[Aku ke rumah ibu sekarang, Din. Kamu tak perlu risau, oke? Kalau sudah sampai sana, nanti aku kabari]Sedikit gemetar, Meira membalas pesan Dina dan berusaha menenangkannya. Setidaknya agar Dina tak terlalu mengkhawatirkan ibunya sebab dia masih bekerja. Setelah menerima balasan dari Dina, Meira gegas ke kamar. Dia ingin pamit pada Aldo yang masih rebahan di tempat tidur karena memang masih cukup pagi. "Aldo, kamu di kamar dulu ya, Nak. Bunda ada urusan sebentar ke luar. Kalau sudah selesai, bunda lekas ke sini lagi. Jangan bikin gaduh ya, Nak. Nggak enak sama ibu dan bapak yang sudah mempekerjakan bunda di sini." Meira mengusap punggung anaknya pelan. "Bunda mau kemana?" tanya Aldo yang masih di depan jendela kamarnya. "Ke rumah Tante Dina sebentar. Barusan tante kirim pesan minta bunda ke sana sekarang. Makanya bunda buru-buru. Pokoknya kalau urusan sudah selesai, bunda langsung pulang ya?" Meira tersenyum meski dalam hatinya berdegup kencang, takut jika Baim berbuat macam-maca
"Assalamualaikum. Kamu nggak perlu mencariku ke sana sini, Mas. Aku sudah datang," ujar Meira dengan nada tegas. Dia tak ingin terlihat lemah di mata Baim yang kini sudah sangat berbeda di matanya. Baim yang dulu dia kenal seolah menghilang dan menjadi sosok lain yang tak dikenalnya. "Wa'alaikumsalam, Mei. Kamu datang?" Suara Lasmi sedikit gemetar. Wanita paruh baya itu beranjak dari kursi ruang tamu lalu memeluk Meira yang masih berdiri di ambang pintu. Dia merasa tak enak hati melihat wajah Lasmi yang cukup pucat dan ketakutan. Meira yakin jika pesan yang dikirimkan Dina tadi ada benarnya. Baim memang mengancam Lasmi agar membocorkan keberadaan Meira dan Aldo. Meira yakin itu. "Ibu maafkan saya." Meira berkaca-kaca melihat ekspresi Lasmi yang tak baik-baik saja di matanya. "Nggak apa-apa, Nduk. Selesaikan masalah kalian berdua. Jangan saling sembunyi. Memang sebaiknya begini supaya lebih jelas dan lega. Ibu ke dalam sebelntar mau buat teh ya? Selesaikan baik-baik karena kalian s
"Mei ... siapa dia?!" Baim menoleh pada Meira yang masih tak percaya jika laki-laki itu menyusulnya sampai rumah Lasmi. "Dia majikanku. Kenapa? Mau menuduhku macam-macam, Mas? Jaga bicaramu, aku nggak mau malu di depannya!" balas Meira pelan, tapi penuh penekanan. "Majikan?" Baim membulatkan kedua matanya. "Sudahlah. Kita sudah bercerai dan kamu nggak perlu mencampuri hidupku lagi, Mas. Silakan urus perceraian kita di pengadilan. Tanpa kehadiranku, bukannya semua lebih cepat diselesaikan?" Meira kembali menoleh. Dia menatap Baim beberapa saat yang masih ternganga seolah tak percaya apa yang Meira ucapkan. "Kamu lebih memilih dia dibandingkan-- "Dee menangis dan kamu malah asyik berduaan di sini, Meira?" Pertanyaan laki-laki yang bersama Ujang itu menghentikan ucapan Baim. "Ma-- maaf, Pak. Tadi saya sudah izin sama ibu." "Kamu lupa ucapan saya kemarin kalau-- "Saya masih ingat kok, Pak. Saya pamit Bu Lasmi sebentar." Meira buru-buru ke belakang untuk menemui Lasmi yang masih t
