Share

Bab 4

“Sayang, Mas. Kamu tidak apa-apa, kan? Biar aku yang ambilkan minum!” ucap Sania tergesa-gesa, lalu mengambilkan segelas air putih untuk Alam.

Lelaki beralis tebal itu meneguk airnya, kemudian menampilkan ekspresi wajah yang amat dingin.

“Kira-kira ... kalian kapan tunangan? Atau mau langsung saja ke jenjang pernikahan?” tanya Ibu dengan antusias.

Sania dan Alam saling berpandangan, seolah bertanya satu sama lain melalui tatapan mereka.

“Menunggu beberapa bulan lagi, Bu,” jawab Alam sambil memberikan senyum tipis, namun kali ini tidak seramah sebelumnya.

“Syukurlah, Ibu berharap kalian secepatnya menikah,” ujar Ibu, senyumnya lebar.

“Oh, iya. Terima kasih jamuannya, sepertinya aku harus segera pulang, ada urusan mendadak di kantor. Sania, aku pulang dulu, ya?” kata Alam tiba-tiba.

“Lho, kok nggak nginap saja?” tanya Ibu, agak kaget.

“Tidak, Bu. Lagian tidak baik lelaki menginap di rumah perempuan yang belum halal,” ujarnya dengan nada tegas, membuat mulut Ibu membeku.

Tak berapa lama setelah kami selesai makan, Alam berpamitan pada kami.

***

“Ibu... kamar aku kok banyak debu, sih? Gak pernah dibersihkan, ya?” Sania berteriak dari dalam kamarnya saat ia memasukinya. Tentu saja akan banyak debu, sudah dua tahun kamar itu tidak dibuka.

“Gampanglah, kan di sini ada babu. Tinggal suruh saja dia, San!” Ibu menanggapi dengan santai dari ruang tengah.

“Ih! Ibu, gimana sih? Bukannya dari tadi kek suruh dibersihkan, mana banyak kecoak lagi!” Sania berlari ke arah Ibu, terlihat ketakutan.

“Ibu gak mau ada barang kamu yang hilang, makanya Ibu gak suruh mereka buat beresin kamar kamu. Entar kalau dimaling repot, kan?” jelas Ibu sambil melirik ke arahku.

“Ya sudah, sekarang aja suruh!” kata Sania dengan sedikit kesal.

“Yuda! Beresin kamar Sania!” Ibu meneriaki Bang Yuda sangat keras.

“Jangan, Bang!” seruku saat Bang Yuda hendak keluar kamar.

“Kenapa, sayang? Cuman beresin kamar kok?” tanya Bang Yuda, bingung.

“Gak usah! Memangnya Abang gak dengar? Tadi Ibu malah nuduh kalau kita bakal mencuri barang-barang Sania kalau kita beresin kamarnya!” ketusku, kesal.

“Ya sudah, kalau begitu mari kita pergi saja dari rumah ini, Hanza. Kamu mau kan?” Dengan emosi yang tertahan, Bang Yuda mengajakku pergi dari sini.

“Iya, Bang. Hanza mau asalkan sama Abang,” jawabku cepat.

“Baiklah, apakah tas ini milikmu?” tanya Bang Yuda sembari menunjuk tas besar di atas lemari.

“Iya, Bang. Itu tas Hanza yang beli.”

“Tunjukkan barang apa saja milikmu di sini,” pintanya, sambil melihat sekeliling kamar.

“Cuma itu saja dan beberapa baju, Bang,” jawabku pelan.

“Baiklah, kita bawa barang-barang milikmu. Setelah itu kita pergi dari sini!” kata Bang Yuda, tegas. Ia mulai memasukkan beberapa helai baju milikku dan miliknya ke dalam tas.

“Yuda! Kok lama banget sih! Buruan bersihkan kamar Sania!” Terdengar suara Ibu semakin keras berteriak di depan pintu kamar kami. Namun, kami tak menghiraukannya.

“Sudah siap?” tanyanya sembari menggenggam tanganku erat.

Aku mengangguk sembari mengenakan tas selempang jadulku yang biasa kupakai saat masih gadis. Bang Yuda kemudian membuka pintu kamar, dan ternyata Ibu masih berdiri di depan pintu.

Ibu menatap kami dengan tatapan terkejutnya, melirik kami dari atas sampai bawah. Kami juga ikut menatap Ibu, yang mematung di ambang pintu.

“Mau ke mana kalian, hah?” tanya Ibu sinis.

“Bukan urusan Ibu,” jawab Bang Yuda dengan dingin. Selama ini aku tak pernah mendengar Bang Yuda berbicara seperti itu pada Ibu, tapi kali ini aku mengerti perasaannya yang selalu diremehkan di sini.

“Kurang ajar! Kamu tidak menghargai aku sebagai mertuamu ini!” bentak Ibu, kesal.

