"Pulang sana, Mas! Aku mau ke salon. Urus masalahmu sendiri dan jangan libatkan aku lagi!" usir Una begitu kesal. Baim bergeming, dia justru duduk kembali ke sofa ruang tamu rumah Una. "Isshhhh, mimpi apa aku semalam sampai ketemu kena teror laki-laki tak peka sepertimu pagi-pagi buta begini," gumam Una lagi. Bukan menggumam, tapi sengaja sedikit diperkeras agar Baim mendengar ocehannya. Namun, lagi-lagi Baim seolah tak peduli. Dia masih bergeming di tempat sembari menggoyang-goyangkan kedua kakinya karena tak sabar. Baim masih menunggu balasan dari Meira di nomor barunya. "Pantas saja dia nggak bisa dihubungi bahkan belasan pesanku nggak dibalas. Ternyata dia ganti nomor," lirih Baim tanpa menoleh. Una hanya mencebik. "Kalau aku jadi Meira, juga bakal melakukan hal yang sama. Buat apa dibalas kalau ujung-ujungnya cuma dituduh selingkuh. Apes banget jadi istrimu, Mas." Baim menoleh dengan mata membulat lebar. Namun, Una tak takut karena dia merasa benar. Lagipula, dia juga yakin j
"Mbak, sudah lebih enak kan? Nggak terlalu capek?" tanya Dina saat Meira keluar dari kamarnya. Kedua perempuan itu saling lempar senyum lalu Meira mengangguk pelan. Dia melihat jam di dinding yang menunjuk angka sebelas siang. Cukup lama tidurnya, dua jam lebih. Aldo pun masih terlelap di ranjang. Dia tampak begitu lelah karena perjalanan pertamanya yang cukup panjang. Meira sengaja membiarkan anak lelakinya puas istirahat. "Makan siang, Mbak. Ibu bawakan pecel nih sama rempeyek." Dina membuka tudung saji dari anyaman rotan itu saat Meira sudah duduk di kursi makan bersamanya. Dina masih membuat es coklat di teko kecil lalu mengambil gorengan di piring. "Masih kenyang, Din. Masa baru bangun langsung suruh makan lagi." Meira tersenyum tipis. "Eh nggak apa-apa kali, Mbak. Mbak Meira nggak diet kan? Sudah langsing begini masa diet." Dina nyengir lagi lalu meneguk segelas es coklatnya. "Nggaklah, Din. Malah pengen nambah berat badan sekilo dua kilo biar ideal." "Itu juga sudah idea
"Kamu!" Meira menunjuk lelaki di hadapannya. Dia cukup kaget melihat laki-laki itu berada di teras rumah Dina detik ini."Mbak Meira?" ucapnya tak kalah kaget. "Kalian saling kenal?" Dina menatap Doni dan Meira bergantian. "Kenal tadi pagi. Kebetulan Mbak Meira ini istirahat di Masjid Annur. Makanya aku kenal. Kebetulan aku salah satu takmir masjid itu." Doni menjelaskan kebingungan Dina. Meira pun mengangguk pelan. "Oh, iya, tadi aku jemput Mbak Mei di sana. Memangnya tempat tinggal kamu di sekitar masjid itu, Mas? Bukannya waktu itu kamu bilang tak jauh dari sini ya?" tanya Meira lagi. "Iya, itu juga nggak terlalu jauh dari sini kan, Din." Doni meringis kecil sembari garuk-garuk kepala. "Jauh kali itu, dua puluh menitan." "Belum satu jam. Masih dekatlah." Doni tak mau kalah. Melihat dua orang saling berdebat di depannya, Meira berdehem pelan. Dina dan Doni pun saling tatap lalu sama-sama mengalihkan pandangannya pada Meira. "Eh, maaf, Mbak. Sampai lupa ada Mbak Mei di sini. T
