”Bang, kok Abang gak kerja?” tanyaku saat melihat Bang Yuda santai di balkon kamar.“Enggak, Sayang. Hari ini libur, kan hari Minggu. Abang mau ajak kamu shopping,” jawabnya.“Shopping?” “Kamu tahu, kan shopping?” “Ih Abang, Hanza juga gak bodoh-bodoh amat kali!” ketusku.“Bercanda, kok. Istri Abang, kan paling pintar,” pujinya, “memangnya kamu gak mau diajak belanja?” “Gak usah ditanya kali, Bang. Hanza mau banget! Selama di rumah Ibu, Hanza gak pernah Abang ajak belanja.”“Ya sudah, kamu dandan yang cantik, ya!”“Sudah siap, Tuan Putri?” Bang Yuda membukakan pintu mobilnya. Aku mengangguk tersipu malu dibuatnya. Lalu Bang Yuda melajukan mobilnya membelah jalanan yang cukup padat.Tak banyak bicara selama dalam perjalanan, aku hanya menikmati jalanan kota yang penuh dengan gedung-gedung tinggi. Tak menyangka kehidupanku berubah drastis menjadi sekarang. “Pokoknya, kamu mau apa pun Abang belikan,” ujarnya saat kami memasuki sebuah pusat perbelanjaan yang sangat besar di kota ini.
“Sayang, kamu masih mikirin adikmu?” Aku bernafas panjang, “Ngapain mikirin orang kayak gitu, pokoknya mulai hari ini aku gak akan memedulikan mereka, Bang.” “Kita fokus saja dengan rumah tangga kita, Sayang. Mereka sebenarnya memang tak suka sama kita, tapi mereka suka karena harta kita.” Aku mengangguk pada Bang Yuda. Tak terasa, kami sudah sampai lagi di rumah. Barang-barang juga sudah disimpan di dalam oleh asisten Bang Yuda. Gak sabar rasanya ingin melihat-lihat lagi baju-baju baruku. Begitu kami membuka pintu utama ... “Surprise!” Tiba-tiba seorang lelaki usia setengah abad-an muncul. “Oh, Papa?” Bang Yuda begitu bahagia memeluk tubuh lelaki itu. Oh, jadi ini Papanya Bang Yuda. Masih tampil keren meski usianya tak lagi muda. Ya iyalah, namanya juga orang kaya. “Kenapa Papa tidak bilang kalau mau pulang?” “Kenapa memangnya? Biar anak Papa sedikit terkejut saja. Hahaha.” Mereka berdua tertawa begitu renyah. Mungkin saling mengobati rindu. “Ini ... ist
Sesampainya di rumah sakit, kami bertiga langsung menanyakan bagaimana keadaan Sania.“Pasien atas nama Sania, Alhamdulillah hanya luka ringan biasa di lengan dan kakinya. Namun, teman prianya sudah meninggal sejak dilarikan ke sini,” ujar Dokter. “Maksud Dokter, Alam meninggal?” tanya Ibu syok. “Identitas pasien namanya bukan Alam, Bu. Namanya Dani, setelah saya melihat KTP-nya,” jawab sang Dokter.Mendengar penuturan Dokter, Ibu menoleh kepadaku. Mungkin dalam hatinya membenarkan apa yang aku ucapkan sewaktu tadi. “Ibu dan Bapak, silakan jika mau melihat pasien di dalam,” kata Dokter.Kami bertiga melihat keadaan Sania. Dia sudah tersadar dari pingsannya. “Sania, kamu tidak apa-apa, kan?” tanya Ibu tergopoh-gopoh.Sania menggeleng lemas, “tidak, kok, Bu.”Aku dan Bang Yuda hanya melihat keadaannya saja tanpa bicara satu kata pun. “Bagaimana dengan keadaan teman Sania, Bu? Apa dokter mengatakannya?”“Teman kamu katanya meninggal, San. Ibu kira, kamu pergi sama Alam. Pikiran Ibu
