"Ini hadiah buat kamu," ucapnya sambil menyodorkan kembali ponsel itu padaku.
"Hadiah? Kenapa Abang belikan ponsel semahal ini? Kan sayang uangnya. Lagi pula, Abang dapat uang dari mana untuk membeli ponsel sebagus ini?" "Um... itu pemberian dari Bos, sayang. Dipakai ya, kan selama ini ponsel kamu sering mati tanpa sebab." Pemberian dari Bos? Emang ada Bos pabrik sebaik itu? Aku hanya mengangguk dan menerima ponsel yang diberikan olehnya. "Kamu suka gak?" "Ya suka dong. Siapa yang gak suka sama ponsel ini," jawabku dengan campuran rasa senang dan bingung. "Ya sudah, biar nanti pas video call sama Abang gak mati-mati lagi. Ponsel yang itu simpan saja," ucapnya. Aku mengangguk, dan sempat-sempatnya tadi berpikir kalau Bang Yuda sebenarnya memang lelaki tajir yang sedang menyamar sebagai orang biasa. Hehe... maafkan Hanza, Bang. Apa pun keadaanmu, Hanza mencintaimu. Namun, masih ada satu kejanggalan. Kenapa lelaki tadi bisa menyebut suamiku pemilik perusahaan? Apa dia lagi halu atau gimana? Kode diam dari suamiku juga belum jelas. "Bang, ucapan lelaki tadi kok bisa gitu ya?" tanyaku, masih penasaran. "Mungkin bosnya mirip Abang kali, terus namanya juga sama, makanya dia ngomong gitu." "Terus, kode tadi? Apa Abang kenal sama dia?" "Sengaja Abang beri kode itu, supaya dia diam saja. Kalau dia terus bicara, bisa-bisa orang-orang berpikir aneh lagi. Kenal? Siapa dia? Dia kan temannya Andi?" Jawaban suamiku itu membuatku semakin bingung. Aku hanya mengangguk, meski kepalaku pening memikirkan semua ini. "Memangnya kenapa? Kamu percaya sama omongan lelaki itu?" tanyanya lagi. Aku hanya menggeleng sebagai jawaban. --- "Hanza! Yuda! Bangun kalian! Pagi-pagi bukannya beberes malah enak-enakan tidur. Ingat! Kalian itu cuma numpang di sini!" Teriakan Ibu terdengar dari luar kamar. Aku dan Bang Yuda yang sedang membereskan pakaian di lemari terkejut mendengar suara itu. "Apa sih, Bu? Tadi kan aku sudah cuci piring. Bang Yuda juga sudah nyapu halaman depan dan belakang. Sekarang kami sedang sibuk membereskan kamar," jawabku kesal. Apa Ibu tidak melihatku bekerja tadi? "Eh... kamu itu ya! Tuh, kamar mandi, dapur, semua ruangan ini belum dipel!" cerocos Ibu. "Aku lagi sibuk, Bu. Ibu suruh saja Mbak Nita, lihat dia gak lagi ngapa-ngapain selain main ponsel dan nonton TV!" ucapku sambil menunjuk ke arah Mbak Nita yang berambut sebahu. "Heh, aku ini lagi sibuk chatting sama Sania. Malam ini dia akan pulang, kamu tahu gak? Ya nggak dong, ponsel aja butut! Mana bisa chattingan dengan Sania!" jawab Mbak Nita dengan nada nge-gas. Mbak, ponselku sekarang jauh lebih bagus dari ponselmu! kataku dalam hati. Pantas saja tadi pagi-pagi sekali Ibu sudah pergi ke pasar, rupanya belanja untuk menyambut kedatangan Sania yang selama ini bekerja di Surabaya. Kenapa gak memberitahuku sih? Aku kan juga kakaknya, walaupun bukan kakak kandung. "Sania mau pulang? Kenapa kalian diam saja tidak memberitahuku?" tanyaku sedikit kesal. "Apa pentingnya memberitahu kamu? Memangnya mau disuguhi apa, hmm? Orang duit aja kalian gak punya," sungut