Share

DIKIRA MENANTU MISKIN
DIKIRA MENANTU MISKIN
Author: Putri Sabrina

Bab 1

“Makan terus! Tapi giliran kasih uang belanja paling sedikit. Benar-benar menantu gak guna!” omel ibuku.

Deg!

Ucapan Ibu membuat hatiku teriris, terutama melihat Bang Yuda—suamiku—yang sedang makan di dapur. Kulihat lelaki yang baru menikahiku tiga bulan lalu itu memperlambat kunyahannya. Jelas sekali dia tersinggung. Padahal, Bang Yuda hanya makan sekali sehari di rumah. Pekerjaannya sebagai buruh pabrik dengan UMR rendah membuatnya diperlakukan berbeda dari menantu lainnya.

“Bang, sudah selesai makannya?” tanyaku pelan saat dia masuk ke kamar.

“Alhamdulillah, sudah, sayang,” jawabnya lembut.

“Bang...” aku memanggil, ragu.

“Hmm? Kenapa, sayang?” tanyanya, menatapku dengan penuh perhatian.

“Perlakuan Ibu itu keterlaluan sama Abang. Kenapa Abang cuma diam aja?” tanyaku sambil memeluk tubuhnya erat.

Dia tersenyum tipis. “Gak apa-apa, sayang.”

“Gak apa-apa bagaimana? Itu sudah keterlaluan. Abang kan juga menantu di rumah ini,” ujarku gemas dengan sikapnya yang terlalu sabar.

Dia hanya tersenyum lagi tanpa menanggapi.

“Abang gak akan ninggalin aku, kan?” tanyaku tanpa sadar, membuatnya tertawa kecil.

“Mana mungkin Abang ninggalin wanita sebaik Yuhanza Al-azhari,” katanya sambil mengelus kepalaku, membuat hatiku hangat.

“Semoga kita segera punya rumah sendiri ya, Bang. Atau kalau perlu ngontrak aja. Aku udah gak tahan lihat sikap Ibu ke Abang,” ujarku penuh harap.

“Iya, Abang usahakan kita bisa punya rumah sendiri,” jawabnya, tersenyum penuh arti.

Aku mengangguk, mengamini ucapannya sambil menatap wajahnya yang tenang.

Tiba-tiba terdengar ketukan keras di pintu, mengganggu ketenangan kami.

“Yud! Yuda! Ada di dalam gak?” teriak Bang Andi dari luar, membuat suasana jadi tak nyaman.

“Sebentar, sayang,” ucap Bang Yuda sebelum buru-buru membuka pintu. “Ada apa, Bang Andi?” tanyanya sopan.

“Sebentar lagi teman-teman kantorku datang. Tolong bersihkan dulu ruang tamu, ya! Sekalian siapkan camilan dan buah-buahan yang udah aku beli, nih!” kata Bang Andi sambil menyerahkan keresek besar berisi makanan.

“Oh iya, nanti kalau mereka sudah datang, kamu harus selalu di dekatku, oke?” lanjutnya, dan Bang Yuda hanya mengangguk.

Kenapa suamiku harus menuruti dia? Kakak ipar ini benar-benar tidak tahu diri. Masa dia tidak bisa bereskan ruang tamu sendiri? Terus, Mbak Nita ke mana? Kenapa bukan dia yang membantu suaminya? Keterlaluan! Bukankah seharusnya Bang Andi sendiri yang repot?

Aku baru mau protes, tapi Bang Yuda sudah mengangguk-angguk tanda setuju. Sementara Bang Andi langsung pergi begitu saja.

“Bang, kenapa Abang mau saja?” tanyaku dengan nada ketus.

“Gak apa-apa, sayang. Kita lihat saja apa yang akan dilakukan Bang Andi nanti,” jawabnya dengan senyuman misterius.

“Terserah!” ucapku jengkel.

“Jangan marah, ya. Abang beresin dulu ruang tamunya,” katanya lembut sebelum pergi ke ruang tamu.

“Yuda, sekalian lap meja makannya sampai bersih!” terdengar suara Ibu dari kejauhan.

Aku segera menghampiri Ibu yang hendak menuju kamarnya. “Bu? Mbak Nita ke mana? Kok jadi Bang Yuda yang repot?” tanyaku tak sabar.

“Sudah, kamu diam saja. Suamimu itu kerjanya cuma bolak-balik panti asuhan, kerja di pabriknya juga UMR rendah. Jadi wajar kalau Ibu suruh-suruh dia. Itung-itung bayar numpang di rumah ini,” omel Ibu, benar-benar keterlaluan. Mentang-mentang Bang Yuda bukan orang berada.

**

“Hai, selamat datang di rumahku. Mari masuk semuanya!” Bang Andi dan Mbak Nita tampak menyapa tamu-tamu yang baru tiba.

Rasanya ingin aku berteriak kalau ini bukan rumahnya. Seenaknya saja ngaku-ngaku. Bang Yuda, kenapa dia mau-maunya lagi ikut sama Bang Andi?

Dari balik pintu kamar, aku terus memperhatikan suamiku. Ada yang aneh ketika salah seorang tamu melihat wajah Bang Yuda. Mereka tampak sama-sama terkejut.

“T-tuan...?” Lelaki berkemeja biru itu terkejut, menunjuk ke arah Bang Yuda dengan ekspresi tak percaya. Bang Yuda segera memalingkan wajah, tak menghiraukan sapaan itu.

“Rendi,” Bang Andi menyadari sesuatu aneh, lalu bertanya, “kamu kenapa?” dengan nada heran.

“Oh iya, semuanya, kenalin ini, Nita istriku dan ini adalah asisten rumahanku,” lanjut Bang Andi dengan percaya diri, sambil menunjuk ke arah suamiku.

Apa-apaan ini? Dengan percaya dirinya Bang Andi menyebut suamiku asisten rumahannya?

“Eh, teman-teman Andi sudah datang rupanya? Saya Ayu, mertuanya Andi. Oh iya, asisten Andi itu, selain jadi asisten, dia juga pembantu di rumah ini. Pembantu kami di sini memang laki-laki,” tiba-tiba Ibu datang dengan ucapan yang ngawur. Ini sudah di luar batas!

“Tidak mungkin!” Lelaki berkemeja biru itu tiba-tiba berseru keras.

Semua orang langsung menatapnya dengan bingung. Sementara Bang Yuda tampak memberi kode pada pria itu.

“Ehm... maaf semuanya, tiba-tiba aku bersikap aneh. Lupakan saja, ayo kita nikmati acara ini,” ucapnya dengan senyum canggung, sambil melirik suamiku sekilas.

“Tuan?” gumamku kebingungan di balik pintu kamar.

“Ada apa sebenarnya?” tanyaku dalam hati, makin bingung dengan situasi yang terjadi.

--

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status