Naima duduk diam di kursi dapur. Usai peristiwa pertama tadi malam ia lebih banyak melamun. Entah mengapa ia pun tak paham. Rasa di dalam hati masih penasaran tetapi untuk meminta lagi ia tak punya muka, padahal dengan suami sendiri. Mungkin karena masih hitungan hari menikah dengan Sultan. Jadilah ia tak menggubris panggilan Sultan dan akhirnya semangkuk sup yang baru matang itu diantarkan ke hadapannya. Ya, sebagai rasa terima kasih karena tak menolak ajakannya tadi malam suaminya membuatkan makanan yang bisa mengembalikan kesegaran tubuh Naima, dan makanan itu berupa ….“Sup daging lagi. Ya Allah, padahal aku harus menjaga tekanan darahku agar tak tinggi terus.” Naima mengaduk satu mangkuk kentang wortel dan potongan daging kambing. “Tak boleh menolak rezeki, dosa. Makan sajalah.” Wanita berambut kemerahan itu mulai menyendok sup ke dalam mulutnya.Pikirannya masih berkelana ke sana kemari. Antara malu-malu dan mau. Iya, seperti itulah dia tadi malam. Bersemu kemerahan pipi Naima m
Naima dan Sultan berada di belakang rumah, sepasang suami istri yang sama-sama telah memutuskan untuk melupakan masa lalu, dan melangkah untuk masa depan yang lebih baik itu sedang mencari kayu bakar yang ada. Desa itu memang sangat jauh dari kota, jangankan mesih penghangat ruangan, signal saja terkadang ada atau tidak. Hingga akhirnya Sultan memutuskan untuk memasang telepon rumah saja seperti yang lain. Sebab akan sangat kesulitan jika ingin menghubungi kakak iparnya di kota. Meski ia tak mendengar dering telepon, setidaknya ada Naima yang akan sabar menuliskan ulang pesan di atas kertas.Wanita berambut merah itu menggunakan sarung tangan yang lebih tebal. Ia pun ikut turun tangan membelah kayu menjadi lebih kecil-kecil. Bahkan potongan kayunya jauh lebih rapi daripada Sultan. Maklum saja ia anak seorang petani dulunya. Kemampuan dasar untuk bertahan hidup di segala musim masih sangat melekat di diri Naima. Termasuk pula cara menaklukkan serigala, sering wanita itu lihat pada pend
Sepasang suami istri tersebut kembali pergi ke Syam. Sudah hampir setengah hari berjalan, dari selepas Shubuh sampai Adzan Isya berkumandang baru sampai di negeri tempat keduanya tumbuh besar. Kali ini Naima dan Sultan tidak menginap di hotel, mereka memutuskan tinggal di rumah Gu dan Ali dulu, sebab ada beberapa barang milik Maira yang diminta oleh gadis itu untuk diambil. Ya, mereka tidak sepenuhnya pindah dari sana. Masih banyak sekali barang-barang yang ditinggalkan, mungkin saja suatu hari nanti akan kembali, karena sebagian dari keluarga besar itu memang lebih betah tinggal di rumah yang sesungguhnya, bukan camp yang disulap jadi rumah. Pagi harinya, dua orang itu menuju dokter THT yang pernah menangani masalah pendengaran Sultan satu bulan yang lalu. Duduk dua orang itu sembari menunggu dokter THT datang. Naima terus memainkan jari jemarinya di meja. Suaminya yang periksa tetapi ia yang gugup luar biasa. “Tenanglah. Ini bukan peperangan.” Sultan memegang jemari Naima yang sep
Sebelum kembali ke Balrus, Naima dan Sultan melihat-lihat rumah terlebih dahulu. Lokasi yang dipilih oleh wanita itu tak jauh dari TK tempatnya mengajar, mana tahu suatu hari nanti ia berkeinginan untuk berjumpa dengan wajah-wajah polos anak tanpa dosa itu. Wanita berambut kemerahan tersebut akhirnya sepakat dengan suaminya, untuk memilih rumah yang tak terlalu besar tetapi masih memiliki halaman. Rumah dengan tiga kamar, Maira memikirkan nanti ia akan memiliki dua orang anak, laki-laki dan perempuan, jika lebih masih bisa membesarkan rumah dengan kelebihan tanah yang dimiliki. “Kau ingin cepat-cepat punya anak, ya?” tanya Sultan ketika masuk kembali ke dalam mobil. Rumah itu mereka tinggalkan dan nanti akan dihuni setelah bisa pergi dari desa, entah kapan pula.“Ya, kalau bisa cepat kenapa harus lambat. Usiaku tahun depan sudah 26 pula. Banyak hal yang harus diperhitungkan. Aku menikah sangat terlambat dibandingkan perempuan lain yang ada di sini.” “Tapi aku baru 23 tahun depan.”
