Share

Bab 3

"Ini hadiah buat kamu," ucapnya sambil menyodorkan kembali ponsel itu padaku.

"Hadiah? Kenapa Abang belikan ponsel semahal ini? Kan sayang uangnya. Lagi pula, Abang dapat uang dari mana untuk membeli ponsel sebagus ini?"

"Um... itu pemberian dari Bos, sayang. Dipakai ya, kan selama ini ponsel kamu sering mati tanpa sebab."

Pemberian dari Bos? Emang ada Bos pabrik sebaik itu? Aku hanya mengangguk dan menerima ponsel yang diberikan olehnya.

"Kamu suka gak?"

"Ya suka dong. Siapa yang gak suka sama ponsel ini," jawabku dengan campuran rasa senang dan bingung.

"Ya sudah, biar nanti pas video call sama Abang gak mati-mati lagi. Ponsel yang itu simpan saja," ucapnya.

Aku mengangguk, dan sempat-sempatnya tadi berpikir kalau Bang Yuda sebenarnya memang lelaki tajir yang sedang menyamar sebagai orang biasa. Hehe... maafkan Hanza, Bang. Apa pun keadaanmu, Hanza mencintaimu.

Namun, masih ada satu kejanggalan. Kenapa lelaki tadi bisa menyebut suamiku pemilik perusahaan? Apa dia lagi halu atau gimana? Kode diam dari suamiku juga belum jelas.

"Bang, ucapan lelaki tadi kok bisa gitu ya?" tanyaku, masih penasaran.

"Mungkin bosnya mirip Abang kali, terus namanya juga sama, makanya dia ngomong gitu."

"Terus, kode tadi? Apa Abang kenal sama dia?"

"Sengaja Abang beri kode itu, supaya dia diam saja. Kalau dia terus bicara, bisa-bisa orang-orang berpikir aneh lagi. Kenal? Siapa dia? Dia kan temannya Andi?"

Jawaban suamiku itu membuatku semakin bingung. Aku hanya mengangguk, meski kepalaku pening memikirkan semua ini.

"Memangnya kenapa? Kamu percaya sama omongan lelaki itu?" tanyanya lagi.

Aku hanya menggeleng sebagai jawaban.

---

"Hanza! Yuda! Bangun kalian! Pagi-pagi bukannya beberes malah enak-enakan tidur. Ingat! Kalian itu cuma numpang di sini!" Teriakan Ibu terdengar dari luar kamar.

Aku dan Bang Yuda yang sedang membereskan pakaian di lemari terkejut mendengar suara itu.

"Apa sih, Bu? Tadi kan aku sudah cuci piring. Bang Yuda juga sudah nyapu halaman depan dan belakang. Sekarang kami sedang sibuk membereskan kamar," jawabku kesal. Apa Ibu tidak melihatku bekerja tadi?

"Eh... kamu itu ya! Tuh, kamar mandi, dapur, semua ruangan ini belum dipel!" cerocos Ibu.

"Aku lagi sibuk, Bu. Ibu suruh saja Mbak Nita, lihat dia gak lagi ngapa-ngapain selain main ponsel dan nonton TV!" ucapku sambil menunjuk ke arah Mbak Nita yang berambut sebahu.

"Heh, aku ini lagi sibuk chatting sama Sania. Malam ini dia akan pulang, kamu tahu gak? Ya nggak dong, ponsel aja butut! Mana bisa chattingan dengan Sania!" jawab Mbak Nita dengan nada nge-gas.

Mbak, ponselku sekarang jauh lebih bagus dari ponselmu! kataku dalam hati.

Pantas saja tadi pagi-pagi sekali Ibu sudah pergi ke pasar, rupanya belanja untuk menyambut kedatangan Sania yang selama ini bekerja di Surabaya. Kenapa gak memberitahuku sih? Aku kan juga kakaknya, walaupun bukan kakak kandung.

"Sania mau pulang? Kenapa kalian diam saja tidak memberitahuku?" tanyaku sedikit kesal.

"Apa pentingnya memberitahu kamu? Memangnya mau disuguhi apa, hmm? Orang duit aja kalian gak punya," sungut Ibu.

"Iya, belum lagi palingan kamu minta oleh-oleh dari adikku," ketus Mbak Nita dengan tatapan mengejek.

Tanganku sesekali mengepal mendengar ucapan mereka. Mataku memanas menahan air mata yang hendak menetes.

"Cepat! Sebelum dia datang, ruangan harus bersih dan wangi! Setelah itu kamu masak, Ibu sudah belanja tadi pagi!" ketus Ibu sembari melengos pergi.

"Sayang, biar Abang saja. Hari ini libur kerja," ucap Bang Yuda sambil menghampiriku.

"Sudah, Hanza saja, Bang."

"Jangan, kasihan kamu. Abang saja, kamu istirahat di kamar."

