"Mei ... siapa dia?!" Baim menoleh pada Meira yang masih tak percaya jika laki-laki itu menyusulnya sampai rumah Lasmi. "Dia majikanku. Kenapa? Mau menuduhku macam-macam, Mas? Jaga bicaramu, aku nggak mau malu di depannya!" balas Meira pelan, tapi penuh penekanan. "Majikan?" Baim membulatkan kedua matanya. "Sudahlah. Kita sudah bercerai dan kamu nggak perlu mencampuri hidupku lagi, Mas. Silakan urus perceraian kita di pengadilan. Tanpa kehadiranku, bukannya semua lebih cepat diselesaikan?" Meira kembali menoleh. Dia menatap Baim beberapa saat yang masih ternganga seolah tak percaya apa yang Meira ucapkan. "Kamu lebih memilih dia dibandingkan-- "Dee menangis dan kamu malah asyik berduaan di sini, Meira?" Pertanyaan laki-laki yang bersama Ujang itu menghentikan ucapan Baim. "Ma-- maaf, Pak. Tadi saya sudah izin sama ibu." "Kamu lupa ucapan saya kemarin kalau-- "Saya masih ingat kok, Pak. Saya pamit Bu Lasmi sebentar." Meira buru-buru ke belakang untuk menemui Lasmi yang masih t
"Mas! Apa dia bisa membuktikan kalau dia tak berselingkuh? Apa kalian benar-benar mau rujuk?" Sedikit gugup Vonny mulai mengorek kehidupan Baim. Dia sangat berharap jika kata rujuk tak ada dalam kamus lelaki yang dicintainya kini. "Nggak ada bukti. Dia hanya bilang nggak pernah berselingkuh." "Orang yang berselingkuh memang selalu memiliki alibi macam-macam, Mas. Kalau kamu percaya dan memaafkannya lagi dan lagi. Bisa jadi kamu akan kecewa kesekian kalinya karena selingkuh nggak akan sembuh. Itu penyakit yang bisa kambuh kapan saja. Percaya sama aku deh." Vonny kembali mengompori, sementara Baim tak membalas. Dia hanya terdiam mendengarkan Vonny yang kembali bicara ini dan itu, persis apa yang disampaikan ibu dan kedua saudara perempuannya. "Jangan-jangan sekarang dia sudah punya gebetan baru. Masa iya dia berani pergi begitu saja dari Jogja kalau nggak ada backingan sih?!" tuduh Vonny lagi, membuat pikiran Baim semakin tak menentu. Laki-laki itu menghela napas kembali lalu memij
"Itu mantan suamimu?" tanya Raka masih begitu kesal karena nyeri di sudut bibirnya. "Iy-- iya, Pak," balas Meira begitu gugup dan takut. Dia hanya terdiam di kursi belakang dan tak berani mendongak sedikitpun pada majikannya yang masih berusaha menahan amarah. "Temperamental." Hanya kata itu yang terucap dari bibir Raka setelah tahu siapa lelaki yang menonjoknya tadi. "Maafkan saya ya, Pak." Meira sedikit gemetar saat mendengar suara majikannya yang penuh amarah. "Seharusnya dia yang minta maaf, bukan kamu." "Maaf gara-gara mencari saya bapak sampai seperti ini. Sekali lagi maaf," ujar Meira dengan gugupnya. Raka tak membalas. Dia kembali seperti semula dengan mode kakunya. Sampai rumah dengan dua lantai itu, tak adalagi percakapan di antara mereka. Ujang pun tak berani ikut berkomentar. Setelah turun dari mobil, Ujang hanya mengucap satu kata untuk Meira. Sabar. Meira tersenyum tipis lalu mengangguk pelan saat berpisah dengan Ujang di halaman. Dia kembali ke taman samping, sem
"Kamu memar, Raka. Diobati dulu." Lagi-lagi ucapan Sundari teringat kembali. Vonnya berdecak kesal saat mengingatnya. 'Mas Baim pasti cemburu melihat mantan istrinya disusul lelaki lain, makanya mereka terlibat baku hantam. Dasar genit! Sudah diceraikan pun masih banyak tingkah. Gara-gara dia juga Mas Raka celaka. Tak hanya itu saja. Mas Baim sampai bad mood pagi-pagi dan menolak permintaanku untuk datang ke sini pasti juga karena ribut sama dia. Sok kecakepan! Sudah jadi mantan masih saja bikin masalah. Nggak bisa move on!' omel Vonny lagi. Dia membanting kembali benda pipih kecil itu ke atas ranjang dengan kasar bahkan nyaris terjatuh ke lantai. 'Lihat saja nanti, aku pasti akan membuat perhitungan sama perempuan ganjen seperti dia. Aku nggak akan tinggal diam begitu saja. Apalagi kalau sampai tak bisa mendapatkan Mas Baim, kupastikan dia dan anaknya tak akan pernah bahagia!' ancam Vonny dalam hati lalu menutup pintu kamarnya dan melangkah tergesa menuruni tangga. Sebelum Vonny k
