Aku tidak tahu siapa yang Bang Yuda telepon. Mungkin suamiku meminta bantuan temannya untuk menjemput kami, lalu mencari tempat menginap untuk malam ini. Syukurlah, aku merasa lega karena tidak harus tidur di jalanan atau di bawah kolong jembatan. Takut rasanya jika ada orang jahat yang menghampiri kita.
Hari sudah hampir gelap, sedangkan hujan masih turun dengan deras. Kilatan petir sesekali membuatku terkejut dan cemas. Bang Yuda kembali merangkulku erat, mencoba menghangatkan tubuhku. Kami berdiri di sana, menunggu bantuan datang. Lalu lintas di jalan cukup ramai, meski dalam kondisi hujan. Sebuah mobil hitam melaju perlahan lalu berhenti tepat di hadapan kami. Aku mengira itu mungkin pemilik ruko. “Bang, ayo kita minggir. Sepertinya itu pemilik ruko ini,” bisikku, menarik lengan Bang Yuda. Bang Yuda malah tertawa kecil mendengar ucapanku. “Itu orang yang mau jemput kita, sayang,” katanya sambil tersenyum. Aku sedikit terkejut mendengarnya. Bayanganku bukanlah mobil yang akan menjemput kita. Seorang pria berpakaian rapi keluar dari mobil dengan payung di tangannya. Ia berjalan mendekat ke arah kami. “Mari, Tuan. Ini payungnya,” ucapnya sambil menyerahkan payung lipat kepada suamiku. “Tuan lagi? Apa suamiku memang dipanggil Tuan oleh temannya?” pikirku dalam hati. “Sayang, ayo. Kok malah bengong?” Bang Yuda menggenggam tanganku dan membimbingku masuk ke dalam mobil mewah itu. “Bang, ini mobil teman Abang, ya?” tanyaku pelan, masih tidak percaya. “Ini mobil asisten, sayang,” jawabnya lembut. “Asisten siapa?” tanyaku lagi, makin penasaran. “Um ... asisten Bos,” bisiknya sambil sedikit tersenyum. “Wah, baik banget ya, Bos Abang itu? Memangnya nggak papa asistennya jemput kita?” Lelaki tampanku itu tersenyum dan terlihat menahan tawa. “Ih, malah senyum-senyum. Memangnya ada yang lucu?” tanyaku sambil memukul pelan tangannya. “Kamu yang lucu, sayang. Dari tadi nggak berhenti nanya, seperti wartawan saja,” ujarnya sambil tertawa kecil. “Ih. Ini serius, Bang. Sekarang Hanza mau tanya lagi, mau ke mana kita sekarang?” tanyaku, masih berbisik karena takut sopirnya merasa terganggu. “Abang juga nggak tahu, sayang. Kita ikuti saja sopirnya, ya. Kamu jangan takut, ada Abang di sini. Abang mencintaimu, Hanza.” Jawaban lelaki berwajah ketimuran itu membuat hatiku berbunga-bunga. Dia selalu berhasil membuatku merasa nyaman dalam situasi apa pun. Setelah setengah jam perjalanan, mataku mulai terasa sangat berat. Akhirnya, aku tertidur di pangkuan suamiku. Entah berapa lama aku tertidur di mobil. Ketika aku mulai setengah sadar, aku merasa tubuhku diangkat. Samar-samar, aku melihat wajah suamiku. Namun, kantuk yang sangat berat membuatku memilih melanjutkan tidurku. ** Sayup-sayup, terdengar suara azan subuh berkumandang. Mataku masih terpejam, merasakan hangatnya selimut yang kupakai dan empuknya kasur ini. Bukankah tadi malam aku tertidur di mobil? Jangan-jangan Bang Yuda menggendongku semalam? Aku mengerjapkan mata, hampir saja terbuai lagi oleh mimpi. Linglung, aku mencoba mengingat di mana aku berada. Ruangan ini seperti hotel bintang lima yang sering kulihat di film-film. Saking bingungnya, aku hampir lupa di mana suamiku berada. Jam berapa sekarang? Aku malah sibuk dengan pikiranku sendiri. “Assalamualaikum, sayang. Sudah bangun?” tiba-tiba suara suamiku terdengar dari balik pintu. Ia muncul mengenakan pakaian koko dan sarung, siap untuk salat subuh. Mataku membulat, mulutku terbuka melihat pemandangan di depanku yang begitu indah, nyaris sempurna! Aku belum