'Aku harus menyusul Meira ke Jogja. Dia belum pernah kerja apalagi ke luar kota. Mengurus dirinya sendiri saja belum bisa, apalagi mengurus Aldo segala.' Baim menggumam sembari menyiapkan kopernya. Beberapa baju dia siapkan untuk jaga-jaga bila menginap lebih lama. Dia juga sudah mengajukan cuti tiga hari untuk mencari keberadaan istri dan anaknya itu. "Mau kemana, Im?" Soraya sedikit bingung melihat anak lelakinya keluar kamar dengan kopernya. "Cari Meira sama Aldo, Bu. Pikiranku kacau gara-gara masalah ini." Baim menjatuhkan bobotnya di sofa lalu menyugar rambutnya sedikit kasar. "Kamu mau cari istrimu yang selingkuh itu?!" Soraya shock lalu buru-buru duduk di samping anak lelakinya. "Aku bingung, Bu. Kasihan Aldo kalau sampai dia kelaparan dan nggak punya tempat tinggal di luar sana.""Bukannya kamu bilang dia pergi ke Jogja? Siapa tahu di sana ada teman lelakinya yang ngasih tempat tinggal atau biaya hidup. Sudahlah, Im. Jangan pikirin Meira terus, nanti dia bakal ngelunjak. F
[Mas, kamu ke Jogja buat cari mantan istri dan anakmu? Kenapa nggak ajak aku, bisa sekalian kukenakan sama orang tuaku di sana. Aku susul ke Jogja ya, Mas? Aku telepon Om Adrian dulu mau izin tiga hari. Nanti kita ketemu di rumah ya?] Pesan dari Vonny membuat Baim kembali pening. Dia pasti sudah bertemu dengan ibu dan mendengarkan ceritanya soal kepergian Baim kali ini. Dia sengaja tak memberitahu pada Vonny karena merasa tak penting juga dia tahu. Baim tak ingin ada orang lain mencampuri masalahnya. [Nggak usah, Von. Aku cukup sibuk dan nggak lama di Jogja. Kita bisa ketemu di Jakarta saja] Baim menolak tegas. Dia tak ingin berkenalan dengan orang tua Vonny karena tak ingin memberikan harapan apapun pada perempuan itu. Vonny memang cantik, tapi bagi Baim, Meira tetap yang tercantik di hatinya. Dia belum bisa tenang sebelum memperjelas kekisruhan rumah tangganya. [Kok gitu sih, Mas. Aku cuma kenalin kamu sama papa mama sebagai teman kantor kok. Nggak lebih. Mau ya?] Baim hanya me
"Nanti bunda mau cari sekolah yang nggak terlalu jauh dari sini buat kamu ya, Sayang. Kamu harus cepat sekolah supaya nggak ketinggalan pelajaran." Meira mengusap puncak kepala Aldo yang masih tiduran di kasur. "Iya, Bun. Kangen juga sama suasana sekolah." Meira mengangguk pelan lalu mencium kening buah hatinya itu. "Kalau Aldo mau makan, bunda sudah ambilkan nasi sama lauknya di meja. Misal bosen di kamar, boleh keluar kok. Main di taman atau lihat ikan koi. Yang penting jangan pegang-pegang barang di rumah ini, takutnya jatuh atau rusak. Aldo mengerti kan?" Anak lelaki itu kembali mengangguk lalu tersenyum tipis. Jarum jam menunjuk angka enam, setelah selesai mencuci baju Dee, Meira memasak sayur sop dan membuat perkedel kentang untuk anak asuhnya. Dia masih sibuk di dapur saat terdengar langkah kaki dari area tangga. "Kamu asisten baru?" Pertanyaan itu mengalihkan kesibukan Meira. Kedua mata Meira dan laki-laki itu saling bertemu beberapa saat lalu saling mengalihkan pandangan.
