"Abang sudah pulang?" Nita buru-buru menyambut Andi yang baru saja tiba."Sudah, Sayang. Ada kabar gawat!" Andi yang bertubuh agak besar langsung menjawab."Gawat kenapa? Jangan-jangan kamu dipecat?" Nita bertanya dengan nada setengah kaget."Bukan, bukan itu, Sayang. Ini soal Yuda."Nita mengernyitkan dahi. "Memangnya kenapa dengan dia? Abang habis ketemu dia?""Dia itu bos perusahaan tempat aku kerja, Nita," ungkap Andi, membuat seluruh isi rumah terdiam kaget."Apa? Jadi benar Yuda itu pemilik perusahaan?" Ayu, mertua Andi, memotong."Iya, Bu. Aku baru tahu tadi saat perkenalan. Selama sebulan kerja di sana, dia memang nggak ada. Tapi tadi dia muncul di kantor dan langsung mengaku sebagai bos perusahaan," Andi menjelaskan dengan nada tertekan."Kamu percaya begitu saja, Bang?" Nita masih ragu."Ya iyalah, Sayang. Perusahaan sebesar itu nggak sembarang orang bisa masuk. Aku juga lihat beberapa asisten yang ikut di belakangnya," jawab Andi, terlihat semakin gelisah. Dia membayangkan
---Malam ini tiba-tiba ada tamu datang ke rumah Bang Yuda. Aku kira memang tamunya dia, tapi ternyata bukan. Mereka adalah ibuku dan saudara-saudaraku. Mau apa mereka datang kemari? Jadi, alasan Ibu nanya keberadaanku untuk menemuiku di sini. Pasti mereka terkagum-kagum melihat keadaan Bang Yuda sekaya ini. Makannya jangan semena-mena, kalau sudah tahu kebenarannya kan jadi malu.Mereka datang untuk meminta maaf. Aku tidak tahu, apakah mereka benar-benar tulus atau hanya ingin melihat harta Bang Yuda saja?“Benar, Yuda. Kami semua meminta maaf dari hati yang paling dalam,” ucap Mbak Nita dengan suara pelan, diikuti anggukan yang lain.Wajah mereka terlihat memelas, berbeda seratus delapan puluh derajat dari sebelumnya.“Baiklah, aku maafkan kalian. Sudah cukup?” sahut suamiku datar. Dia memang lelaki idaman, baik hati dan tidak sombong.“Terima kasih, Yuda. Semoga kita bisa menjadi keluarga yang tenteram,” kata Ibu sambil tersenyum, tapi ada sesuatu yang aneh dalam ekspresinya.Aku m
"Hanza, Yuda!" Tiba-tiba, suara keras terdengar dari pintu depan saat ibuku masuk ke rumah tanpa permisi. "Ada apa, Bu? Pagi-pagi sudah ke sini?" tanyaku dengan heran, meski dalam hati aku sudah menduga maksud kedatangannya. "Ah, anu... Ibu cuma mau main saja. Wah, kalian lagi sarapan ya? Kebetulan Ibu belum makan," katanya sambil langsung mendekat ke meja makan. Astaga! Setelah tahu suamiku kaya, Ibu makin tidak tahu malu. Belum sarapan? Itu alasan yang sudah sering dia pakai. "Sayang, Abang mau ke kantor dulu, ya?" Suamiku, Yuda, tiba-tiba memotong, tak sedikit pun memedulikan tingkah laku Ibu. "Tapi, Bang..." Aku menahan tangannya, tidak nyaman ditinggal berdua dengan Ibu. "Mau ikut?" tanyanya lembut, seolah paham dengan kegelisahanku. "Emang boleh kalau Hanza ikut?" "Tentu saja boleh, Sayang. Siapa yang melarang?" jawabnya santai. "Bos." "Kan Abang bosnya. Masak lupa?" candanya dengan senyum penuh keyakinan. Ya ampun, kenapa aku sampai lupa? Rasanya aku masih menganggap
Kulihat Bang Andi mengusap wajah dengan kasar. Ia masih belum meninggalkan ruangan Bang Yuda.“Yuda, Abang mohon. Jangan jadikan cleaning service, ya?” Bang Andi masih memohon.“Kalau Abang tidak mau dengan pekerjaan yang aku berikan, ya sudah silakan keluar dari kantorku,” jawab Bang Yuda mantap.Bang Andi mendengus kesal.“Silakan jika Abang mau keluar. Barangkali ada perusahaan lain yang bisa menerima Abang, yang pasti bukan perusahaanku. Karena ada sekitar enam cabang perusahaan milikku di kota ini. Belum lagi di luar kota, masih ada tiga perusahaan yang kupegang.”Apa? Sebanyak itu suamiku mempunyai perusahaan? Aku yang mendengarnya juga begitu kaget, bukan kepalang. Apalagi Bang Andi, yang selalu merendahkan orang lain, pasti langsung syok.“Baiklah, Yuda. Aku terima saja pekerjaan ini!” ucapnya, melengos ke luar.“Mulai hari ini ya, Bang. Silakan minta seragam OB ke ketua cleaning service-nya, lalu segera ganti bajumu.”Bang Andi kembali membalikkan badan, sepertinya ia ingin s