"Kalian berdua! Malah debat, ayo cepat bersih-bersih! Oh iya, kamu yang katanya pemilik perusahaan itu. Perusahaan apa? Perusahaan halu? Ingin ketawa rasanya kalau ingat kejadian kemarin. Hahaha...," Ibu kembali bersuara dengan kata-katanya yang selalu menyakitkan hati.

Bang Yuda mengelus pundakku saat aku ingin melawan perkataan Ibu, memberi isyarat agar aku membiarkan saja ucapan Ibu itu.

"Sudah, ayo kita bekerja sama-sama," ucap Bang Yuda sambil membawaku ke area dapur.

Aku benar-benar heran, kok ada ya lelaki sebaik Bang Yuda? Dia dijadikan babu, dihina, tapi hatinya masih saja tulus.

---

"Ibu... aku pulang!" Terdengar suara Sania di luar sana, pas sekali semua makanan sudah aku hidangkan di meja makan. Aku ikut menghampiri Sania, menyambutnya di teras rumah.

"Sania! Ibu kangen banget tahu," ujar Ibu sambil berpelukan dengan putrinya.

"Iya, aku juga kangen sama Ibu, sama Mbak Nita juga," jawabnya, diikuti pelukan dari Mbak Nita. Mereka berpelukan hangat di depanku.

"Sania, apa kabar?" Aku menyapa adik sambungku itu ramah dan mencoba memeluknya. Namun, dia terlihat enggan membalas pelukanku.

"Baik, Mbak," jawabnya singkat tanpa menoleh padaku.

"Eh, ngomong-ngomong itu mobil siapa, San?" tanya Ibu sambil menunjuk mobil berwarna hitam yang terparkir di halaman rumah.

"Oh iya, Sania lupa. Sebentar ya, Bu!" ucapnya lalu pergi mendekati mobil itu.

Beberapa detik kemudian, keluar seorang lelaki berpakaian rapi. Mereka berjalan beriringan menuju teras rumah.

"Surprise! Aku bawakan calon mantu buat Ibu!" Sania begitu gembira mengabarkan hal itu pada Ibu. Ibu pun tersenyum senang sekali mendengarnya.

"Apa kabar, Bu? Perkenalkan, saya Alamsyah," sapanya sambil mencium tangan Ibu.

"Jadi... Nak Alam ini pacarnya Sania ya?" tanya Ibu.

Lelaki beralis tebal itu menoleh pada Sania, lalu ia mengangguk sembari tersenyum.

"Semoga kalian langgeng, ya," ucap Mbak Nita memberi restu.

"Aamiin...," balas Sania.

"Eh, ya sudah. Ayo kita makan dulu. Mbak Nita lho yang masakin. Katanya spesial buat menyambut kedatangan kamu!" ucap Ibu, penuh kebohongan.

Mataku membelalak mendengar Ibu berbohong seperti itu. Jadi anak sambung memang begitu sulitnya, padahal katanya tidak membeda-bedakan. Aku tersenyum kecut dan ikut bergabung dengan mereka, tak lupa memanggil suamiku agar dia ikut bergabung juga. Aku ingin tahu bagaimana reaksi Ibu saat kami duduk satu meja makan.

Benar saja, saat kami duduk berdampingan, mata Ibu menatap tajam ke arahku dan Bang Yuda. Aku tidak peduli, walaupun sampai bola matanya keluar, aku akan tetap ikut makan di sini.

"Nak Alam, silakan dicicipi. Semoga kamu suka, ya?" ucap Ibu.

"Padahal tidak usah repot-repot, Bu," jawab Alam dengan ramah.

"Tidak apa-apa, ayo-ayo! Sania, ambilkan Alam piringnya," ucap Ibu.

"Pasti sukalah, ini semua kan aku yang masak," bisikku pelan, tapi percaya diri.

"Hanza!" Ibu mendesis padaku, tampaknya dia mendengar ucapanku karena aku duduk di sebelahnya. Tapi aku tidak ingin menghiraukannya.

Aku pun mengambil makan untukku dan Bang Yuda. Meskipun mata Ibu dan Mbak Nita tak henti-hentinya menatap kami dengan sinis, aku berpura-pura tidak melihatnya.

“Oh iya, Bu. Tahu nggak, kalau Mas Alam ini seorang pengusaha?” ujar Sania di tengah suara dentingan sendok dan piring yang beradu. Nada suaranya terdengar begitu bangga. Tentu saja, Ibu langsung tampak sangat antusias, terutama karena menyangkut masalah harta.

“Wah, bagus dong kalau begitu. Masa depan kamu nanti nggak bakal suram, sudah terjamin!” ucap Ibu, sambil melirik sinis ke arahku dan suamiku.

“Jelas dong, Bu. Biar hidupku nggak melarat kayak yang onoh,” sahut Sania sambil tertawa kecil. Ucapannya disambut dengan tawa terbahak-bahak dari Ibu dan Mbak Nita.

Tawa mereka terhenti seketika saat Alam tiba-tiba terbatuk.

---

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status