pernah melihat suamiku setampan ini, bahkan ketika berada di rumah Ibu. Ia memang selalu memakai baju koko dan sarung saat salat, tapi kali ini berbeda. Maa syaa Allah! “Sayang?” Suamiku melambaikan tangan di depan wajahku, mencoba menarik perhatianku. “Eh, um ... ada apa, Bang?” tanyaku gugup, entah kenapa aku jadi salah tingkah. Suamiku sekarang berdiri di hadapanku, tersenyum manis. “Hanza sayang, matahari sudah mau terbit. Kamu sudah salat subuh belum?” “Jam berapa sekarang, Bang?” tanyaku kaget, sadar bahwa aku mungkin melewatkan waktu salat. “Tuh!” Suamiku menunjuk jam dinding besar yang terpampang jelas di atas ranjang. Astaghfirullah! Jam sebesar itu pun aku tidak melihatnya karena terlalu gugup. Aku menepuk jidatku, jam sudah menunjukkan pukul lima lewat lima menit. Aku buru-buru melangkahkan kaki menuju kamar mandi, namun tiba-tiba aku berhenti dan berbalik. “Bang, ini rumah teman Abang kan? Antar Hanza ke kamar mandi, Hanza malu kalau nanti ketemu pemilik rumahnya,” pintaku, menarik lengan suamiku. “Kamar ini ada kamar mandinya, sayang. Itu pintu kecil di sana menuju kamar mandi,” jelasnya sambil menunjuk ke arah cermin besar. “Pintu mana? Itu bukannya cermin ya?” tanyaku bingung, menunjuk cermin besar sebesar pintu. “Itu memang pintu, tapi didesain seperti cermin. Ayo, Abang bukakan.” Suamiku beranjak dari kasur dan membuka pintu yang tampak seperti cermin itu. Ternyata benar, ini adalah kamar mandi. Kamar mandi yang begitu bersih dan nyaman. Rasanya seperti masuk ke negeri dongeng saat berada di sini, saking indahnya. “Bang, Hanza kan lagi nggak salat,” ujarku saat keluar dari kamar mandi, sedikit malu. “Oh, ya sudah, kita keluar yuk! Rasanya sudah lama tidak menikmati mentari terbit berdua,” ajaknya dengan senyum yang menghangatkan hati. “Hanza mau nanya dulu, Bang. Sebenarnya ini rumah siapa? Rumah asisten Bos Abang itu ya?” tanyaku, masih penasaran. “Sebenarnya ... ini rumah Abang, Hanza. Yang berarti rumah kamu juga,” ungkapnya, membuatku terkejut dan tak percaya. “Rumah Abang? Memangnya Abang mampu beli rumah sebesar ini? Gaji Abang kan ...” “Di bawah UMR,” jawabnya cepat, lalu ia menunduk sedikit, “Maafkan Abang sudah membohongi kamu.” “Jadi sebenarnya Abang itu siapa? Ini benar Bang Yuda kan? Atau jangan-jangan ini bukan Bang Yuda? Ke mana suamiku? Di mana dia?” tanyaku dengan suara penuh kekhawatiran. “Sayang, sayang. Hanza Al-Azhari, ini suamimu,” jawabnya sambil mendekapku erat, menatapku dengan penuh kasih. Melihat tatapan itu, aku tahu ini benar suamiku, Bang Yuda. “Hanza mau Abang jelaskan semuanya. Kenapa Abang membohongiku?” “Abang bukan membohongimu. Hanya mengujimu. Ternyata Abang tidak salah pilih menjadikanmu istri. Terima kasih, sayang, kamu sudah tulus menerima Abang dalam keadaan apa pun,” ungkapnya sambil melepaskan pelukan dan menggenggam tanganku dengan erat. “Hanza tidak peduli dengan kekurangan Abang. Abang yang begitu bertanggung jawab membuat Hanza sangat mencintai Abang,” balasku dengan tulus. “Kamu tenang ya, sekarang kamu tidak akan kekurangan lagi,” ujarnya lembut. “Tapi, Bang. Abang sudah membohongi keluargaku?” “Maafkan Abang, Hanza. Biar mereka tahu kebenarannya dengan sendirinya. Sejak awal kita menikah, Abang merasa harus melakukan itu,” katanya dengan nada penuh penyesalan. “Maafkan mereka yang selalu melihat Abang dari kekurangannya saja. Mereka menghina Abang dan menjadikan Abang seperti pembantu. Bukan hanya tenaganya yang dipakai, tapi juga uang Abang,” kataku dengan nada pedih. “Sudah, yang penting