Share

Bab 4

last update Last Updated: 2024-08-31 15:51:17

“Sayang, Mas. Kamu tidak apa-apa, kan? Biar aku yang ambilkan minum!” ucap Sania tergesa-gesa, lalu mengambilkan segelas air putih untuk Alam.

Lelaki beralis tebal itu meneguk airnya, kemudian menampilkan ekspresi wajah yang amat dingin.

“Kira-kira ... kalian kapan tunangan? Atau mau langsung saja ke jenjang pernikahan?” tanya Ibu dengan antusias.

Sania dan Alam saling berpandangan, seolah bertanya satu sama lain melalui tatapan mereka.

“Menunggu beberapa bulan lagi, Bu,” jawab Alam sambil memberikan senyum tipis, namun kali ini tidak seramah sebelumnya.

“Syukurlah, Ibu berharap kalian secepatnya menikah,” ujar Ibu, senyumnya lebar.

“Oh, iya. Terima kasih jamuannya, sepertinya aku harus segera pulang, ada urusan mendadak di kantor. Sania, aku pulang dulu, ya?” kata Alam tiba-tiba.

“Lho, kok nggak nginap saja?” tanya Ibu, agak kaget.

“Tidak, Bu. Lagian tidak baik lelaki menginap di rumah perempuan yang belum halal,” ujarnya dengan nada tegas, membuat mulut Ibu membeku.

Tak berapa lama setelah kami selesai makan, Alam berpamitan pada kami.

***

“Ibu... kamar aku kok banyak debu, sih? Gak pernah dibersihkan, ya?” Sania berteriak dari dalam kamarnya saat ia memasukinya. Tentu saja akan banyak debu, sudah dua tahun kamar itu tidak dibuka.

“Gampanglah, kan di sini ada babu. Tinggal suruh saja dia, San!” Ibu menanggapi dengan santai dari ruang tengah.

“Ih! Ibu, gimana sih? Bukannya dari tadi kek suruh dibersihkan, mana banyak kecoak lagi!” Sania berlari ke arah Ibu, terlihat ketakutan.

“Ibu gak mau ada barang kamu yang hilang, makanya Ibu gak suruh mereka buat beresin kamar kamu. Entar kalau dimaling repot, kan?” jelas Ibu sambil melirik ke arahku.

“Ya sudah, sekarang aja suruh!” kata Sania dengan sedikit kesal.

“Yuda! Beresin kamar Sania!” Ibu meneriaki Bang Yuda sangat keras.

“Jangan, Bang!” seruku saat Bang Yuda hendak keluar kamar.

“Kenapa, sayang? Cuman beresin kamar kok?” tanya Bang Yuda, bingung.

“Gak usah! Memangnya Abang gak dengar? Tadi Ibu malah nuduh kalau kita bakal mencuri barang-barang Sania kalau kita beresin kamarnya!” ketusku, kesal.

“Ya sudah, kalau begitu mari kita pergi saja dari rumah ini, Hanza. Kamu mau kan?” Dengan emosi yang tertahan, Bang Yuda mengajakku pergi dari sini.

“Iya, Bang. Hanza mau asalkan sama Abang,” jawabku cepat.

“Baiklah, apakah tas ini milikmu?” tanya Bang Yuda sembari menunjuk tas besar di atas lemari.

“Iya, Bang. Itu tas Hanza yang beli.”

“Tunjukkan barang apa saja milikmu di sini,” pintanya, sambil melihat sekeliling kamar.

“Cuma itu saja dan beberapa baju, Bang,” jawabku pelan.

“Baiklah, kita bawa barang-barang milikmu. Setelah itu kita pergi dari sini!” kata Bang Yuda, tegas. Ia mulai memasukkan beberapa helai baju milikku dan miliknya ke dalam tas.

“Yuda! Kok lama banget sih! Buruan bersihkan kamar Sania!” Terdengar suara Ibu semakin keras berteriak di depan pintu kamar kami. Namun, kami tak menghiraukannya.

“Sudah siap?” tanyanya sembari menggenggam tanganku erat.

Aku mengangguk sembari mengenakan tas selempang jadulku yang biasa kupakai saat masih gadis. Bang Yuda kemudian membuka pintu kamar, dan ternyata Ibu masih berdiri di depan pintu.

