Sultan memegang bahunya karena sakit luar biasa digigit oleh Naima. Wanita yang baru menjadi istrinya selama tiga hari itu sepertinya terkena pengaruh Sin dan San yang sangat kuat. Hampir berdarah, jelas sekali. Apakah penjinak bom itu marah? Tentu tidak. Ia takut diterkam lagi oleh serigala betina yang sedang kelaparan. Salahnya juga menceramahi orang yang baru bangun. “Ayolah, kita pergi cari makan di luar,” ucap Sultan selesai keluar dari kamar mandi. Sakit itu hanya ia tahan saja. Naima menuliskan pesan pada suaminya agar sekalian membeli setidaknya dua helai baju. Pakaian mereka hanya itu saja yang dicuci kering pakai, terutama pakaian dalam. Sultan hanya mengangguk saja. Ia tahu satu toko besar yang menjual kebutuhan barang harian dan buka 24 jam kemudian tutup hanya ketika masuk waktu sholat saja. Agak jauh, tetapi masih bisa untuk berjalan kaki. Sultan meraih tangan Naima, wanita itu menarik napas sebentar, dan akhirnya ia mulai terbiasa untuk berjalan bersama. Ya, mau bagaim
Sultan memaksa Naima untuk naik ke lantai dua masjid ketika masuk waktu Shubuh. Meski sedang berhalangan, masih bisa duduk-duduk di dalam sembari mendengar ceramah yang diberikan oleh seorang mubhalig nanti. Nyaris mengantuk Naima mendengar perkataan seorang lelaki yang sudah cukup udzhur dimakan waktu. Namun, demi menghargai perempuan lain di sekelilingnya ia pun menahan matanya dari terpejam, pun istri Sultan jadi lebih sering tersenyum ketika disapa dan tak cemberut serta ketus lagi seperti dulu.Usai ceramah, rombongan orang yang sholat berjamaah itu tak langsung pulang. Yang laki-laki ada di pelataran. Mereka senam bersama untuk menghangatkan tubuh di musim dingin. Sedangkan yang perempuan masih di lantai dua, mereka memilih bercerita satu sama lain. Para pedagang juga mulai menggelar dagangannya. Menjelang sholat jum’at banyak orang berjualan di sekitar masjid karena jamaah lebih banyak datang dari segala penjuru arah. “Suamiku itu romantis sekali. Belum sempat aku memberinya
Naima turun dari mobil dengan terburu-buru. Hal pertama yang ia lakukan yaitu memeluk Sin dan San. Baru beberapa hari tak berjumpa saja ia sudah sangat rindu. Reihan memperhatikan wanita idamannya dari jauh. Tak bisa ia miliki padahal ia merasa jauh lebih pantas dari Sultan yang kini dinyatakan gangguan pendengaran. Ia tak terima, ada rasa dengki yang bercokol dalam hatinya. “Kalian kelihatan kurus.” Naima merobek makanan kucing yang ia beli sangat banyak dan berikan pada dua serigala itu. Suaminya memperhatikan sembari mengemas barang belanjaan.“Kau lebih sayang dengan serigalamu daripada aku, ya,” ucap Sultan sembari membawa banyak tas belanja di tangannya. “Aku dengan mereka sudah bertahun-tahun, sedangkan denganmu baru empat, eh, tiga hari,” jawab Naima santai saja tanpa perasaan. Sultan mendengkus, walau ia tak terlalu dengar apa kata istrinya. Ia yakin wanita itu pasti ada saja alasan untuk membela diri. Naima yang sadar dengan perubahan raut wajah penjinak bom itu lantas mem