"Mas! Apa dia bisa membuktikan kalau dia tak berselingkuh? Apa kalian benar-benar mau rujuk?" Sedikit gugup Vonny mulai mengorek kehidupan Baim. Dia sangat berharap jika kata rujuk tak ada dalam kamus lelaki yang dicintainya kini. "Nggak ada bukti. Dia hanya bilang nggak pernah berselingkuh." "Orang yang berselingkuh memang selalu memiliki alibi macam-macam, Mas. Kalau kamu percaya dan memaafkannya lagi dan lagi. Bisa jadi kamu akan kecewa kesekian kalinya karena selingkuh nggak akan sembuh. Itu penyakit yang bisa kambuh kapan saja. Percaya sama aku deh." Vonny kembali mengompori, sementara Baim tak membalas. Dia hanya terdiam mendengarkan Vonny yang kembali bicara ini dan itu, persis apa yang disampaikan ibu dan kedua saudara perempuannya. "Jangan-jangan sekarang dia sudah punya gebetan baru. Masa iya dia berani pergi begitu saja dari Jogja kalau nggak ada backingan sih?!" tuduh Vonny lagi, membuat pikiran Baim semakin tak menentu. Laki-laki itu menghela napas kembali lalu memij
"Itu mantan suamimu?" tanya Raka masih begitu kesal karena nyeri di sudut bibirnya. "Iy-- iya, Pak," balas Meira begitu gugup dan takut. Dia hanya terdiam di kursi belakang dan tak berani mendongak sedikitpun pada majikannya yang masih berusaha menahan amarah. "Temperamental." Hanya kata itu yang terucap dari bibir Raka setelah tahu siapa lelaki yang menonjoknya tadi. "Maafkan saya ya, Pak." Meira sedikit gemetar saat mendengar suara majikannya yang penuh amarah. "Seharusnya dia yang minta maaf, bukan kamu." "Maaf gara-gara mencari saya bapak sampai seperti ini. Sekali lagi maaf," ujar Meira dengan gugupnya. Raka tak membalas. Dia kembali seperti semula dengan mode kakunya. Sampai rumah dengan dua lantai itu, tak adalagi percakapan di antara mereka. Ujang pun tak berani ikut berkomentar. Setelah turun dari mobil, Ujang hanya mengucap satu kata untuk Meira. Sabar. Meira tersenyum tipis lalu mengangguk pelan saat berpisah dengan Ujang di halaman. Dia kembali ke taman samping, sem
"Kamu memar, Raka. Diobati dulu." Lagi-lagi ucapan Sundari teringat kembali. Vonnya berdecak kesal saat mengingatnya. 'Mas Baim pasti cemburu melihat mantan istrinya disusul lelaki lain, makanya mereka terlibat baku hantam. Dasar genit! Sudah diceraikan pun masih banyak tingkah. Gara-gara dia juga Mas Raka celaka. Tak hanya itu saja. Mas Baim sampai bad mood pagi-pagi dan menolak permintaanku untuk datang ke sini pasti juga karena ribut sama dia. Sok kecakepan! Sudah jadi mantan masih saja bikin masalah. Nggak bisa move on!' omel Vonny lagi. Dia membanting kembali benda pipih kecil itu ke atas ranjang dengan kasar bahkan nyaris terjatuh ke lantai. 'Lihat saja nanti, aku pasti akan membuat perhitungan sama perempuan ganjen seperti dia. Aku nggak akan tinggal diam begitu saja. Apalagi kalau sampai tak bisa mendapatkan Mas Baim, kupastikan dia dan anaknya tak akan pernah bahagia!' ancam Vonny dalam hati lalu menutup pintu kamarnya dan melangkah tergesa menuruni tangga. Sebelum Vonny k
"Papa!" teriak Vonny begitu manja saat papanya datang dengan merentangkan kedua tangannya. Vonny adalah anak perempuan satu-satunya Wicaksono Abdullah, pengusaha properti yang cukup populer di kota gudeg itu. Vonny anak semata wayangnya dengan Susi yang telah tiada lima tahun lalu. Sementara dengan Sundari memiliki dua anak lelaki bernama Raka dan Keanu. Sebagai anak bungsu dan perempuan satu-satunya, Vonny cukup dimanja bahkan nyaris semua permintaannya dituruti papanya. Wicaksono beralasan tak ingin membuat Vonny bersedih karena kehilangan maminya, oleh karena itulah dia semakin memanjakan anak perempuannya itu. Meski berulang kali Sundari meminta Wicaksono agar tak terlalu memanjakan Vonny, nyatanya laki-laki itu tak menggubris. Dia tetap saja luluh tiap kali Vonny meminta sesuatu padanya. Mungkin memang benar jika ayah adalah cinta pertama anak perempuannya. Wicaksono tak ingin Vonny kekurangan kasih sayang apalagi setelah maminya tiada. "Sudah lama menunggu?" tanya laki-laki