Reihan kini tinggal di hutan pinus tak jauh dari kediaman Naima dan Sultan. Kemampuan sebagi tentara ia manfaatkan untuk bertahan hidup di sana. Selama ada air ia masih bisa melanjutkan kehidupannya. Lelaki itu mengambil teropong yang ada di sakunya. Sebuah alat yang biasa digunakan untuk memantau musuh dari jarak jauh, bahkan orang dibalik jendela pun bisa terlihat. Matahari masih malu-malu muncul. Namun, tidak dengan Naima. Ia sibuk membersihkan rumah yang sudah bersih termasuk pula kaca yang berembun tiap sebentar. Musim salju satu bulan lagi akan berakhir, dan akan berganti menjadi musim panas. Anak-anak akan segera masuk TK dan belum juga ada kepastian kepindahan mereka berdua. Wanita berambut merah itu mulai menyerah dengan harapannya. Di mata Reihan kini terlihat Naima yang tak mengenakan jilbab sama sekali, bajunya saja yang panjang karena memang musim dingin. Mata nakal itu terus menikmati pemandangan yang bukan haknya sama sekali. Rambut kemerahan Naima disanggul dan agak
Sultan mengikuti jejak darah yang menetes di butiran salju, terus ke dalam sampai hari hampir gelap. Namun, tidak ia temukan di mana Reihan. Lelaki itu mahir bersembunyi. Sama seperti saat perang, ketika teman-temannya berjuang ia layaknya pengecut berlindung di balik pohon, tetapi jika memikirkan wanita cantik berada di barisan paling depan. Sultan membawa pluit yang bisa ia gunakan untuk memanggil Sin dan San. Ia bunyikan berkali-kali. Namun, tidak juga serigala kembar itu muncul, padahal Sultan sangat membutuhkan bantuannya. “Mungkin mereka sudah jauh ke dalam hutan,” ujarnya ketika jalan pulang. Tak baik pula meninggalkan Naima berlama-lama di dalam rumah. Rasa ingin pindah ke Syam semakin kuat dalam hati penjinak bom itu. Memang tak baik jika istrinya tak punya teman perempuan. Tidak ada yang bisa diajak bertukar pikiran ketika ia tidak ada, ditambah pula Sin dan San yang tak menjaga Naima lagi. Paman Maira masuk ke dalam rumah, pada saat itu pula telepon rumahnya berdering. Na
Bagian 130 Korban Pertama Maira menemukan rencana jahat dari Reihan. Ia berhasil mencari tahu nomor ponsel baru dan meretasnya dengan meminta tolong pada Afnan. Reihan kedapatan membeli sebuah bom dari salah satu Tentara Balrus yang sedang membutuhkan uang. Meski tak tahu di mana akan diletakkan bom tersebut. Namun, insting anak kandung Ali langsung berpikir Sultan dan Naima yang akan menjadi sasaran. Terutama pergerakan terakhir Reihan terlihat di hutan pinus tak jauh dari rumah kakak angkatnya. “Paman, aku pinjam mobil dinasnya dulu, ya. Jangan beritahu Ayah, ya. Aku pergi ke desa tempat Kak Naima sesegera mungkin.” Maira langsung mengambil kunci mobil yang tersangkut di dinding. Afnan tak bisa mencegah karena pergerakan Maira begitu gesit, tak terkejar olehnya yang berperut buncit. “Dia memanggilku Paman. Pupus sudah harapanku ingin memperistrinya. Lagi pula aku takut dengan ayahnya.” Afnan mengubur impiannya dalam-dalam melihat reaksi Maira pada dirinya. Si google berjalan itu
Bagian 131 Sidang Ini season ketiga, tetapi masih ada kisah Naima dan Sultan yang belum selesai di season kedua, diselesaikan setahap demi setahap. Benar saja tebakan Maira, ibunya ceramah dari tadi tidak habis-habis sampai kupingnya panas. Sudah hampir 30 menit, sampai panas bokong gadis itu. Ingin rasanya Maira bangkit dari kursi dan masuk ke kamar. Namun, Ali yang duduk di sebelah ibunya memberi isyarat agar putrinya duduk tenang dan dengarkan saja. “Kau mau jadi apa. Perempuan bawa pistol, naik mobil kebut-kebutan, lewat hutan yang terbakar. Bahkan kau membunuh orang—” “Yang dibunuh, kan, orang jahat. Kalau aku tidak menembaknya, dia akan membunuh Paman.” Tak tahan Maira untuk memotong perkataan ibunya. “Menjawab kau lagi. Coba kalau ada apa-apa denganmu, siapa yang akan kerepotan?” Mata wanita yang berwarna biru itu nyaris keluar dari tempatnya. Memang anak gadis pertamanya sudah terlihat keras kepala sejak tahu membedakan mana yang baik mana yang buruk. “Jadi aku hanya di