Bagian 123 Skin to Skin Naima menghangatkan diri di depan api tungku. Sultan baru saja keluar dari kamar mandi. Wanita berambut kemerahan itu diam saja dari tadi. Tak mungkin ia langsung katakan bahwa dirinya sudah bersih dan tadaa, ia langsung diterkam oleh Sultan. Naima menghela napas panjang. Namun, sebentar lagi Shubuh masuk. Ia tak boleh melewatkan sholat, dan ia seperti menghitung detik demi detik dirinya dikoyak serigala kelaparan. “Naima.” Sultan menepuk bahu istrinya dari belakang. Wanita itu melipat bibirnya. Ketakutan? Jelas sekali, hanya saja sebab apa?“A-a-apa,” jawab wanita itu terbata-bata. “Aku ke masjid dulu, 15 menit lagi Shubuh masuk. Assalammualaikum.” Sultan mengecup kepala istrinya yang ditutupi topi rajutan tebal. “Wa’alaikumussalam.” Wanita itu langsung merebahkan diri di lantai kayu yang hangat. Baru dicium kepala saja ia sudah lemas apalagi kalau … ahahahaha. “Tidak. Tidak, aku harus rebus air, mandi dan cepat-cepat sholat. Dia belum boleh tahu kalau a
Naima duduk diam di kursi dapur. Usai peristiwa pertama tadi malam ia lebih banyak melamun. Entah mengapa ia pun tak paham. Rasa di dalam hati masih penasaran tetapi untuk meminta lagi ia tak punya muka, padahal dengan suami sendiri. Mungkin karena masih hitungan hari menikah dengan Sultan. Jadilah ia tak menggubris panggilan Sultan dan akhirnya semangkuk sup yang baru matang itu diantarkan ke hadapannya. Ya, sebagai rasa terima kasih karena tak menolak ajakannya tadi malam suaminya membuatkan makanan yang bisa mengembalikan kesegaran tubuh Naima, dan makanan itu berupa ….“Sup daging lagi. Ya Allah, padahal aku harus menjaga tekanan darahku agar tak tinggi terus.” Naima mengaduk satu mangkuk kentang wortel dan potongan daging kambing. “Tak boleh menolak rezeki, dosa. Makan sajalah.” Wanita berambut kemerahan itu mulai menyendok sup ke dalam mulutnya.Pikirannya masih berkelana ke sana kemari. Antara malu-malu dan mau. Iya, seperti itulah dia tadi malam. Bersemu kemerahan pipi Naima m
Naima dan Sultan berada di belakang rumah, sepasang suami istri yang sama-sama telah memutuskan untuk melupakan masa lalu, dan melangkah untuk masa depan yang lebih baik itu sedang mencari kayu bakar yang ada. Desa itu memang sangat jauh dari kota, jangankan mesih penghangat ruangan, signal saja terkadang ada atau tidak. Hingga akhirnya Sultan memutuskan untuk memasang telepon rumah saja seperti yang lain. Sebab akan sangat kesulitan jika ingin menghubungi kakak iparnya di kota. Meski ia tak mendengar dering telepon, setidaknya ada Naima yang akan sabar menuliskan ulang pesan di atas kertas.Wanita berambut merah itu menggunakan sarung tangan yang lebih tebal. Ia pun ikut turun tangan membelah kayu menjadi lebih kecil-kecil. Bahkan potongan kayunya jauh lebih rapi daripada Sultan. Maklum saja ia anak seorang petani dulunya. Kemampuan dasar untuk bertahan hidup di segala musim masih sangat melekat di diri Naima. Termasuk pula cara menaklukkan serigala, sering wanita itu lihat pada pend
Sepasang suami istri tersebut kembali pergi ke Syam. Sudah hampir setengah hari berjalan, dari selepas Shubuh sampai Adzan Isya berkumandang baru sampai di negeri tempat keduanya tumbuh besar. Kali ini Naima dan Sultan tidak menginap di hotel, mereka memutuskan tinggal di rumah Gu dan Ali dulu, sebab ada beberapa barang milik Maira yang diminta oleh gadis itu untuk diambil. Ya, mereka tidak sepenuhnya pindah dari sana. Masih banyak sekali barang-barang yang ditinggalkan, mungkin saja suatu hari nanti akan kembali, karena sebagian dari keluarga besar itu memang lebih betah tinggal di rumah yang sesungguhnya, bukan camp yang disulap jadi rumah. Pagi harinya, dua orang itu menuju dokter THT yang pernah menangani masalah pendengaran Sultan satu bulan yang lalu. Duduk dua orang itu sembari menunggu dokter THT datang. Naima terus memainkan jari jemarinya di meja. Suaminya yang periksa tetapi ia yang gugup luar biasa. “Tenanglah. Ini bukan peperangan.” Sultan memegang jemari Naima yang sep
