"Jadi, kita tinggal di rumah besar itu ya, Bun?" Aldo menata buku dan peralatan sekolahnya ke dalam tas. Sebelum Dina berangkat ke Solo, aku memang meminta dia untuk mengantar ke toko buku untuk membeli kebutuhan sekolah Aldo. "Iya, Sayang. Bunda bekerja di sana sebagai pengasuh adik bayi. Jadi, Aldo jangan bikin onar saat bunda kerja ya? Tetap di kamar saja sampai bunda datang. Aldo bisa kan bantu bunda?" Aldo berpikir sejenak lalu tersenyum lebar. "Bisa dong, Bun. Bunda nggak usah khawatir, Aldo bisa jaga diri di sana saat bunda kerja. Semangat ya, Bun!" Aldo kembali tersenyum lalu memeluk erat sang bunda yang mulai berkaca. Batin Meira terasa perih melihat senyum anak semata wayangnya. Senyum yang mungkin sengaja dia perlihatkan demi menenangkan hati bundanya. Meira kembali disesaki rasa bersalah karena belum bisa membahagiakan anak lelakinya. Menciptakan senyum hambar dan kecemasan di wajah tampannya yang sengaja dibalut dengan senyum lebar. Meira tahu jika sebenarnya Aldo mas
Meira kembaliengucap Hamdallah karena Allah cepat memberikan jalan keluar untuknya. Detik ini dia dan Aldo sudah sampai di rumah mewah dengan dua lantai itu kembali. Supir Sundari yang bernama Joko itu memarkirkan mobil di tempat semula lalu meminta Meira dan Aldo ke ruang keluarga. Sundari sudah menunggu di sana, katanya. Seperti sebelumnya, Meira memilih lewat pintu samping dan tak berani melewati pintu utama. Aldo berjalan perlahan sembari menggenggam tangan bundanya. Keduanya beriringan menuju ruang keluarga seperti yang diperintahkan Joko tadi. Dia bilang, Sundari sudah menunggu Meira di sana. "Sore, Bu." Dengan sopan Meira mengapa Sundari yang baru saja mematikan handphonenya. Wanita paruh baya itu menoleh pada Aldo beberapa saat. Senyum tipis terlukis di kedua sudut bibirnya saat menatap Aldo yang masih menunduk di samping sang bunda. "Mei, kamar kamu dan Aldo sudah siap. Ranselnya taruh di kamar dulu saja. Setelah itu makan ya? Bi Sumi masih di kamar, beliau yang akan anta
"Soalnya kenapa, Bi?" tanya Meira sedikit cemas. Dia takut jika kehadiran anaknya akan memperkeruh suasana di tempatnya bekerja. Jika memang itu terjadi, Meira memilih pindah kerja karena nggak mungkin meninggalkan Aldo sendirian di kontrakan. Meira akan mengambil pekerjaan yang bisa pulang tiap sore agar bisa menemani Aldo di kontrakan."Nggak apa-apa sih, Mei. Cuma takutnya bapak sama Den Raka bertanya-tanya kenapa kerja sambil bawa anak gitu. Soalnya Den Raka itu susah-susah gampang orangnya. Pendiam dan dingin." Penjelasan Sumi membuat Meira sedikit banyak mengerti bagaimana karakter penghuni rumah itu. "Iya, Bi. Saya akan di kamar saja. Lagipula sudah ada tivi di sini. Jadi, bisa nonton tivi saja sambil menunggu bunda selesai bekerja." Kedua mata Meira kembali berkaca saat mendengar jawaban Aldo yang terdengar begitu peka dan dewasa. Lagi-lagi Meira minta maaf dalam hati karena harus melibatkan Aldo sejauh itu. Dia yang secara tak langsung memaksa buah hatinya untuk berpikir d
'Aku harus menyusul Meira ke Jogja. Dia belum pernah kerja apalagi ke luar kota. Mengurus dirinya sendiri saja belum bisa, apalagi mengurus Aldo segala.' Baim menggumam sembari menyiapkan kopernya. Beberapa baju dia siapkan untuk jaga-jaga bila menginap lebih lama. Dia juga sudah mengajukan cuti tiga hari untuk mencari keberadaan istri dan anaknya itu. "Mau kemana, Im?" Soraya sedikit bingung melihat anak lelakinya keluar kamar dengan kopernya. "Cari Meira sama Aldo, Bu. Pikiranku kacau gara-gara masalah ini." Baim menjatuhkan bobotnya di sofa lalu menyugar rambutnya sedikit kasar. "Kamu mau cari istrimu yang selingkuh itu?!" Soraya shock lalu buru-buru duduk di samping anak lelakinya. "Aku bingung, Bu. Kasihan Aldo kalau sampai dia kelaparan dan nggak punya tempat tinggal di luar sana.""Bukannya kamu bilang dia pergi ke Jogja? Siapa tahu di sana ada teman lelakinya yang ngasih tempat tinggal atau biaya hidup. Sudahlah, Im. Jangan pikirin Meira terus, nanti dia bakal ngelunjak. F
