"Pokoknya Ibu harus minta lagi sama Mbak Hanza, Bu," ujar Sania."Iya, tenang. Nanti Ibu minta lagi, San. Eh iya, kamu mana sumbangannya, Nit?" "Aku cuma ada lima juta. Gak papa, kan, Bu?""Yah, kok cuma segitu, sih. Terus nanti gimana kalau tidak cukup uangnya? Secara gedung yang disewa itu mahal banget?" protes Ayu."Lah, kan, si Sania juga punya simpanan, Bu. Uangku habis untuk kebutuhan sehari-hari kita, loh!" ucap Nita.Ayu benar-benar kebingungan, dari mana ia akan mendapatkan lagi uang. Harga sewa gedung saja seratus juta. Sementara uang baru terkumpul lima belas juta lima ratus rupiah. Mau turunin ke gedung yang lebih rendah gengsinya selangit. "Resepsi di rumah saja, lah, Bu. Gratis!" celetuk Nita."Ih, ogah, ya! Mau ditempatkan di mana nanti harga diriku, Mbak. Memangnya Mbak, nikahnya pasang tenda di depan rumah," ejek Sania."Lah daripada kamu bikin pusing orang lain!" timpal Nita."Eh, sudah-sudah jangan ribut kalian! Sania itu anak bungsu, jadi wajar harus mewah dari k
“Heh, ngapain, lu liatin gua terus?” bentak Andi pada seorang cleaning service, pekerja baru.“Enggak, Bang. Sorry!” balasnya sembari pergi keluar meninggalkan Andi.“Baru jadi anak baru saja belagu, lu!” teriak Andi. Pria itu berhenti melangkah. Selanjutnya membalikkan badan lalu menatap Andi dengan tatapan sinis. “Apa, lu? Sudah sana keluar!” ketus Andi. Tidak ada yang tahu, pria baru itu hanyalah menyamar sebagai OB di kantor. Sesuai perintah Yuda, tugas sebenarnya adalah memata-matai gerak-gerik Andi. Pria itu lalu mengetikkan sebuah pesan untuk dikirim pada Yuda. (Dia merencanakan sesuatu, Yud. Katanya akan membuat kekacauan di kantor kamu) (Oke. Cari tahu apa yang akan dia lakukan, Bay)(Siap, Yud. Itu hal yang sangat gampang) Sudah satu bulan berlalu Andi bekerja sebagai OB. Dia begitu ketar-ketir saat melihat kalender. Orang lain senang gajian, ia malah ketakutan. Takut orang-orang mempertahankan gajinya yang turun drastis. Apalagi, Andi merupakan tipe suami takut istri.
“Sania? Mau, kan ke rumah sakit?” tanya Alam lagi. “Enggak deh, Mas. Ini juga sudah mendingan kok. Benar gak papa.” Sania berbohong, ia hanya berpura-pura dan menahan rasa mualnya. “Ya sudah, kalau kamu memang sudah baikan. Kita langsung saja ke rumah.” Alam melajukan mobilnya sedikit cepat, agar Sania bisa cepat istirahat di rumahnya. Sekitar sepuluh menit, mereka sudah sampai di rumah. Alam begitu perhatian pada Sania, ia menggendongnya menuju kamar. “Istirahat ya, Sayang. Jangan capek-capek. Sebentar lagi kita akan menikah,” ujar Alam.“Terima kasih, Mas. Kalau boleh tahu sampai kapan pernikahan kita ditunda?” tanya Sania.“Sekitar dua sampai tiga harian, Sayang. Tidak lama, kok. Mas harap, kamu mengerti, ya?” “Baik, Mas. Aku gak mau lama-lama. Aku pengen Mas secepatnya nikahi aku,” rengek Sania. “Iya-iya. Kamu cepat sembuh, ya. Mas langsung pamit saja,” ucapnya, “Bu, Mbak Nita. Saya mau langsung pulang, ya. Kasihan Ibu tidak ada temannya.”“Iya, Nak Alam. Terima kasih sudah
Keesokan harinya tepat tanggal satu, tanggal gajian di kantor. Seperti biasa, Andi akan memakai kemejanya dari rumah, lalu ia akan berganti dengan pakaian OB di dalam mobilnya. Andi sedikit lega, karena ibu mertuanya tidak menuntut meminta banyak uang sumbangan untuk pernikahan Sania yang tertunda.Sementara Bayu, sang mata-mata tampak sibuk memperhatikan gerak-gerik Andi yang baru keluar dari rumahnya. Ia melihat ada sesuatu yang dibawa Andi. Sebuah jerigen putih berisi cairan kehijauan. Lalu ia menyimpan sebuah korek api ke dalam sakunya sebelum ia memandanginya dengan senyuman sinis. Andi menengok ke kiri dan kanan, ia merasa ada yang mengintipnya. Namun, Bayu segera pergi dengan sepeda motornya dengan cepat menuju kantor. “Halah, sudahlah. Aku yakin, kali ini rencanaku akan lancar. Akan kubakar kantor mewah milik si Yuda!” ucapnya sembari memasuki mobil, lalu melajukannya dengan kecepatan sedang.Di kantor, aktivitas berjalan seperti biasanya. Semua sibuk dengan perkerjaannya m
