“Selamat, Pak. Anak Bapak perempuan. Wajahnya cantik sekali, sehat, tidak ada kurang satu apa pun,” ujar Dokter. Hari ini adalah hari yang ditunggu-tunggu kedua pasangan Yuda dan Hanza. Setelah lamanya menanti selama sembilan bulan, akhirnya Hanza melahirkan seorang anak perempuan. Keluarga besar mereka ikut menemani persalinannya. Tak ada yang tak meneteskan air mata, semua terharu karena dapat menggendong cucu pertama mereka. Kehadirannya disambut begitu bahagia.“Alhamdulillah. Nak gadis. Kamu cantik sekali, Nak. Hidungmu mirip papamu dan wajahmu mirip ibumu. Jadi anak yang shalihah ya, Nak,” tutur Meli sembari menggendong dengan hati-hati bayi mungil itu. “Terima kasih, Dokter. Telah membantu proses persalinan istri saya.”“Sama-sama. Ini semua berkat do’a kalian dan pastinya ada campur tangan Allah yang melancarkan segalanya.” Dua hari kemudian, Hanza sudah berada di rumahnya. Setelah proses melahirkan di rumah sakit. “Ya Allah, gemes banget, Nyonya kecil ini,” Mbak Nani men
“Makan terus! Tapi giliran kasih uang belanja paling sedikit. Benar-benar menantu gak guna!” omel ibuku.Deg!Ucapan Ibu membuat hatiku teriris, terutama melihat Bang Yuda—suamiku—yang sedang makan di dapur. Kulihat lelaki yang baru menikahiku tiga bulan lalu itu memperlambat kunyahannya. Jelas sekali dia tersinggung. Padahal, Bang Yuda hanya makan sekali sehari di rumah. Pekerjaannya sebagai buruh pabrik dengan UMR rendah membuatnya diperlakukan berbeda dari menantu lainnya.“Bang, sudah selesai makannya?” tanyaku pelan saat dia masuk ke kamar.“Alhamdulillah, sudah, sayang,” jawabnya lembut.“Bang...” aku memanggil, ragu.“Hmm? Kenapa, sayang?” tanyanya, menatapku dengan penuh perhatian.“Perlakuan Ibu itu keterlaluan sama Abang. Kenapa Abang cuma diam aja?” tanyaku sambil memeluk tubuhnya erat.Dia tersenyum tipis. “Gak apa-apa, sayang.”“Gak apa-apa bagaimana? Itu sudah keterlaluan. Abang kan juga menantu di rumah ini,” ujarku gemas dengan sikapnya yang terlalu sabar.Dia hanya te
“Sayang?” panggil suamiku, menatap penuh pertanyaan. “Kenapa sih, Abang gak lawan aja mereka? Kenapa Abang diam saja? Abang juga punya harga diri! Apa menghargai seseorang itu harus dilihat dari hartanya?” tanyaku, merasa tak bisa lagi menahan emosiku. “Sabar, sayang. Sabar ...,” jawabnya dengan lembut, berusaha menenangkan. “Sudah, ayo bantu aku mengemasi barang-barang kita, Bang!” Aku mulai membuka lemari dan menarik baju-baju yang ada di sana dengan tergesa. “Sayang, jangan membuat keputusan saat sedang emosi. Kamu sabar dulu, ada sesuatu yang belum Abang selesaikan di sini,” ujarnya menatapku lekat, seakan ada sesuatu yang penting yang belum diungkapkan. “Sesuatu apa itu, Bang?” tanyaku, penasaran dan sedikit khawatir. “Nanti kamu juga tahu kebenarannya, kita tidak boleh dulu meninggalkan rumah ini.” Lelakiku itu tersenyum penuh arti, membuatku semakin bingung. Aku yang begitu penasaran mengangguk dengan perasaan campur aduk. Lagi pula, aku juga belum menyelidiki kode yang
"Ini hadiah buat kamu," ucapnya sambil menyodorkan kembali ponsel itu padaku."Hadiah? Kenapa Abang belikan ponsel semahal ini? Kan sayang uangnya. Lagi pula, Abang dapat uang dari mana untuk membeli ponsel sebagus ini?""Um... itu pemberian dari Bos, sayang. Dipakai ya, kan selama ini ponsel kamu sering mati tanpa sebab."Pemberian dari Bos? Emang ada Bos pabrik sebaik itu? Aku hanya mengangguk dan menerima ponsel yang diberikan olehnya."Kamu suka gak?""Ya suka dong. Siapa yang gak suka sama ponsel ini," jawabku dengan campuran rasa senang dan bingung."Ya sudah, biar nanti pas video call sama Abang gak mati-mati lagi. Ponsel yang itu simpan saja," ucapnya.Aku mengangguk, dan sempat-sempatnya tadi berpikir kalau Bang Yuda sebenarnya memang lelaki tajir yang sedang menyamar sebagai orang biasa. Hehe... maafkan Hanza, Bang. Apa pun keadaanmu, Hanza mencintaimu.Namun, masih ada satu kejanggalan. Kenapa lelaki tadi bisa menyebut suamiku pemilik perusahaan? Apa dia lagi halu atau gima