"Itu babysitter Dee kan?" tunjuk Wicaksono saat melihat Meira melangkah perlahan menaiki tangga sambil menggendong anak asuhnya. "Iya, Pa. Itu babysitter Dee. Dia itu janda beranak satu. Papa tahu nggak, kalau anaknya juga tinggal di sini dan dia kerja sambil momong anaknya itu?" Vonny sengaja memperkeras suaranya agar terdengar jelas oleh Meira yang baru menaiki beberapa anak tangga menuju lantai dua. Meira menghentikan langkah sejenak. Dia ingin mendengar hasutan seperti apa yang akan dilontarkan Vonny pada papanya. "Maksudnya gimana, Sayang? Papa nggak paham." Wicaksono kembali menoleh ke arah Meira lalu menatap lekat anak perempuannya. "Iya, Papa. Meira itu memang jagain Dee, tapi dia juga jagain anaknya yang baru kelas tiga sekolah dasar itu. Anaknya bandel banget pula. Tadi aja mecahin piring. Aku takut kalau Dee kenapa-kenapa, apalagi kena pecahan kaca. Duh, ngeri tahu, Pa." Vonny menyeruput jus alpukat yang dihidangkan Sumi di meja lalu mulai menikmati spaghettinya. "Kok
"Berhari-hari nggak pulang, apa harus seperti ini sikapmu sama istri sendiri?!" sentak Rena lagi sembari membuka pintu utama dengan kasar lalu membantingnya. Ken yang akan beranjak dari tepi ranjang pun mengurungkan niatnya. Hanum menarik lengan suaminya agar duduk kembali. Mereka sepakat untuk tak ikut mencampuri urusan rumah tangga Rena dan Azziz. Membiarkan mereka menyelesaikan masalahnya sendiri. Kecuali jika ada kekerasan, barulah mereka akan turun tangan. "Istri? Kamu masih begitu luwes menyebut diri sendiri sebagai istri, Ren? Setelah apa yang kamu lakukan selama ini, hah?!" sentak Azziz dengan mata memerah. "Apa seperti itu sikap seorang istri yang wajib dinafkahi, diberikan kasih sayang, cinta dan diperjuangkan hidupnya? Kamu nggak buta dan nggak tuli kan? Namamu sudah buruk di mata banyak orang setelah video itu viral, Rena. Sadar!" bentak Azziz lagi sembari memukul meja ruang tengah. Beberapa barang di atas meja itu berhamburan ke lantai. Di dalam kamar, Hanum mengucap
"Sayang, aku punya sesuatu," ujar Ken saat masuk ke kamarnya. Hanum sudah ada di kamar sejak satu jam sebelumnya. Dia tengah menikmati senja di kamar sembari membaca novel online favoritnya. "Punya apa, Mas?" tanya Hanum saat menoleh ke arah pintu. Ken tersenyum lalu menyerahkan benda kecil ke tangan Hanum. "Apa ini, Mas?" tanya Hanum lagi sembari membolak-balik benda kecil itu. Ken duduk di tepi ranjang sembari menatap lekat istrinya yang terlihat penasaran dengan benda di tangannya. "Perekam suara ya, Mas?" tebaknya kemudian. Ken tersenyum lalu mengangguk. "Benar, Sayang. Itu alat perekam suara," balas laki-laki itu yakin. Hanum manggut-manggut lalu menatap suaminya. "Apa ada rekaman suaranya di dalam?" Lagi-lagi Ken mengangguk. "Suara siapa, Mas?" tanya Hanum lagi. Ken mengambil kembali alat perekam mini itu lalu menyambungkannya dengan USB di laptop. Hanum mendengarkan isi percakapan yang terekam di sana. "Suara Mbak Rena?" lirihnya seolah bertanya pada diri sendiri. Ken