Ibu menatap kami dengan tatapan terkejutnya, melirik kami dari atas sampai bawah. Kami juga ikut menatap Ibu, yang mematung di ambang pintu.

“Mau ke mana kalian, hah?” tanya Ibu sinis.

“Bukan urusan Ibu,” jawab Bang Yuda dengan dingin. Selama ini aku tak pernah mendengar Bang Yuda berbicara seperti itu pada Ibu, tapi kali ini aku mengerti perasaannya yang selalu diremehkan di sini.

“Kurang ajar! Kamu tidak menghargai aku sebagai mertuamu ini!” bentak Ibu, kesal.

“Mertua? Maaf aku tidak pernah mempunyai mertua modelan seperti Ibu. Ibu ingin dihormati? Ngaca dulu, Bu! Ibu saja tidak pernah menganggapku sebagai menantu. Selama ini Ibu hanya menganggapku babu! Jadi apanya yang harus dihormati?” Balas Bang Yuda tegas. Aku tahu dia masih menahan emosinya.

“Kamu yang kurang ajar, Yuda! Kerjanya cuma nyusahin saja di sini!” Mbak Nita ikut menimpali.

Bang Yuda tidak membalas perkataan Mbak Nita. Tangannya mengepal kuat, wajahnya juga merah padam. Belum pernah aku melihat dia semarah itu.

“Baiklah kalau kamu mau minggat dari sini, asalkan jangan bawa Hanza!” teriak Ibu, semakin emosi.

“Bu, dia suamiku. Bang Yuda berhak atasku, dan Ibu tidak ada hak untuk melarangku ikut bersamanya,” tegasku, berusaha tetap tenang.

“Lagian siapa Hanza di mata Ibu? Cuman Ibu sambung yang pura-pura menyayangi Hanza, kan?” ucap Bang Yuda, dengan nada yang tak bisa kupercaya. Biasanya dia lelaki pendiam dan penurut, tapi kini ia berbicara dengan tegas.

“Oh, atau mungkin Ibu mau memeras tenaga Hanza? Karena Ibu tidak mampu menyewa pembantu? Katanya orang kaya?” Bang Yuda makin menyudutkan Ibu.

“Jaga mulutmu, orang miskin! Sebelum kalian pergi, cepat bereskan dulu kamar Sania!” Ibu masih tidak lupa dengan perintah yang ingin dia berikan pada kami, suaranya penuh emosi.

Kulihat Sania dengan tatapan tak senangnya bersama Mbak Nita di dekat kursi, memperhatikan pertengkaran ini.

“Bereskan saja sendiri, kami tidak punya waktu. Lagian itu kamar yang nempati siapa? Kenapa nyuruh kami yang bersihkan? Apa yang menempatinya tidak punya kaki dan tangan?” Bang Yuda kembali menimpali ucapan Ibu dengan kata-kata yang pedas.

“Berani sekali kamu berbicara seperti itu!” Ibu berteriak sembari melayangkan tangannya untuk menampar wajah Bang Yuda. Namun, Ibu kalah cepat. Bang Yuda dengan gesitnya memegang tangan Ibu.

“Dengar ya, Bu. Bukannya Ibu sudah menuduh kami? Yang kata Ibu, kami akan mencuri barang Sania di kamarnya?” Bang Yuda menatap tajam ke arah Ibu.

“Ya jelaslah. Orang kalian itu miskin, pasti kalau lihat barang-barang milik Sania kalian akan ambil,” sungut Ibu sambil menepis tangan Bang Yuda.

“Sekalipun Ibu memberikan barang itu pada kami, atau kecilnya Ibu suruh menyentuh barang itu. Dengar baik-baik, Bu. Tak sudi aku menerimanya ataupun menyentuhnya sama sekali!” Bang Yuda makin mengeluarkan seluruh emosinya. Aku pun terkesiap melihat caranya berbicara. Apakah ini cara orang sabar dan pendiam ketika benar-benar marah?

“Berisik! Sudah, kalau kalian mau pergi, pergi sana! Paling kalian jadi gembel yang tinggal di kolong jembatan, ya kan?” teriak Sania yang dari tadi hanya memperhatikan perdebatan kami.

