Waktu menunjuk angka setengah tujuh. Selesai sarapan, Meira dan Lasmi berbincang di ruang tengah. Sementara Aldo sibuk membaca buku di kamar. Sebelum berangkat ke Solo, Dina sempat mengajak Aldo ke toko buku untuk membeli alat tulis dan buku bacaan. Ada tiga buku yang dia beli, tentang tata surya, perkalian dan kisah Nabi dan Rasul. Sebelum sarapan Meira sempat melihat buku kisah Nabi dan Rasul itu terbuka sebagian. Mungkin kini Aldo melanjutkan bacaannya yang tadi sempat tertunda. Meira tak ingin mengganggu. Baginya, yang penting bacaan Aldo masih seputar anak-anak dan bisa menambah wawasannya.Meira memang tak biasa memberikan gadget untuk buah hatinya. Sejak di Jakarta, Aldo memang terbiasa dengan buku, main dengan teman-temannya atau menonton kartun di televisi saja untuk mengisi waktu luangnya."Assalamualaikum, Din. Ada apa?" Meira mengucap salam setelah menerima panggilan dari Dina. "Wa'alaikumsalam, Mbak. Ini loh Mbak Una mau ngobrol. Ribet banget dari subuh minta disambungi
"Maaf, permisi Bu." Ujang sedikit membungkukkan badan saat melihat majikannya duduk di kursi tak jauh dari kolam renang. Sundari memang terbiasa duduk santai di kursi panjang itu sembari menikmati sinar mentari pagi. Dia sering berjemur di sana setelah olah raga ringan. Seperti detik ini, dia melakukan kegiatan yang sama seperti pagi sebelumnya. Sundari menoleh lalu membenarkan duduknya. "Iya, Pak Ujang. Ada apa?" tanyanya begitu ramah sembari melambaikan tangan, meminta Ujang untuk mendekat. "Begini, Bu. Saya sudah menemukan baby sitter yang cocok buat Mbak Dee. Ini tetangga baru saya, Meira." Ujang memperkenalkan Meira pada majikannya. Meira mengangguk pelan dengan senyum tipisnya. "Alhamdulillah, Pak Ujang. Akhirnya dapat juga pengasuh Dee." Sundari tersenyum lalu meminta Meira dan Ujang duduk di kursi lain yang tak jauh dari tempat duduknya. "Mbak Meira ini baru datang dari Jakarta, Bu." Pak Ujang kembali menjelaskan. "Oh, asli Jakarta?" Kali ini Meira mengangguk. "Iya, Bu.
"Jadi, kita tinggal di rumah besar itu ya, Bun?" Aldo menata buku dan peralatan sekolahnya ke dalam tas. Sebelum Dina berangkat ke Solo, aku memang meminta dia untuk mengantar ke toko buku untuk membeli kebutuhan sekolah Aldo. "Iya, Sayang. Bunda bekerja di sana sebagai pengasuh adik bayi. Jadi, Aldo jangan bikin onar saat bunda kerja ya? Tetap di kamar saja sampai bunda datang. Aldo bisa kan bantu bunda?" Aldo berpikir sejenak lalu tersenyum lebar. "Bisa dong, Bun. Bunda nggak usah khawatir, Aldo bisa jaga diri di sana saat bunda kerja. Semangat ya, Bun!" Aldo kembali tersenyum lalu memeluk erat sang bunda yang mulai berkaca. Batin Meira terasa perih melihat senyum anak semata wayangnya. Senyum yang mungkin sengaja dia perlihatkan demi menenangkan hati bundanya. Meira kembali disesaki rasa bersalah karena belum bisa membahagiakan anak lelakinya. Menciptakan senyum hambar dan kecemasan di wajah tampannya yang sengaja dibalut dengan senyum lebar. Meira tahu jika sebenarnya Aldo mas