kamu tidak seperti mereka. Itu sudah membuat Abang bahagia, Hanza,” ungkapnya, menatapku dengan tatapan penuh cinta. Aku merasa seperti berada di dalam sebuah novel. Beberapa kali aku mencubit lenganku sendiri, dan merasakan sakitnya. Ini benar-benar nyata! Kukira hanya dalam novel kejadian seperti ini terjadi, tapi ternyata aku mengalaminya di dunia nyata. “Sepertinya menikmati sunrise kita lakukan besok saja. Waktunya Abang ke kantor, sayang.” “Bukannya ke pabrik?” tanyaku dengan nada bingung. Lelakiku itu hanya tersenyum kecil, senyum yang penuh teka-teki, sembari membuka lemari besar di sudut ruangan. Dengan tenang, ia mengeluarkan beberapa setelan jas rapi dan pakaian-pakaian khas kantoran, berbeda dari pakaian kerja pabrik yang biasa ia kenakan. Aku hanya bisa mengernyitkan dahi, masih berusaha mencerna perubahan mendadak ini. “Aku kerja dulu ya, sayang,” katanya sambil mengenakan jasnya dengan gesit. “Jangan khawatir, sarapan akan diantarkan ke kamar oleh pelayan rumah.” Pelayan rumah? Sejak kapan kami punya pelayan? Pertanyaan itu langsung melintas di pikiranku, tapi belum sempat aku mengungkapkannya, lelaki berhidung mancung yang kini tampak lebih elegan itu mendekatiku. Ia mencium keningku dengan lembut, sebuah gestur yang biasanya ia lakukan sebelum berangkat kerja di pabrik. Tas mirip koper kecil yang ia bawa menjadi penanda bahwa ada sesuatu yang lebih dari sekadar pekerjaan pabrik biasa. Aku menatapnya penuh tanya, tapi yang keluar dari mulutku hanya, “Bang! Abang berhutang cerita banyak sama Hanza!” Suamiku menoleh sebentar dari ambang pintu, senyum misteriusnya kembali muncul, seolah menikmati kebingunganku. Alih-alih menjawab, ia hanya mengacungkan jempolnya padaku, lalu menghilang di balik pintu tanpa menjelaskan apapun. Aku masih terpaku di tempat tidur, memandangi pintu yang baru saja ditutupnya. Semua hal yang terjadi sejak semalam terasa seperti mimpi yang aneh. Rumah mewah ini, pakaian jas yang ia kenakan, serta kenyataan bahwa suamiku tampaknya memiliki kehidupan yang jauh berbeda dari yang selama ini kutahu. Aku menatap ke sekitar ruangan, berusaha mencari bukti bahwa ini semua nyata dan bukan sekadar mimpi. Sentuhan lembut kain satin selimut yang menutupi tubuhku, kelembutan kasur empuk yang menopang punggungku, semuanya terasa terlalu indah untuk menjadi kenyataan. Namun, satu hal yang pasti, kenyataan ini—seaneh apapun itu—adalah kehidupan baruku. Aku harus mempersiapkan diri untuk menerima segala jawaban dari teka-teki yang telah suamiku ciptakan. Masih banyak yang harus ia jelaskan, dan aku bertekad untuk mendapatkan semua jawabannya, satu per satu.Aku begitu bingung, sekarang apa yang harus kulakukan di sini. Ini bagaikan mimpi, sekali lagi kutampar pipiku. “Aww ... sakit!” gumamku, tak percaya. Ya Allah, ini benar kan? Suamiku itu kaya raya ternyata. Kalau saja Ibu dan saudara-saudaraku tahu, mereka pasti akan malu sekali. Tiba-tiba suara ketukan pintu membuyarkan lamunanku. Aku buru-buru membuka pintu kamar dengan ukiran kayu jati yang begitu indah. “Nyonya, silakan sarapannya,” ucap seorang wanita muda dengan senyuman ramah, sambil menyerahkan nampan kepadaku. Tanganku refleks menerima sebuah nampan yang berisi sepiring nasi lengkap dengan sayur dan lauknya. Segelas susu dan air putih juga melengkapinya. “T-terima kasih,” kataku gugup dengan sebutan "Nyonya." Aku merasa sangat tidak pantas dengan sebutan itu. “Sama-sama. Jika ada apa-apa, Nyonya silakan panggil saya saja di bawah. Permisi!” ucap pelayan itu sambil tersenyum dan berlalu. Setelah pelayan itu pergi, aku menikmati sarapan pagiku. Tidak pernah rasanya aku