“Nanti juga pasti datang lagi ke rumah ini. Ngemis-ngemis minta tumpangan lagi,” timpal Mbak Nita, mengejek.

Bang Yuda buru-buru menarik lenganku keluar dari rumah bak neraka ini. Ia menyalakan motor bututnya, membelah jalan raya yang dipenuhi lalu lalang kendaraan orang-orang yang pulang dari pekerjaannya.

Entah ke mana ia akan membawaku sekarang. Mungkin benar saja, ia akan mencari kolong jembatan untuk kita tidur malam nanti. Aku tidak berani bertanya saat ia sedang emosi.

“Sayang, hujan. Sepertinya kita akan menepi dulu di depan ruko itu!” ucapnya sedikit berteriak karena suara angin yang bising saat kami mengendarai motor.

“Iya, Bang,” balasku sambil ikut berteriak.

Hujan turun begitu deras, disertai angin kencang. Kami berdua berteduh di depan ruko yang sedang tutup. Tubuhku terasa dingin sekali, aku memeluk tubuhku sendiri untuk sedikit mengusir rasa dingin itu.

“Maafkan Abang, ya, sayang. Ini kamu pakai jaket Abang saja,” ucapnya lembut, lalu memakaikan jaketnya padaku dan memelukku dengan erat.

“Sebentar, sayang,” ucap Bang Yuda tiba-tiba. Ia melepaskan pelukannya dan merogoh saku celananya, mengambil ponsel yang bergetar. Dengan cepat, ia menekan beberapa tombol, lalu menempelkan ponsel ke telinganya. “Jemput di Jalan Kencana No. 23 sekarang!” perintahnya singkat, suaranya terdengar tegas.

Related chapters

  • DIKIRA MENANTU MISKIN    Bab 5

    Aku tidak tahu siapa yang Bang Yuda telepon. Mungkin suamiku meminta bantuan temannya untuk menjemput kami, lalu mencari tempat menginap untuk malam ini. Syukurlah, aku merasa lega karena tidak harus tidur di jalanan atau di bawah kolong jembatan. Takut rasanya jika ada orang jahat yang menghampiri kita.Hari sudah hampir gelap, sedangkan hujan masih turun dengan deras. Kilatan petir sesekali membuatku terkejut dan cemas. Bang Yuda kembali merangkulku erat, mencoba menghangatkan tubuhku. Kami berdiri di sana, menunggu bantuan datang.Lalu lintas di jalan cukup ramai, meski dalam kondisi hujan. Sebuah mobil hitam melaju perlahan lalu berhenti tepat di hadapan kami. Aku mengira itu mungkin pemilik ruko.“Bang, ayo kita minggir. Sepertinya itu pemilik ruko ini,” bisikku, menarik lengan Bang Yuda.Bang Yuda malah tertawa kecil mendengar ucapanku. “Itu orang yang mau jemput kita, sayang,” katanya sambil tersenyum.Aku sedikit terkejut mendengarnya. Bayanganku bukanlah mobil yang akan menje

    Last Updated : 2024-08-31
  • DIKIRA MENANTU MISKIN    Bab 6

    Aku begitu bingung, sekarang apa yang harus kulakukan di sini. Ini bagaikan mimpi, sekali lagi kutampar pipiku. “Aww ... sakit!” gumamku, tak percaya. Ya Allah, ini benar kan? Suamiku itu kaya raya ternyata. Kalau saja Ibu dan saudara-saudaraku tahu, mereka pasti akan malu sekali. Tiba-tiba suara ketukan pintu membuyarkan lamunanku. Aku buru-buru membuka pintu kamar dengan ukiran kayu jati yang begitu indah. “Nyonya, silakan sarapannya,” ucap seorang wanita muda dengan senyuman ramah, sambil menyerahkan nampan kepadaku. Tanganku refleks menerima sebuah nampan yang berisi sepiring nasi lengkap dengan sayur dan lauknya. Segelas susu dan air putih juga melengkapinya. “T-terima kasih,” kataku gugup dengan sebutan "Nyonya." Aku merasa sangat tidak pantas dengan sebutan itu. “Sama-sama. Jika ada apa-apa, Nyonya silakan panggil saya saja di bawah. Permisi!” ucap pelayan itu sambil tersenyum dan berlalu. Setelah pelayan itu pergi, aku menikmati sarapan pagiku. Tidak pernah rasanya aku

