Share

Bab 5

Aku tidak tahu siapa yang Bang Yuda telepon. Mungkin suamiku meminta bantuan temannya untuk menjemput kami, lalu mencari tempat menginap untuk malam ini. Syukurlah, aku merasa lega karena tidak harus tidur di jalanan atau di bawah kolong jembatan. Takut rasanya jika ada orang jahat yang menghampiri kita.

Hari sudah hampir gelap, sedangkan hujan masih turun dengan deras. Kilatan petir sesekali membuatku terkejut dan cemas. Bang Yuda kembali merangkulku erat, mencoba menghangatkan tubuhku. Kami berdiri di sana, menunggu bantuan datang.

Lalu lintas di jalan cukup ramai, meski dalam kondisi hujan. Sebuah mobil hitam melaju perlahan lalu berhenti tepat di hadapan kami. Aku mengira itu mungkin pemilik ruko.

“Bang, ayo kita minggir. Sepertinya itu pemilik ruko ini,” bisikku, menarik lengan Bang Yuda.

Bang Yuda malah tertawa kecil mendengar ucapanku. “Itu orang yang mau jemput kita, sayang,” katanya sambil tersenyum.

Aku sedikit terkejut mendengarnya. Bayanganku bukanlah mobil yang akan menjemput kita.

Seorang pria berpakaian rapi keluar dari mobil dengan payung di tangannya. Ia berjalan mendekat ke arah kami.

“Mari, Tuan. Ini payungnya,” ucapnya sambil menyerahkan payung lipat kepada suamiku.

“Tuan lagi? Apa suamiku memang dipanggil Tuan oleh temannya?” pikirku dalam hati.

“Sayang, ayo. Kok malah bengong?” Bang Yuda menggenggam tanganku dan membimbingku masuk ke dalam mobil mewah itu.

“Bang, ini mobil teman Abang, ya?” tanyaku pelan, masih tidak percaya.

“Ini mobil asisten, sayang,” jawabnya lembut.

“Asisten siapa?” tanyaku lagi, makin penasaran.

“Um ... asisten Bos,” bisiknya sambil sedikit tersenyum.

“Wah, baik banget ya, Bos Abang itu? Memangnya nggak papa asistennya jemput kita?”

Lelaki tampanku itu tersenyum dan terlihat menahan tawa.

“Ih, malah senyum-senyum. Memangnya ada yang lucu?” tanyaku sambil memukul pelan tangannya.

“Kamu yang lucu, sayang. Dari tadi nggak berhenti nanya, seperti wartawan saja,” ujarnya sambil tertawa kecil.

“Ih. Ini serius, Bang. Sekarang Hanza mau tanya lagi, mau ke mana kita sekarang?” tanyaku, masih berbisik karena takut sopirnya merasa terganggu.

“Abang juga nggak tahu, sayang. Kita ikuti saja sopirnya, ya. Kamu jangan takut, ada Abang di sini. Abang mencintaimu, Hanza.” Jawaban lelaki berwajah ketimuran itu membuat hatiku berbunga-bunga. Dia selalu berhasil membuatku merasa nyaman dalam situasi apa pun.

Setelah setengah jam perjalanan, mataku mulai terasa sangat berat. Akhirnya, aku tertidur di pangkuan suamiku.

Entah berapa lama aku tertidur di mobil. Ketika aku mulai setengah sadar, aku merasa tubuhku diangkat. Samar-samar, aku melihat wajah suamiku. Namun, kantuk yang sangat berat membuatku memilih melanjutkan tidurku.

**

Sayup-sayup, terdengar suara azan subuh berkumandang. Mataku masih terpejam, merasakan hangatnya selimut yang kupakai dan empuknya kasur ini. Bukankah tadi malam aku tertidur di mobil? Jangan-jangan Bang Yuda menggendongku semalam?

Aku mengerjapkan mata, hampir saja terbuai lagi oleh mimpi. Linglung, aku mencoba mengingat di mana aku berada. Ruangan ini seperti hotel bintang lima yang sering kulihat di film-film.

Saking bingungnya, aku hampir lupa di mana suamiku berada. Jam berapa sekarang? Aku malah sibuk dengan pikiranku sendiri.