"Abang sudah pulang?" Nita buru-buru menyambut Andi yang baru saja tiba."Sudah, Sayang. Ada kabar gawat!" Andi yang bertubuh agak besar langsung menjawab."Gawat kenapa? Jangan-jangan kamu dipecat?" Nita bertanya dengan nada setengah kaget."Bukan, bukan itu, Sayang. Ini soal Yuda."Nita mengernyitkan dahi. "Memangnya kenapa dengan dia? Abang habis ketemu dia?""Dia itu bos perusahaan tempat aku kerja, Nita," ungkap Andi, membuat seluruh isi rumah terdiam kaget."Apa? Jadi benar Yuda itu pemilik perusahaan?" Ayu, mertua Andi, memotong."Iya, Bu. Aku baru tahu tadi saat perkenalan. Selama sebulan kerja di sana, dia memang nggak ada. Tapi tadi dia muncul di kantor dan langsung mengaku sebagai bos perusahaan," Andi menjelaskan dengan nada tertekan."Kamu percaya begitu saja, Bang?" Nita masih ragu."Ya iyalah, Sayang. Perusahaan sebesar itu nggak sembarang orang bisa masuk. Aku juga lihat beberapa asisten yang ikut di belakangnya," jawab Andi, terlihat semakin gelisah. Dia membayangkan
---Malam ini tiba-tiba ada tamu datang ke rumah Bang Yuda. Aku kira memang tamunya dia, tapi ternyata bukan. Mereka adalah ibuku dan saudara-saudaraku. Mau apa mereka datang kemari? Jadi, alasan Ibu nanya keberadaanku untuk menemuiku di sini. Pasti mereka terkagum-kagum melihat keadaan Bang Yuda sekaya ini. Makannya jangan semena-mena, kalau sudah tahu kebenarannya kan jadi malu.Mereka datang untuk meminta maaf. Aku tidak tahu, apakah mereka benar-benar tulus atau hanya ingin melihat harta Bang Yuda saja?“Benar, Yuda. Kami semua meminta maaf dari hati yang paling dalam,” ucap Mbak Nita dengan suara pelan, diikuti anggukan yang lain.Wajah mereka terlihat memelas, berbeda seratus delapan puluh derajat dari sebelumnya.“Baiklah, aku maafkan kalian. Sudah cukup?” sahut suamiku datar. Dia memang lelaki idaman, baik hati dan tidak sombong.“Terima kasih, Yuda. Semoga kita bisa menjadi keluarga yang tenteram,” kata Ibu sambil tersenyum, tapi ada sesuatu yang aneh dalam ekspresinya.Aku m
"Hanza, Yuda!" Tiba-tiba, suara keras terdengar dari pintu depan saat ibuku masuk ke rumah tanpa permisi. "Ada apa, Bu? Pagi-pagi sudah ke sini?" tanyaku dengan heran, meski dalam hati aku sudah menduga maksud kedatangannya. "Ah, anu... Ibu cuma mau main saja. Wah, kalian lagi sarapan ya? Kebetulan Ibu belum makan," katanya sambil langsung mendekat ke meja makan. Astaga! Setelah tahu suamiku kaya, Ibu makin tidak tahu malu. Belum sarapan? Itu alasan yang sudah sering dia pakai. "Sayang, Abang mau ke kantor dulu, ya?" Suamiku, Yuda, tiba-tiba memotong, tak sedikit pun memedulikan tingkah laku Ibu. "Tapi, Bang..." Aku menahan tangannya, tidak nyaman ditinggal berdua dengan Ibu. "Mau ikut?" tanyanya lembut, seolah paham dengan kegelisahanku. "Emang boleh kalau Hanza ikut?" "Tentu saja boleh, Sayang. Siapa yang melarang?" jawabnya santai. "Bos." "Kan Abang bosnya. Masak lupa?" candanya dengan senyum penuh keyakinan. Ya ampun, kenapa aku sampai lupa? Rasanya aku masih menganggap