Sebelum kembali ke Balrus, Naima dan Sultan melihat-lihat rumah terlebih dahulu. Lokasi yang dipilih oleh wanita itu tak jauh dari TK tempatnya mengajar, mana tahu suatu hari nanti ia berkeinginan untuk berjumpa dengan wajah-wajah polos anak tanpa dosa itu. Wanita berambut kemerahan tersebut akhirnya sepakat dengan suaminya, untuk memilih rumah yang tak terlalu besar tetapi masih memiliki halaman. Rumah dengan tiga kamar, Maira memikirkan nanti ia akan memiliki dua orang anak, laki-laki dan perempuan, jika lebih masih bisa membesarkan rumah dengan kelebihan tanah yang dimiliki. “Kau ingin cepat-cepat punya anak, ya?” tanya Sultan ketika masuk kembali ke dalam mobil. Rumah itu mereka tinggalkan dan nanti akan dihuni setelah bisa pergi dari desa, entah kapan pula.“Ya, kalau bisa cepat kenapa harus lambat. Usiaku tahun depan sudah 26 pula. Banyak hal yang harus diperhitungkan. Aku menikah sangat terlambat dibandingkan perempuan lain yang ada di sini.” “Tapi aku baru 23 tahun depan.”
Bagian 195 Home Sweet Home Maira melebarkan bola matanya, dua bulan menikah dengan Fahmi berat badannya sudah bertambah empat kilogram. Bayangkan kalau setahun jadi berapa, dan ia pun jadi bertambah gemuk dan gemuk saja. Bagaimana tidak, masakan milik Fahmi jauh lebih enak daripada masakannya. Awal mulanya Maira letih melihat cara memasak orang India yang begitu rumit dan banyak sekali proses yang harus dilalui. Wajar saja kalau dapurnya besar. Lama-lama dicoba makanan itu enak sekali rasanya. Terus-terusan dimasak oleh Fahmi ditambah pula ekstra kentang goreng yang merupakan makanan favorit Maira dari kecil. Sedikti demi sedikit dimakan, enak, tambah lagi, begitu saja terus sampai perut Maira yang kemarin-kemarin rata, mulai menggembung. “Ya Allah, sebentar lagi akan ada lipatan lemak di mana-mana.” Putri Ali memandang cermin di kamarnya. Ia naikkan seragam kepolisian dan benar celana yang longgar itu mulai teras sesak. Ia tarik napas baru terlihat ramping lagi seperti dulu, tapi
Bagian 194 Bersama Zahra Maira tiba-tiba memeluk suaminya karena rasa bahagia yang membuncah dalam dadanya. Dulu, jangankan rayuan, membaca doa saja Amran tak pernah ingat. Untung saja tidak ada jejak yang tertinggal dalam diri Maira dulu sehingga tak perlu repot-repot mengurus anak seorang diri. Fahmi terkejut dengan reaki istrinya. Tentu saja reaksi yang menimbulkan aksi. Lelaki itu tek henti-hentinya menyentuh puncak kepala Maira, wanita yang ia cintai sejak masih ingusan.Diam saja Fahmi, hanya sampai di sana lalu tidak ada pergerakan fluktuatif yang menunjukkan grafik peningkatan amat pesat. Maira jadi bertanya-tanya sendiri. Mengapa suaminya jadi berubah lagi, padahal tadi rayuan maut sudah dilontarkan, giliran dia sudah menyerah, malah membeku di musim panas. Payah sekali Fahmi. ‘Apa aku harus memulai terlebih dahulu?’ tanya putri Ali di dalam hatinya. Ia menjauh sejenak dari pelukan Fahmi, tapi tak bisa, lelaki itu masih mendekapnya sangat erat. “Sesak napas aku lama-lama,