    Last Updated : 2024-09-12
  • DIKIRA MENANTU MISKIN    Bab 7

    "Abang sudah pulang?" Nita buru-buru menyambut Andi yang baru saja tiba."Sudah, Sayang. Ada kabar gawat!" Andi yang bertubuh agak besar langsung menjawab."Gawat kenapa? Jangan-jangan kamu dipecat?" Nita bertanya dengan nada setengah kaget."Bukan, bukan itu, Sayang. Ini soal Yuda."Nita mengernyitkan dahi. "Memangnya kenapa dengan dia? Abang habis ketemu dia?""Dia itu bos perusahaan tempat aku kerja, Nita," ungkap Andi, membuat seluruh isi rumah terdiam kaget."Apa? Jadi benar Yuda itu pemilik perusahaan?" Ayu, mertua Andi, memotong."Iya, Bu. Aku baru tahu tadi saat perkenalan. Selama sebulan kerja di sana, dia memang nggak ada. Tapi tadi dia muncul di kantor dan langsung mengaku sebagai bos perusahaan," Andi menjelaskan dengan nada tertekan."Kamu percaya begitu saja, Bang?" Nita masih ragu."Ya iyalah, Sayang. Perusahaan sebesar itu nggak sembarang orang bisa masuk. Aku juga lihat beberapa asisten yang ikut di belakangnya," jawab Andi, terlihat semakin gelisah. Dia membayangkan

    Last Updated : 2024-09-13
  • DIKIRA MENANTU MISKIN    Bab 8

    ---Malam ini tiba-tiba ada tamu datang ke rumah Bang Yuda. Aku kira memang tamunya dia, tapi ternyata bukan. Mereka adalah ibuku dan saudara-saudaraku. Mau apa mereka datang kemari? Jadi, alasan Ibu nanya keberadaanku untuk menemuiku di sini. Pasti mereka terkagum-kagum melihat keadaan Bang Yuda sekaya ini. Makannya jangan semena-mena, kalau sudah tahu kebenarannya kan jadi malu.Mereka datang untuk meminta maaf. Aku tidak tahu, apakah mereka benar-benar tulus atau hanya ingin melihat harta Bang Yuda saja?“Benar, Yuda. Kami semua meminta maaf dari hati yang paling dalam,” ucap Mbak Nita dengan suara pelan, diikuti anggukan yang lain.Wajah mereka terlihat memelas, berbeda seratus delapan puluh derajat dari sebelumnya.“Baiklah, aku maafkan kalian. Sudah cukup?” sahut suamiku datar. Dia memang lelaki idaman, baik hati dan tidak sombong.“Terima kasih, Yuda. Semoga kita bisa menjadi keluarga yang tenteram,” kata Ibu sambil tersenyum, tapi ada sesuatu yang aneh dalam ekspresinya.Aku m

    Last Updated : 2024-09-16
  • DIKIRA MENANTU MISKIN    Bab 9

    "Hanza, Yuda!" Tiba-tiba, suara keras terdengar dari pintu depan saat ibuku masuk ke rumah tanpa permisi. "Ada apa, Bu? Pagi-pagi sudah ke sini?" tanyaku dengan heran, meski dalam hati aku sudah menduga maksud kedatangannya. "Ah, anu... Ibu cuma mau main saja. Wah, kalian lagi sarapan ya? Kebetulan Ibu belum makan," katanya sambil langsung mendekat ke meja makan. Astaga! Setelah tahu suamiku kaya, Ibu makin tidak tahu malu. Belum sarapan? Itu alasan yang sudah sering dia pakai. "Sayang, Abang mau ke kantor dulu, ya?" Suamiku, Yuda, tiba-tiba memotong, tak sedikit pun memedulikan tingkah laku Ibu. "Tapi, Bang..." Aku menahan tangannya, tidak nyaman ditinggal berdua dengan Ibu. "Mau ikut?" tanyanya lembut, seolah paham dengan kegelisahanku. "Emang boleh kalau Hanza ikut?" "Tentu saja boleh, Sayang. Siapa yang melarang?" jawabnya santai. "Bos." "Kan Abang bosnya. Masak lupa?" candanya dengan senyum penuh keyakinan. Ya ampun, kenapa aku sampai lupa? Rasanya aku masih menganggap