“Baru keluar rumah sakit, guys! Saudara-saudaraku gak ada yang peduli sama keadaanku. Dipinjam uang buat bayar rumah sakit aja mereka ogah, di mana coba hati nuraninya mereka? Katanya orang kaya, sama saudara sendiri sulit. Untung saja ada ayang yang baik dan perhatian. Makasih Mas Alam!” Itu kata-kata yang tertulis di status Facebook-nya Sania. Hmm ... gini amat punya saudara sambung, sekarang malah playing victim. Di sana terlihat beberapa komentar dari teman-temannya Sania.“Spill orangnya, dong!” “Jahat banget, ya!”“Orang kaya, mah, suka gitu!”“Sabar, San!”Aku melirik sekilas Bang Yuda, “Bang menurut Abang ini gimana? Dan apa yang harus kita lakukan?” “Benar-benar keterlaluan, dia telah menebar fitnah di media sosial. Biarkan saja, Sayang. Nanti juga orang-orang akan tahu bagaimana kebenarannya. Abang akan pastikan itu,” jelasnya sembari masih melihat status Sania.“Mau sampai kapan mereka terus berulah? Aneh banget, mereka itu munafik tahu gak, sih? Uang kita mereka harap
Bang Yuda segera siap-siap untuk memasak. Ia turun dengan niatnya yang begitu mantap. Oke aku akan lihat nanti, apakah masakannya memang enak atau tidak enak? “Bang? Masak apa?” tanyaku sedikit mengagetkannya. “Abang masak rendang daging sapi, yang gampang-gampang aja, lah. Kan belum tentu enak di lidah kamu juga?” ucapnya sembari fokus dengan daging yang sedang ia potong-potong.“Bakalan lama, dong kalau masak rendang?” tanyaku.“Daging sapinya sudah direbus dahulu. Apakah kamu tidak lihat warnanya?” “Kalau begitu curang, dong!”“Siapa yang curang, Sayang? Memangnya ini perlombaan masak? Nanti, kan, yang dinilai sama kamu enak apa tidaknya?”“Terus itu yang rebus dagingnya siapa? Si Mbak, ya?” tanyaku.“Abang, dong!” ucapnya penuh percaya diri.“Lah, kapan? Abang, kan seharian kerja. Terus tadi juga seharian sama Hanza?” tanyaku.“Abang merebus dagingnya di saat ... orang-orang tidur, haha!” celetuknya. “Jadi ... Abang sudah niat banget, nih?”“Ya iya dong, Sayang. Demi masakin i
“Yang pasti Abang akan berpura-pura lagi. Abang pura-pura acuh dengan kejadian ini, Sayang,” ucapnya. “Loh, kenapa begitu, Bang?” tanyaku penasaran. “Nanti ketika waktunya sudah benar-benar pas, Abang akan masukkan dia ke penjara. Hal itu mudah sekali.” Aku hanya mengangguk, tak tahu pasti apa yang akan suamiku itu lakukan. Keesokan harinya, kami seperti biasa melakukan aktivitas. Bang Yuda kembali lagi bekerja ke kantor. Sedangkan aku, menunggunya di rumah. “Sayang, kalau ada apa-apa hubungi Abang, ya. Abang berangkat dulu!” “Iya, Bang. Hati-hati di jalan,” ucapku seraya mencium tangannya. “Siap, Sayang.” Bang Yuda pun, membalas dengan mencium keningku. Setelah mengantarnya menuju gerbang, aku kembali lagi masuk ke rumah. Namun, saat melihat tanaman-tanaman indah ini rasanya aku ingin menyiraminya. Kubuka kran air yang terhubung dengan selang panjang. Lalu kusirami, pohon-pohon akasia, dan tanaman bunga lainnya. Asri sekali. “Nyonya! Biar saya saja yang menyirami!” Mb
“Bang, hari ini Ibu nyuruh ke rumah. Kira-kira, berangkat apa enggak?” “Kita berangkat, gak papa hari ini Abang tidak ke kantor dulu. Kamu mengerti, kan?” “Ngerti banget, dong, Bang. Semoga saja kita menemukan topeng itu di rumah Ibu,” ujarku. Bang Yuda mengangguk, kecurigaan kami memang tertuju pada Bang Andi. Melihat ciri-ciri tubuhnya yang sudah tidak asing lagi saat terekam CCTV. Secara, Bang Andi juga baru-baru ini diturunkan jadi OB. Bisa jadi dia marah sama dendam. Harusnya Bang Yuda kali, yang dendam. Eh ini bukannya sadar malah kebalikannya. Pagi hari ini, kami berangkat ke rumah Ibu setelah Bang Yuda menelepon tukang CCTV yakni masih teman dekatnya yang ia percaya. Sehingga tidak perlu ditunggu saat memasangnya. Letaknya sudah ia beritahu pada pelayan rumah. “Kok, pikiran kita bisa sama, ya , Bang?” “Entah, Sayang. Abang yakin banget kalau dia pelakunya,” balasnya. Hanya butuh satu jam untuk sampai di rumah Ibu. Aku dan Bang Yuda beriringan melangkah ke rumah yang p