[Aku ke rumah ibu sekarang, Din. Kamu tak perlu risau, oke? Kalau sudah sampai sana, nanti aku kabari]Sedikit gemetar, Meira membalas pesan Dina dan berusaha menenangkannya. Setidaknya agar Dina tak terlalu mengkhawatirkan ibunya sebab dia masih bekerja. Setelah menerima balasan dari Dina, Meira gegas ke kamar. Dia ingin pamit pada Aldo yang masih rebahan di tempat tidur karena memang masih cukup pagi. "Aldo, kamu di kamar dulu ya, Nak. Bunda ada urusan sebentar ke luar. Kalau sudah selesai, bunda lekas ke sini lagi. Jangan bikin gaduh ya, Nak. Nggak enak sama ibu dan bapak yang sudah mempekerjakan bunda di sini." Meira mengusap punggung anaknya pelan. "Bunda mau kemana?" tanya Aldo yang masih di depan jendela kamarnya. "Ke rumah Tante Dina sebentar. Barusan tante kirim pesan minta bunda ke sana sekarang. Makanya bunda buru-buru. Pokoknya kalau urusan sudah selesai, bunda langsung pulang ya?" Meira tersenyum meski dalam hatinya berdegup kencang, takut jika Baim berbuat macam-maca
"Assalamualaikum. Kamu nggak perlu mencariku ke sana sini, Mas. Aku sudah datang," ujar Meira dengan nada tegas. Dia tak ingin terlihat lemah di mata Baim yang kini sudah sangat berbeda di matanya. Baim yang dulu dia kenal seolah menghilang dan menjadi sosok lain yang tak dikenalnya. "Wa'alaikumsalam, Mei. Kamu datang?" Suara Lasmi sedikit gemetar. Wanita paruh baya itu beranjak dari kursi ruang tamu lalu memeluk Meira yang masih berdiri di ambang pintu. Dia merasa tak enak hati melihat wajah Lasmi yang cukup pucat dan ketakutan. Meira yakin jika pesan yang dikirimkan Dina tadi ada benarnya. Baim memang mengancam Lasmi agar membocorkan keberadaan Meira dan Aldo. Meira yakin itu. "Ibu maafkan saya." Meira berkaca-kaca melihat ekspresi Lasmi yang tak baik-baik saja di matanya. "Nggak apa-apa, Nduk. Selesaikan masalah kalian berdua. Jangan saling sembunyi. Memang sebaiknya begini supaya lebih jelas dan lega. Ibu ke dalam sebelntar mau buat teh ya? Selesaikan baik-baik karena kalian s
"Mei ... siapa dia?!" Baim menoleh pada Meira yang masih tak percaya jika laki-laki itu menyusulnya sampai rumah Lasmi. "Dia majikanku. Kenapa? Mau menuduhku macam-macam, Mas? Jaga bicaramu, aku nggak mau malu di depannya!" balas Meira pelan, tapi penuh penekanan. "Majikan?" Baim membulatkan kedua matanya. "Sudahlah. Kita sudah bercerai dan kamu nggak perlu mencampuri hidupku lagi, Mas. Silakan urus perceraian kita di pengadilan. Tanpa kehadiranku, bukannya semua lebih cepat diselesaikan?" Meira kembali menoleh. Dia menatap Baim beberapa saat yang masih ternganga seolah tak percaya apa yang Meira ucapkan. "Kamu lebih memilih dia dibandingkan-- "Dee menangis dan kamu malah asyik berduaan di sini, Meira?" Pertanyaan laki-laki yang bersama Ujang itu menghentikan ucapan Baim. "Ma-- maaf, Pak. Tadi saya sudah izin sama ibu." "Kamu lupa ucapan saya kemarin kalau-- "Saya masih ingat kok, Pak. Saya pamit Bu Lasmi sebentar." Meira buru-buru ke belakang untuk menemui Lasmi yang masih t