Meira kembaliengucap Hamdallah karena Allah cepat memberikan jalan keluar untuknya. Detik ini dia dan Aldo sudah sampai di rumah mewah dengan dua lantai itu kembali. Supir Sundari yang bernama Joko itu memarkirkan mobil di tempat semula lalu meminta Meira dan Aldo ke ruang keluarga. Sundari sudah menunggu di sana, katanya. Seperti sebelumnya, Meira memilih lewat pintu samping dan tak berani melewati pintu utama. Aldo berjalan perlahan sembari menggenggam tangan bundanya. Keduanya beriringan menuju ruang keluarga seperti yang diperintahkan Joko tadi. Dia bilang, Sundari sudah menunggu Meira di sana. "Sore, Bu." Dengan sopan Meira mengapa Sundari yang baru saja mematikan handphonenya. Wanita paruh baya itu menoleh pada Aldo beberapa saat. Senyum tipis terlukis di kedua sudut bibirnya saat menatap Aldo yang masih menunduk di samping sang bunda. "Mei, kamar kamu dan Aldo sudah siap. Ranselnya taruh di kamar dulu saja. Setelah itu makan ya? Bi Sumi masih di kamar, beliau yang akan anta
"Soalnya kenapa, Bi?" tanya Meira sedikit cemas. Dia takut jika kehadiran anaknya akan memperkeruh suasana di tempatnya bekerja. Jika memang itu terjadi, Meira memilih pindah kerja karena nggak mungkin meninggalkan Aldo sendirian di kontrakan. Meira akan mengambil pekerjaan yang bisa pulang tiap sore agar bisa menemani Aldo di kontrakan."Nggak apa-apa sih, Mei. Cuma takutnya bapak sama Den Raka bertanya-tanya kenapa kerja sambil bawa anak gitu. Soalnya Den Raka itu susah-susah gampang orangnya. Pendiam dan dingin." Penjelasan Sumi membuat Meira sedikit banyak mengerti bagaimana karakter penghuni rumah itu. "Iya, Bi. Saya akan di kamar saja. Lagipula sudah ada tivi di sini. Jadi, bisa nonton tivi saja sambil menunggu bunda selesai bekerja." Kedua mata Meira kembali berkaca saat mendengar jawaban Aldo yang terdengar begitu peka dan dewasa. Lagi-lagi Meira minta maaf dalam hati karena harus melibatkan Aldo sejauh itu. Dia yang secara tak langsung memaksa buah hatinya untuk berpikir d
'Aku harus menyusul Meira ke Jogja. Dia belum pernah kerja apalagi ke luar kota. Mengurus dirinya sendiri saja belum bisa, apalagi mengurus Aldo segala.' Baim menggumam sembari menyiapkan kopernya. Beberapa baju dia siapkan untuk jaga-jaga bila menginap lebih lama. Dia juga sudah mengajukan cuti tiga hari untuk mencari keberadaan istri dan anaknya itu. "Mau kemana, Im?" Soraya sedikit bingung melihat anak lelakinya keluar kamar dengan kopernya. "Cari Meira sama Aldo, Bu. Pikiranku kacau gara-gara masalah ini." Baim menjatuhkan bobotnya di sofa lalu menyugar rambutnya sedikit kasar. "Kamu mau cari istrimu yang selingkuh itu?!" Soraya shock lalu buru-buru duduk di samping anak lelakinya. "Aku bingung, Bu. Kasihan Aldo kalau sampai dia kelaparan dan nggak punya tempat tinggal di luar sana.""Bukannya kamu bilang dia pergi ke Jogja? Siapa tahu di sana ada teman lelakinya yang ngasih tempat tinggal atau biaya hidup. Sudahlah, Im. Jangan pikirin Meira terus, nanti dia bakal ngelunjak. F
[Mas, kamu ke Jogja buat cari mantan istri dan anakmu? Kenapa nggak ajak aku, bisa sekalian kukenakan sama orang tuaku di sana. Aku susul ke Jogja ya, Mas? Aku telepon Om Adrian dulu mau izin tiga hari. Nanti kita ketemu di rumah ya?] Pesan dari Vonny membuat Baim kembali pening. Dia pasti sudah bertemu dengan ibu dan mendengarkan ceritanya soal kepergian Baim kali ini. Dia sengaja tak memberitahu pada Vonny karena merasa tak penting juga dia tahu. Baim tak ingin ada orang lain mencampuri masalahnya. [Nggak usah, Von. Aku cukup sibuk dan nggak lama di Jogja. Kita bisa ketemu di Jakarta saja] Baim menolak tegas. Dia tak ingin berkenalan dengan orang tua Vonny karena tak ingin memberikan harapan apapun pada perempuan itu. Vonny memang cantik, tapi bagi Baim, Meira tetap yang tercantik di hatinya. Dia belum bisa tenang sebelum memperjelas kekisruhan rumah tangganya. [Kok gitu sih, Mas. Aku cuma kenalin kamu sama papa mama sebagai teman kantor kok. Nggak lebih. Mau ya?] Baim hanya me