POV AUTHORBu Ayu begitu gemas sekali pada tetangganya itu. Ia buru-buru mengambil sapu lidi yang ada di teras rumahnya untuk dilemparkan pada Bu Dedeh. Namun, Bu Dedeh sudah secepatnya pergi ke dalam rumahnya. Bu Ayu juga begitu gelisah setelah wanita seumurannya datang dan mengancam kehidupan Sania. “Yuda, Hanza. Tolongin Ibu, kalau nanti ada apa-apa sama Sania, ya? Kalian, kan, banyak uang. Kalian bisa lakukan apa saja, kan?” ucap Bu Ayu, panik. “Maaf, Bu. Kami tidak mau ikut campur urusan kalian. Biarkan saja, Sania menyelesaikan dengan tangannya sendiri. Itu, kan, ulahnya sendiri?” tutur Hanza. “Ih, kalian ini, ya! Jadi saudara gak ada baik-baiknya!”“Oh, iya. Kami mau pamit dulu ya, Bu. Banyak urusan di rumah,” pamit Hanza tanpa memedulikan ucapan ibu sambungnya itu. Mereka berdua, Yuda dan Hanza akhirnya meninggalkan Bu Ayu sendirian. Membawa bukti topeng yang dipakai dengan Andi sewaktu memecahkan kaca rumahnya. Yuda menyamakan topeng berwarna hitam corak putih itu denga
“Selamat, Pak. Anak Bapak perempuan. Wajahnya cantik sekali, sehat, tidak ada kurang satu apa pun,” ujar Dokter. Hari ini adalah hari yang ditunggu-tunggu kedua pasangan Yuda dan Hanza. Setelah lamanya menanti selama sembilan bulan, akhirnya Hanza melahirkan seorang anak perempuan. Keluarga besar mereka ikut menemani persalinannya. Tak ada yang tak meneteskan air mata, semua terharu karena dapat menggendong cucu pertama mereka. Kehadirannya disambut begitu bahagia.“Alhamdulillah. Nak gadis. Kamu cantik sekali, Nak. Hidungmu mirip papamu dan wajahmu mirip ibumu. Jadi anak yang shalihah ya, Nak,” tutur Meli sembari menggendong dengan hati-hati bayi mungil itu. “Terima kasih, Dokter. Telah membantu proses persalinan istri saya.”“Sama-sama. Ini semua berkat do’a kalian dan pastinya ada campur tangan Allah yang melancarkan segalanya.” Dua hari kemudian, Hanza sudah berada di rumahnya. Setelah proses melahirkan di rumah sakit. “Ya Allah, gemes banget, Nyonya kecil ini,” Mbak Nani men
Sepanjang perjalanan, Bu Ayu terus saja menepuk-nepuk pelan Sania agar ia tersadar dari pingsannya. Keluarga mereka begitu kacau. Sementara Nita, ia hanya menatap kosong, memikirkan Andi yang dipenjara.“Apa mau ke rumah sakit, Bu?” tanya sopir taksi. Ia melihat iba pada Sania.“Tidak usah, Pak. Kita pulang saja ke alamat tujuan,” ketus Bu Ayu.“Nita! Kamu malah bengong aja dari tadi! Bantu kek, biar Sania cepat sadar!” bentak Ayu membuat Nita terkesiap dari lamunannya.“Ya udah, sih! Nanti juga sadar sendiri!” timpal Nita kesal.“Kamu ini! Sama adik sendiri gak ada tolongnya!” “Ibu tuh! Yang pilih kasih! Si Sania itu udah kurang ajar sama aku sebagai kakaknya tahu gak, Bu? Tapi Ibu selalu saja belain dia walaupun dia salah! Selama ini aku berbaik hati pada dia karena dia adikku! Tapi, kalau ingat kelakuannya sama aku yang suka ngatain gak sopan kalau gak dikasih uang, rasanya aku akan berhenti peduli saja sama dia! Ibu aja yang urus sendiri!” Nita begitu marah. Tak peduli ada sopir