"Gimana, Vin? Sudah bisa dilacak keberadaannya?" Baim mulai cemas saat Vino belum menemukan keberadaan Meira di layar laptopnya. "Sebentar. Ini baru memasukkan nomor handphonenya. Sekarang nomornya mati, Im. Cuma setelah aku cek sebelumnya dia ada di Jogja, tak jauh dari candi Prambanan. Kalau sekarang belum bisa dilacak, nomornya mati." Vino begitu meyakinkan sembari terus mengamati laptopnya. "Dekat Candi Prambanan, Jogja?" tanya Baim seolah tak percaya. "Betul, kenapa memangnya?" Baim terdiam. Dia benar-benar tak menyangka jika Meira pergi sejauh itu. "Ada masalah apa kamu sama istrimu, Im?" Vino mulai penasaran. "Entahlah. Sepertinya aku salah langkah." Merebahkan punggungnya ke sofa, Baim memejamkan kedua matanya pelan. Pikirannya kacau dan tak tahu harus percaya pada siapa. Pengakuan keluarganya, keterangan Una atau penjelasan singkat dari pesan-pesan yang dikirimkan Meira. Baim pusing. Mereka semua orang-orang yang Baim percaya, tapi dia yakin ada yang berdusta tentang ma
"Kamu mau cari kerja di mana, Mei?" tanya Lasmi saat melihat Meira sibuk mencari lowongan kerja di surat kabar harian yang baru dibelinya. "Nggak tahu, Bu. Buat saya yang penting halal." Meira tersenyum tipis saat menatap Lasmi yang ikut duduk di sampingnya. "Misalnya ada kerjaan merawat bayi atau beberes rumah, apa kamu mau?" Meira kembali menoleh. "Memangnya ada lowongan kerja begitu, Bu? Kalau ada, mau banget. Saya nggak pilih-pilih soal kerjaan. Intinya yang penting halal, Bu. Mengingat usia saya tak muda lagi," ujar Meira sembari melipat surat kabarnya kembali. "Masih kelihatan muda. Dina bilang masih 28 tahun? Cuma beda dua tahun saja sama Dina. Kamu merasa tua karena sudah punya anak sebesar Aldo kan? Aslinya masih muda dan cantik. Kalau nggak kenal kamu, mungkin dipikir belum punya anak. Masih langsing begitu kok." Lasmi kembali memuji. Meira memang masih terlihat cantik dan seksi. Dia memiliki banyak waktu untuk merawat tubuhnya dengan baik karena Aldo sudah cukup besar
Malamnya, Pak Ujang benar-benar datang seperti yang Lasmi bilang. Laki-laki berambut cepak yang sebagian besar berwarna putih itu duduk di ruang tamu saat Meira membawakan teh hangat untuknya. Lasmi pun duduk di sofa lain sembari mengobrol soal anak kedua Ujang yang baru lulus kuliah. "Ini Meira yang saya ceritakan itu, Pak Ujang. Dia ini asli Jakarta, temannya Dina. Anaknya satu, Aldo yang tadi salaman." Lasmi mulai memperkenalkan Meira pada tamunya. Dengan sopan, Meira mengangguk pelan sembari tersenyum tipis pada Pak Ujang yang juga melakukan hal sama. Mereka saling menghormati dan menghargai meski tak saling berjabat tangan. Ujang dan Meira sama-sama tahu jika non mahram memang tak diperbolehkan bersentuhan. "Saya, Meira, Pak. Alhamdulillah bisa dipertemukan dengan Pak Ujang. Semoga pertemuan ini semakin mempererat tali silaturahmi dan memperluas rezeki," ujar Meira setelah duduk di samping Lasmi. "Iya, Neng. Alhamdulillah. Bapak dulu juga asli Bogor. Hanya saja sudah seperemp
Malam ini, Meira tak bisa tidur dengan nyenyak. Dia masih terus gelisah memikirkan pekerjaan yang ditawarkan Ujang itu esok hari. Melihat Aldo yang meringkuk di kasur dengan selimut selendang lebar atau biasa disebut jarik milik Lasmi, Meira kembali merasa nelangsa. Kedua matanya berkaca tiap kali menatap jagoan kecilnya. "Maafkan bunda, Nak. Bunda belum bisa menjadi ibu yang baik buat kamu. Maaf kalau sudah memisahkan kamu dengan ayahmu. Bunda janji akan berusaha keras untuk menjadi ibu sekaligus ayah untukmu, Nak. Bunda akan berjuang dan membuktikan pada ayahmu jika kamu juga bisa sukses meski tanpa nafkah darinya." Setitik embun kembali menetes ke pipi Meira. Dia tak ingin menangis, tapi entah mengapa tiap kali melihat wajah polos anaknya, air mata itu meluncur begitu saja. Dadanya terasa sesak, sakit hati karena kedzaliman suaminya. Meira benar-benar merasa tak ada harganya di mata sang suami. Perih. Rasanya menusuk sampai ulu hati. Meira baru menyadari, ternyata lamanya waktu