“Sayang, Mas. Kamu tidak apa-apa, kan? Biar aku yang ambilkan minum!” ucap Sania tergesa-gesa, lalu mengambilkan segelas air putih untuk Alam.Lelaki beralis tebal itu meneguk airnya, kemudian menampilkan ekspresi wajah yang amat dingin.“Kira-kira ... kalian kapan tunangan? Atau mau langsung saja ke jenjang pernikahan?” tanya Ibu dengan antusias.Sania dan Alam saling berpandangan, seolah bertanya satu sama lain melalui tatapan mereka.“Menunggu beberapa bulan lagi, Bu,” jawab Alam sambil memberikan senyum tipis, namun kali ini tidak seramah sebelumnya.“Syukurlah, Ibu berharap kalian secepatnya menikah,” ujar Ibu, senyumnya lebar.“Oh, iya. Terima kasih jamuannya, sepertinya aku harus segera pulang, ada urusan mendadak di kantor. Sania, aku pulang dulu, ya?” kata Alam tiba-tiba.“Lho, kok nggak nginap saja?” tanya Ibu, agak kaget.“Tidak, Bu. Lagian tidak baik lelaki menginap di rumah perempuan yang belum halal,” ujarnya dengan nada tegas, membuat mulut Ibu membeku.Tak berapa lama
Aku tidak tahu siapa yang Bang Yuda telepon. Mungkin suamiku meminta bantuan temannya untuk menjemput kami, lalu mencari tempat menginap untuk malam ini. Syukurlah, aku merasa lega karena tidak harus tidur di jalanan atau di bawah kolong jembatan. Takut rasanya jika ada orang jahat yang menghampiri kita.Hari sudah hampir gelap, sedangkan hujan masih turun dengan deras. Kilatan petir sesekali membuatku terkejut dan cemas. Bang Yuda kembali merangkulku erat, mencoba menghangatkan tubuhku. Kami berdiri di sana, menunggu bantuan datang.Lalu lintas di jalan cukup ramai, meski dalam kondisi hujan. Sebuah mobil hitam melaju perlahan lalu berhenti tepat di hadapan kami. Aku mengira itu mungkin pemilik ruko.“Bang, ayo kita minggir. Sepertinya itu pemilik ruko ini,” bisikku, menarik lengan Bang Yuda.Bang Yuda malah tertawa kecil mendengar ucapanku. “Itu orang yang mau jemput kita, sayang,” katanya sambil tersenyum.Aku sedikit terkejut mendengarnya. Bayanganku bukanlah mobil yang akan menje
Aku begitu bingung, sekarang apa yang harus kulakukan di sini. Ini bagaikan mimpi, sekali lagi kutampar pipiku. “Aww ... sakit!” gumamku, tak percaya. Ya Allah, ini benar kan? Suamiku itu kaya raya ternyata. Kalau saja Ibu dan saudara-saudaraku tahu, mereka pasti akan malu sekali. Tiba-tiba suara ketukan pintu membuyarkan lamunanku. Aku buru-buru membuka pintu kamar dengan ukiran kayu jati yang begitu indah. “Nyonya, silakan sarapannya,” ucap seorang wanita muda dengan senyuman ramah, sambil menyerahkan nampan kepadaku. Tanganku refleks menerima sebuah nampan yang berisi sepiring nasi lengkap dengan sayur dan lauknya. Segelas susu dan air putih juga melengkapinya. “T-terima kasih,” kataku gugup dengan sebutan "Nyonya." Aku merasa sangat tidak pantas dengan sebutan itu. “Sama-sama. Jika ada apa-apa, Nyonya silakan panggil saya saja di bawah. Permisi!” ucap pelayan itu sambil tersenyum dan berlalu. Setelah pelayan itu pergi, aku menikmati sarapan pagiku. Tidak pernah rasanya aku
"Abang sudah pulang?" Nita buru-buru menyambut Andi yang baru saja tiba."Sudah, Sayang. Ada kabar gawat!" Andi yang bertubuh agak besar langsung menjawab."Gawat kenapa? Jangan-jangan kamu dipecat?" Nita bertanya dengan nada setengah kaget."Bukan, bukan itu, Sayang. Ini soal Yuda."Nita mengernyitkan dahi. "Memangnya kenapa dengan dia? Abang habis ketemu dia?""Dia itu bos perusahaan tempat aku kerja, Nita," ungkap Andi, membuat seluruh isi rumah terdiam kaget."Apa? Jadi benar Yuda itu pemilik perusahaan?" Ayu, mertua Andi, memotong."Iya, Bu. Aku baru tahu tadi saat perkenalan. Selama sebulan kerja di sana, dia memang nggak ada. Tapi tadi dia muncul di kantor dan langsung mengaku sebagai bos perusahaan," Andi menjelaskan dengan nada tertekan."Kamu percaya begitu saja, Bang?" Nita masih ragu."Ya iyalah, Sayang. Perusahaan sebesar itu nggak sembarang orang bisa masuk. Aku juga lihat beberapa asisten yang ikut di belakangnya," jawab Andi, terlihat semakin gelisah. Dia membayangkan