"Papa!" teriak Vonny begitu manja saat papanya datang dengan merentangkan kedua tangannya. Vonny adalah anak perempuan satu-satunya Wicaksono Abdullah, pengusaha properti yang cukup populer di kota gudeg itu. Vonny anak semata wayangnya dengan Susi yang telah tiada lima tahun lalu. Sementara dengan Sundari memiliki dua anak lelaki bernama Raka dan Keanu. Sebagai anak bungsu dan perempuan satu-satunya, Vonny cukup dimanja bahkan nyaris semua permintaannya dituruti papanya. Wicaksono beralasan tak ingin membuat Vonny bersedih karena kehilangan maminya, oleh karena itulah dia semakin memanjakan anak perempuannya itu. Meski berulang kali Sundari meminta Wicaksono agar tak terlalu memanjakan Vonny, nyatanya laki-laki itu tak menggubris. Dia tetap saja luluh tiap kali Vonny meminta sesuatu padanya. Mungkin memang benar jika ayah adalah cinta pertama anak perempuannya. Wicaksono tak ingin Vonny kekurangan kasih sayang apalagi setelah maminya tiada. "Sudah lama menunggu?" tanya laki-laki
"Itu babysitter Dee kan?" tunjuk Wicaksono saat melihat Meira melangkah perlahan menaiki tangga sambil menggendong anak asuhnya. "Iya, Pa. Itu babysitter Dee. Dia itu janda beranak satu. Papa tahu nggak, kalau anaknya juga tinggal di sini dan dia kerja sambil momong anaknya itu?" Vonny sengaja memperkeras suaranya agar terdengar jelas oleh Meira yang baru menaiki beberapa anak tangga menuju lantai dua. Meira menghentikan langkah sejenak. Dia ingin mendengar hasutan seperti apa yang akan dilontarkan Vonny pada papanya. "Maksudnya gimana, Sayang? Papa nggak paham." Wicaksono kembali menoleh ke arah Meira lalu menatap lekat anak perempuannya. "Iya, Papa. Meira itu memang jagain Dee, tapi dia juga jagain anaknya yang baru kelas tiga sekolah dasar itu. Anaknya bandel banget pula. Tadi aja mecahin piring. Aku takut kalau Dee kenapa-kenapa, apalagi kena pecahan kaca. Duh, ngeri tahu, Pa." Vonny menyeruput jus alpukat yang dihidangkan Sumi di meja lalu mulai menikmati spaghettinya. "Kok
"Biarkan Meira bekerja di sini. Aku yang pilih dia dan aku pula yang akan memberinya gaji. Jadi, kamu tak perlu ikut campur soal anakku." Suara bariton itu tiba-tiba terdengar dari arah pintu. Ketiga orang yang berada di ruang keluarga itu menoleh bersamaan ke sumber suara. Vonny terkejut seketika. Begitupula dengan Meira. "Mas Raka?" pekik Vonny saat menatap laki-laki yang muncul dari pintu utama itu. "Kenapa? Kaget?" tanyanya santai. "Raka ... adikmu baru pulang. Jangan bikin keributan lagi, papa pusing lihat kalian nggak pernah akur." Wicaksono berusaha melerai. Dia tak ingin kedua anaknya kembali berdebat seperti biasanya. "Aku nggak pernah cari ribut. Dia yang mulai bikin masalah." "Papa ...." Vonny kembali merajuk sembari bergelayut manja di lengan papanya. "Naik ke kamar Dee," perintah Raka pada Meira yang masih mematung di tempatnya. Tak membantah, Meira gegas ke lantai atas sembari menggendong Dee. Meira sangat berharap jika majikannya tetap membiarkan dia bekerja seba
"Mas ...." Vonny kembali merajuk. Dia mengalihkan pandangan pada Meira yang mendadak menunduk, sengaja tak menatap Vonny yang penuh kekesalan.Raka membuka pintu kamar lebar dan mempersilakan adiknya keluar. Sejak awal Vonny tinggal di rumah itu, Raka memang tak menyukai kehadirannya. Bukan karena dia anak dari istri kedua papanya, tapi sikapnya yang manja, kekanak-kanakan dan sengaja membuat mama sakit kepala itulah yang membuat Raka begitu kesal. Apalagi saat papa selalu membela dan menuruti semua permintaannya, tak hanya Raka, tapi Keanu adiknya pun memiliki perasaan yang sama. Kesal. "Aku adukan sama papa ya, Mas." "Silakan!" sentak Raka tak peduli saat Vonny menghentakkan kakinya sebelum pergi. Meira masih sibuk membereskan mainan Dee saat kakak beradik itu berdebat di ambang pintu. Dia tak ingin sengaja menguping meski obrolan mereka terdengar jelas di telinga. Meira lebih memilih pura-pura tak mendengar dan sibuk dengan pekerjaannya sendiri. "Jangan senang dulu karena aku m