[Mas, kamu ke Jogja buat cari mantan istri dan anakmu? Kenapa nggak ajak aku, bisa sekalian kukenakan sama orang tuaku di sana. Aku susul ke Jogja ya, Mas? Aku telepon Om Adrian dulu mau izin tiga hari. Nanti kita ketemu di rumah ya?] Pesan dari Vonny membuat Baim kembali pening. Dia pasti sudah bertemu dengan ibu dan mendengarkan ceritanya soal kepergian Baim kali ini. Dia sengaja tak memberitahu pada Vonny karena merasa tak penting juga dia tahu. Baim tak ingin ada orang lain mencampuri masalahnya. [Nggak usah, Von. Aku cukup sibuk dan nggak lama di Jogja. Kita bisa ketemu di Jakarta saja] Baim menolak tegas. Dia tak ingin berkenalan dengan orang tua Vonny karena tak ingin memberikan harapan apapun pada perempuan itu. Vonny memang cantik, tapi bagi Baim, Meira tetap yang tercantik di hatinya. Dia belum bisa tenang sebelum memperjelas kekisruhan rumah tangganya. [Kok gitu sih, Mas. Aku cuma kenalin kamu sama papa mama sebagai teman kantor kok. Nggak lebih. Mau ya?] Baim hanya me
"Nanti bunda mau cari sekolah yang nggak terlalu jauh dari sini buat kamu ya, Sayang. Kamu harus cepat sekolah supaya nggak ketinggalan pelajaran." Meira mengusap puncak kepala Aldo yang masih tiduran di kasur. "Iya, Bun. Kangen juga sama suasana sekolah." Meira mengangguk pelan lalu mencium kening buah hatinya itu. "Kalau Aldo mau makan, bunda sudah ambilkan nasi sama lauknya di meja. Misal bosen di kamar, boleh keluar kok. Main di taman atau lihat ikan koi. Yang penting jangan pegang-pegang barang di rumah ini, takutnya jatuh atau rusak. Aldo mengerti kan?" Anak lelaki itu kembali mengangguk lalu tersenyum tipis. Jarum jam menunjuk angka enam, setelah selesai mencuci baju Dee, Meira memasak sayur sop dan membuat perkedel kentang untuk anak asuhnya. Dia masih sibuk di dapur saat terdengar langkah kaki dari area tangga. "Kamu asisten baru?" Pertanyaan itu mengalihkan kesibukan Meira. Kedua mata Meira dan laki-laki itu saling bertemu beberapa saat lalu saling mengalihkan pandangan.
[Aku ke rumah ibu sekarang, Din. Kamu tak perlu risau, oke? Kalau sudah sampai sana, nanti aku kabari]Sedikit gemetar, Meira membalas pesan Dina dan berusaha menenangkannya. Setidaknya agar Dina tak terlalu mengkhawatirkan ibunya sebab dia masih bekerja. Setelah menerima balasan dari Dina, Meira gegas ke kamar. Dia ingin pamit pada Aldo yang masih rebahan di tempat tidur karena memang masih cukup pagi. "Aldo, kamu di kamar dulu ya, Nak. Bunda ada urusan sebentar ke luar. Kalau sudah selesai, bunda lekas ke sini lagi. Jangan bikin gaduh ya, Nak. Nggak enak sama ibu dan bapak yang sudah mempekerjakan bunda di sini." Meira mengusap punggung anaknya pelan. "Bunda mau kemana?" tanya Aldo yang masih di depan jendela kamarnya. "Ke rumah Tante Dina sebentar. Barusan tante kirim pesan minta bunda ke sana sekarang. Makanya bunda buru-buru. Pokoknya kalau urusan sudah selesai, bunda langsung pulang ya?" Meira tersenyum meski dalam hatinya berdegup kencang, takut jika Baim berbuat macam-maca
"Assalamualaikum. Kamu nggak perlu mencariku ke sana sini, Mas. Aku sudah datang," ujar Meira dengan nada tegas. Dia tak ingin terlihat lemah di mata Baim yang kini sudah sangat berbeda di matanya. Baim yang dulu dia kenal seolah menghilang dan menjadi sosok lain yang tak dikenalnya. "Wa'alaikumsalam, Mei. Kamu datang?" Suara Lasmi sedikit gemetar. Wanita paruh baya itu beranjak dari kursi ruang tamu lalu memeluk Meira yang masih berdiri di ambang pintu. Dia merasa tak enak hati melihat wajah Lasmi yang cukup pucat dan ketakutan. Meira yakin jika pesan yang dikirimkan Dina tadi ada benarnya. Baim memang mengancam Lasmi agar membocorkan keberadaan Meira dan Aldo. Meira yakin itu. "Ibu maafkan saya." Meira berkaca-kaca melihat ekspresi Lasmi yang tak baik-baik saja di matanya. "Nggak apa-apa, Nduk. Selesaikan masalah kalian berdua. Jangan saling sembunyi. Memang sebaiknya begini supaya lebih jelas dan lega. Ibu ke dalam sebelntar mau buat teh ya? Selesaikan baik-baik karena kalian s