"Mas! Apa dia bisa membuktikan kalau dia tak berselingkuh? Apa kalian benar-benar mau rujuk?" Sedikit gugup Vonny mulai mengorek kehidupan Baim. Dia sangat berharap jika kata rujuk tak ada dalam kamus lelaki yang dicintainya kini. "Nggak ada bukti. Dia hanya bilang nggak pernah berselingkuh." "Orang yang berselingkuh memang selalu memiliki alibi macam-macam, Mas. Kalau kamu percaya dan memaafkannya lagi dan lagi. Bisa jadi kamu akan kecewa kesekian kalinya karena selingkuh nggak akan sembuh. Itu penyakit yang bisa kambuh kapan saja. Percaya sama aku deh." Vonny kembali mengompori, sementara Baim tak membalas. Dia hanya terdiam mendengarkan Vonny yang kembali bicara ini dan itu, persis apa yang disampaikan ibu dan kedua saudara perempuannya. "Jangan-jangan sekarang dia sudah punya gebetan baru. Masa iya dia berani pergi begitu saja dari Jogja kalau nggak ada backingan sih?!" tuduh Vonny lagi, membuat pikiran Baim semakin tak menentu. Laki-laki itu menghela napas kembali lalu memij
"Itu mantan suamimu?" tanya Raka masih begitu kesal karena nyeri di sudut bibirnya. "Iy-- iya, Pak," balas Meira begitu gugup dan takut. Dia hanya terdiam di kursi belakang dan tak berani mendongak sedikitpun pada majikannya yang masih berusaha menahan amarah. "Temperamental." Hanya kata itu yang terucap dari bibir Raka setelah tahu siapa lelaki yang menonjoknya tadi. "Maafkan saya ya, Pak." Meira sedikit gemetar saat mendengar suara majikannya yang penuh amarah. "Seharusnya dia yang minta maaf, bukan kamu." "Maaf gara-gara mencari saya bapak sampai seperti ini. Sekali lagi maaf," ujar Meira dengan gugupnya. Raka tak membalas. Dia kembali seperti semula dengan mode kakunya. Sampai rumah dengan dua lantai itu, tak adalagi percakapan di antara mereka. Ujang pun tak berani ikut berkomentar. Setelah turun dari mobil, Ujang hanya mengucap satu kata untuk Meira. Sabar. Meira tersenyum tipis lalu mengangguk pelan saat berpisah dengan Ujang di halaman. Dia kembali ke taman samping, sem
Raka dan Meira sedang asyik menikmati malam indahnya. Di kamar lain, Ken pun ingin sekali menikmati malam pertamanya yang tertunda. Hanya saja, dia tak ingin memaksa Hanum untuk melayaninya. Dia ingin Hanum suka rela menyerahkan dirinya pada Ken. Meski sering menggoda, Ken tak pernah berniat untuk merampas apapun yang dimiliki Hanum. Sekalipun memberi nafkah batin untuk suami adalah kewajibannya, tapi Ken sangat memahami perasaan Hanum saat ini. Dia memilih menunggu, meski entah sampai kapan. "Mas, piyamanya sudah Hanum siapkan di sofa ya?" ujar Hanum saat Ken masih di kamar mandi. "Oke, Sayang. Makasih ya?" Hanum mengiyakan lalu kembali duduk di tepi ranjang. Dia mengambil handphone di tas lalu mengetikkan pesan untuk bapaknya. [Maaf Hanum baru kasih kabar, Pak. Hanum sama Mas Ken sudah sampai di Jogja. Alhamdulillah, keluarga Mas Ken menerima Hanum dengan baik, Pak. Mereka tak mempermasalahkan bagaimana pendidikan ataupun kehidupan Hanum di Jakarta. Mereka percaya pilihan Mas K
"Ada apa, Sayang? Kenapa ekspresimu seperti itu? Ada yang salah?" tanya Raka saat keluar dari kamar mandi. Dia menangkap keanehan di wajah istrinya yang tengah bersandar di dinding ranjang kamarnya. "Ini, Mas. Tiba-tiba dapat chat dari Lina," balas Meira lirih. Dia menoleh sekilas lalu kembali menatap layar handphonenya. Meira membaca ulang pesan yang dikirimkan mantan adik iparnya itu. Tiap kali mengingat Lina, tiap itu pula hanya kenangan buruk yang didapatkannya. Lina yang selalu meremehkan dan memfitnahnya berulang kali saat masih berstatus sebagai iparnya dulu. Bahkan dia merendahkan harga diri Meira di depan banyak orang, menuduhnya selingkuh dan banyak hal yang membuatnya malu dan tertekan. Detik ini, Meira tak menyangka akan mendapatkan pesan seperti itu. Pesan yang benar-benar mengejutkan baginya. "Lina ... Lina siapa, Sayang?" tanya Raka kemudian. Dia tak ingat jika Baim memiliki adik bernama Lina. Maklum, mereka bertemu cuma dua atau tiga kali, salah satunya saat hari