    Last Updated : 2024-09-16
  • DIKIRA MENANTU MISKIN    Bab 10

    Kulihat Bang Andi mengusap wajah dengan kasar. Ia masih belum meninggalkan ruangan Bang Yuda.“Yuda, Abang mohon. Jangan jadikan cleaning service, ya?” Bang Andi masih memohon.“Kalau Abang tidak mau dengan pekerjaan yang aku berikan, ya sudah silakan keluar dari kantorku,” jawab Bang Yuda mantap.Bang Andi mendengus kesal.“Silakan jika Abang mau keluar. Barangkali ada perusahaan lain yang bisa menerima Abang, yang pasti bukan perusahaanku. Karena ada sekitar enam cabang perusahaan milikku di kota ini. Belum lagi di luar kota, masih ada tiga perusahaan yang kupegang.”Apa? Sebanyak itu suamiku mempunyai perusahaan? Aku yang mendengarnya juga begitu kaget, bukan kepalang. Apalagi Bang Andi, yang selalu merendahkan orang lain, pasti langsung syok.“Baiklah, Yuda. Aku terima saja pekerjaan ini!” ucapnya, melengos ke luar.“Mulai hari ini ya, Bang. Silakan minta seragam OB ke ketua cleaning service-nya, lalu segera ganti bajumu.”Bang Andi kembali membalikkan badan, sepertinya ia ingin s

    Last Updated : 2024-09-19
  • DIKIRA MENANTU MISKIN    Bab 11

    POV AndiAku sangat lega tidak dipecat dari perusahaan Yuda. Gak habis pikir sih, dia itu beg* apa gimana sih? Haha gak penting pokoknya aku masih bisa bekerja di kantor. Malam itu, dia berkata kalau kita berdua akan berbicara. Tanpa pikir panjang, aku langsung menyetujuinya walaupun belum tahu hal apa yang akan ia bicarakan. Soal naik gaji kah? Atau naik jabatan mungkin. Aku menyesal, kenapa gak dari dulu aku baik-baikin si Yuda. Aku memasuki kantor Yuda, padahal dulu aku gak pernah menyangka sedikit pun, kalau ruangan mewah ini ditempati si Yuda. Karena Penampilannya dekil sekali kalau berada di rumah. Rupanya, dia hanya menyamar. Kurang ajar! Yuda langsung memberikan sebuah amplop yang berisi surat. Aku merasa deg-degan saat membuka surat itu di hadapannya. Begitu kubuka, hampir saja aku jantungan. Tega-teganya si Yuda menurunkan jabatanku serendah-rendahnya. Aku dijadikan OB hari ini juga. Apa maksudnya? Kalau saja aku berani seperti dulu, pasti sudah kuhajar tuh si Yuda. “E

    Last Updated : 2024-09-23
  • DIKIRA MENANTU MISKIN    12

    ”Bang, kok Abang gak kerja?” tanyaku saat melihat Bang Yuda santai di balkon kamar.“Enggak, Sayang. Hari ini libur, kan hari Minggu. Abang mau ajak kamu shopping,” jawabnya.“Shopping?” “Kamu tahu, kan shopping?” “Ih Abang, Hanza juga gak bodoh-bodoh amat kali!” ketusku.“Bercanda, kok. Istri Abang, kan paling pintar,” pujinya, “memangnya kamu gak mau diajak belanja?” “Gak usah ditanya kali, Bang. Hanza mau banget! Selama di rumah Ibu, Hanza gak pernah Abang ajak belanja.”“Ya sudah, kamu dandan yang cantik, ya!”“Sudah siap, Tuan Putri?” Bang Yuda membukakan pintu mobilnya. Aku mengangguk tersipu malu dibuatnya. Lalu Bang Yuda melajukan mobilnya membelah jalanan yang cukup padat.Tak banyak bicara selama dalam perjalanan, aku hanya menikmati jalanan kota yang penuh dengan gedung-gedung tinggi. Tak menyangka kehidupanku berubah drastis menjadi sekarang. “Pokoknya, kamu mau apa pun Abang belikan,” ujarnya saat kami memasuki sebuah pusat perbelanjaan yang sangat besar di kota ini.