Di kantor super mewah, Bayu tak lepas menyelidiki Andi. Siang ini sepertinya Andi memang tidak akan melakukan apa-apa. Hingga menjelang sore, Andi mengendap-endap menuju tempat parkir mobil. Bayu sengaja mengikuti Andi dengan pura-pura lagi badmood. Ia menendang bebatuan yang berada menghiasi latar parkiran. Lalu ia sengaja duduk tepat di depan Andi.Andi begitu gelagapan setelah ia sadar kalau ada orang lain di depannya. “Lagi ngapain, Bang?” tanya Bayu.“Elu yang lagi ngapain? Jangan-jangan lu ngikutin gua lagi?” desis Andi.“Siapa yang ikutin Abang. Aku lagi malas kerja, Bang,” ujar Bayu berbohong.“Kenapa, lu?” “Bos kita sombong banget, ya? Kalau enggak butuh, aku ogah kerja di sini!” ketus Bayu.Andi tampak tersenyum sinis sembari menganggukkan kepalanya, “kalau begitu, lu mau gak bikin huru-hara di kantor ini?”“Huru-hara? Takut, ah, Bang!” Bayu berpura-pura menolak. Dalam hatinya ia tertawa karena target sudah masuk perangkapnya.“Iya.” Andi meletakkan jerigen yang berisi mi
Kini Andi tengah keluar dengan keadaan sudah berganti baju. Ia berjalan menuju ruang keluarga tempat mereka berkumpul. Beberapa kali ia menelan ludah yang terasa begitu pahit di tenggorokannya. “Bang, hari ini gajian, kan?” Nita begitu bersemangat.“Oh, iya, Sayang. Gajinya Abang simpan di atas lemari,” balasnya sembari menyeruput kopi. “Berarti, aku jadi, dong, liburan ke Bali? Besok loh, Bang!” Andi tak tahu apa yang harus ia katakan, karena ia hanya membawa uang senilai lima juta dari gaji menjadi OB. Ia hanya mengangguk ragu dan hampir terbatuk.“Buat Ibu mana, Andi? Bentar lagi Sania nikah, sekarang tambahi, ya, jadi dua juta.” Kini Bu Ayu juga ikut nimbrung, meminta jatah bulanan kepada menantunya. Kepala Andi semakin pusing mendengarnya. Ia hanya berani angguk-angguk saja di depan dua wanita ini.Nita beranjak dari duduknya. Ia tak sabar ingin menghitung gaji suaminya, buru-buru ia melangkah ke kamar di susul dengan langkah ibunya.“Duh! Apa aku harus kabur aja sekarang?” g
Hanza PovMalam ini kami berdua makan malam di kamar kami. Aku merasa geram sekali setelah mendengar kabar kalau Bang Andi hendak membakar kantor milik suamiku. Manusia macam apa dia, tak pernah sekali pun, bersyukur. Aku juga begitu penasaran, siapa malam-malam bertamu kemari untuk menemui Bang Yuda. Makan malam segera kami selesaikan. Karena penasaran, aku ikut ke bawah sembari membawa piring bekas kami makan. “Bang, siapa itu?” bisikku pada Bang Yuda, saat kami menuruni anak tangga.“Abang juga tidak tahu, Sayang. Kita samperin saja,” balas Yuda. Kami telah sampai di lantai bawah. Bang Yuda terlihat heran, siapa lelaki asing ini. Sementara, aku menyimpan piring kotor ke dapur. Lalu aku juga ikut duduk bersama suamiku.“Maaf, Anda siapa? Dan ada perlu apa datang kemari?” tanya Bang Yuda.Pria berhodie biru itu tampak gugup, lalu sedikit berdehem. Mungkin untuk menghilangkan kegugupannya.“Sebenarnya saya ke sini untuk meminta maaf, Pak,” ucapnya membuat kami berdua semakin kebin
“Mbak, semua makanan sudah siap?” tanyaku pada Mbak Nani.“Sudah, Nya. Ini aku mau menaruhnya di meja makan dan ruang tamu,” ucap Mbak Nani.“Kok, Mbok gak tahu, kalau Sinta ada yang mau lamar, Nya? Tahu tadi subuh dari Nani,” ucap Mbok Rusli.Mbok Rusli sudah tidur malam itu, jadi dia tidak tahu dengan kejadian semalam. “Gak papa, Mbok. Yang penting sekarang Mbok sudah tahu,” jawabku.“Iya, Mbok malah tidur lebih awal jadinya gak tahu, Nya. Ya sudah, Mbok mau lanjutkan pekerjaan, Nya.” Wanita paruh baya itu begitu cekatan kerjanya meskipun usianya tak muda lagi. Sementara aku mengecek ke kamar Mbak Sinta. Aku memberikan baju baru untuknya agar dipakai di hari penyambutan keluarga Andri. Mbak Sinta tampak cantik sekali, dia memakai make up tipis natural. Meskipun begitu auranya begitu beda hari ini. Gamis berwarna merah marun senada dengan kerudungnya membuat wanita bertubuh sintal itu anggun sekali. “Nyonya, aku bingung, nanti harus bagaimana?” “Jika dia baik, lebih baik terima