Bagian 193 Gombal Fahmi menyodorkan minuman dingin untuk istrinya. Satu botol besar, dan habis sekali napas oleh Maira. Tertegun lelaki itu melihat cara makan dan minum Maira. 11 12 dengan Naima, hanya saja putri Ali lebih mudah gendut, karena itu ia menjaga makan. Namun, untuk hari ini tidak ada kata diet. Maira makan semua yang ada di meja. “Kau lapar?” tanya Fahmi daripada tak ada bahan yang dibicarakan. “Tinggal batu saja yang belum aku makan,” jawab Maira, ia merobek bungkusan cokelat dan sekali hap sudah tinggal setengah batang. “Wow,” gumam Fahmi. “Mau aku belikan kentang?” tawarnya. Wajar Maira lapar, jadi pengantin kemarin ia susah buka mulut karena pengaruh kerudung dan riasan. Terus waktu berjalan sampai pagi ia sibuk mengatur lalu lintas dan bertengkar dengan suaminya. Semua kegiatan itu membutuhkan tenaga ekstra. “Dua bungkus,” ujar Maira. Fahmi pun lekas pergi, agak jauh sedikit penjual kentang goreng itu tapi ia datangi saja karena cinta. Setengah jam kemudian tig
Bagian 192 Terlalu Polos Selesai shalat Maghrib, Fahmi tak langsung pulang. Jujur saja dia agak takut dengan istrinya. Termenung lelaki itu di dalam masjid, duduk bersila, kepala ditundukkan, mata terpejam, seolah-olah sedang dzikir panjang, padahal hatinya sedang memikirkan Maira. Untuk kali ini dia memang tak bisa tenang, sekali ini dzikirnya tak fokus. “Kupikir dia kan pemalu seperti gadis-gadis yang ada dalam cerita,” gumam lelaki berdarah India itu perlahan. Malu kalau didengar orang lain. “Apa karena dia sudah janda, jadi pengalamannya lebih banyak, dan tak sabar untuk mengulanginya? Begitukah? Aduh mana aku minus ilmu hal-hal begitu. Apakah aku terlalu polos jadi laki-laki?” Putra Naina menggaruk kepalanya yang tak gatal.“Tak bisa, tak boleh seperti ini. Walau bagaimanapun aku adalah pemimpin. Aku harus jadi yang, aduh, Ya Allah kenapa kepalaku jadi pusing. Aku harus terlihat pemberani dan tegas di matanya. Sudah cukup di kantor dia jadi atasanku jangan sampai di rumah jug
Bagian 191 Gak ada Judul Khalifah memberikan penghargaan bagi para polisi juga tentara yang jujur dan amanah dalam mengemban tugas. Tentu saja nama Humaira dan lima orang timnya disebutkan. Barisan telah disusun, untuk polisi perempuan sangat sedikit sekali jumlahnya, dan baru dibuka penerimaan besar-besaran setelah berhasil membuang semua pengaruh Ex Gubernur Asad yang telah tewas. Satu demi satu mereka maju menerima penghargaan. Fahmi dan empat polisi yang lain naik pangkat satu tingkat, sedangkan Maira mendapatkan lencana kesetiaan walau pangkat tidak bertambah. Seharusnya semuanya pulang, tapi tidak dengan lima polisi yang pernah dikumpulkan jadi satu oleh Maira itu. Mereka berkumpul mengenang masa-masa indah ketika masih bertugas bersama-sama. Sekarang sudah kembali ke kota masing-masing. Maira melihat mereka dari jauh, walau bagaimanapun dia masih punya perhitungan pada Fahmi juga Musa. Kenapa Musa? Terserah dia, karena ikut-ikutan mengelabuhinya. “Ehm.” Kedatangan Maira me
Bagian 10 Benang Merah Ali menelan kekecewaan saat ke rumah Fahmi. Ternyata orangnya tidak ada. Ia pun tak berniat masuk ke rumah ketika kepala keluarga itu tidak ada di tempat. Sudahlah lelah, jauh, musim panas lagi. Sang kapten yang seharusnya sudah pensiun itu pun kembali ke kotanya. Menaiki kereta api super cepat. Beruntungnya di musim panas, siang sangat lama daripada malam, walau angin yang bertiup jadi ikut-ikutan panas. Beberapa jam kemudian ia sampai di pemberhentian kotanya, dan bertemu dengan teman lamanya lagi yang sama-sama kecewa—Hamdan.“Kenapa mukamu ditekuk begitu?” tanya Ali yang langsung menghampiri temannya. “Yang dicari tak ada di rumah,” jawab Hamdan. Mereka memang tak selemah orang-orang tua pada umumnya, tetapi kalau disuruh bepergian dan yang dicari tak ada juga, lelah terasa tubuh mereka. “Sama kalau begitu. Sudah lelah pergi ke sana, salahku juga, kenapa tak memberi tahu dulu.” Ali menarik napas panjang. Ia melirik jam tangannya, Dzuhur masih panjang sek