"Nanti bunda mau cari sekolah yang nggak terlalu jauh dari sini buat kamu ya, Sayang. Kamu harus cepat sekolah supaya nggak ketinggalan pelajaran." Meira mengusap puncak kepala Aldo yang masih tiduran di kasur. "Iya, Bun. Kangen juga sama suasana sekolah." Meira mengangguk pelan lalu mencium kening buah hatinya itu. "Kalau Aldo mau makan, bunda sudah ambilkan nasi sama lauknya di meja. Misal bosen di kamar, boleh keluar kok. Main di taman atau lihat ikan koi. Yang penting jangan pegang-pegang barang di rumah ini, takutnya jatuh atau rusak. Aldo mengerti kan?" Anak lelaki itu kembali mengangguk lalu tersenyum tipis. Jarum jam menunjuk angka enam, setelah selesai mencuci baju Dee, Meira memasak sayur sop dan membuat perkedel kentang untuk anak asuhnya. Dia masih sibuk di dapur saat terdengar langkah kaki dari area tangga. "Kamu asisten baru?" Pertanyaan itu mengalihkan kesibukan Meira. Kedua mata Meira dan laki-laki itu saling bertemu beberapa saat lalu saling mengalihkan pandangan.
Hanum masih terpaku di tempatnya, menatap tas hitam dari Ken yang terasa agak berat di tangan. Perlahan, Hanum membuka resleting tas hitam itu. Isinya membuat napasnya tercekat. Detik ini dia melihat tumpukan uang seratus ribuan yang terbungkus rapi. Ken berdiri di sebelahnya, wajahnya tenang meski tubuhnya jelas menunjukkan kelelahan. Ia baru saja pulang membawa tas itu, tanpa banyak bicara, langsung menyerahkannya pada Hanum. "Mas, uang sebanyak ini milikmu?" Suara Hanum lirih, penuh kebingungan. Dia masih shock karena baru pertama kali melihat uang sebanyak itu. "Iya, Sayang. InsyaAllah uang itu cukup untuk melunasi hutang keluarga," jawab Ken singkat, suaranya datar, tanpa ekspresi berlebihan. "Uang sebanyak ini, Mas?" Hanum masih tak percaya dan kaget suaminya memiliki uang sebanyak itu. Hanum melangkah mundur lalu duduk di sofa ruang tamu seperti sebelumnya. Dari ruang tengah, Mawar dan Rena masih ikut shock melihat kedatangan Ken. Keterkejutan mereka belum usai karena
"Mas Ken pulang kenapa nggak kasih kabar dulu." Suara lirih Hanum hampir tak terdengar, tubuhnya menegang melihat laki-laki itu turun dari mobil mewah lalu melangkah tergesa menghampirinya. Tetangga mulai berbisik. Kasak-kusuk terdengar cukup jelas di telinga Hanum saat dia menyambut uluran tangan suaminya. "Itu suaminya Hanum? Kok bisa pakai mobil mewah begitu? Katanya cuma kuli bangunan." "Katanya begitu, tapi kurasa dia bukan sekadar kuli. Mana ada kuli bangunan bawa mobil sebagus itu. Harganya pasti ratusan juta." Yang lain ikut menyahut. "Mungkin sebenarnya dia bos, bukan kulinya.""Kalau bos dan orang kaya, mana mungkin sembarangan cari istri. Pasti dipikir juga bibit, bebet dan bobotnya. Apalagi keluarga besarnya bisa jadi sudah menyiapkan calon yang sepadan.""Hanum juga bibit, bebet dan bobotnya bagus. Dia anak yang baik, tak neko-neko, penyayang dan berbakti. Wajar kalau Mas Ken jatuh cinta sama Hanum. Lagipula dia juga cantik." "Kalau orang kaya yang dipikir bukan seka