“Assalamualaikum, sayang. Sudah bangun?” tiba-tiba suara suamiku terdengar dari balik pintu. Ia muncul mengenakan pakaian koko dan sarung, siap untuk salat subuh.

Mataku membulat, mulutku terbuka melihat pemandangan di depanku yang begitu indah, nyaris sempurna! Aku belum pernah melihat suamiku setampan ini, bahkan ketika berada di rumah Ibu. Ia memang selalu memakai baju koko dan sarung saat salat, tapi kali ini berbeda. Maa syaa Allah!

“Sayang?” Suamiku melambaikan tangan di depan wajahku, mencoba menarik perhatianku.

“Eh, um ... ada apa, Bang?” tanyaku gugup, entah kenapa aku jadi salah tingkah. Suamiku sekarang berdiri di hadapanku, tersenyum manis.

“Hanza sayang, matahari sudah mau terbit. Kamu sudah salat subuh belum?”

“Jam berapa sekarang, Bang?” tanyaku kaget, sadar bahwa aku mungkin melewatkan waktu salat.

“Tuh!” Suamiku menunjuk jam dinding besar yang terpampang jelas di atas ranjang.

Astaghfirullah! Jam sebesar itu pun aku tidak melihatnya karena terlalu gugup. Aku menepuk jidatku, jam sudah menunjukkan pukul lima lewat lima menit.

Aku buru-buru melangkahkan kaki menuju kamar mandi, namun tiba-tiba aku berhenti dan berbalik.

“Bang, ini rumah teman Abang kan? Antar Hanza ke kamar mandi, Hanza malu kalau nanti ketemu pemilik rumahnya,” pintaku, menarik lengan suamiku.

“Kamar ini ada kamar mandinya, sayang. Itu pintu kecil di sana menuju kamar mandi,” jelasnya sambil menunjuk ke arah cermin besar.

“Pintu mana? Itu bukannya cermin ya?” tanyaku bingung, menunjuk cermin besar sebesar pintu.

“Itu memang pintu, tapi didesain seperti cermin. Ayo, Abang bukakan.” Suamiku beranjak dari kasur dan membuka pintu yang tampak seperti cermin itu.

Ternyata benar, ini adalah kamar mandi. Kamar mandi yang begitu bersih dan nyaman. Rasanya seperti masuk ke negeri dongeng saat berada di sini, saking indahnya.

“Bang, Hanza kan lagi nggak salat,” ujarku saat keluar dari kamar mandi, sedikit malu.

“Oh, ya sudah, kita keluar yuk! Rasanya sudah lama tidak menikmati mentari terbit berdua,” ajaknya dengan senyum yang menghangatkan hati.

“Hanza mau nanya dulu, Bang. Sebenarnya ini rumah siapa? Rumah asisten Bos Abang itu ya?” tanyaku, masih penasaran.

“Sebenarnya ... ini rumah Abang, Hanza. Yang berarti rumah kamu juga,” ungkapnya, membuatku terkejut dan tak percaya.

“Rumah Abang? Memangnya Abang mampu beli rumah sebesar ini? Gaji Abang kan ...”

“Di bawah UMR,” jawabnya cepat, lalu ia menunduk sedikit, “Maafkan Abang sudah membohongi kamu.”

“Jadi sebenarnya Abang itu siapa? Ini benar Bang Yuda kan? Atau jangan-jangan ini bukan Bang Yuda? Ke mana suamiku? Di mana dia?” tanyaku dengan suara penuh kekhawatiran.

“Sayang, sayang. Hanza Al-Azhari, ini suamimu,” jawabnya sambil mendekapku erat, menatapku dengan penuh kasih.

Melihat tatapan itu, aku tahu ini benar suamiku, Bang Yuda.

“Hanza mau Abang jelaskan semuanya. Kenapa Abang membohongiku?”

“Abang bukan membohongimu. Hanya mengujimu. Ternyata Abang tidak salah pilih menjadikanmu istri. Terima kasih, sayang, kamu sudah tulus menerima Abang dalam keadaan apa pun,” ungkapnya sambil melepaskan pelukan dan menggenggam tanganku dengan erat.