Bagian 189 Pertandingan Sepak Bola Pagi-pagi selepas Shubuh Maira sudah siap dengan seragam lengkapnya, minus rompi anti peluru saja, pistol dan HT turut serta ia bawa. Ia ada pekerjaan penting dari pagi sampai sore, makan dan sholat di sana saja. Namun, sebelum pergi ia sempat berpamitan pada Ali yang memandangnya agak berbeda pagi itu. “Ayah pergi menonton sepak bola nanti?” tanya Maira. “Tidak, Ayah sudah cukup tua untuk urusan itu, biar yang muda-muda saja.” “Terus rapi sekali pagi ini, Ayah mau pergi ke mana?” Agak curiga Maira. “Ada urusan penting, demi keluarga ini juga.” Ali menyembunyikan tujuannya hari itu pada putrinya. Jika Maira tahu sedang dicarikan jodoh, bisa-bisa ia mengelak lagi. “Oh, kabari bagaimana hasilnya, ya. Aku pergi dulu.“ Pagi itu Maira menggunakan mobil polisi karena tugas besar yang ia emban. Maira memimpin tim untuk menjaga keamanan pertandingan sepak bola di salah satu stadion olahraga. Putri Ali mengawasi di tempat duduk khusus perempuan, yang
Bagian 188 Pengorbanan Seorang Ayah. Gu dan tiga putrinya pulang ke kota tempat tinggal mereka menggunakan kereta cepat. Di dalam kendaraan ekpres itu, Maira hanya diam membisu memandang salju yang terus turun dari langit. Salju sebentar lagi akan berhenti, dan Hira kembali sekolah menyelesaikan pendidikannya, lalu Zahra yang masuk pendidian tingkat pertama. Maira sendiri? Tetap bekerja. Kantor tempatnya mengabdi juga mengalami revolusi besar-besaran, imbas dari kasus Gubernur Asad. Jadi sampai musim panas nanti putri Ali akan sangat sibuk. Namun, tak mengapa, dia jadi bisa melupakan Fahmi. “Kau pasti sudah kembali hidup di kota asalmu. Semoga kita tak akan pernah berjumpa lagi,” gumam Maira dalam keheningan. Ibu dan dua adik kandungnya sedang terlelap, jadi polisi wanita itu menjaga mereka dengan baik. Masalah luka hatinya, ia yakin akan membaik dengan sendirinya. Sampai juga empat perempuan beda generasi itu di stasiun. Tadinya Gu ingin menelepon Ali untuk menjemput mereka. Na
Bagian 187 Selesai Fahmi dan Maira membuka matanya perlahan-lahan ketika dua ember air dingin disiramkan ke wajah mereka. Dingin di tengah musim salju yang masih turun. Mereka saling melihat diri masing-masing. Tubuh keduanya terikat dan berada di sebuah gedung kosong juga luas. “Maira, Fahmi. Kalian dua parasit pengganggu, gara-gara kalian, saudaraku banyak yang tewas ditembak.” Lelaki itu duduk di depan keduanya. “Ya, kematian sebenarnya terlalu mudah buat kalian, tapi aku yakin di alam kubur juga kalian kena cambuk malaikat,” jawab putri Ali, sedangkan Fahmi berusaha membuka ikatan di tangannya.“Bawa mereka ke dalam mobil. Terlalu banyak bicara, bosan aku mendengarnya.” Perintah suruhan Harun. Lalu dua orang itu diangkat dalam keadaan terikat dan dimasukkan ke dalam mobil. Sebuah alat berat datang dari belakang hendak menghancurkan mobil Maira dan orangnya di dalam sekalian. Para pesuruh Harun sudah bepergian dan tinggal supir alat berat itu saja dan satu orang pengawas.“Ast