Dua hari setelah penyelidikan diam-diam Hanum dan Ken di butik Clarissa, Ken duduk di warung kopi kecil dengan Bara. Pria berkacamata itu tampak serius sambil mengeluarkan benda kecil seukuran kancing dari tasnya."Ini alat perekam suara. Ukurannya kecil banget, bisa kamu selipin di tas, mobil atau kantong celana mereka. Baterainya tahan tiga hari, dan otomatis nyimpan suara kalau ada pembicaraan di radius 3 meter," ujar Bara menjelaskan. Ken mengangguk."Pas banget. Kita cuma butuh satu rekaman jelas buat Hanum tahu pasti niat buruk mereka berdua. Hanum masih nggak percaya kalau kakak tirinya bisa sejahat itu, sampai sekongkol dengan perempuan yang ingin menghancurkan rumah tangga kami." Ken menghela napas. "Soal foto-foto di hotel gimana, Bro? Kamu nggak langsung seret Rissa ke penjara?" tanya Bara sembari menatap Ken serius. "Sebenarnya aku masih kasih dia kesempatan untuk berubah, Bar. Aku masih lihat kebaikan mamanya selama ini dan hubungan kekerabatan kami. Tapi kalau dia maki
Malam itu, Hanum duduk di ruang tengah sambil menatap layar ponsel. Ken duduk di sebelahnya sembari menyeruput teh hangat buatan istrinya. Potongan bolu terhidang di piring kecil sebagai pendamping. "Mbak Rena bilang mau ke butik bareng Clarissa, Mas. Tapi butik mana?" Hanum bergumam sambil membuka media sosial milik saudara tirinya itu. "Mbak Rena itu orangnya narsis. Biasanya dia update story tiap lima menit. Meski perempuan di sampingnya sengaja diblur, tapi Hanum yakin itu Rissa." Hanum kembali berujar lirih. Ken ikut melongok."Apa ada yang aneh, Sayang?" tanya Ken sembari menikmati sepotong bolu. Hanum menggulir layar ponselnya."Lihat deh, Mas. Tiga puluh menit lalu, Mbak Rena upload video di mobil bareng Clarissa. Meski wajahnya diblur, Hanum yakin itu style Rissa. Captionnya itu makin membuat Hanum bertanya-tanya," ujar Hanum lagi. "Memangnya dia bikin caption apa, Sayang?" Lagi-lagi Ken terlihat cukup tenang dan tak sepanik Hanum."Dia bilang persiapan untuk kejutan spesi
"Sayang, kamu siap?" Ken berseru dari ruang tamu sambil merapikan kerah kemejanya. Rambutnya disisir rapi ke samping, dan aroma parfumnya menyusup masuk ke kamar.Hanum keluar dari kamar sambil tersenyum, membawa tas tangan kecil warna krem yang matching dengan gamis biru lembut yang dikenakannya."Siap! Kamu ganteng banget hari ini, Mas," godanya sambil menyentuh dagu Ken pelan. Ken nyengir. "Harus dong. Istri aku cantik, masa suaminya nggak pantes disandingin. Memangnya cuma hari ini aja gantengnya? Hari biasanya buruk rupa ya?" balas Ken sembari menjawil balik dagu istrinya. Hanum tertawa kecil dan mereka pun keluar rumah menuju mobil Ken yang terparkir di halaman. Rencananya mereka ingin jalan-jalan sekalian belanja di mall. Angin siang ini menampar wajah mereka, tapi suasana hati keduanya hangat. Keduanya masuk ke mobil dan memasang seat belt masing-masing. Perjalanan ke mall tak membutuhkan waktu lama. Sekitar setengah jam mereka sudah sampai mall yang dituju. Di mall, mereka
"Ya Allah, Rena! Ternyata semua gosip yang beredar itu benar!" pekik seseorang diantara kerumunan pengunjung. Ren amendelik saat tahu siapa yang berteriak dan kini jatuh pingsan di depan matanya itu. "Ibu! Ngapain ibu ke sini?!" teriaknya sembari berhamburan ke arah ibunya yang limbung. Azziz yang kini berdiri di sampingnya menatap tajam. Rahangnya mengeras. Dia benar-benar emosi melihat sepak terjang istrinya. Seolah tak ada kesempatan lagi, Azziz sudah muak dan tak ingin berkompromi lagi. Dia menyerah, apalagi saat tekad kuatnya untuk melunasi hutang demi membahagiakan istri justru dibalas dengan pengkhianatan demi pengkhianatan seperti ini. Harga dirinya sebagai suami dan kepala rumah tangga seakan mati. Azziz benar-benar melambaikan tangan ke kamera. Dia menyerah di pernikahannya yang menginjak di bulan ke enam. "Mau dibawa kemana, Mas?!" tukas Rena saat melihat Azziz membopong ibu mertuanya. "Minggir kamu! Urus saja bahagiamu sendiri! Puas-puasin sebelum kamu menyesal di kem