“Hanza tidak peduli dengan kekurangan Abang. Abang yang begitu bertanggung jawab membuat Hanza sangat mencintai Abang,” balasku dengan tulus.

“Kamu tenang ya, sekarang kamu tidak akan kekurangan lagi,” ujarnya lembut.

“Tapi, Bang. Abang sudah membohongi keluargaku?”

“Maafkan Abang, Hanza. Biar mereka tahu kebenarannya dengan sendirinya. Sejak awal kita menikah, Abang merasa harus melakukan itu,” katanya dengan nada penuh penyesalan.

“Maafkan mereka yang selalu melihat Abang dari kekurangannya saja. Mereka menghina Abang dan menjadikan Abang seperti pembantu. Bukan hanya tenaganya yang dipakai, tapi juga uang Abang,” kataku dengan nada pedih.

“Sudah, yang penting kamu tidak seperti mereka. Itu sudah membuat Abang bahagia, Hanza,” ungkapnya, menatapku dengan tatapan penuh cinta.

Aku merasa seperti berada di dalam sebuah novel. Beberapa kali aku mencubit lenganku sendiri, dan merasakan sakitnya. Ini benar-benar nyata! Kukira hanya dalam novel kejadian seperti ini terjadi, tapi ternyata aku mengalaminya di dunia nyata.

“Sepertinya menikmati sunrise kita lakukan besok saja. Waktunya Abang ke kantor, sayang.”

“Bukannya ke pabrik?” tanyaku dengan nada bingung.

Lelakiku itu hanya tersenyum kecil, senyum yang penuh teka-teki, sembari membuka lemari besar di sudut ruangan. Dengan tenang, ia mengeluarkan beberapa setelan jas rapi dan pakaian-pakaian khas kantoran, berbeda dari pakaian kerja pabrik yang biasa ia kenakan. Aku hanya bisa mengernyitkan dahi, masih berusaha mencerna perubahan mendadak ini.

“Aku kerja dulu ya, sayang,” katanya sambil mengenakan jasnya dengan gesit. “Jangan khawatir, sarapan akan diantarkan ke kamar oleh pelayan rumah.”

Pelayan rumah? Sejak kapan kami punya pelayan? Pertanyaan itu langsung melintas di pikiranku, tapi belum sempat aku mengungkapkannya, lelaki berhidung mancung yang kini tampak lebih elegan itu mendekatiku. Ia mencium keningku dengan lembut, sebuah gestur yang biasanya ia lakukan sebelum berangkat kerja di pabrik.

Tas mirip koper kecil yang ia bawa menjadi penanda bahwa ada sesuatu yang lebih dari sekadar pekerjaan pabrik biasa. Aku menatapnya penuh tanya, tapi yang keluar dari mulutku hanya, “Bang! Abang berhutang cerita banyak sama Hanza!”

Suamiku menoleh sebentar dari ambang pintu, senyum misteriusnya kembali muncul, seolah menikmati kebingunganku. Alih-alih menjawab, ia hanya mengacungkan jempolnya padaku, lalu menghilang di balik pintu tanpa menjelaskan apapun.

Aku masih terpaku di tempat tidur, memandangi pintu yang baru saja ditutupnya. Semua hal yang terjadi sejak semalam terasa seperti mimpi yang aneh. Rumah mewah ini, pakaian jas yang ia kenakan, serta kenyataan bahwa suamiku tampaknya memiliki kehidupan yang jauh berbeda dari yang selama ini kutahu.

Aku menatap ke sekitar ruangan, berusaha mencari bukti bahwa ini semua nyata dan bukan sekadar mimpi. Sentuhan lembut kain satin selimut yang menutupi tubuhku, kelembutan kasur empuk yang menopang punggungku, semuanya terasa terlalu indah untuk menjadi kenyataan.

Namun, satu hal yang pasti, kenyataan ini—seaneh apapun itu—adalah kehidupan baruku. Aku harus mempersiapkan diri untuk menerima segala jawaban dari teka-teki yang telah suamiku ciptakan. Masih banyak yang harus ia jelaskan, dan aku bertekad untuk mendapatkan semua jawabannya, satu per satu.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status