Ibu. "Iya, belum lagi palingan kamu minta oleh-oleh dari adikku," ketus Mbak Nita dengan tatapan mengejek. Tanganku sesekali mengepal mendengar ucapan mereka. Mataku memanas menahan air mata yang hendak menetes. "Cepat! Sebelum dia datang, ruangan harus bersih dan wangi! Setelah itu kamu masak, Ibu sudah belanja tadi pagi!" ketus Ibu sembari melengos pergi. "Sayang, biar Abang saja. Hari ini libur kerja," ucap Bang Yuda sambil menghampiriku. "Sudah, Hanza saja, Bang." "Jangan, kasihan kamu. Abang saja, kamu istirahat di kamar." "Kalian berdua! Malah debat, ayo cepat bersih-bersih! Oh iya, kamu yang katanya pemilik perusahaan itu. Perusahaan apa? Perusahaan halu? Ingin ketawa rasanya kalau ingat kejadian kemarin. Hahaha...," Ibu kembali bersuara dengan kata-katanya yang selalu menyakitkan hati. Bang Yuda mengelus pundakku saat aku ingin melawan perkataan Ibu, memberi isyarat agar aku membiarkan saja ucapan Ibu itu. "Sudah, ayo kita bekerja sama-sama," ucap Bang Yuda sambil membawaku ke area dapur. Aku benar-benar heran, kok ada ya lelaki sebaik Bang Yuda? Dia dijadikan babu, dihina, tapi hatinya masih saja tulus. --- "Ibu... aku pulang!" Terdengar suara Sania di luar sana, pas sekali semua makanan sudah aku hidangkan di meja makan. Aku ikut menghampiri Sania, menyambutnya di teras rumah. "Sania! Ibu kangen banget tahu," ujar Ibu sambil berpelukan dengan putrinya. "Iya, aku juga kangen sama Ibu, sama Mbak Nita juga," jawabnya, diikuti pelukan dari Mbak Nita. Mereka berpelukan hangat di depanku. "Sania, apa kabar?" Aku menyapa adik sambungku itu ramah dan mencoba memeluknya. Namun, dia terlihat enggan membalas pelukanku. "Baik, Mbak," jawabnya singkat tanpa menoleh padaku. "Eh, ngomong-ngomong itu mobil siapa, San?" tanya Ibu sambil menunjuk mobil berwarna hitam yang terparkir di halaman rumah. "Oh iya, Sania lupa. Sebentar ya, Bu!" ucapnya lalu pergi mendekati mobil itu. Beberapa detik kemudian, keluar seorang lelaki berpakaian rapi. Mereka berjalan beriringan menuju teras rumah. "Surprise! Aku bawakan calon mantu buat Ibu!" Sania begitu gembira mengabarkan hal itu pada Ibu. Ibu pun tersenyum senang sekali mendengarnya. "Apa kabar, Bu? Perkenalkan, saya Alamsyah," sapanya sambil mencium tangan Ibu. "Jadi... Nak Alam ini pacarnya Sania ya?" tanya Ibu. Lelaki beralis tebal itu menoleh pada Sania, lalu ia mengangguk sembari tersenyum. "Semoga kalian langgeng, ya," ucap Mbak Nita memberi restu. "Aamiin...," balas Sania. "Eh, ya sudah. Ayo kita makan dulu. Mbak Nita lho yang masakin. Katanya spesial buat menyambut kedatangan kamu!" ucap Ibu, penuh kebohongan. Mataku membelalak mendengar Ibu berbohong seperti itu. Jadi anak sambung memang begitu sulitnya, padahal katanya tidak membeda-bedakan. Aku tersenyum kecut dan ikut bergabung dengan mereka, tak lupa memanggil suamiku agar dia ikut bergabung juga. Aku ingin tahu bagaimana reaksi Ibu saat kami duduk satu meja makan. Benar saja, saat kami duduk berdampingan, mata Ibu menatap tajam ke arahku dan Bang Yuda. Aku tidak peduli, walaupun sampai bola matanya keluar, aku