“Semoga, kalian selalu bahagia ya, Nak. Tinggalkan yang membuat kalian tak nyaman.” Ghazi berujar.“Iya, Pa. Mulai hari ini, aku tidak akan membiarkan Hanza dekat dengan mereka. Mereka bukan darah daging Hanza, juga tak pernah mempunyai hutang Budi,” balas Yuda. Sementara Hanza tidak berkomentar apa pun. Sepanjang perjalanan pulang, ia hanya menatap jalanan dengan lalu lalang kendaraan. Yuda dan Ghazi mengerti perasaannya, membiarkan Hanza dengan pikirannya sendiri. “Oh iya, Pa, mau menginap di rumah kami saja?”“Tidak perlu, Nak. Papa banyak pekerjaan juga di kantor.”“Papa tidak perlu bekerja lagi, biar semuanya aku yang handle, Pa.”“Selama badan Papa masih kuat dan sehat, Papa tidak mau mengandalkan hasil keringat anak Papa. Papa masih bisa mencari nafkah, Nak. Papa ingin menambah tabungan Papa untuk hari nanti saat Papa tak mampu untuk bekerja lagi.” Ucapan Ghazi membuat kedua pasangan itu tersentuh. Rasa kagumnya pada orang tuanya begitu dalam. Ghazi memang orang tua yang pa
Hari ini adalah hari pernikahan Sania. Semua orang di rumah Bu Ayu, tampak sibuk dengan acara tersebut. Mereka bersiap-siap menunggu jemputan mobil yang akan membawanya ke gedung pernikahan. Sementara di rumah Alamsyah. Wanita paruh baya bersetelan rapi mengetuk pintu beberapa kali. Setelah pintu terbuka, wanita itu tersenyum begitu puas. “Maaf, ada yang bisa dibantu, Bu?” tanya seorang pembantu.“Saya mau bertemu dengan tuan rumah ini. Ini penting, tolong sampaikan,” ucapnya. Pembantu mengangguk, lalu ia melangkah menuju ruang keluarga. Di mana ada Alamsyah dan ibunya yang juga sedang bersiap. “Permisi, Bu. Pak, ada tamu di luar,” ucapnya.“Suruh ke dalam saja, Bi. Nanti aku ke sana,” ucap Alam. “Baik, Pak.” Pembantu itu segera kembali ke luar mempersilakan masuk tamu wanita itu. Bi Ina, segera menyuguhkan air dan camilan di atas meja. Lalu ia kembali dengan pekerjaannya. Alamsyah dan Bu Sri, menghampiri wanita yang kini sedang menunggu di ruang tamu.“Maaf, Bu. Ada keperluan
“Bang Andi. Besok akan dijemput polisi atas kasus yang telah ia perbuat.” “Syukurlah. Dia memang harus dapat pelajaran. Agar cepat sadar,” timpalku. Kini kami telah sampai di rumah. Para pelayan sepertinya sedang istirahat. Memang aku yang meliburkan mereka untuk hari ini. Begitu memasuki rumah, banyak sekali kado yang berjajar di ruang tamu. “Bang, dari siapa ini? Kok banyak sekali?”Bang Yuda tampak melihat satu persatu kado yang berbagai macam ukuran itu. “Dari karyawan kantor, Sayang. Mungkin mereka sengaja mengantarnya langsung ke rumah. Ada-ada saja mereka.”“Berterima kasihlah, Bang pada mereka,” ucapku. “Iya, Abang foto dulu. Habis itu kita kirim ke grup wa. Kita ucapkan terima kasih pada mereka semua.” Bang Yuda mengambil ponselnya lalu memotret kado-kado. “Ya sudah, Bang. Kita istirahat dulu. Rasanya lelah sekali, walaupun cuman duduk di kursi pelaminan,” ajakku. Kami berdua menaiki anak tangga menuju kamar. Kuhempaskan tubuhku di atas kasur lalu kunyalakan AC. Lelahn
Jujur, hari ini seluruh kebencian dan kekecewaanku pada Ibu lenyap begitu saja. Aku hanya ingin melepas rindu dengan Ibu setelah berapa lamanya kita tak bertemu. Ibu sudah meminta maaf padaku. Aku ikhlas memaafkannya. Aku mengangguk, lalu kembali memeluk erat wanita yang telah melahirkanku. Kini kami menjadi pusat perhatian banyak orang. Bang Yuda, dan Papa mertua begitu terkejut juga. Pak Sony juga tampaknya mengeluarkan air mata haru. “Ya sudah, Nak. Ini Papa sambungmu. Pak Sony namanya.”“Iya, Bu.” Aku mengecup takzim tangan Pak Sony yang kini menjadi Papa sambung. “Nak, kami turun dulu, ya? Kasihan orang lain mengantri,” ucap Ibu. “Iya, silakan, Pak, Bu. Selamat menikmati hidangan di sini,” balasku masih dengan suara bergetar.Mereka berdua turun dari pelaminan. Suasana kembali lagi seperti semula, aku lihat ibu sambungku terus saja memperhatikanku lalu mereka terlihat berbisik-bisik. Entahlah, mungkin mereka juga kaget ternyata Ibu kandungku masih hidup. “Sungguh, Abang masi