"Papa! Gila, ini selingkuhan papa?!" sentak perempuan bernama Tamara itu sembari menunjuk wajah Rena yang kini mulai memerah. Beberapa pengunjung mall mulai merekam keributan itu dengan handphone masing-masing. Rena benar-benar benci hal ini. Nyaris tiga bulan berhubungan dengan Pramono, tak pernah terbesit sedikit pun di benaknya akan mengalami hal memalukan seperti ini. "Papa benar-benar kelewatan. Lihat usianya, Pa! Seumuran aku!" oceh Tamara lagi. Dia menggeleng-geleng tak percaya. "Tamara ... dengerin papa dulu," ujar Pramono sembari menenangkan putri bungsunya. Pramono memiliki dua orang putri bernama Salsa dan Tamara. Saat ini istrinya terbaring di rumah karena stroke yang dideritanya selama setahun belakangan. "Dengerin apalagi, Pa? Papa mau beralasan apa? Jelas-jelas papa begitu mesra dengan perempuan jalang itu!" sentak Tamara lagi. "Tutup mulutmu!" tukas Rena menepis telunjuk Tamara yang tepat di depan wajahnya. "Heh! Tutup mulutku apa?! Jelas-jelas Lo cuma manfaati
Rena melirik jam tangannya yang berkilau di bawah cahaya lampu cafe. Dia duduk manis di pojokan, memainkan sedotan dalam segelas mocktail warna pink sambil sesekali membetulkan rambutnya."Maaf lama, Ren. Tadi agak macet." Suara berat dan dewasa terdengar dari belakang. Pramono, pria paruh baya dengan jas abu-abu yang necis, menyapa dengan senyum genit. Seperti biasa, mereka pun cipika-cipiki tiap kali bertemu. "Kamu telat dua puluh menit, Om. Aku sampai jamuran nunggu di sini." Rena merajuk, bibirnya manyun manja."Maaf dong, jalanan macet. Tapi lihat deh ... masa Om telat masih disambut sama wajah secantik ini?" Pram mencubit dagu Rena lembut. Rena hanya tertawa kecil.Mereka menikmati hidangan sambil sesekali beradu pandang. Beberapa pasang mata mulai melirik ke arah mereka. Usia mereka terlalu jauh dan kemesraan itu terasa janggal. Meski tak ada yang menegur dan seolah tak peduli, tapi tetap saja pandangan aneh dan tak biasa terlihat. Namun, Rena cuek saja. Dia tak peduli dengan
"Sayang, bubur kacang hijaunya dihabisin ya? Biar kamu nggak mual-mual lagi." Ken menyiapkan bubur di mangkok untuk istrinya. "Iya, Mas. Temani makan ya?" balas Hanum dengan senyum tipis. Hanum berusaha tetap tenang, meski beberapa menit lalu hatinya bergemuruh kesal, emosi dan muak. Beragam pesan yang dikirimkan oleh Clarissa benar-benar membuat moodnya nggak karuan. Namun, di depan Ken dia berusaha untuk tetap tersenyum seolah tak terjadi apa-apa. "Sini, duduk!" pinta Ken sembari menarik kursi di sampingnya. Hanum mendekat lalu duduk di samping suaminya. "Habiskan selagi masih hangat." Lagi-lagi Hanum mengangguk. "Kamu juga ikut makan, Mas. Ayo." Hanum membuka sebungkus bubur lalu menyiapkannya untuk Ken. "Tadinya mau barengan aja sekalian nyuapin kamu, Sayang." "Barengan juga boleh. Sini Hanum yang nyuapin." Sepasang suami istri itu saling melempar senyum. Hanum menyuapi Ken dengan semangkok buburnya, sementara Ken menyuapi Hanum dengan bubur miliknya. Setelah bubur habis,