akan tetap ikut makan di sini. "Nak Alam, silakan dicicipi. Semoga kamu suka, ya?" ucap Ibu. "Padahal tidak usah repot-repot, Bu," jawab Alam dengan ramah. "Tidak apa-apa, ayo-ayo! Sania, ambilkan Alam piringnya," ucap Ibu. "Pasti sukalah, ini semua kan aku yang masak," bisikku pelan, tapi percaya diri. "Hanza!" Ibu mendesis padaku, tampaknya dia mendengar ucapanku karena aku duduk di sebelahnya. Tapi aku tidak ingin menghiraukannya. Aku pun mengambil makan untukku dan Bang Yuda. Meskipun mata Ibu dan Mbak Nita tak henti-hentinya menatap kami dengan sinis, aku berpura-pura tidak melihatnya. “Oh iya, Bu. Tahu nggak, kalau Mas Alam ini seorang pengusaha?” ujar Sania di tengah suara dentingan sendok dan piring yang beradu. Nada suaranya terdengar begitu bangga. Tentu saja, Ibu langsung tampak sangat antusias, terutama karena menyangkut masalah harta. “Wah, bagus dong kalau begitu. Masa depan kamu nanti nggak bakal suram, sudah terjamin!” ucap Ibu, sambil melirik sinis ke arahku dan suamiku. “Jelas dong, Bu. Biar hidupku nggak melarat kayak yang onoh,” sahut Sania sambil tertawa kecil. Ucapannya disambut dengan tawa terbahak-bahak dari Ibu dan Mbak Nita. Tawa mereka terhenti seketika saat Alam tiba-tiba terbatuk. ---“Sayang, Mas. Kamu tidak apa-apa, kan? Biar aku yang ambilkan minum!” ucap Sania tergesa-gesa, lalu mengambilkan segelas air putih untuk Alam.Lelaki beralis tebal itu meneguk airnya, kemudian menampilkan ekspresi wajah yang amat dingin.“Kira-kira ... kalian kapan tunangan? Atau mau langsung saja ke jenjang pernikahan?” tanya Ibu dengan antusias.Sania dan Alam saling berpandangan, seolah bertanya satu sama lain melalui tatapan mereka.“Menunggu beberapa bulan lagi, Bu,” jawab Alam sambil memberikan senyum tipis, namun kali ini tidak seramah sebelumnya.“Syukurlah, Ibu berharap kalian secepatnya menikah,” ujar Ibu, senyumnya lebar.“Oh, iya. Terima kasih jamuannya, sepertinya aku harus segera pulang, ada urusan mendadak di kantor. Sania, aku pulang dulu, ya?” kata Alam tiba-tiba.“Lho, kok nggak nginap saja?” tanya Ibu, agak kaget.“Tidak, Bu. Lagian tidak baik lelaki menginap di rumah perempuan yang belum halal,” ujarnya dengan nada tegas, membuat mulut Ibu membeku.Tak berapa lama
Aku tidak tahu siapa yang Bang Yuda telepon. Mungkin suamiku meminta bantuan temannya untuk menjemput kami, lalu mencari tempat menginap untuk malam ini. Syukurlah, aku merasa lega karena tidak harus tidur di jalanan atau di bawah kolong jembatan. Takut rasanya jika ada orang jahat yang menghampiri kita.Hari sudah hampir gelap, sedangkan hujan masih turun dengan deras. Kilatan petir sesekali membuatku terkejut dan cemas. Bang Yuda kembali merangkulku erat, mencoba menghangatkan tubuhku. Kami berdiri di sana, menunggu bantuan datang.Lalu lintas di jalan cukup ramai, meski dalam kondisi hujan. Sebuah mobil hitam melaju perlahan lalu berhenti tepat di hadapan kami. Aku mengira itu mungkin pemilik ruko.“Bang, ayo kita minggir. Sepertinya itu pemilik ruko ini,” bisikku, menarik lengan Bang Yuda.Bang Yuda malah tertawa kecil mendengar ucapanku. “Itu orang yang mau jemput kita, sayang,” katanya sambil tersenyum.Aku sedikit terkejut mendengarnya. Bayanganku bukanlah mobil yang akan menje
