“Sayang?” panggil suamiku, menatap penuh pertanyaan.
“Kenapa sih, Abang gak lawan aja mereka? Kenapa Abang diam saja? Abang juga punya harga diri! Apa menghargai seseorang itu harus dilihat dari hartanya?” tanyaku, merasa tak bisa lagi menahan emosiku. “Sabar, sayang. Sabar ...,” jawabnya dengan lembut, berusaha menenangkan. “Sudah, ayo bantu aku mengemasi barang-barang kita, Bang!” Aku mulai membuka lemari dan menarik baju-baju yang ada di sana dengan tergesa. “Sayang, jangan membuat keputusan saat sedang emosi. Kamu sabar dulu, ada sesuatu yang belum Abang selesaikan di sini,” ujarnya menatapku lekat, seakan ada sesuatu yang penting yang belum diungkapkan. “Sesuatu apa itu, Bang?” tanyaku, penasaran dan sedikit khawatir. “Nanti kamu juga tahu kebenarannya, kita tidak boleh dulu meninggalkan rumah ini.” Lelakiku itu tersenyum penuh arti, membuatku semakin bingung. Aku yang begitu penasaran mengangguk dengan perasaan campur aduk. Lagi pula, aku juga belum menyelidiki kode yang suamiku tunjukkan pada orang tadi, dan kata ‘Tuan’? Kenapa orang itu refleks memanggil sebutan itu kala melihat suamiku? “Andi! Kamu keterlaluan banget ya! Kamu tidak tahu sebenarnya dia itu siapa, hah?” Suara marah tiba-tiba terdengar dari ruang tamu. “Apa maksudmu, Rendi? Dia siapa maksudmu?” tanya Bang Andi dengan nada heran dan sedikit bingung. “Laki-laki yang kalian semua hina!” teriak Rendi, penuh kemarahan. Aku segera membuka sedikit pintu kamar, menyaksikan apa yang sedang terjadi di ruang tamu dengan jantung berdebar. “Siapa dia? Dia itu cuma lelaki yatim piatu kere yang tinggal di panti asuhan, kan? Hahaha ...!” Bang Andi tertawa terbahak-bahak, membuat perutku terasa mual. “Hei Andi! Kamu jangan sok tahu ya! Dan kalian semua yang baru keterima kerja di kantor saja sudah sombong ikut menertawakan dia. Asal kalian tahu, kalau Tuan Yuda adalah pemilik perusahaan itu!” Suara Rendi terdengar penuh amarah dan keyakinan, membuat suasana berubah tegang. “Rendi! Kamu jangan kebanyakan ngarang deh! Kita semua gak percaya sama omongan kamu itu, iya gak teman-teman? Perlu kamu tahu, Rendi, dia itu kerjanya di pabrik. Mana mungkin laki-laki kere dan dekil seperti dia mengelola perusahaan sebesar itu. Ckckck, jangan halu!” Bang Andi membalas dengan nada mengejek. “Iya, Ibu juga gak percaya, dia itu lelaki miskin yang kerjanya cuma nyusahin di sini,” ketus Ibu, tanpa sedikit pun perasaan bersalah. Aku terkejut mendengar percakapan itu. Refleks, aku menoleh ke arah Bang Yuda yang sedang terduduk di atas kasur, terlihat tenang meski situasinya begitu kacau. Aku tidak percaya, apakah ini semua hanya mimpi? “Sudah deh, daripada kamu bicara ngelantur, mendingan kita semua sudahi perkumpulan ini, oke? Besok kita bertemu di kantor lagi, teman-teman!” ucap Bang Andi, yang segera diikuti oleh pamitan dari semua orang yang ada di sana. Sementara Rendi masih berdiri mematung di ruang tamu, menatap Bang Andi dengan penuh kemarahan. “Pulang, Ren. Kamu mau ngapain di sini?” usir Bang Andi dengan nada tak sabar. Lelaki itu kemudian pergi, sepertinya dengan amarah yang bergemuruh di dadanya. Aku masih tak mengerti, apakah benar ucapan Rendi tadi bahwa Bang Yuda adalah pemilik perusahaan? “Bang? Abang dengar perkataan lelaki tadi? Apa