"Maaf, Juragan. Saya sudah menikah dan nggak mungkin bercerai begitu saja. Kalau memang Juragan minta dua puluh juta, nggak apa-apa. Tunggu suami saya pulang, biar dia yang melunasinya saja," balas Hanum memberanikan diri. Rudy menoleh, menatap Hanum yang kini menitikkan air mata. "Num ... maafkan bapak." Rudy berujar dengan suara parau menahan sesak yang menghimpit dadanya. "Nggak apa-apa, Pak. Hanum tahu bapak sudah berjuang sekuat tenaga. Bapak tenang saja, InsyaAllah Mas Ken bisa membereskan masalah ini," balas Hanum begitu meyakinkan. Namun, balasan itu justru membuat Galih terkekeh meremehkan. Dia tak yakin jika suami Hanum bisa melunasi hutang itu, bahkan dia juga tak percaya jika Ken kembali ke rumah itu. "Lunasi sekarang atau terima tawaran saya, Pak. Saya nggak punya banyak waktu untuk menunggu sesuatu yang tak pasti," ujar Juragan Gino semakin menyudutkan Rudy dan Hanum. "Tolong tunggu sampai besok, Juragan. Suami saya akan pulang besok sore," balas Hanum lagi. "Ngga
Hanya ada Hanum dan bapaknya di meja makan, sementara Mawar, Rena dan Azziz duduk di sofa ruang tengah. Entah apa yang dijanjikan Azziz sampai akhirnya membuat emosi Rena mereda. Keduanya akur kembali seolah tak terjadi apa-apa. "Kalau ada masalah, diselesaikan baik-baik, Ren. Jangan asal marah-marah saja." Mawar memberi nasehat, sementara Rena seolah tak peduli. Bibirnya manyun beberapa centi saking kesalnya. Dia memang selalu menolak nasehat siapapun, termasuk ibunya sendiri. Maunya selalu didukung apapun yang dia inginkan sekalipun itu salah. "Benar kata ibu, Sayang. Kita bukan mas pacaran lagi yang bisa putus nyambung seenak hati. Pernikahan ini hal yang sakral, nggak boleh dibuat mainan." Azziz menimpali, seolah punya kesempatan untuk mendidik istrinya yang manja itu. "Iya, iya, Mas. Lagian kamu sih-- Belum selesai bicara, terdengar ucapan salam dari luar. Hanum tercekat, menatap bapaknya yang baru saja selesai makan malam. Rudy pun menatap anak perempuannya itu lalu mengang
Sejak pulang dari pasar pagi tadi, Hanum benar-benar tak tenang. Bakda ashar sampai menjelang maghrib ini selalu gelisah. Hanum ingin mengabari suaminya tentang kejadian tadi, tapi takut menganggu kesibukannya di Jogja. Dia tahu, urusan Ken pasti belum kelar sebab dia sudah bilang akan pulang besok sore. "Gimana ini? Bapak juga belum pulang. Mungkin juga kebingungan cari pinjaman segitu banyak untuk menutup hutang pada Juragan Gino." Lagi-lagi Hanum menggumam. Baru saja membuka pintu kamar, terdengar keributan di teras. Hanum menajamkan pendengarannya lalu kembali menutup pintu setelah tahu siapa yang datang. "Kenapa Mbak Rena dan Mas Aziz pulang secepat ini? Padahal kemarin bilang mereka akan honeymoon di Bali selama lima hari," gumam Hanum lagi lalu kembali duduk di tepi ranjang. Mawar yang baru saja keluar kamar cukup shock melihat kedatangan anak dan menantunya itu. Tak ingin menduga-duga, dia pun menanyakan perihal kepulangan mereka. "Kalian sudah pulang? Cepet banget katany
[Mas, laki-laki itu tiba-tiba ingin datang melamar Mbak Hanum. Dia bahkan baku hantam dengan Ridho saat kami mengantar Mbak Hanum ke pasar. Sepertinya ada satu kunci yang digenggam keluarga laki-laki itu tentang keluarga Mbak Hanum, tapi kami tak tahu itu apa. Barangkali menyangkut utang piutang, masalahnya nanti malam mereka akan menemui mertua Mas Ken di rumah untuk membahas hal ini. Sekarang saya dan Ridho ada di klinik. Laki-laki itu melayangkan sebuah pukulan pada Ridho saat dia lengah. Mbak Hanum panik, makanya membawa Ridho ke klinik tak jauh dari pasar]Pesan panjang dari Bagas beserta beberapa foto dan video saat huru-hara di pasar itu pun terkirim di WhatsApp nya. Ken memperhatikan wajah laki-laki itu dan dia merasa cukup asing. Artinya belum pernah bertemu dengan sosok itu sebelumnya. "Hutang piutang. Apa ini yang dimaksud Hanum kemarin? Bapaknya memiliki hutang sekian puluh juta, makanya selama ini dia bekerja keras untuk membayar cicilannya?" lirih Ken sembari mengamati
