur di kamar. Saya mau jemput Aldo dulu," ujar Meira sembari membenarkan letak kruknya. Pasca kecelakaan beberapa hari lalu, Meira memang belum sembuh total. Dia masih minta ban
"Kenapa tegang begitu, Pa? Ada masalah?" tanya Sundari cemas saat suaminya melangkah tergesa ke luar rumah. "Papa mau keluar sebentar, Ma. Ada yang harus diselesaikan. Mama nggak perlu cemas. Ini soal kecelakaan Raka dan Meira tempo hari," balas Wicaksono sembari membenarkan kemejanya. "Apa ada bukti lain, Pa?" Sundari ikut penasaran. Wicaksono memang cukup terbuka dalam hal apapun pada istrinya, termasuk soal penyelidikan kecelakaan itu. Makanya, Sundari ikut penasaran dengan hasil penyelidikan suaminya akhir-akhir ini. "Ada, Ma. Makanya, papa mau ke lokasi dulu. Doakan saja semua lekas terbongkar dan kita temukan dalang utamanya." Sundari mengangguk lalu mengusap puncak kepala Dee yang kini dalam gendongannya. "Hati-hati di jalan, Pa. Semoga dimudahkan semuanya." Wicaksono mengangguk lalu mengulurkan tangan kanannya, sementara Sundari mencium punggung tangan itu seperti biasa. Dee pun mengikuti apa yang dilakukan Omanya. Sundari mengantar suaminya sampai teras lalu meminta Pak
Hujan deras mengguyur kota Jogja siang itu, namun Wicaksono belum beranjak dari depan jendela kamarnya. Sesekali menatap taman kecil di luar jendela dengan beragam bunga yang mulai basah oleh gerimis. Tak selang lama, terdengar dering handphone di atas meja rias istrinya. Nama Surya muncul di layar. Sejak tadi, Wicaksono memang sedang menunggu panggilan dari lelaki yang sudah bertahun-tahun menjadi asisten pribadinya itu. Wicaksono tak sabar ingin mengetahui kabar penyelidikan kecelakaan anak dan menantunya tempo hari. "Gimana hasilnya, Sur?" tanya Wicaksono tanpa basa-basi setelah panggilan handphone itu dia terima. Suara bariton dari seberang terdengar jelas di telinga lelaki beruban itu. Dia mulai fokus dengan cerita Surya. "Foto dan beberapa video yang berhasil saya dapatkan dari beberapa titik CCTV sudah saya kirim ke email bapak. Bapak bisa cek sekarang," ujar Surya kemudian. "Apa ada yang janggal?" tanya Wicaksono lagi sembari membuka laptopnya. Perlahan mencar
"Kalian yakin kalau semua ini murni kecelakaan?" tanya Wicaksono untuk kedua kalinya saat anak dan menantunya telah keluar dari rumah sakit."Aku dengar dari orang-orang yang menolong kami di lokasi kejadian, pengemudi mobil itu memang sedang tergesa-gesa, Pa. Dia bilang istrinya masuk rumah sakit, makanya melaju dengan kecepatan di atas rata-rata. Saat kejadian, dia bilang berusaha memperlambat laju mobilnya, tapi sudah terlanjur bertabrakan dengan mobil kami." Raka kembali menjelaskan sesuai yang didengar dari orang-orang yang menolongnya saat itu. "Tapi entah mengapa papa masih belum yakin jika semua ini memang kebetulan semata, Ka. Apa nggak ada hal-hal yang mencurigakan lainnya?" ulang Wicaksono berusaha mencari sisi lain dari tragedi yang menimpa anak dan menantunya itu. Raka terdiam sejenak, lalu menggeleng pelan. "Melihat kondisi mobil yang kalian pakai sampai ringsek begitu, papa benar-benar tak bisa mengabaikan kejadian ini begitu saja. Beruntung kalian bisa selamat, meski