Abang kenal sama dia?” tanyaku bertubi-tubi, tak mampu menahan rasa ingin tahuku. Suamiku hanya bergeming, tidak memberikan jawaban apa pun. “Bang? Jawab!” pintaku dengan nada mendesak, merasa gemas sekali. “Sayang, mana mungkin aku mempunyai perusahaan besar? Benar kata Bang Andi, mana mungkin lelaki kere dan dekil ini mengelola perusahaan,” ujarnya sambil tersenyum miring, menyiratkan sesuatu yang tidak kumengerti. “Terus tadi tangan Abang nunjukin kode diam. Kenapa, Bang? Aku tahu karena dari tadi memperhatikan Abang. Gerak-gerik Abang, mimik wajah Abang, semuanya deh. Di sana aku menemukan sesuatu,” ucapku, mencoba memahami situasi yang semakin rumit. Lelaki berhidung mancung itu tersenyum tipis padaku, lalu mengambil ponsel di dalam tasnya. Sejak kapan dia mempunyai ponsel dua? Bahkan ponselnya itu sejenis iPhone. “Sayang, kamu boleh lihat ini,” ucapnya, sembari meletakkan ponsel mahal itu di telapak tanganku dengan ekspresi tenang. "Maksud Abang? Ini punya siapa, Bang?" tanyaku kebingungan. "Nyalakan saja. Itu tidak dikunci kok," jawabnya, mengabaikan pertanyaanku. Aku melirik sekilas pada suamiku, lalu perlahan menyalakan ponsel yang kini kupegang. "Aku harus lihat bagian mana dulu?" Aku benar-benar bingung melihat layar ponsel yang begitu asing ini. "Yang mana saja yang kamu mau, sayang," jawabnya. Karena jawabannya seperti itu, aku membuka bagian album. Namun, ketika aku klik, tidak ada gambar apa pun di sana. Sebenarnya, apa maksudnya menyuruhku melihat ini? "Apaan sih, Bang? Gak ada apa-apanya kok," kataku sambil mengembalikan ponsel mahal itu ke tangannya. "Ini hadiah buat kamu," ucapnya sambil menyodorkan kembali ponsel itu padaku. "Hadiah? Kenapa Abang belikan ponsel semahal ini? Kan sayang uangnya. Lagi pula, Abang dapat uang dari mana untuk membeli ponsel sebagus ini?""Ini hadiah buat kamu," ucapnya sambil menyodorkan kembali ponsel itu padaku."Hadiah? Kenapa Abang belikan ponsel semahal ini? Kan sayang uangnya. Lagi pula, Abang dapat uang dari mana untuk membeli ponsel sebagus ini?""Um... itu pemberian dari Bos, sayang. Dipakai ya, kan selama ini ponsel kamu sering mati tanpa sebab."Pemberian dari Bos? Emang ada Bos pabrik sebaik itu? Aku hanya mengangguk dan menerima ponsel yang diberikan olehnya."Kamu suka gak?""Ya suka dong. Siapa yang gak suka sama ponsel ini," jawabku dengan campuran rasa senang dan bingung."Ya sudah, biar nanti pas video call sama Abang gak mati-mati lagi. Ponsel yang itu simpan saja," ucapnya.Aku mengangguk, dan sempat-sempatnya tadi berpikir kalau Bang Yuda sebenarnya memang lelaki tajir yang sedang menyamar sebagai orang biasa. Hehe... maafkan Hanza, Bang. Apa pun keadaanmu, Hanza mencintaimu.Namun, masih ada satu kejanggalan. Kenapa lelaki tadi bisa menyebut suamiku pemilik perusahaan? Apa dia lagi halu atau gima