POV AndiAku sangat lega tidak dipecat dari perusahaan Yuda. Gak habis pikir sih, dia itu beg* apa gimana sih? Haha gak penting pokoknya aku masih bisa bekerja di kantor. Malam itu, dia berkata kalau kita berdua akan berbicara. Tanpa pikir panjang, aku langsung menyetujuinya walaupun belum tahu hal apa yang akan ia bicarakan. Soal naik gaji kah? Atau naik jabatan mungkin. Aku menyesal, kenapa gak dari dulu aku baik-baikin si Yuda. Aku memasuki kantor Yuda, padahal dulu aku gak pernah menyangka sedikit pun, kalau ruangan mewah ini ditempati si Yuda. Karena Penampilannya dekil sekali kalau berada di rumah. Rupanya, dia hanya menyamar. Kurang ajar! Yuda langsung memberikan sebuah amplop yang berisi surat. Aku merasa deg-degan saat membuka surat itu di hadapannya. Begitu kubuka, hampir saja aku jantungan. Tega-teganya si Yuda menurunkan jabatanku serendah-rendahnya. Aku dijadikan OB hari ini juga. Apa maksudnya? Kalau saja aku berani seperti dulu, pasti sudah kuhajar tuh si Yuda. “E
”Bang, kok Abang gak kerja?” tanyaku saat melihat Bang Yuda santai di balkon kamar.“Enggak, Sayang. Hari ini libur, kan hari Minggu. Abang mau ajak kamu shopping,” jawabnya.“Shopping?” “Kamu tahu, kan shopping?” “Ih Abang, Hanza juga gak bodoh-bodoh amat kali!” ketusku.“Bercanda, kok. Istri Abang, kan paling pintar,” pujinya, “memangnya kamu gak mau diajak belanja?” “Gak usah ditanya kali, Bang. Hanza mau banget! Selama di rumah Ibu, Hanza gak pernah Abang ajak belanja.”“Ya sudah, kamu dandan yang cantik, ya!”“Sudah siap, Tuan Putri?” Bang Yuda membukakan pintu mobilnya. Aku mengangguk tersipu malu dibuatnya. Lalu Bang Yuda melajukan mobilnya membelah jalanan yang cukup padat.Tak banyak bicara selama dalam perjalanan, aku hanya menikmati jalanan kota yang penuh dengan gedung-gedung tinggi. Tak menyangka kehidupanku berubah drastis menjadi sekarang. “Pokoknya, kamu mau apa pun Abang belikan,” ujarnya saat kami memasuki sebuah pusat perbelanjaan yang sangat besar di kota ini.
“Sayang, kamu masih mikirin adikmu?” Aku bernafas panjang, “Ngapain mikirin orang kayak gitu, pokoknya mulai hari ini aku gak akan memedulikan mereka, Bang.” “Kita fokus saja dengan rumah tangga kita, Sayang. Mereka sebenarnya memang tak suka sama kita, tapi mereka suka karena harta kita.” Aku mengangguk pada Bang Yuda. Tak terasa, kami sudah sampai lagi di rumah. Barang-barang juga sudah disimpan di dalam oleh asisten Bang Yuda. Gak sabar rasanya ingin melihat-lihat lagi baju-baju baruku. Begitu kami membuka pintu utama ... “Surprise!” Tiba-tiba seorang lelaki usia setengah abad-an muncul. “Oh, Papa?” Bang Yuda begitu bahagia memeluk tubuh lelaki itu. Oh, jadi ini Papanya Bang Yuda. Masih tampil keren meski usianya tak lagi muda. Ya iyalah, namanya juga orang kaya. “Kenapa Papa tidak bilang kalau mau pulang?” “Kenapa memangnya? Biar anak Papa sedikit terkejut saja. Hahaha.” Mereka berdua tertawa begitu renyah. Mungkin saling mengobati rindu. “Ini ... ist
Sesampainya di rumah sakit, kami bertiga langsung menanyakan bagaimana keadaan Sania.“Pasien atas nama Sania, Alhamdulillah hanya luka ringan biasa di lengan dan kakinya. Namun, teman prianya sudah meninggal sejak dilarikan ke sini,” ujar Dokter. “Maksud Dokter, Alam meninggal?” tanya Ibu syok. “Identitas pasien namanya bukan Alam, Bu. Namanya Dani, setelah saya melihat KTP-nya,” jawab sang Dokter.Mendengar penuturan Dokter, Ibu menoleh kepadaku. Mungkin dalam hatinya membenarkan apa yang aku ucapkan sewaktu tadi. “Ibu dan Bapak, silakan jika mau melihat pasien di dalam,” kata Dokter.Kami bertiga melihat keadaan Sania. Dia sudah tersadar dari pingsannya. “Sania, kamu tidak apa-apa, kan?” tanya Ibu tergopoh-gopoh.Sania menggeleng lemas, “tidak, kok, Bu.”Aku dan Bang Yuda hanya melihat keadaannya saja tanpa bicara satu kata pun. “Bagaimana dengan keadaan teman Sania, Bu? Apa dokter mengatakannya?”“Teman kamu katanya meninggal, San. Ibu kira, kamu pergi sama Alam. Pikiran Ibu