    Last Updated : 2024-09-23

Latest chapter

  • DIKIRA MENANTU MISKIN    Bab 35

    “Selamat, Pak. Anak Bapak perempuan. Wajahnya cantik sekali, sehat, tidak ada kurang satu apa pun,” ujar Dokter. Hari ini adalah hari yang ditunggu-tunggu kedua pasangan Yuda dan Hanza. Setelah lamanya menanti selama sembilan bulan, akhirnya Hanza melahirkan seorang anak perempuan. Keluarga besar mereka ikut menemani persalinannya. Tak ada yang tak meneteskan air mata, semua terharu karena dapat menggendong cucu pertama mereka. Kehadirannya disambut begitu bahagia.“Alhamdulillah. Nak gadis. Kamu cantik sekali, Nak. Hidungmu mirip papamu dan wajahmu mirip ibumu. Jadi anak yang shalihah ya, Nak,” tutur Meli sembari menggendong dengan hati-hati bayi mungil itu. “Terima kasih, Dokter. Telah membantu proses persalinan istri saya.”“Sama-sama. Ini semua berkat do’a kalian dan pastinya ada campur tangan Allah yang melancarkan segalanya.” Dua hari kemudian, Hanza sudah berada di rumahnya. Setelah proses melahirkan di rumah sakit. “Ya Allah, gemes banget, Nyonya kecil ini,” Mbak Nani men

  • DIKIRA MENANTU MISKIN    Bab 34

    Sepanjang perjalanan, Bu Ayu terus saja menepuk-nepuk pelan Sania agar ia tersadar dari pingsannya. Keluarga mereka begitu kacau. Sementara Nita, ia hanya menatap kosong, memikirkan Andi yang dipenjara.“Apa mau ke rumah sakit, Bu?” tanya sopir taksi. Ia melihat iba pada Sania.“Tidak usah, Pak. Kita pulang saja ke alamat tujuan,” ketus Bu Ayu.“Nita! Kamu malah bengong aja dari tadi! Bantu kek, biar Sania cepat sadar!” bentak Ayu membuat Nita terkesiap dari lamunannya.“Ya udah, sih! Nanti juga sadar sendiri!” timpal Nita kesal.“Kamu ini! Sama adik sendiri gak ada tolongnya!” “Ibu tuh! Yang pilih kasih! Si Sania itu udah kurang ajar sama aku sebagai kakaknya tahu gak, Bu? Tapi Ibu selalu saja belain dia walaupun dia salah! Selama ini aku berbaik hati pada dia karena dia adikku! Tapi, kalau ingat kelakuannya sama aku yang suka ngatain gak sopan kalau gak dikasih uang, rasanya aku akan berhenti peduli saja sama dia! Ibu aja yang urus sendiri!” Nita begitu marah. Tak peduli ada sopir

  • DIKIRA MENANTU MISKIN    Bab 33

    “Semoga, kalian selalu bahagia ya, Nak. Tinggalkan yang membuat kalian tak nyaman.” Ghazi berujar.“Iya, Pa. Mulai hari ini, aku tidak akan membiarkan Hanza dekat dengan mereka. Mereka bukan darah daging Hanza, juga tak pernah mempunyai hutang Budi,” balas Yuda. Sementara Hanza tidak berkomentar apa pun. Sepanjang perjalanan pulang, ia hanya menatap jalanan dengan lalu lalang kendaraan. Yuda dan Ghazi mengerti perasaannya, membiarkan Hanza dengan pikirannya sendiri. “Oh iya, Pa, mau menginap di rumah kami saja?”“Tidak perlu, Nak. Papa banyak pekerjaan juga di kantor.”“Papa tidak perlu bekerja lagi, biar semuanya aku yang handle, Pa.”“Selama badan Papa masih kuat dan sehat, Papa tidak mau mengandalkan hasil keringat anak Papa. Papa masih bisa mencari nafkah, Nak. Papa ingin menambah tabungan Papa untuk hari nanti saat Papa tak mampu untuk bekerja lagi.” Ucapan Ghazi membuat kedua pasangan itu tersentuh. Rasa kagumnya pada orang tuanya begitu dalam. Ghazi memang orang tua yang pa