Aku begitu bingung, sekarang apa yang harus kulakukan di sini. Ini bagaikan mimpi, sekali lagi kutampar pipiku. “Aww ... sakit!” gumamku, tak percaya. Ya Allah, ini benar kan? Suamiku itu kaya raya ternyata. Kalau saja Ibu dan saudara-saudaraku tahu, mereka pasti akan malu sekali. Tiba-tiba suara ketukan pintu membuyarkan lamunanku. Aku buru-buru membuka pintu kamar dengan ukiran kayu jati yang begitu indah. “Nyonya, silakan sarapannya,” ucap seorang wanita muda dengan senyuman ramah, sambil menyerahkan nampan kepadaku. Tanganku refleks menerima sebuah nampan yang berisi sepiring nasi lengkap dengan sayur dan lauknya. Segelas susu dan air putih juga melengkapinya. “T-terima kasih,” kataku gugup dengan sebutan "Nyonya." Aku merasa sangat tidak pantas dengan sebutan itu. “Sama-sama. Jika ada apa-apa, Nyonya silakan panggil saya saja di bawah. Permisi!” ucap pelayan itu sambil tersenyum dan berlalu. Setelah pelayan itu pergi, aku menikmati sarapan pagiku. Tidak pernah rasanya aku
"Abang sudah pulang?" Nita buru-buru menyambut Andi yang baru saja tiba."Sudah, Sayang. Ada kabar gawat!" Andi yang bertubuh agak besar langsung menjawab."Gawat kenapa? Jangan-jangan kamu dipecat?" Nita bertanya dengan nada setengah kaget."Bukan, bukan itu, Sayang. Ini soal Yuda."Nita mengernyitkan dahi. "Memangnya kenapa dengan dia? Abang habis ketemu dia?""Dia itu bos perusahaan tempat aku kerja, Nita," ungkap Andi, membuat seluruh isi rumah terdiam kaget."Apa? Jadi benar Yuda itu pemilik perusahaan?" Ayu, mertua Andi, memotong."Iya, Bu. Aku baru tahu tadi saat perkenalan. Selama sebulan kerja di sana, dia memang nggak ada. Tapi tadi dia muncul di kantor dan langsung mengaku sebagai bos perusahaan," Andi menjelaskan dengan nada tertekan."Kamu percaya begitu saja, Bang?" Nita masih ragu."Ya iyalah, Sayang. Perusahaan sebesar itu nggak sembarang orang bisa masuk. Aku juga lihat beberapa asisten yang ikut di belakangnya," jawab Andi, terlihat semakin gelisah. Dia membayangkan
---Malam ini tiba-tiba ada tamu datang ke rumah Bang Yuda. Aku kira memang tamunya dia, tapi ternyata bukan. Mereka adalah ibuku dan saudara-saudaraku. Mau apa mereka datang kemari? Jadi, alasan Ibu nanya keberadaanku untuk menemuiku di sini. Pasti mereka terkagum-kagum melihat keadaan Bang Yuda sekaya ini. Makannya jangan semena-mena, kalau sudah tahu kebenarannya kan jadi malu.Mereka datang untuk meminta maaf. Aku tidak tahu, apakah mereka benar-benar tulus atau hanya ingin melihat harta Bang Yuda saja?“Benar, Yuda. Kami semua meminta maaf dari hati yang paling dalam,” ucap Mbak Nita dengan suara pelan, diikuti anggukan yang lain.Wajah mereka terlihat memelas, berbeda seratus delapan puluh derajat dari sebelumnya.“Baiklah, aku maafkan kalian. Sudah cukup?” sahut suamiku datar. Dia memang lelaki idaman, baik hati dan tidak sombong.“Terima kasih, Yuda. Semoga kita bisa menjadi keluarga yang tenteram,” kata Ibu sambil tersenyum, tapi ada sesuatu yang aneh dalam ekspresinya.Aku m
