Sesampainya di rumah sakit, kami bertiga langsung menanyakan bagaimana keadaan Sania.“Pasien atas nama Sania, Alhamdulillah hanya luka ringan biasa di lengan dan kakinya. Namun, teman prianya sudah meninggal sejak dilarikan ke sini,” ujar Dokter. “Maksud Dokter, Alam meninggal?” tanya Ibu syok. “Identitas pasien namanya bukan Alam, Bu. Namanya Dani, setelah saya melihat KTP-nya,” jawab sang Dokter.Mendengar penuturan Dokter, Ibu menoleh kepadaku. Mungkin dalam hatinya membenarkan apa yang aku ucapkan sewaktu tadi. “Ibu dan Bapak, silakan jika mau melihat pasien di dalam,” kata Dokter.Kami bertiga melihat keadaan Sania. Dia sudah tersadar dari pingsannya. “Sania, kamu tidak apa-apa, kan?” tanya Ibu tergopoh-gopoh.Sania menggeleng lemas, “tidak, kok, Bu.”Aku dan Bang Yuda hanya melihat keadaannya saja tanpa bicara satu kata pun. “Bagaimana dengan keadaan teman Sania, Bu? Apa dokter mengatakannya?”“Teman kamu katanya meninggal, San. Ibu kira, kamu pergi sama Alam. Pikiran Ibu
“Baru keluar rumah sakit, guys! Saudara-saudaraku gak ada yang peduli sama keadaanku. Dipinjam uang buat bayar rumah sakit aja mereka ogah, di mana coba hati nuraninya mereka? Katanya orang kaya, sama saudara sendiri sulit. Untung saja ada ayang yang baik dan perhatian. Makasih Mas Alam!” Itu kata-kata yang tertulis di status Facebook-nya Sania. Hmm ... gini amat punya saudara sambung, sekarang malah playing victim. Di sana terlihat beberapa komentar dari teman-temannya Sania.“Spill orangnya, dong!” “Jahat banget, ya!”“Orang kaya, mah, suka gitu!”“Sabar, San!”Aku melirik sekilas Bang Yuda, “Bang menurut Abang ini gimana? Dan apa yang harus kita lakukan?” “Benar-benar keterlaluan, dia telah menebar fitnah di media sosial. Biarkan saja, Sayang. Nanti juga orang-orang akan tahu bagaimana kebenarannya. Abang akan pastikan itu,” jelasnya sembari masih melihat status Sania.“Mau sampai kapan mereka terus berulah? Aneh banget, mereka itu munafik tahu gak, sih? Uang kita mereka harap
Bang Yuda segera siap-siap untuk memasak. Ia turun dengan niatnya yang begitu mantap. Oke aku akan lihat nanti, apakah masakannya memang enak atau tidak enak? “Bang? Masak apa?” tanyaku sedikit mengagetkannya. “Abang masak rendang daging sapi, yang gampang-gampang aja, lah. Kan belum tentu enak di lidah kamu juga?” ucapnya sembari fokus dengan daging yang sedang ia potong-potong.“Bakalan lama, dong kalau masak rendang?” tanyaku.“Daging sapinya sudah direbus dahulu. Apakah kamu tidak lihat warnanya?” “Kalau begitu curang, dong!”“Siapa yang curang, Sayang? Memangnya ini perlombaan masak? Nanti, kan, yang dinilai sama kamu enak apa tidaknya?”“Terus itu yang rebus dagingnya siapa? Si Mbak, ya?” tanyaku.“Abang, dong!” ucapnya penuh percaya diri.“Lah, kapan? Abang, kan seharian kerja. Terus tadi juga seharian sama Hanza?” tanyaku.“Abang merebus dagingnya di saat ... orang-orang tidur, haha!” celetuknya. “Jadi ... Abang sudah niat banget, nih?”“Ya iya dong, Sayang. Demi masakin i
“Yang pasti Abang akan berpura-pura lagi. Abang pura-pura acuh dengan kejadian ini, Sayang,” ucapnya. “Loh, kenapa begitu, Bang?” tanyaku penasaran. “Nanti ketika waktunya sudah benar-benar pas, Abang akan masukkan dia ke penjara. Hal itu mudah sekali.” Aku hanya mengangguk, tak tahu pasti apa yang akan suamiku itu lakukan. Keesokan harinya, kami seperti biasa melakukan aktivitas. Bang Yuda kembali lagi bekerja ke kantor. Sedangkan aku, menunggunya di rumah. “Sayang, kalau ada apa-apa hubungi Abang, ya. Abang berangkat dulu!” “Iya, Bang. Hati-hati di jalan,” ucapku seraya mencium tangannya. “Siap, Sayang.” Bang Yuda pun, membalas dengan mencium keningku. Setelah mengantarnya menuju gerbang, aku kembali lagi masuk ke rumah. Namun, saat melihat tanaman-tanaman indah ini rasanya aku ingin menyiraminya. Kubuka kran air yang terhubung dengan selang panjang. Lalu kusirami, pohon-pohon akasia, dan tanaman bunga lainnya. Asri sekali. “Nyonya! Biar saya saja yang menyirami!” Mb