Hanum masih berdiri terpaku di depan lemari besar yang baru saja dibuka oleh Ken. Lemari itu terisi penuh dengan deretan pakaian yang semuanya terlihat mahal dan berkelas. Warna-warnanya lembut dan elegan, sesuai dengan seleranya. Hanum mengerutkan kening, merasa bingung dan kaget sekaligus."Mas ... ini semua apa?" tanyanya dengan suara nyaris berbisik.Ken tersenyum lebar, tampak puas melihat ekspresi istrinya. Ia bersandar di pintu lemari sambil melipat kedua tangannya di dada. "Ini untuk kamu, Sayang." Hanum menatap Ken tak percaya. "Pakaian sebanyak ini, Mas? Buat apa?" tanyanya lagi masih dengan keheranan yang sama. Ken berjalan mendekat, mengusap lembut bahu Hanum. "Hanum, kamu itu istriku. Aku ingin kamu merasa istimewa. Selama ini aku belum pernah memberikan pakaian yang benar-benar layak untukmu kan? Makanya, sekarang aku siapkan semuanya. Aku amati warna kesukaanmu dan inilah hasilnya." Ken tersenyum lebar. Hanum menggeleng pelan. "Tapi ini terlalu berlebihan, Mas. Lih
Hanum menatap pintu besar di hadapannya dengan ragu. Tangannya terasa gemetar dan pikirannya dipenuhi berbagai dugaan. Ken, suaminya, berdiri di sebelahnya, memegang gagang pintu. Tanpa berkata apa-apa, Ken memutar kunci, lalu membuka pintu itu perlahan."Masuk, Sayang," katanya singkat.Hanum melangkah masuk dengan hati-hati. Begitu matanya menangkap isi ruangan, ia tertegun. Kamar itu besar, mungkin empat kali lipat kamarnya di Jakarta. Lantainya berlapis marmer mengilap dan dinding-dindingnya dihiasi aksen kayu dengan pencahayaan LED yang modern. Di sudut ruangan, sebuah tempat tidur king-size dengan seprai putih bersih berdiri megah, dikelilingi oleh lampu gantung minimalis.Ada sofa abu-abu lembut dengan meja kaca di depannya, rak dinding penuh buku dan ornamen mahal. Di sisi lain, ada lemari pakaian besar dengan pintu kaca buram yang menampilkan deretan pakaian rapi. Sebuah meja kerja dengan aksen emas tampak berdiri megah di dekat jendela besar yang menghadap taman luas, lengka
Hanum duduk dengan kedua tangannya di pangkuan, menggenggam erat ujung kerudungnya. Di hadapannya, suami dan mama mertuanya berbincang santai, sementara kakak iparnya, Raka, sesekali menyisipkan komentar. Meira pun tak mau kalah. Terkadang dia ikut menimpali obrolan. Semua terasa begitu hangat dan menyenangkan. Namun, kedatangan lelaki dengan rambut nyaris penuh uban itu membuat Hanum kembali diterpa gelisah. Dia bertubuh tegap dengan kemeja putih yang masih rapi meski seharian dipakai bekerja. Wajahnya tegas, dengan alis tebal dan sorot mata yang tajam. Hanum langsung menunduk sedikit, mencoba menghindari tatapannya."Papa," sapa Ken sambil berdiri. "Sudah pulang?" sambungnya sembari mencium punggung tangan papanya. Wicaksono, papanya Ken pun mengangguk kecil. Sorot matanya masih tertuju pada Hanum. Wajahnya tetap datar, tak ada senyuman, membuat Hanum semakin merasa terintimidasi."Ini Hanum, Pa," lanjut Ken, memperkenalkan. "Istri aku."Wicaksono berjalan mendekat, berdiri tegak