***Hari-hari yang ditunggu itu kini telah datang. Pagi ini, aku sudah didandani begitu cantik oleh seorang MUA. Aku begitu pangling melihat diriku dalam pantulan cermin besar. Gaun putih elegan ini dan hijab yang senada tak lupa juga disematkan mahkota di atasnya membuat aku tak kenal dengan diriku sendiri. “Mbak, jago banget riasannya,” seruku.“Bagaimana, Bu Hanza? Suka?”“Suka banget, Mbak. Terima kasih, ya.” “Lihat, Pa. Menantu Papa ini, cantik sekali,” ujar Bang Yuda membuat aku tersenyum malu.“Anak Papa benar-benar lihai dalam memilih pasangan hidup.” Papa memuji Bang Yuda sembari menepuk pundaknya pelan.“Sebagaimana Papa memilih Mami dulu, kan?” “Benar sekali.”Kedua lelaki itu tertawa renyah, aku dan tim MUA pun, ikut tertawa mendengar percakapan mereka itu. “Ya sudah, Papa mau keluar dulu, ya? Teman-teman Papa sepertinya sudah ada yang datang,” pamit Papa. “Siap, Pa.” Aku memandangi kekasih halalku dengan tatapan penuh kekaguman. Hari ini, Bang Yuda begitu tampan se
“Mbak, semua makanan sudah siap?” tanyaku pada Mbak Nani.“Sudah, Nya. Ini aku mau menaruhnya di meja makan dan ruang tamu,” ucap Mbak Nani.“Kok, Mbok gak tahu, kalau Sinta ada yang mau lamar, Nya? Tahu tadi subuh dari Nani,” ucap Mbok Rusli.Mbok Rusli sudah tidur malam itu, jadi dia tidak tahu dengan kejadian semalam. “Gak papa, Mbok. Yang penting sekarang Mbok sudah tahu,” jawabku.“Iya, Mbok malah tidur lebih awal jadinya gak tahu, Nya. Ya sudah, Mbok mau lanjutkan pekerjaan, Nya.” Wanita paruh baya itu begitu cekatan kerjanya meskipun usianya tak muda lagi. Sementara aku mengecek ke kamar Mbak Sinta. Aku memberikan baju baru untuknya agar dipakai di hari penyambutan keluarga Andri. Mbak Sinta tampak cantik sekali, dia memakai make up tipis natural. Meskipun begitu auranya begitu beda hari ini. Gamis berwarna merah marun senada dengan kerudungnya membuat wanita bertubuh sintal itu anggun sekali. “Nyonya, aku bingung, nanti harus bagaimana?” “Jika dia baik, lebih baik terima
Hanza PovMalam ini kami berdua makan malam di kamar kami. Aku merasa geram sekali setelah mendengar kabar kalau Bang Andi hendak membakar kantor milik suamiku. Manusia macam apa dia, tak pernah sekali pun, bersyukur. Aku juga begitu penasaran, siapa malam-malam bertamu kemari untuk menemui Bang Yuda. Makan malam segera kami selesaikan. Karena penasaran, aku ikut ke bawah sembari membawa piring bekas kami makan. “Bang, siapa itu?” bisikku pada Bang Yuda, saat kami menuruni anak tangga.“Abang juga tidak tahu, Sayang. Kita samperin saja,” balas Yuda. Kami telah sampai di lantai bawah. Bang Yuda terlihat heran, siapa lelaki asing ini. Sementara, aku menyimpan piring kotor ke dapur. Lalu aku juga ikut duduk bersama suamiku.“Maaf, Anda siapa? Dan ada perlu apa datang kemari?” tanya Bang Yuda.Pria berhodie biru itu tampak gugup, lalu sedikit berdehem. Mungkin untuk menghilangkan kegugupannya.“Sebenarnya saya ke sini untuk meminta maaf, Pak,” ucapnya membuat kami berdua semakin kebin