“Bang Andi. Besok akan dijemput polisi atas kasus yang telah ia perbuat.” “Syukurlah. Dia memang harus dapat pelajaran. Agar cepat sadar,” timpalku. Kini kami telah sampai di rumah. Para pelayan sepertinya sedang istirahat. Memang aku yang meliburkan mereka untuk hari ini. Begitu memasuki rumah, banyak sekali kado yang berjajar di ruang tamu. “Bang, dari siapa ini? Kok banyak sekali?”Bang Yuda tampak melihat satu persatu kado yang berbagai macam ukuran itu. “Dari karyawan kantor, Sayang. Mungkin mereka sengaja mengantarnya langsung ke rumah. Ada-ada saja mereka.”“Berterima kasihlah, Bang pada mereka,” ucapku. “Iya, Abang foto dulu. Habis itu kita kirim ke grup wa. Kita ucapkan terima kasih pada mereka semua.” Bang Yuda mengambil ponselnya lalu memotret kado-kado. “Ya sudah, Bang. Kita istirahat dulu. Rasanya lelah sekali, walaupun cuman duduk di kursi pelaminan,” ajakku. Kami berdua menaiki anak tangga menuju kamar. Kuhempaskan tubuhku di atas kasur lalu kunyalakan AC. Lelahn
Hari ini adalah hari pernikahan Sania. Semua orang di rumah Bu Ayu, tampak sibuk dengan acara tersebut. Mereka bersiap-siap menunggu jemputan mobil yang akan membawanya ke gedung pernikahan. Sementara di rumah Alamsyah. Wanita paruh baya bersetelan rapi mengetuk pintu beberapa kali. Setelah pintu terbuka, wanita itu tersenyum begitu puas. “Maaf, ada yang bisa dibantu, Bu?” tanya seorang pembantu.“Saya mau bertemu dengan tuan rumah ini. Ini penting, tolong sampaikan,” ucapnya. Pembantu mengangguk, lalu ia melangkah menuju ruang keluarga. Di mana ada Alamsyah dan ibunya yang juga sedang bersiap. “Permisi, Bu. Pak, ada tamu di luar,” ucapnya.“Suruh ke dalam saja, Bi. Nanti aku ke sana,” ucap Alam. “Baik, Pak.” Pembantu itu segera kembali ke luar mempersilakan masuk tamu wanita itu. Bi Ina, segera menyuguhkan air dan camilan di atas meja. Lalu ia kembali dengan pekerjaannya. Alamsyah dan Bu Sri, menghampiri wanita yang kini sedang menunggu di ruang tamu.“Maaf, Bu. Ada keperluan
“Semoga, kalian selalu bahagia ya, Nak. Tinggalkan yang membuat kalian tak nyaman.” Ghazi berujar.“Iya, Pa. Mulai hari ini, aku tidak akan membiarkan Hanza dekat dengan mereka. Mereka bukan darah daging Hanza, juga tak pernah mempunyai hutang Budi,” balas Yuda. Sementara Hanza tidak berkomentar apa pun. Sepanjang perjalanan pulang, ia hanya menatap jalanan dengan lalu lalang kendaraan. Yuda dan Ghazi mengerti perasaannya, membiarkan Hanza dengan pikirannya sendiri. “Oh iya, Pa, mau menginap di rumah kami saja?”“Tidak perlu, Nak. Papa banyak pekerjaan juga di kantor.”“Papa tidak perlu bekerja lagi, biar semuanya aku yang handle, Pa.”“Selama badan Papa masih kuat dan sehat, Papa tidak mau mengandalkan hasil keringat anak Papa. Papa masih bisa mencari nafkah, Nak. Papa ingin menambah tabungan Papa untuk hari nanti saat Papa tak mampu untuk bekerja lagi.” Ucapan Ghazi membuat kedua pasangan itu tersentuh. Rasa kagumnya pada orang tuanya begitu dalam. Ghazi memang orang tua yang pa
Sepanjang perjalanan, Bu Ayu terus saja menepuk-nepuk pelan Sania agar ia tersadar dari pingsannya. Keluarga mereka begitu kacau. Sementara Nita, ia hanya menatap kosong, memikirkan Andi yang dipenjara.“Apa mau ke rumah sakit, Bu?” tanya sopir taksi. Ia melihat iba pada Sania.“Tidak usah, Pak. Kita pulang saja ke alamat tujuan,” ketus Bu Ayu.“Nita! Kamu malah bengong aja dari tadi! Bantu kek, biar Sania cepat sadar!” bentak Ayu membuat Nita terkesiap dari lamunannya.“Ya udah, sih! Nanti juga sadar sendiri!” timpal Nita kesal.“Kamu ini! Sama adik sendiri gak ada tolongnya!” “Ibu tuh! Yang pilih kasih! Si Sania itu udah kurang ajar sama aku sebagai kakaknya tahu gak, Bu? Tapi Ibu selalu saja belain dia walaupun dia salah! Selama ini aku berbaik hati pada dia karena dia adikku! Tapi, kalau ingat kelakuannya sama aku yang suka ngatain gak sopan kalau gak dikasih uang, rasanya aku akan berhenti peduli saja sama dia! Ibu aja yang urus sendiri!” Nita begitu marah. Tak peduli ada sopir