Kulihat Bang Andi mengusap wajah dengan kasar. Ia masih belum meninggalkan ruangan Bang Yuda.“Yuda, Abang mohon. Jangan jadikan cleaning service, ya?” Bang Andi masih memohon.“Kalau Abang tidak mau dengan pekerjaan yang aku berikan, ya sudah silakan keluar dari kantorku,” jawab Bang Yuda mantap.Bang Andi mendengus kesal.“Silakan jika Abang mau keluar. Barangkali ada perusahaan lain yang bisa menerima Abang, yang pasti bukan perusahaanku. Karena ada sekitar enam cabang perusahaan milikku di kota ini. Belum lagi di luar kota, masih ada tiga perusahaan yang kupegang.”Apa? Sebanyak itu suamiku mempunyai perusahaan? Aku yang mendengarnya juga begitu kaget, bukan kepalang. Apalagi Bang Andi, yang selalu merendahkan orang lain, pasti langsung syok.“Baiklah, Yuda. Aku terima saja pekerjaan ini!” ucapnya, melengos ke luar.“Mulai hari ini ya, Bang. Silakan minta seragam OB ke ketua cleaning service-nya, lalu segera ganti bajumu.”Bang Andi kembali membalikkan badan, sepertinya ia ingin s
“Makan terus! Tapi giliran kasih uang belanja paling sedikit. Benar-benar menantu gak guna!” omel ibuku.Deg!Ucapan Ibu membuat hatiku teriris, terutama melihat Bang Yuda—suamiku—yang sedang makan di dapur. Kulihat lelaki yang baru menikahiku tiga bulan lalu itu memperlambat kunyahannya. Jelas sekali dia tersinggung. Padahal, Bang Yuda hanya makan sekali sehari di rumah. Pekerjaannya sebagai buruh pabrik dengan UMR rendah membuatnya diperlakukan berbeda dari menantu lainnya.“Bang, sudah selesai makannya?” tanyaku pelan saat dia masuk ke kamar.“Alhamdulillah, sudah, sayang,” jawabnya lembut.“Bang...” aku memanggil, ragu.“Hmm? Kenapa, sayang?” tanyanya, menatapku dengan penuh perhatian.“Perlakuan Ibu itu keterlaluan sama Abang. Kenapa Abang cuma diam aja?” tanyaku sambil memeluk tubuhnya erat.Dia tersenyum tipis. “Gak apa-apa, sayang.”“Gak apa-apa bagaimana? Itu sudah keterlaluan. Abang kan juga menantu di rumah ini,” ujarku gemas dengan sikapnya yang terlalu sabar.Dia hanya te
“Sayang?” panggil suamiku, menatap penuh pertanyaan. “Kenapa sih, Abang gak lawan aja mereka? Kenapa Abang diam saja? Abang juga punya harga diri! Apa menghargai seseorang itu harus dilihat dari hartanya?” tanyaku, merasa tak bisa lagi menahan emosiku. “Sabar, sayang. Sabar ...,” jawabnya dengan lembut, berusaha menenangkan. “Sudah, ayo bantu aku mengemasi barang-barang kita, Bang!” Aku mulai membuka lemari dan menarik baju-baju yang ada di sana dengan tergesa. “Sayang, jangan membuat keputusan saat sedang emosi. Kamu sabar dulu, ada sesuatu yang belum Abang selesaikan di sini,” ujarnya menatapku lekat, seakan ada sesuatu yang penting yang belum diungkapkan. “Sesuatu apa itu, Bang?” tanyaku, penasaran dan sedikit khawatir. “Nanti kamu juga tahu kebenarannya, kita tidak boleh dulu meninggalkan rumah ini.” Lelakiku itu tersenyum penuh arti, membuatku semakin bingung. Aku yang begitu penasaran mengangguk dengan perasaan campur aduk. Lagi pula, aku juga belum menyelidiki kode yang
"Ini hadiah buat kamu," ucapnya sambil menyodorkan kembali ponsel itu padaku."Hadiah? Kenapa Abang belikan ponsel semahal ini? Kan sayang uangnya. Lagi pula, Abang dapat uang dari mana untuk membeli ponsel sebagus ini?""Um... itu pemberian dari Bos, sayang. Dipakai ya, kan selama ini ponsel kamu sering mati tanpa sebab."Pemberian dari Bos? Emang ada Bos pabrik sebaik itu? Aku hanya mengangguk dan menerima ponsel yang diberikan olehnya."Kamu suka gak?""Ya suka dong. Siapa yang gak suka sama ponsel ini," jawabku dengan campuran rasa senang dan bingung."Ya sudah, biar nanti pas video call sama Abang gak mati-mati lagi. Ponsel yang itu simpan saja," ucapnya.Aku mengangguk, dan sempat-sempatnya tadi berpikir kalau Bang Yuda sebenarnya memang lelaki tajir yang sedang menyamar sebagai orang biasa. Hehe... maafkan Hanza, Bang. Apa pun keadaanmu, Hanza mencintaimu.Namun, masih ada satu kejanggalan. Kenapa lelaki tadi bisa menyebut suamiku pemilik perusahaan? Apa dia lagi halu atau gima