Waktu menunjuk angka setengah tujuh. Selesai sarapan, Meira dan Lasmi berbincang di ruang tengah. Sementara Aldo sibuk membaca buku di kamar. Sebelum berangkat ke Solo, Dina sempat mengajak Aldo ke toko buku untuk membeli alat tulis dan buku bacaan. Ada tiga buku yang dia beli, tentang tata surya, perkalian dan kisah Nabi dan Rasul. Sebelum sarapan Meira sempat melihat buku kisah Nabi dan Rasul itu terbuka sebagian. Mungkin kini Aldo melanjutkan bacaannya yang tadi sempat tertunda. Meira tak ingin mengganggu. Baginya, yang penting bacaan Aldo masih seputar anak-anak dan bisa menambah wawasannya.Meira memang tak biasa memberikan gadget untuk buah hatinya. Sejak di Jakarta, Aldo memang terbiasa dengan buku, main dengan teman-temannya atau menonton kartun di televisi saja untuk mengisi waktu luangnya."Assalamualaikum, Din. Ada apa?" Meira mengucap salam setelah menerima panggilan dari Dina. "Wa'alaikumsalam, Mbak. Ini loh Mbak Una mau ngobrol. Ribet banget dari subuh minta disambungi
"Ada apa, Sayang? Kenapa ekspresimu seperti itu? Ada yang salah?" tanya Raka saat keluar dari kamar mandi. Dia menangkap keanehan di wajah istrinya yang tengah bersandar di dinding ranjang kamarnya. "Ini, Mas. Tiba-tiba dapat chat dari Lina," balas Meira lirih. Dia menoleh sekilas lalu kembali menatap layar handphonenya. Meira membaca ulang pesan yang dikirimkan mantan adik iparnya itu. Tiap kali mengingat Lina, tiap itu pula hanya kenangan buruk yang didapatkannya. Lina yang selalu meremehkan dan memfitnahnya berulang kali saat masih berstatus sebagai iparnya dulu. Bahkan dia merendahkan harga diri Meira di depan banyak orang, menuduhnya selingkuh dan banyak hal yang membuatnya malu dan tertekan. Detik ini, Meira tak menyangka akan mendapatkan pesan seperti itu. Pesan yang benar-benar mengejutkan baginya. "Lina ... Lina siapa, Sayang?" tanya Raka kemudian. Dia tak ingat jika Baim memiliki adik bernama Lina. Maklum, mereka bertemu cuma dua atau tiga kali, salah satunya saat hari
Hanum masih berdiri terpaku di depan lemari besar yang baru saja dibuka oleh Ken. Lemari itu terisi penuh dengan deretan pakaian yang semuanya terlihat mahal dan berkelas. Warna-warnanya lembut dan elegan, sesuai dengan seleranya. Hanum mengerutkan kening, merasa bingung dan kaget sekaligus."Mas ... ini semua apa?" tanyanya dengan suara nyaris berbisik.Ken tersenyum lebar, tampak puas melihat ekspresi istrinya. Ia bersandar di pintu lemari sambil melipat kedua tangannya di dada. "Ini untuk kamu, Sayang." Hanum menatap Ken tak percaya. "Pakaian sebanyak ini, Mas? Buat apa?" tanyanya lagi masih dengan keheranan yang sama. Ken berjalan mendekat, mengusap lembut bahu Hanum. "Hanum, kamu itu istriku. Aku ingin kamu merasa istimewa. Selama ini aku belum pernah memberikan pakaian yang benar-benar layak untukmu kan? Makanya, sekarang aku siapkan semuanya. Aku amati warna kesukaanmu dan inilah hasilnya." Ken tersenyum lebar. Hanum menggeleng pelan. "Tapi ini terlalu berlebihan, Mas. Lih