“Selamat, Pak. Anak Bapak perempuan. Wajahnya cantik sekali, sehat, tidak ada kurang satu apa pun,” ujar Dokter. Hari ini adalah hari yang ditunggu-tunggu kedua pasangan Yuda dan Hanza. Setelah lamanya menanti selama sembilan bulan, akhirnya Hanza melahirkan seorang anak perempuan. Keluarga besar mereka ikut menemani persalinannya. Tak ada yang tak meneteskan air mata, semua terharu karena dapat menggendong cucu pertama mereka. Kehadirannya disambut begitu bahagia.“Alhamdulillah. Nak gadis. Kamu cantik sekali, Nak. Hidungmu mirip papamu dan wajahmu mirip ibumu. Jadi anak yang shalihah ya, Nak,” tutur Meli sembari menggendong dengan hati-hati bayi mungil itu. “Terima kasih, Dokter. Telah membantu proses persalinan istri saya.”“Sama-sama. Ini semua berkat do’a kalian dan pastinya ada campur tangan Allah yang melancarkan segalanya.” Dua hari kemudian, Hanza sudah berada di rumahnya. Setelah proses melahirkan di rumah sakit. “Ya Allah, gemes banget, Nyonya kecil ini,” Mbak Nani men
“Makan terus! Tapi giliran kasih uang belanja paling sedikit. Benar-benar menantu gak guna!” omel ibuku.Deg!Ucapan Ibu membuat hatiku teriris, terutama melihat Bang Yuda—suamiku—yang sedang makan di dapur. Kulihat lelaki yang baru menikahiku tiga bulan lalu itu memperlambat kunyahannya. Jelas sekali dia tersinggung. Padahal, Bang Yuda hanya makan sekali sehari di rumah. Pekerjaannya sebagai buruh pabrik dengan UMR rendah membuatnya diperlakukan berbeda dari menantu lainnya.“Bang, sudah selesai makannya?” tanyaku pelan saat dia masuk ke kamar.“Alhamdulillah, sudah, sayang,” jawabnya lembut.“Bang...” aku memanggil, ragu.“Hmm? Kenapa, sayang?” tanyanya, menatapku dengan penuh perhatian.“Perlakuan Ibu itu keterlaluan sama Abang. Kenapa Abang cuma diam aja?” tanyaku sambil memeluk tubuhnya erat.Dia tersenyum tipis. “Gak apa-apa, sayang.”“Gak apa-apa bagaimana? Itu sudah keterlaluan. Abang kan juga menantu di rumah ini,” ujarku gemas dengan sikapnya yang terlalu sabar.Dia hanya te
“Sayang?” panggil suamiku, menatap penuh pertanyaan. “Kenapa sih, Abang gak lawan aja mereka? Kenapa Abang diam saja? Abang juga punya harga diri! Apa menghargai seseorang itu harus dilihat dari hartanya?” tanyaku, merasa tak bisa lagi menahan emosiku. “Sabar, sayang. Sabar ...,” jawabnya dengan lembut, berusaha menenangkan. “Sudah, ayo bantu aku mengemasi barang-barang kita, Bang!” Aku mulai membuka lemari dan menarik baju-baju yang ada di sana dengan tergesa. “Sayang, jangan membuat keputusan saat sedang emosi. Kamu sabar dulu, ada sesuatu yang belum Abang selesaikan di sini,” ujarnya menatapku lekat, seakan ada sesuatu yang penting yang belum diungkapkan. “Sesuatu apa itu, Bang?” tanyaku, penasaran dan sedikit khawatir. “Nanti kamu juga tahu kebenarannya, kita tidak boleh dulu meninggalkan rumah ini.” Lelakiku itu tersenyum penuh arti, membuatku semakin bingung. Aku yang begitu penasaran mengangguk dengan perasaan campur aduk. Lagi pula, aku juga belum menyelidiki kode yang
"Ini hadiah buat kamu," ucapnya sambil menyodorkan kembali ponsel itu padaku."Hadiah? Kenapa Abang belikan ponsel semahal ini? Kan sayang uangnya. Lagi pula, Abang dapat uang dari mana untuk membeli ponsel sebagus ini?""Um... itu pemberian dari Bos, sayang. Dipakai ya, kan selama ini ponsel kamu sering mati tanpa sebab."Pemberian dari Bos? Emang ada Bos pabrik sebaik itu? Aku hanya mengangguk dan menerima ponsel yang diberikan olehnya."Kamu suka gak?""Ya suka dong. Siapa yang gak suka sama ponsel ini," jawabku dengan campuran rasa senang dan bingung."Ya sudah, biar nanti pas video call sama Abang gak mati-mati lagi. Ponsel yang itu simpan saja," ucapnya.Aku mengangguk, dan sempat-sempatnya tadi berpikir kalau Bang Yuda sebenarnya memang lelaki tajir yang sedang menyamar sebagai orang biasa. Hehe... maafkan Hanza, Bang. Apa pun keadaanmu, Hanza mencintaimu.Namun, masih ada satu kejanggalan. Kenapa lelaki tadi bisa menyebut suamiku pemilik perusahaan? Apa dia lagi halu atau gima