  • DIKIRA MENANTU MISKIN    Bab 32

    Hari ini adalah hari pernikahan Sania. Semua orang di rumah Bu Ayu, tampak sibuk dengan acara tersebut. Mereka bersiap-siap menunggu jemputan mobil yang akan membawanya ke gedung pernikahan. Sementara di rumah Alamsyah. Wanita paruh baya bersetelan rapi mengetuk pintu beberapa kali. Setelah pintu terbuka, wanita itu tersenyum begitu puas. “Maaf, ada yang bisa dibantu, Bu?” tanya seorang pembantu.“Saya mau bertemu dengan tuan rumah ini. Ini penting, tolong sampaikan,” ucapnya. Pembantu mengangguk, lalu ia melangkah menuju ruang keluarga. Di mana ada Alamsyah dan ibunya yang juga sedang bersiap. “Permisi, Bu. Pak, ada tamu di luar,” ucapnya.“Suruh ke dalam saja, Bi. Nanti aku ke sana,” ucap Alam. “Baik, Pak.” Pembantu itu segera kembali ke luar mempersilakan masuk tamu wanita itu. Bi Ina, segera menyuguhkan air dan camilan di atas meja. Lalu ia kembali dengan pekerjaannya. Alamsyah dan Bu Sri, menghampiri wanita yang kini sedang menunggu di ruang tamu.“Maaf, Bu. Ada keperluan

  • DIKIRA MENANTU MISKIN    Bab 31

    “Bang Andi. Besok akan dijemput polisi atas kasus yang telah ia perbuat.” “Syukurlah. Dia memang harus dapat pelajaran. Agar cepat sadar,” timpalku. Kini kami telah sampai di rumah. Para pelayan sepertinya sedang istirahat. Memang aku yang meliburkan mereka untuk hari ini. Begitu memasuki rumah, banyak sekali kado yang berjajar di ruang tamu. “Bang, dari siapa ini? Kok banyak sekali?”Bang Yuda tampak melihat satu persatu kado yang berbagai macam ukuran itu. “Dari karyawan kantor, Sayang. Mungkin mereka sengaja mengantarnya langsung ke rumah. Ada-ada saja mereka.”“Berterima kasihlah, Bang pada mereka,” ucapku. “Iya, Abang foto dulu. Habis itu kita kirim ke grup wa. Kita ucapkan terima kasih pada mereka semua.” Bang Yuda mengambil ponselnya lalu memotret kado-kado. “Ya sudah, Bang. Kita istirahat dulu. Rasanya lelah sekali, walaupun cuman duduk di kursi pelaminan,” ajakku. Kami berdua menaiki anak tangga menuju kamar. Kuhempaskan tubuhku di atas kasur lalu kunyalakan AC. Lelahn

  • DIKIRA MENANTU MISKIN    Bab 30

    Jujur, hari ini seluruh kebencian dan kekecewaanku pada Ibu lenyap begitu saja. Aku hanya ingin melepas rindu dengan Ibu setelah berapa lamanya kita tak bertemu. Ibu sudah meminta maaf padaku. Aku ikhlas memaafkannya. Aku mengangguk, lalu kembali memeluk erat wanita yang telah melahirkanku. Kini kami menjadi pusat perhatian banyak orang. Bang Yuda, dan Papa mertua begitu terkejut juga. Pak Sony juga tampaknya mengeluarkan air mata haru. “Ya sudah, Nak. Ini Papa sambungmu. Pak Sony namanya.”“Iya, Bu.” Aku mengecup takzim tangan Pak Sony yang kini menjadi Papa sambung. “Nak, kami turun dulu, ya? Kasihan orang lain mengantri,” ucap Ibu. “Iya, silakan, Pak, Bu. Selamat menikmati hidangan di sini,” balasku masih dengan suara bergetar.Mereka berdua turun dari pelaminan. Suasana kembali lagi seperti semula, aku lihat ibu sambungku terus saja memperhatikanku lalu mereka terlihat berbisik-bisik. Entahlah, mungkin mereka juga kaget ternyata Ibu kandungku masih hidup. “Sungguh, Abang masi