Hanum menatap pintu besar di hadapannya dengan ragu. Tangannya terasa gemetar dan pikirannya dipenuhi berbagai dugaan. Ken, suaminya, berdiri di sebelahnya, memegang gagang pintu. Tanpa berkata apa-apa, Ken memutar kunci, lalu membuka pintu itu perlahan."Masuk, Sayang," katanya singkat.Hanum melangkah masuk dengan hati-hati. Begitu matanya menangkap isi ruangan, ia tertegun. Kamar itu besar, mungkin empat kali lipat kamarnya di Jakarta. Lantainya berlapis marmer mengilap dan dinding-dindingnya dihiasi aksen kayu dengan pencahayaan LED yang modern. Di sudut ruangan, sebuah tempat tidur king-size dengan seprai putih bersih berdiri megah, dikelilingi oleh lampu gantung minimalis.Ada sofa abu-abu lembut dengan meja kaca di depannya, rak dinding penuh buku dan ornamen mahal. Di sisi lain, ada lemari pakaian besar dengan pintu kaca buram yang menampilkan deretan pakaian rapi. Sebuah meja kerja dengan aksen emas tampak berdiri megah di dekat jendela besar yang menghadap taman luas, lengka
Hanum duduk dengan kedua tangannya di pangkuan, menggenggam erat ujung kerudungnya. Di hadapannya, suami dan mama mertuanya berbincang santai, sementara kakak iparnya, Raka, sesekali menyisipkan komentar. Meira pun tak mau kalah. Terkadang dia ikut menimpali obrolan. Semua terasa begitu hangat dan menyenangkan. Namun, kedatangan lelaki dengan rambut nyaris penuh uban itu membuat Hanum kembali diterpa gelisah. Dia bertubuh tegap dengan kemeja putih yang masih rapi meski seharian dipakai bekerja. Wajahnya tegas, dengan alis tebal dan sorot mata yang tajam. Hanum langsung menunduk sedikit, mencoba menghindari tatapannya."Papa," sapa Ken sambil berdiri. "Sudah pulang?" sambungnya sembari mencium punggung tangan papanya. Wicaksono, papanya Ken pun mengangguk kecil. Sorot matanya masih tertuju pada Hanum. Wajahnya tetap datar, tak ada senyuman, membuat Hanum semakin merasa terintimidasi."Ini Hanum, Pa," lanjut Ken, memperkenalkan. "Istri aku."Wicaksono berjalan mendekat, berdiri tegak
"Mas, apa masih jauh?" tanya Hanum saat Ken baru saja menyelesaikan obrolannya dengan klien via handphone. Ken menoleh lalu menggeleng pelan. "Sebentar lagi, Sayang. Mungkin sepuluh menitan. Kenapa?" tanya Ken menatap lembut wajah istrinya yang kini terlihat gusar. "Hanum deg-deg an, Mas," ujarnya lirih. Hanum menghela napas panjang. Jemarinya sibuk bermain dengan ujung tas selempangnya yang kecil. Pandangannya sesekali melirik ke luar jendela mobil, memperhatikan pepohonan yang berjajar rapi di sepanjang jalan menuju rumah Ken. Dia membuka sedikit kaca jendela. Kebetulan suasana sedikit mendung, membuat udara di luar terasa berbeda--lebih sejuk dan tenang. Namun, di dalam dirinya, suasana begitu bergejolak. Ini adalah pertama kalinya Hanum akan bertemu keluarga suaminya. "Sayang, jangan dibuat cemas atau takut. Percayalah, kamu pasti bakal suka sama mereka," kata Ken sambil melingkarkan lengan kanannya ke pinggang Hanum. "Hanum juga sudah berusaha tenang, Mas. Tapi,
"Sudah pernah ke Jogja, Dek?" tanya Ken setelah sampai di kota kelahirannya itu. Hanum menggeleng pelan. "Belum pernah?" tanya Laki-laki itu lagi. "Belum, Mas. Dulu saat SMA ada study tour ke Jogja saja Hanum nggak ikut karena nggak ada biaya. Hanum ini beneran perempuan rumahan, nggak pernah kemana-mana. Tiap hari paling ke sekolah, ke pasar, ke warung gitu-gitu doang. Makanya, pantaslah kalau Mbak Rena selalu nyebut Hanum perempuan kampungan. Memang kenyataannya begitu," balas Hanum dengan senyum tipis. Senyum yang menyimpan beragam kepahitan hidupnya. "Kasihan istriku ini. Sudah nggak apa-apa. Itu bagian dari masa lalu. Mulai sekarang, kamu akan kuajak jalan-jalan, belanja, makan-makan, pokoknya apapun yang kamu mau bilang saja ya?" balas Ken sembari mengusap pelan puncak kepala istrinya. Kedua mata Hanum kembali berkaca. Hanum berpikir, entah kebaikan apa yang pernah dilakukannya sampai bisa memiliki suami seperti Ken. Dia benar-benar tak menyangka jika lelaki yang sebelumnya