“Sayang, Mas. Kamu tidak apa-apa, kan? Biar aku yang ambilkan minum!” ucap Sania tergesa-gesa, lalu mengambilkan segelas air putih untuk Alam.Lelaki beralis tebal itu meneguk airnya, kemudian menampilkan ekspresi wajah yang amat dingin.“Kira-kira ... kalian kapan tunangan? Atau mau langsung saja ke jenjang pernikahan?” tanya Ibu dengan antusias.Sania dan Alam saling berpandangan, seolah bertanya satu sama lain melalui tatapan mereka.“Menunggu beberapa bulan lagi, Bu,” jawab Alam sambil memberikan senyum tipis, namun kali ini tidak seramah sebelumnya.“Syukurlah, Ibu berharap kalian secepatnya menikah,” ujar Ibu, senyumnya lebar.“Oh, iya. Terima kasih jamuannya, sepertinya aku harus segera pulang, ada urusan mendadak di kantor. Sania, aku pulang dulu, ya?” kata Alam tiba-tiba.“Lho, kok nggak nginap saja?” tanya Ibu, agak kaget.“Tidak, Bu. Lagian tidak baik lelaki menginap di rumah perempuan yang belum halal,” ujarnya dengan nada tegas, membuat mulut Ibu membeku.Tak berapa lama
Aku tidak tahu siapa yang Bang Yuda telepon. Mungkin suamiku meminta bantuan temannya untuk menjemput kami, lalu mencari tempat menginap untuk malam ini. Syukurlah, aku merasa lega karena tidak harus tidur di jalanan atau di bawah kolong jembatan. Takut rasanya jika ada orang jahat yang menghampiri kita.Hari sudah hampir gelap, sedangkan hujan masih turun dengan deras. Kilatan petir sesekali membuatku terkejut dan cemas. Bang Yuda kembali merangkulku erat, mencoba menghangatkan tubuhku. Kami berdiri di sana, menunggu bantuan datang.Lalu lintas di jalan cukup ramai, meski dalam kondisi hujan. Sebuah mobil hitam melaju perlahan lalu berhenti tepat di hadapan kami. Aku mengira itu mungkin pemilik ruko.“Bang, ayo kita minggir. Sepertinya itu pemilik ruko ini,” bisikku, menarik lengan Bang Yuda.Bang Yuda malah tertawa kecil mendengar ucapanku. “Itu orang yang mau jemput kita, sayang,” katanya sambil tersenyum.Aku sedikit terkejut mendengarnya. Bayanganku bukanlah mobil yang akan menje
Aku begitu bingung, sekarang apa yang harus kulakukan di sini. Ini bagaikan mimpi, sekali lagi kutampar pipiku. “Aww ... sakit!” gumamku, tak percaya. Ya Allah, ini benar kan? Suamiku itu kaya raya ternyata. Kalau saja Ibu dan saudara-saudaraku tahu, mereka pasti akan malu sekali. Tiba-tiba suara ketukan pintu membuyarkan lamunanku. Aku buru-buru membuka pintu kamar dengan ukiran kayu jati yang begitu indah. “Nyonya, silakan sarapannya,” ucap seorang wanita muda dengan senyuman ramah, sambil menyerahkan nampan kepadaku. Tanganku refleks menerima sebuah nampan yang berisi sepiring nasi lengkap dengan sayur dan lauknya. Segelas susu dan air putih juga melengkapinya. “T-terima kasih,” kataku gugup dengan sebutan "Nyonya." Aku merasa sangat tidak pantas dengan sebutan itu. “Sama-sama. Jika ada apa-apa, Nyonya silakan panggil saya saja di bawah. Permisi!” ucap pelayan itu sambil tersenyum dan berlalu. Setelah pelayan itu pergi, aku menikmati sarapan pagiku. Tidak pernah rasanya aku
"Abang sudah pulang?" Nita buru-buru menyambut Andi yang baru saja tiba."Sudah, Sayang. Ada kabar gawat!" Andi yang bertubuh agak besar langsung menjawab."Gawat kenapa? Jangan-jangan kamu dipecat?" Nita bertanya dengan nada setengah kaget."Bukan, bukan itu, Sayang. Ini soal Yuda."Nita mengernyitkan dahi. "Memangnya kenapa dengan dia? Abang habis ketemu dia?""Dia itu bos perusahaan tempat aku kerja, Nita," ungkap Andi, membuat seluruh isi rumah terdiam kaget."Apa? Jadi benar Yuda itu pemilik perusahaan?" Ayu, mertua Andi, memotong."Iya, Bu. Aku baru tahu tadi saat perkenalan. Selama sebulan kerja di sana, dia memang nggak ada. Tapi tadi dia muncul di kantor dan langsung mengaku sebagai bos perusahaan," Andi menjelaskan dengan nada tertekan."Kamu percaya begitu saja, Bang?" Nita masih ragu."Ya iyalah, Sayang. Perusahaan sebesar itu nggak sembarang orang bisa masuk. Aku juga lihat beberapa asisten yang ikut di belakangnya," jawab Andi, terlihat semakin gelisah. Dia membayangkan