"Kenapa kamu nikah mendadak, Ken? Selama ini kamu nggak pernah cerita soal perempuan pada mama dan papa. Tiba-tiba kamu kasih kabar akan menikah dan kami dilarang datang. Sebenarnya kejadiannya gimana sampai kamu senekat itu?" Wicaksono menatap lekat Ken yang duduk di depannya itu.Keluarga Ken sedang menikmati makan siang bersama, termasuk Raka dan Meira. Mereka sengaja mencari waktu agar bisa duduk bersama membahas pernikahan Ken ya g dadakan itu. "Papa tahu kamu sudah menjelaskannya waktu itu, tapi berhari-hari papa masih nggak habis pikir kenapa kamu senekat itu, Ken. Apalagi pada gadis yang baru kamu lihat pertama kali," sambung Wicaksono lagi. "Papamu benar, Ken. Bukan maksud mama menyalahkanmu atau menyudutkan istrimu, hanya saja papa dan mama masih belum mengerti kenapa tiba-tiba kamu ingin menjadi pengantin penggantinya. Suatu hal yang benar-benar di luar nalar. Kalau kalian sudah kenal lama, mungkin mama nggak akan sekaget ini, tapi kamu sendiri bilang kalau kalian baru be
"Ya Allah, Mas. Kita ke klinik sekarang ya? Saya takut Mas Ridho kenapa-kenapa," ujar Hanum begitu panik saat melihat wajah bodyguard suaminya sedikit pucat setelah menerima bogem mentah itu. "Nggak apa-apa, Mbak Hanum. Sudah biasa begini. Tenang saja," balas Ridho berusaha tersenyum meski pipinya benar-benar nyut-nyutan tak karuan. Nyeri dan terasa sakit saat digerakkan. "Nggak apa-apa gimana, Mas? Ini cukup parah," tunjuk Hanum pada sudut bibir Ridho yang pecah. "Tenang saja, Mbak. Ridho sudah kebal," timpal Bagas dengan senyum tipis, berusaha menenangkan Hanum, tapi tetap saja dia merasa sangat bersalah sampai membuat laki-laki di sampingnya itu babak belur. "Siapa mereka, Num?" Pertanyaan Juragan Gino membuat Hanum menoleh seketika. "Mereka teman baik suami saya, Juragan. Maaf kalau sudah membuat keributan di sini." Hanum sedikit membungkuk lalu kembali menatap belanjaannya yang berantakan. "Kemana suamimu? Kenapa dia menyuruh orang lain untuk mengawasimu?" tanya Juragan Gin
"Me-- melamar gimana, Mas? Meski kemarin saya batal menikah dengan Mas Aziz, tapi saya sudah menikah dengan orang lain. Saya sudah sah menjadi istri orang, Mas. Mana bisa main lamar aja," balas Hanum di tengah kepanikannya. Laki-laki bernama Galih, anak Juragan Gino itu tersenyum miring. Dia mendadak menarik tangan Hanum ke belakang pasar yang agak sepi karena tak ingin dilihat banyak orang. Bagas dan Ridho pun buru-buru mengikuti mereka. "Kamu menikah dengan lelaki yang nggak jelas, Num. Kenapa nggak sama aku aja? Bibit, bobot dan bebetnya jelas. Anak orang terpandang di kampung kita. Apapun yang kamu minta bakal aku turuti asalkan kamu mau menjadi istriku," ujar Galih begitu bersemangat. Hanum menarik tangannya yang dicengkeram Galih, namun laki-laki itu justru menarik tubuh Hanum hingga mengikis jarak di antara mereka. "Heh! Kamu! Lepas!" sentak Ridho sembari menunjuk Galih yang menoleh seketika. Tawa meremehkan terdengar dari bibirnya. Bukannya melepas cengkeramannya pada Hanu