  • DIKIRA MENANTU MISKIN    Bab 29

    ***Hari-hari yang ditunggu itu kini telah datang. Pagi ini, aku sudah didandani begitu cantik oleh seorang MUA. Aku begitu pangling melihat diriku dalam pantulan cermin besar. Gaun putih elegan ini dan hijab yang senada tak lupa juga disematkan mahkota di atasnya membuat aku tak kenal dengan diriku sendiri. “Mbak, jago banget riasannya,” seruku.“Bagaimana, Bu Hanza? Suka?”“Suka banget, Mbak. Terima kasih, ya.” “Lihat, Pa. Menantu Papa ini, cantik sekali,” ujar Bang Yuda membuat aku tersenyum malu.“Anak Papa benar-benar lihai dalam memilih pasangan hidup.” Papa memuji Bang Yuda sembari menepuk pundaknya pelan.“Sebagaimana Papa memilih Mami dulu, kan?” “Benar sekali.”Kedua lelaki itu tertawa renyah, aku dan tim MUA pun, ikut tertawa mendengar percakapan mereka itu. “Ya sudah, Papa mau keluar dulu, ya? Teman-teman Papa sepertinya sudah ada yang datang,” pamit Papa. “Siap, Pa.” Aku memandangi kekasih halalku dengan tatapan penuh kekaguman. Hari ini, Bang Yuda begitu tampan se

  • DIKIRA MENANTU MISKIN    Bab 28

    “Mbak, semua makanan sudah siap?” tanyaku pada Mbak Nani.“Sudah, Nya. Ini aku mau menaruhnya di meja makan dan ruang tamu,” ucap Mbak Nani.“Kok, Mbok gak tahu, kalau Sinta ada yang mau lamar, Nya? Tahu tadi subuh dari Nani,” ucap Mbok Rusli.Mbok Rusli sudah tidur malam itu, jadi dia tidak tahu dengan kejadian semalam. “Gak papa, Mbok. Yang penting sekarang Mbok sudah tahu,” jawabku.“Iya, Mbok malah tidur lebih awal jadinya gak tahu, Nya. Ya sudah, Mbok mau lanjutkan pekerjaan, Nya.” Wanita paruh baya itu begitu cekatan kerjanya meskipun usianya tak muda lagi. Sementara aku mengecek ke kamar Mbak Sinta. Aku memberikan baju baru untuknya agar dipakai di hari penyambutan keluarga Andri. Mbak Sinta tampak cantik sekali, dia memakai make up tipis natural. Meskipun begitu auranya begitu beda hari ini. Gamis berwarna merah marun senada dengan kerudungnya membuat wanita bertubuh sintal itu anggun sekali. “Nyonya, aku bingung, nanti harus bagaimana?” “Jika dia baik, lebih baik terima

  • DIKIRA MENANTU MISKIN    Bab 27

    Hanza PovMalam ini kami berdua makan malam di kamar kami. Aku merasa geram sekali setelah mendengar kabar kalau Bang Andi hendak membakar kantor milik suamiku. Manusia macam apa dia, tak pernah sekali pun, bersyukur. Aku juga begitu penasaran, siapa malam-malam bertamu kemari untuk menemui Bang Yuda. Makan malam segera kami selesaikan. Karena penasaran, aku ikut ke bawah sembari membawa piring bekas kami makan. “Bang, siapa itu?” bisikku pada Bang Yuda, saat kami menuruni anak tangga.“Abang juga tidak tahu, Sayang. Kita samperin saja,” balas Yuda. Kami telah sampai di lantai bawah. Bang Yuda terlihat heran, siapa lelaki asing ini. Sementara, aku menyimpan piring kotor ke dapur. Lalu aku juga ikut duduk bersama suamiku.“Maaf, Anda siapa? Dan ada perlu apa datang kemari?” tanya Bang Yuda.Pria berhodie biru itu tampak gugup, lalu sedikit berdehem. Mungkin untuk menghilangkan kegugupannya.“Sebenarnya saya ke sini untuk meminta maaf, Pak,” ucapnya membuat kami berdua semakin kebin

Scan code to read on App
DMCA.com Protection Status