“Bang, hari ini Ibu nyuruh ke rumah. Kira-kira, berangkat apa enggak?” “Kita berangkat, gak papa hari ini Abang tidak ke kantor dulu. Kamu mengerti, kan?” “Ngerti banget, dong, Bang. Semoga saja kita menemukan topeng itu di rumah Ibu,” ujarku. Bang Yuda mengangguk, kecurigaan kami memang tertuju pada Bang Andi. Melihat ciri-ciri tubuhnya yang sudah tidak asing lagi saat terekam CCTV. Secara, Bang Andi juga baru-baru ini diturunkan jadi OB. Bisa jadi dia marah sama dendam. Harusnya Bang Yuda kali, yang dendam. Eh ini bukannya sadar malah kebalikannya. Pagi hari ini, kami berangkat ke rumah Ibu setelah Bang Yuda menelepon tukang CCTV yakni masih teman dekatnya yang ia percaya. Sehingga tidak perlu ditunggu saat memasangnya. Letaknya sudah ia beritahu pada pelayan rumah. “Kok, pikiran kita bisa sama, ya , Bang?” “Entah, Sayang. Abang yakin banget kalau dia pelakunya,” balasnya. Hanya butuh satu jam untuk sampai di rumah Ibu. Aku dan Bang Yuda beriringan melangkah ke rumah yang p
POV AUTHORBu Ayu begitu gemas sekali pada tetangganya itu. Ia buru-buru mengambil sapu lidi yang ada di teras rumahnya untuk dilemparkan pada Bu Dedeh. Namun, Bu Dedeh sudah secepatnya pergi ke dalam rumahnya. Bu Ayu juga begitu gelisah setelah wanita seumurannya datang dan mengancam kehidupan Sania. “Yuda, Hanza. Tolongin Ibu, kalau nanti ada apa-apa sama Sania, ya? Kalian, kan, banyak uang. Kalian bisa lakukan apa saja, kan?” ucap Bu Ayu, panik. “Maaf, Bu. Kami tidak mau ikut campur urusan kalian. Biarkan saja, Sania menyelesaikan dengan tangannya sendiri. Itu, kan, ulahnya sendiri?” tutur Hanza. “Ih, kalian ini, ya! Jadi saudara gak ada baik-baiknya!”“Oh, iya. Kami mau pamit dulu ya, Bu. Banyak urusan di rumah,” pamit Hanza tanpa memedulikan ucapan ibu sambungnya itu. Mereka berdua, Yuda dan Hanza akhirnya meninggalkan Bu Ayu sendirian. Membawa bukti topeng yang dipakai dengan Andi sewaktu memecahkan kaca rumahnya. Yuda menyamakan topeng berwarna hitam corak putih itu denga
“Sayang, mau minum?” “Boleh, Bang. Tenggorokanku rasanya kering sekali,” ucap Hanza sembari mengambil gelas berisi air putih yang disodorkan oleh Yuda.“Oh, iya. Kamu mau resepsi di gedung yang mana, Sayang?” “Gedung? Tidak di rumah saja, Bang?” Yuda tersenyum sekilas. “Di gedung, Sayang. Nih, kamu lihat-lihat dulu gambarnya.”Wanita bermata bulat itu mengambil ponsel milik suaminya, lalu menggeser-geser layar pipih itu dengan serius. Sesekali memperbesar gambar-gambar gedung mewah tersebut yang berada di Jakarta. “Abang saja yang pilih. Hanza tidak tahu, Bang. Semuanya juga bagus,” ujarnya sembari meletakkan ponsel Yuda.“Ya sudah, kalau begitu Abang akan pilih gedung termewah di sini.” “Pasti mahal, ya?” “Jangan pikirkan itu, Abang tidak akan memakai uang belanja kamu, kok, Sayang.” Yuda mencubit pipi Hanza gemas. “Bukan begitu-““Sayang uangnya, Bang. Pasti akan bicara seperti itu?” potong Yuda cepat sembari meledek Hanza.“Ih, Abang mah. Iya, lah. Sayang uangnya tahu!”“Gak
"Pokoknya Ibu harus minta lagi sama Mbak Hanza, Bu," ujar Sania."Iya, tenang. Nanti Ibu minta lagi, San. Eh iya, kamu mana sumbangannya, Nit?" "Aku cuma ada lima juta. Gak papa, kan, Bu?""Yah, kok cuma segitu, sih. Terus nanti gimana kalau tidak cukup uangnya? Secara gedung yang disewa itu mahal banget?" protes Ayu."Lah, kan, si Sania juga punya simpanan, Bu. Uangku habis untuk kebutuhan sehari-hari kita, loh!" ucap Nita.Ayu benar-benar kebingungan, dari mana ia akan mendapatkan lagi uang. Harga sewa gedung saja seratus juta. Sementara uang baru terkumpul lima belas juta lima ratus rupiah. Mau turunin ke gedung yang lebih rendah gengsinya selangit. "Resepsi di rumah saja, lah, Bu. Gratis!" celetuk Nita."Ih, ogah, ya! Mau ditempatkan di mana nanti harga diriku, Mbak. Memangnya Mbak, nikahnya pasang tenda di depan rumah," ejek Sania."Lah daripada kamu bikin pusing orang lain!" timpal Nita."Eh, sudah-sudah jangan ribut kalian! Sania itu anak bungsu, jadi wajar harus mewah dari k