"Mau cash atau kredit yang penting bisa bayarnya, Bu. Ngapain repot coba? Rena kemarin dapat mahar banyak dari Azziz. Tabungannya juga lumayan, makanya semua dipakai buat beli mobil ini." Mawar menimpali. Dia tahu jika anak perempuannya benar-benar malas jika harus membahas soal pembelian mobil itu. Dia nggak suka jika nanti menjadi bahan olokan karena tahu mobilnya belum lunas, sementara gayanya sudah seperti bos besar. "Benar juga yang dikatakan Bu Mawar. Lagian repot amat sih Bu Maryam ini pakai tanya cash atau kredit segala. Kalaupun kredit, mereka juga bisa bayarnya. Rena sama Azziz kan kerja kantoran dengan gaji jutaan. Kalau cuma bayar cicilan mobil dua atau tiga juta mah kecil." Ibu lain menyahut. Ada yang hanya diam saja karena jengah melihat kesombongan Rena dan ibunya, tapi ada pula yang mengiyakan alasan Mawar. Terserah mau kredit atau cash, yang penting tak merepotkan mereka. Begitu pikirnya. "Mas ... ngapain di situ? Makan dulu sini," panggil Hanum saat melihat suami
Suasana di luar rumah cukup heboh. Beberapa tetangga datang untuk melihat apa yang terjadi di rumah sederhana itu. Hanum yang sebelumnya terlelap pun mulai terjaga dari tidur siangnya. Dia mengerjap pelan lalu mendengarkan suara gaduh di halaman rumahnya. Jarum jam nyaris menunjuk angka dua saat Hanum terjaga. Dia menggeliat pelan lalu turun dari ranjang. Rasa penasaran pun muncul karena suara di luar semakin berisik. Sesekali terdengar tawa mereka. "Hebat sekali, Ren. Baru nikah seminggu sudah bisa beli mobil baru," ujar salah seorang ibu entah siapa namanya. "Resepsi di hotelnya jadi kan, Ren? Apa batal karena dananya sudah buat beli mobil?" "Nggak batal dong! Resepsi itu tetap digelar. Bukannya kamu sudah dapat undangannya? Kok nanya begitu?" tukas Rena sedikit kesal."Kupikir dibatalkan. Soalnya kaya nggak ada kabar lagi." "Makanya, lihat tanggalnya dong. Sudah jelas di situ tanggal berapa. Kalaupun aku kelihatannya nggak ngurusin ya memang semua sudah dihandle suamiku. Lagip
"Mau ke mana, Ren?" tanya Mawar saat melihat anak perempuan dan menantunya keluar dari kamar dengan dandanan rapi. "Mau ke dealer, Bu. Kami sudah sepakat ambil mobilnya hari ini," balas Rena begitu semringah. Dia yang sebelumnya ngomel-ngomel tak karuan hanya karena perkara secangkir kopi, akhirnya luluh setelah Azziz mengajaknya ke dealer untuk membeli mobil. Sesuai rencana, mahar uang dan emas itu akan digunakan untuk membeli mobil pilihan Rena. Kekurangannya akan diangsur tiap bulan. "Beneran mau beli mobil, Ren?" Mawar ikut semringahendengar kabar bahagia itu. Rena melipat tangan ke dada lalu tersenyum lebar. "Beneran dong, Bu. Nanti kita bisa jalan-jalan dan shopping kalau sudah ada mobil." Mawar mengangguk lalu menepuk pelan lengan anak kesayangannya. "Ibu bangga sama kalian berdua. Pokoknya ibu dukung. Jangan sampai kalah sama Hanum." Kali ini volume suara Mawar sedikit diturunkan karena tahu Hanum dan Ken masih di kamarnya. "Tenang saja, Bu. Mas Azziz nggak mungkin kalah