“Mertua? Maaf aku tidak pernah mempunyai mertua modelan seperti Ibu. Ibu ingin dihormati? Ngaca dulu, Bu! Ibu saja tidak pernah menganggapku sebagai menantu. Selama ini Ibu hanya menganggapku babu! Jadi apanya yang harus dihormati?” Balas Bang Yuda tegas. Aku tahu dia masih menahan emosinya.

“Kamu yang kurang ajar, Yuda! Kerjanya cuma nyusahin saja di sini!” Mbak Nita ikut menimpali.

Bang Yuda tidak membalas perkataan Mbak Nita. Tangannya mengepal kuat, wajahnya juga merah padam. Belum pernah aku melihat dia semarah itu.

“Baiklah kalau kamu mau minggat dari sini, asalkan jangan bawa Hanza!” teriak Ibu, semakin emosi.

“Bu, dia suamiku. Bang Yuda berhak atasku, dan Ibu tidak ada hak untuk melarangku ikut bersamanya,” tegasku, berusaha tetap tenang.

“Lagian siapa Hanza di mata Ibu? Cuman Ibu sambung yang pura-pura menyayangi Hanza, kan?” ucap Bang Yuda, dengan nada yang tak bisa kupercaya. Biasanya dia lelaki pendiam dan penurut, tapi kini ia berbicara dengan tegas.

“Oh, atau mungkin Ibu mau memeras tenaga Hanza? Karena Ibu tidak mampu menyewa pembantu? Katanya orang kaya?” Bang Yuda makin menyudutkan Ibu.

“Jaga mulutmu, orang miskin! Sebelum kalian pergi, cepat bereskan dulu kamar Sania!” Ibu masih tidak lupa dengan perintah yang ingin dia berikan pada kami, suaranya penuh emosi.

Kulihat Sania dengan tatapan tak senangnya bersama Mbak Nita di dekat kursi, memperhatikan pertengkaran ini.

“Bereskan saja sendiri, kami tidak punya waktu. Lagian itu kamar yang nempati siapa? Kenapa nyuruh kami yang bersihkan? Apa yang menempatinya tidak punya kaki dan tangan?” Bang Yuda kembali menimpali ucapan Ibu dengan kata-kata yang pedas.

“Berani sekali kamu berbicara seperti itu!” Ibu berteriak sembari melayangkan tangannya untuk menampar wajah Bang Yuda. Namun, Ibu kalah cepat. Bang Yuda dengan gesitnya memegang tangan Ibu.

“Dengar ya, Bu. Bukannya Ibu sudah menuduh kami? Yang kata Ibu, kami akan mencuri barang Sania di kamarnya?” Bang Yuda menatap tajam ke arah Ibu.

“Ya jelaslah. Orang kalian itu miskin, pasti kalau lihat barang-barang milik Sania kalian akan ambil,” sungut Ibu sambil menepis tangan Bang Yuda.

“Sekalipun Ibu memberikan barang itu pada kami, atau kecilnya Ibu suruh menyentuh barang itu. Dengar baik-baik, Bu. Tak sudi aku menerimanya ataupun menyentuhnya sama sekali!” Bang Yuda makin mengeluarkan seluruh emosinya. Aku pun terkesiap melihat caranya berbicara. Apakah ini cara orang sabar dan pendiam ketika benar-benar marah?

“Berisik! Sudah, kalau kalian mau pergi, pergi sana! Paling kalian jadi gembel yang tinggal di kolong jembatan, ya kan?” teriak Sania yang dari tadi hanya memperhatikan perdebatan kami.

“Nanti juga pasti datang lagi ke rumah ini. Ngemis-ngemis minta tumpangan lagi,” timpal Mbak Nita, mengejek.

Bang Yuda buru-buru menarik lenganku keluar dari rumah bak neraka ini. Ia menyalakan motor bututnya, membelah jalan raya yang dipenuhi lalu lalang kendaraan orang-orang yang pulang dari pekerjaannya.

Entah ke mana ia akan membawaku sekarang. Mungkin benar saja, ia akan mencari kolong jembatan untuk kita tidur malam nanti. Aku tidak berani bertanya saat ia sedang emosi.

“Sayang, hujan. Sepertinya kita akan menepi dulu di depan ruko itu!” ucapnya sedikit berteriak karena suara angin yang bising saat kami mengendarai motor.

“Iya, Bang,” balasku sambil ikut berteriak.

Hujan turun begitu deras, disertai angin kencang. Kami berdua berteduh di depan ruko yang sedang tutup. Tubuhku terasa dingin sekali, aku memeluk tubuhku sendiri untuk sedikit mengusir rasa dingin itu.

“Maafkan Abang, ya, sayang. Ini kamu pakai jaket Abang saja,” ucapnya lembut, lalu memakaikan jaketnya padaku dan memelukku dengan erat.

“Sebentar, sayang,” ucap Bang Yuda tiba-tiba. Ia melepaskan pelukannya dan merogoh saku celananya, mengambil ponsel yang bergetar. Dengan cepat, ia menekan beberapa tombol, lalu menempelkan ponsel ke telinganya. “Jemput di Jalan Kencana No. 23 sekarang!” perintahnya singkat, suaranya terdengar tegas.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status