"Hanza, Yuda!" Tiba-tiba, suara keras terdengar dari pintu depan saat ibuku masuk ke rumah tanpa permisi. "Ada apa, Bu? Pagi-pagi sudah ke sini?" tanyaku dengan heran, meski dalam hati aku sudah menduga maksud kedatangannya. "Ah, anu... Ibu cuma mau main saja. Wah, kalian lagi sarapan ya? Kebetulan Ibu belum makan," katanya sambil langsung mendekat ke meja makan. Astaga! Setelah tahu suamiku kaya, Ibu makin tidak tahu malu. Belum sarapan? Itu alasan yang sudah sering dia pakai. "Sayang, Abang mau ke kantor dulu, ya?" Suamiku, Yuda, tiba-tiba memotong, tak sedikit pun memedulikan tingkah laku Ibu. "Tapi, Bang..." Aku menahan tangannya, tidak nyaman ditinggal berdua dengan Ibu. "Mau ikut?" tanyanya lembut, seolah paham dengan kegelisahanku. "Emang boleh kalau Hanza ikut?" "Tentu saja boleh, Sayang. Siapa yang melarang?" jawabnya santai. "Bos." "Kan Abang bosnya. Masak lupa?" candanya dengan senyum penuh keyakinan. Ya ampun, kenapa aku sampai lupa? Rasanya aku masih menganggap
Kulihat Bang Andi mengusap wajah dengan kasar. Ia masih belum meninggalkan ruangan Bang Yuda.“Yuda, Abang mohon. Jangan jadikan cleaning service, ya?” Bang Andi masih memohon.“Kalau Abang tidak mau dengan pekerjaan yang aku berikan, ya sudah silakan keluar dari kantorku,” jawab Bang Yuda mantap.Bang Andi mendengus kesal.“Silakan jika Abang mau keluar. Barangkali ada perusahaan lain yang bisa menerima Abang, yang pasti bukan perusahaanku. Karena ada sekitar enam cabang perusahaan milikku di kota ini. Belum lagi di luar kota, masih ada tiga perusahaan yang kupegang.”Apa? Sebanyak itu suamiku mempunyai perusahaan? Aku yang mendengarnya juga begitu kaget, bukan kepalang. Apalagi Bang Andi, yang selalu merendahkan orang lain, pasti langsung syok.“Baiklah, Yuda. Aku terima saja pekerjaan ini!” ucapnya, melengos ke luar.“Mulai hari ini ya, Bang. Silakan minta seragam OB ke ketua cleaning service-nya, lalu segera ganti bajumu.”Bang Andi kembali membalikkan badan, sepertinya ia ingin s
POV AndiAku sangat lega tidak dipecat dari perusahaan Yuda. Gak habis pikir sih, dia itu beg* apa gimana sih? Haha gak penting pokoknya aku masih bisa bekerja di kantor. Malam itu, dia berkata kalau kita berdua akan berbicara. Tanpa pikir panjang, aku langsung menyetujuinya walaupun belum tahu hal apa yang akan ia bicarakan. Soal naik gaji kah? Atau naik jabatan mungkin. Aku menyesal, kenapa gak dari dulu aku baik-baikin si Yuda. Aku memasuki kantor Yuda, padahal dulu aku gak pernah menyangka sedikit pun, kalau ruangan mewah ini ditempati si Yuda. Karena Penampilannya dekil sekali kalau berada di rumah. Rupanya, dia hanya menyamar. Kurang ajar! Yuda langsung memberikan sebuah amplop yang berisi surat. Aku merasa deg-degan saat membuka surat itu di hadapannya. Begitu kubuka, hampir saja aku jantungan. Tega-teganya si Yuda menurunkan jabatanku serendah-rendahnya. Aku dijadikan OB hari ini juga. Apa maksudnya? Kalau saja aku berani seperti dulu, pasti sudah kuhajar tuh si Yuda. “E