"Mas, apa masih jauh?" tanya Hanum saat Ken baru saja menyelesaikan obrolannya dengan klien via handphone. Ken menoleh lalu menggeleng pelan. "Sebentar lagi, Sayang. Mungkin sepuluh menitan. Kenapa?" tanya Ken menatap lembut wajah istrinya yang kini terlihat gusar. "Hanum deg-deg an, Mas," ujarnya lirih. Hanum menghela napas panjang. Jemarinya sibuk bermain dengan ujung tas selempangnya yang kecil. Pandangannya sesekali melirik ke luar jendela mobil, memperhatikan pepohonan yang berjajar rapi di sepanjang jalan menuju rumah Ken. Dia membuka sedikit kaca jendela. Kebetulan suasana sedikit mendung, membuat udara di luar terasa berbeda--lebih sejuk dan tenang. Namun, di dalam dirinya, suasana begitu bergejolak. Ini adalah pertama kalinya Hanum akan bertemu keluarga suaminya. "Sayang, jangan dibuat cemas atau takut. Percayalah, kamu pasti bakal suka sama mereka," kata Ken sambil melingkarkan lengan kanannya ke pinggang Hanum. "Hanum juga sudah berusaha tenang, Mas. Tapi,
"Sudah pernah ke Jogja, Dek?" tanya Ken setelah sampai di kota kelahirannya itu. Hanum menggeleng pelan. "Belum pernah?" tanya Laki-laki itu lagi. "Belum, Mas. Dulu saat SMA ada study tour ke Jogja saja Hanum nggak ikut karena nggak ada biaya. Hanum ini beneran perempuan rumahan, nggak pernah kemana-mana. Tiap hari paling ke sekolah, ke pasar, ke warung gitu-gitu doang. Makanya, pantaslah kalau Mbak Rena selalu nyebut Hanum perempuan kampungan. Memang kenyataannya begitu," balas Hanum dengan senyum tipis. Senyum yang menyimpan beragam kepahitan hidupnya. "Kasihan istriku ini. Sudah nggak apa-apa. Itu bagian dari masa lalu. Mulai sekarang, kamu akan kuajak jalan-jalan, belanja, makan-makan, pokoknya apapun yang kamu mau bilang saja ya?" balas Ken sembari mengusap pelan puncak kepala istrinya. Kedua mata Hanum kembali berkaca. Hanum berpikir, entah kebaikan apa yang pernah dilakukannya sampai bisa memiliki suami seperti Ken. Dia benar-benar tak menyangka jika lelaki yang sebelumnya
"Mau cash atau kredit yang penting bisa bayarnya, Bu. Ngapain repot coba? Rena kemarin dapat mahar banyak dari Azziz. Tabungannya juga lumayan, makanya semua dipakai buat beli mobil ini." Mawar menimpali. Dia tahu jika anak perempuannya benar-benar malas jika harus membahas soal pembelian mobil itu. Dia nggak suka jika nanti menjadi bahan olokan karena tahu mobilnya belum lunas, sementara gayanya sudah seperti bos besar. "Benar juga yang dikatakan Bu Mawar. Lagian repot amat sih Bu Maryam ini pakai tanya cash atau kredit segala. Kalaupun kredit, mereka juga bisa bayarnya. Rena sama Azziz kan kerja kantoran dengan gaji jutaan. Kalau cuma bayar cicilan mobil dua atau tiga juta mah kecil." Ibu lain menyahut. Ada yang hanya diam saja karena jengah melihat kesombongan Rena dan ibunya, tapi ada pula yang mengiyakan alasan Mawar. Terserah mau kredit atau cash, yang penting tak merepotkan mereka. Begitu pikirnya. "Mas ... ngapain di situ? Makan dulu sini," panggil Hanum saat melihat suami
Suasana di luar rumah cukup heboh. Beberapa tetangga datang untuk melihat apa yang terjadi di rumah sederhana itu. Hanum yang sebelumnya terlelap pun mulai terjaga dari tidur siangnya. Dia mengerjap pelan lalu mendengarkan suara gaduh di halaman rumahnya. Jarum jam nyaris menunjuk angka dua saat Hanum terjaga. Dia menggeliat pelan lalu turun dari ranjang. Rasa penasaran pun muncul karena suara di luar semakin berisik. Sesekali terdengar tawa mereka. "Hebat sekali, Ren. Baru nikah seminggu sudah bisa beli mobil baru," ujar salah seorang ibu entah siapa namanya. "Resepsi di hotelnya jadi kan, Ren? Apa batal karena dananya sudah buat beli mobil?" "Nggak batal dong! Resepsi itu tetap digelar. Bukannya kamu sudah dapat undangannya? Kok nanya begitu?" tukas Rena sedikit kesal."Kupikir dibatalkan. Soalnya kaya nggak ada kabar lagi." "Makanya, lihat tanggalnya dong. Sudah jelas di situ tanggal berapa. Kalaupun aku kelihatannya nggak ngurusin ya memang semua sudah dihandle suamiku. Lagip