Share

Bab 2

“Sayang?” panggil suamiku, menatap penuh pertanyaan.

“Kenapa sih, Abang gak lawan aja mereka? Kenapa Abang diam saja? Abang juga punya harga diri! Apa menghargai seseorang itu harus dilihat dari hartanya?” tanyaku, merasa tak bisa lagi menahan emosiku.

“Sabar, sayang. Sabar ...,” jawabnya dengan lembut, berusaha menenangkan.

“Sudah, ayo bantu aku mengemasi barang-barang kita, Bang!” Aku mulai membuka lemari dan menarik baju-baju yang ada di sana dengan tergesa.

“Sayang, jangan membuat keputusan saat sedang emosi. Kamu sabar dulu, ada sesuatu yang belum Abang selesaikan di sini,” ujarnya menatapku lekat, seakan ada sesuatu yang penting yang belum diungkapkan.

“Sesuatu apa itu, Bang?” tanyaku, penasaran dan sedikit khawatir.

“Nanti kamu juga tahu kebenarannya, kita tidak boleh dulu meninggalkan rumah ini.” Lelakiku itu tersenyum penuh arti, membuatku semakin bingung.

Aku yang begitu penasaran mengangguk dengan perasaan campur aduk. Lagi pula, aku juga belum menyelidiki kode yang suamiku tunjukkan pada orang tadi, dan kata ‘Tuan’? Kenapa orang itu refleks memanggil sebutan itu kala melihat suamiku?

“Andi! Kamu keterlaluan banget ya! Kamu tidak tahu sebenarnya dia itu siapa, hah?” Suara marah tiba-tiba terdengar dari ruang tamu.

“Apa maksudmu, Rendi? Dia siapa maksudmu?” tanya Bang Andi dengan nada heran dan sedikit bingung.

“Laki-laki yang kalian semua hina!” teriak Rendi, penuh kemarahan.

Aku segera membuka sedikit pintu kamar, menyaksikan apa yang sedang terjadi di ruang tamu dengan jantung berdebar.

“Siapa dia? Dia itu cuma lelaki yatim piatu kere yang tinggal di panti asuhan, kan? Hahaha ...!” Bang Andi tertawa terbahak-bahak, membuat perutku terasa mual.

“Hei Andi! Kamu jangan sok tahu ya! Dan kalian semua yang baru keterima kerja di kantor saja sudah sombong ikut menertawakan dia. Asal kalian tahu, kalau Tuan Yuda adalah pemilik perusahaan itu!” Suara Rendi terdengar penuh amarah dan keyakinan, membuat suasana berubah tegang.

“Rendi! Kamu jangan kebanyakan ngarang deh! Kita semua gak percaya sama omongan kamu itu, iya gak teman-teman? Perlu kamu tahu, Rendi, dia itu kerjanya di pabrik. Mana mungkin laki-laki kere dan dekil seperti dia mengelola perusahaan sebesar itu. Ckckck, jangan halu!” Bang Andi membalas dengan nada mengejek.

“Iya, Ibu juga gak percaya, dia itu lelaki miskin yang kerjanya cuma nyusahin di sini,” ketus Ibu, tanpa sedikit pun perasaan bersalah.

Aku terkejut mendengar percakapan itu. Refleks, aku menoleh ke arah Bang Yuda yang sedang terduduk di atas kasur, terlihat tenang meski situasinya begitu kacau. Aku tidak percaya, apakah ini semua hanya mimpi?

“Sudah deh, daripada kamu bicara ngelantur, mendingan kita semua sudahi perkumpulan ini, oke? Besok kita bertemu di kantor lagi, teman-teman!” ucap Bang Andi, yang segera diikuti oleh pamitan dari semua orang yang ada di sana. Sementara Rendi masih berdiri mematung di ruang tamu, menatap Bang Andi dengan penuh kemarahan.

“Pulang, Ren. Kamu mau ngapain di sini?” usir Bang Andi dengan nada tak sabar.

Lelaki itu kemudian pergi, sepertinya dengan amarah yang bergemuruh di dadanya. Aku masih tak mengerti, apakah benar ucapan Rendi tadi bahwa Bang Yuda adalah pemilik perusahaan?

“Bang? Abang dengar perkataan lelaki tadi? Apa Abang kenal sama dia?” tanyaku bertubi-tubi, tak mampu menahan rasa ingin tahuku.

Suamiku hanya bergeming, tidak memberikan jawaban apa pun.

“Bang? Jawab!” pintaku dengan nada mendesak, merasa gemas sekali.

“Sayang, mana mungkin aku mempunyai perusahaan besar? Benar kata Bang Andi, mana mungkin lelaki kere dan dekil ini mengelola perusahaan,” ujarnya sambil tersenyum miring, menyiratkan sesuatu yang tidak kumengerti.

“Terus tadi tangan Abang nunjukin kode diam. Kenapa, Bang? Aku tahu karena dari tadi memperhatikan Abang. Gerak-gerik Abang, mimik wajah Abang, semuanya deh. Di sana aku menemukan sesuatu,” ucapku, mencoba memahami situasi yang semakin rumit.

Lelaki berhidung mancung itu tersenyum tipis padaku, lalu mengambil ponsel di dalam tasnya. Sejak kapan dia mempunyai ponsel dua? Bahkan ponselnya itu sejenis iPhone.

“Sayang, kamu boleh lihat ini,” ucapnya, sembari meletakkan ponsel mahal itu di telapak tanganku dengan ekspresi tenang.

"Maksud Abang? Ini punya siapa, Bang?" tanyaku kebingungan.

"Nyalakan saja. Itu tidak dikunci kok," jawabnya, mengabaikan pertanyaanku.

Aku melirik sekilas pada suamiku, lalu perlahan menyalakan ponsel yang kini kupegang.

"Aku harus lihat bagian mana dulu?" Aku benar-benar bingung melihat layar ponsel yang begitu asing ini.

"Yang mana saja yang kamu mau, sayang," jawabnya.

Karena jawabannya seperti itu, aku membuka bagian album. Namun, ketika aku klik, tidak ada gambar apa pun di sana. Sebenarnya, apa maksudnya menyuruhku melihat ini?

"Apaan sih, Bang? Gak ada apa-apanya kok," kataku sambil mengembalikan ponsel mahal itu ke tangannya.

"Ini hadiah buat kamu," ucapnya sambil menyodorkan kembali ponsel itu padaku.

"Hadiah? Kenapa Abang belikan ponsel semahal ini? Kan sayang uangnya. Lagi pula, Abang dapat uang dari mana untuk membeli ponsel sebagus ini?"

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status