---Malam ini tiba-tiba ada tamu datang ke rumah Bang Yuda. Aku kira memang tamunya dia, tapi ternyata bukan. Mereka adalah ibuku dan saudara-saudaraku. Mau apa mereka datang kemari? Jadi, alasan Ibu nanya keberadaanku untuk menemuiku di sini. Pasti mereka terkagum-kagum melihat keadaan Bang Yuda sekaya ini. Makannya jangan semena-mena, kalau sudah tahu kebenarannya kan jadi malu.Mereka datang untuk meminta maaf. Aku tidak tahu, apakah mereka benar-benar tulus atau hanya ingin melihat harta Bang Yuda saja?“Benar, Yuda. Kami semua meminta maaf dari hati yang paling dalam,” ucap Mbak Nita dengan suara pelan, diikuti anggukan yang lain.Wajah mereka terlihat memelas, berbeda seratus delapan puluh derajat dari sebelumnya.“Baiklah, aku maafkan kalian. Sudah cukup?” sahut suamiku datar. Dia memang lelaki idaman, baik hati dan tidak sombong.“Terima kasih, Yuda. Semoga kita bisa menjadi keluarga yang tenteram,” kata Ibu sambil tersenyum, tapi ada sesuatu yang aneh dalam ekspresinya.Aku m
"Hanza, Yuda!" Tiba-tiba, suara keras terdengar dari pintu depan saat ibuku masuk ke rumah tanpa permisi. "Ada apa, Bu? Pagi-pagi sudah ke sini?" tanyaku dengan heran, meski dalam hati aku sudah menduga maksud kedatangannya. "Ah, anu... Ibu cuma mau main saja. Wah, kalian lagi sarapan ya? Kebetulan Ibu belum makan," katanya sambil langsung mendekat ke meja makan. Astaga! Setelah tahu suamiku kaya, Ibu makin tidak tahu malu. Belum sarapan? Itu alasan yang sudah sering dia pakai. "Sayang, Abang mau ke kantor dulu, ya?" Suamiku, Yuda, tiba-tiba memotong, tak sedikit pun memedulikan tingkah laku Ibu. "Tapi, Bang..." Aku menahan tangannya, tidak nyaman ditinggal berdua dengan Ibu. "Mau ikut?" tanyanya lembut, seolah paham dengan kegelisahanku. "Emang boleh kalau Hanza ikut?" "Tentu saja boleh, Sayang. Siapa yang melarang?" jawabnya santai. "Bos." "Kan Abang bosnya. Masak lupa?" candanya dengan senyum penuh keyakinan. Ya ampun, kenapa aku sampai lupa? Rasanya aku masih menganggap
Kulihat Bang Andi mengusap wajah dengan kasar. Ia masih belum meninggalkan ruangan Bang Yuda.“Yuda, Abang mohon. Jangan jadikan cleaning service, ya?” Bang Andi masih memohon.“Kalau Abang tidak mau dengan pekerjaan yang aku berikan, ya sudah silakan keluar dari kantorku,” jawab Bang Yuda mantap.Bang Andi mendengus kesal.“Silakan jika Abang mau keluar. Barangkali ada perusahaan lain yang bisa menerima Abang, yang pasti bukan perusahaanku. Karena ada sekitar enam cabang perusahaan milikku di kota ini. Belum lagi di luar kota, masih ada tiga perusahaan yang kupegang.”Apa? Sebanyak itu suamiku mempunyai perusahaan? Aku yang mendengarnya juga begitu kaget, bukan kepalang. Apalagi Bang Andi, yang selalu merendahkan orang lain, pasti langsung syok.“Baiklah, Yuda. Aku terima saja pekerjaan ini!” ucapnya, melengos ke luar.“Mulai hari ini ya, Bang. Silakan minta seragam OB ke ketua cleaning service-nya, lalu segera ganti bajumu.”Bang Andi kembali membalikkan badan, sepertinya ia ingin s