"Sayang .…" Suara Raka bergetar. Perlahan, Raka kembali mencium pipi istrinya lalu duduk di samping pembaringan."Mas, kenapa kamu di sini? Kamu juga harus istirahat," ujar Meira setelah membuka mata perlahan."Gimana mau istirahat, Sayang. Aku nggak bisa tenang kalau belum melihat keadaanmu, tapi kamu tak perlu risau. Aku baik-baik saja. Lihatlah, hanya ada luka kecil di kening dan lengan kanan saja." Raka memperlihatkan lukanya yang sudah diobati dan diperban."Alhamdulillah. Syukurlah kalau begitu, Mas. Aku bisa lebih tenang sekarang," lirih Meira. "Sayang, sekali lagi maafkan aku karena nggak bisa melindungimu.""Jangan bilang begitu, Mas. Musibah nggak ada yang tahu. Yang penting kita sama-sama selamat dan itu sudah cukup," balas Meira sembari membalas genggaman tangan suaminya. Tak selang lama, seorang perawat datang menghampiri keduanya. "Pak, sebaiknya bapak istirahat dulu. Kondisi bapak juga belum pulih. Soal Bu Meira, InsyaAllah kami akan berusaha menjaga dan merawatnya d
"Mei! Kamu baik-baik aja?" Raka meraih tangan Meira, meskipun tubuhnya terasa sakit akibat benturan. Keningnya berdarah terkena pecahan kaca. Lengan bajunya pun tampak kemerahan karena darah dan luka, sementara Meira terlihat lebih parah. "Sayang, maafkan aku. Kamu baik-baik saja kan?" lirih Raka dengan sisa tenaga yang ada. Kali ini dia benar-benar merasa bersalah sudah membuat istri tercintanya terluka seperti itu. Darah segar menetes di kening dan kaki Meira. Meira memang jauh lebih parah sebab bagian kiri mobil terbentur trotoar lalu menghantam pohon. Sepertinya dia mengalami patah tulang di bagian kaki. Entahlah. Meira hanya mampu mengeluarkan suara pelan. "Mas … aku …." Saat Meira perlahan membuka matanya, rasa sakit menjalar di tubuhnya. Pandangannya kabur, tetapi samar-samar ia mendengar kembali suara pria yang sangat dicintainya.Kepalanya terasa berat, tapi genggaman tangan Raka membuatnya tersadar jika lelaki itu masih berusaha melindunginya meski dalam kepayahan. Di te
Ken duduk di sofa ruang tamu, bersandar santai sambil memainkan ponselnya. Pandangannya sesekali melirik ke arah tangga, menunggu Raka dan Meira turun ke ruang makan. Ketika mendengar suara langkah kaki mereka, senyuman iseng langsung tersungging di wajahnya. “Wah, wah! Pengantin baru akhirnya turun juga!” Ken berseru, nadanya penuh godaan. Raka hanya tersenyum tipis dan menggeleng pelan, sementara Meira langsung menunduk malu dengan wajah yang bersemu merah. Ia mencubit lengan Raka pelan, seolah memintanya untuk menghentikan Ken. "Sudah tiga hari Ken, bukan baru lagi," balas Raka berharap adik kandungnya itu tak terus menggoda. "Baru tiga hari, belum tiga tahun. Itu masih sangat baru, Mas. Kinyis-kinyis." Ken terkekeh, apalagi saat melihat Meira mencelos dengan wajah semu merahnya. "Bercanda, Mei. Lihat deh, kalian berdua kelihatan sumringah banget pagi ini. Jangan-jangan…" Ken menaikkan alisnya, menatap kakak dan iparnya itu dengan ekspresi penuh arti. “Sudah cukup, Ken
Adzan subuh berkumandang. Raka sudah keluar dari kamar mandi. Entah mengapa dia merasa teramat gerah sampai akhirnya mandi untuk kedua kalinya. Meira pun tersenyum melihat suaminya muncul dengan rambut yang basah. "Buruan mandi, sholat subuh sendiri ya? Aku mau ke masjid sama papa." Raka tersenyum lalu buru-buru memakai baju lengan panjang dan sarung kesayangan. Tak lupa membawa sajadah di pundaknya. Setelah mengucap salam, Raka keluar kamar sementara Meira kembali menutup wajahnya dengan telapak tangan. Debar di dadanya masih begitu terasa. Dia teramat gugup sekarang, tapi di sudut hati lain terasa berbunga-bunga. Tak munafik jika detik ini dia teramat bahagia. Tak membuang waktu, Meira beranjak dari ranjang lalu mandi wajib. Setelahnya baru menjalankan ibadah dua rakaat. Tepat saat mengucap salam, Raka masuk ke kamar. Meira kembali menatap wajah tampan itu sembari membuka mukenanya. "Sudah selesai kan? Tunggu sebentar di sini."Melihat anggukan istrinya, Raka pun tersenyum lalu