Keesokan harinya tepat tanggal satu, tanggal gajian di kantor. Seperti biasa, Andi akan memakai kemejanya dari rumah, lalu ia akan berganti dengan pakaian OB di dalam mobilnya. Andi sedikit lega, karena ibu mertuanya tidak menuntut meminta banyak uang sumbangan untuk pernikahan Sania yang tertunda.Sementara Bayu, sang mata-mata tampak sibuk memperhatikan gerak-gerik Andi yang baru keluar dari rumahnya. Ia melihat ada sesuatu yang dibawa Andi. Sebuah jerigen putih berisi cairan kehijauan. Lalu ia menyimpan sebuah korek api ke dalam sakunya sebelum ia memandanginya dengan senyuman sinis. Andi menengok ke kiri dan kanan, ia merasa ada yang mengintipnya. Namun, Bayu segera pergi dengan sepeda motornya dengan cepat menuju kantor. “Halah, sudahlah. Aku yakin, kali ini rencanaku akan lancar. Akan kubakar kantor mewah milik si Yuda!” ucapnya sembari memasuki mobil, lalu melajukannya dengan kecepatan sedang.Di kantor, aktivitas berjalan seperti biasanya. Semua sibuk dengan perkerjaannya m
Di kantor super mewah, Bayu tak lepas menyelidiki Andi. Siang ini sepertinya Andi memang tidak akan melakukan apa-apa. Hingga menjelang sore, Andi mengendap-endap menuju tempat parkir mobil. Bayu sengaja mengikuti Andi dengan pura-pura lagi badmood. Ia menendang bebatuan yang berada menghiasi latar parkiran. Lalu ia sengaja duduk tepat di depan Andi.Andi begitu gelagapan setelah ia sadar kalau ada orang lain di depannya. “Lagi ngapain, Bang?” tanya Bayu.“Elu yang lagi ngapain? Jangan-jangan lu ngikutin gua lagi?” desis Andi.“Siapa yang ikutin Abang. Aku lagi malas kerja, Bang,” ujar Bayu berbohong.“Kenapa, lu?” “Bos kita sombong banget, ya? Kalau enggak butuh, aku ogah kerja di sini!” ketus Bayu.Andi tampak tersenyum sinis sembari menganggukkan kepalanya, “kalau begitu, lu mau gak bikin huru-hara di kantor ini?”“Huru-hara? Takut, ah, Bang!” Bayu berpura-pura menolak. Dalam hatinya ia tertawa karena target sudah masuk perangkapnya.“Iya.” Andi meletakkan jerigen yang berisi mi
Kini Andi tengah keluar dengan keadaan sudah berganti baju. Ia berjalan menuju ruang keluarga tempat mereka berkumpul. Beberapa kali ia menelan ludah yang terasa begitu pahit di tenggorokannya. “Bang, hari ini gajian, kan?” Nita begitu bersemangat.“Oh, iya, Sayang. Gajinya Abang simpan di atas lemari,” balasnya sembari menyeruput kopi. “Berarti, aku jadi, dong, liburan ke Bali? Besok loh, Bang!” Andi tak tahu apa yang harus ia katakan, karena ia hanya membawa uang senilai lima juta dari gaji menjadi OB. Ia hanya mengangguk ragu dan hampir terbatuk.“Buat Ibu mana, Andi? Bentar lagi Sania nikah, sekarang tambahi, ya, jadi dua juta.” Kini Bu Ayu juga ikut nimbrung, meminta jatah bulanan kepada menantunya. Kepala Andi semakin pusing mendengarnya. Ia hanya berani angguk-angguk saja di depan dua wanita ini.Nita beranjak dari duduknya. Ia tak sabar ingin menghitung gaji suaminya, buru-buru ia melangkah ke kamar di susul dengan langkah ibunya.“Duh! Apa aku harus kabur aja sekarang?” g
Hanza PovMalam ini kami berdua makan malam di kamar kami. Aku merasa geram sekali setelah mendengar kabar kalau Bang Andi hendak membakar kantor milik suamiku. Manusia macam apa dia, tak pernah sekali pun, bersyukur. Aku juga begitu penasaran, siapa malam-malam bertamu kemari untuk menemui Bang Yuda. Makan malam segera kami selesaikan. Karena penasaran, aku ikut ke bawah sembari membawa piring bekas kami makan. “Bang, siapa itu?” bisikku pada Bang Yuda, saat kami menuruni anak tangga.“Abang juga tidak tahu, Sayang. Kita samperin saja,” balas Yuda. Kami telah sampai di lantai bawah. Bang Yuda terlihat heran, siapa lelaki asing ini. Sementara, aku menyimpan piring kotor ke dapur. Lalu aku juga ikut duduk bersama suamiku.“Maaf, Anda siapa? Dan ada perlu apa datang kemari?” tanya Bang Yuda.Pria berhodie biru itu tampak gugup, lalu sedikit berdehem. Mungkin untuk menghilangkan kegugupannya.“Sebenarnya saya ke sini untuk meminta maaf, Pak,” ucapnya membuat kami berdua semakin kebin
“Mbak, semua makanan sudah siap?” tanyaku pada Mbak Nani.“Sudah, Nya. Ini aku mau menaruhnya di meja makan dan ruang tamu,” ucap Mbak Nani.“Kok, Mbok gak tahu, kalau Sinta ada yang mau lamar, Nya? Tahu tadi subuh dari Nani,” ucap Mbok Rusli.Mbok Rusli sudah tidur malam itu, jadi dia tidak tahu dengan kejadian semalam. “Gak papa, Mbok. Yang penting sekarang Mbok sudah tahu,” jawabku.“Iya, Mbok malah tidur lebih awal jadinya gak tahu, Nya. Ya sudah, Mbok mau lanjutkan pekerjaan, Nya.” Wanita paruh baya itu begitu cekatan kerjanya meskipun usianya tak muda lagi. Sementara aku mengecek ke kamar Mbak Sinta. Aku memberikan baju baru untuknya agar dipakai di hari penyambutan keluarga Andri. Mbak Sinta tampak cantik sekali, dia memakai make up tipis natural. Meskipun begitu auranya begitu beda hari ini. Gamis berwarna merah marun senada dengan kerudungnya membuat wanita bertubuh sintal itu anggun sekali. “Nyonya, aku bingung, nanti harus bagaimana?” “Jika dia baik, lebih baik terima
***Hari-hari yang ditunggu itu kini telah datang. Pagi ini, aku sudah didandani begitu cantik oleh seorang MUA. Aku begitu pangling melihat diriku dalam pantulan cermin besar. Gaun putih elegan ini dan hijab yang senada tak lupa juga disematkan mahkota di atasnya membuat aku tak kenal dengan diriku sendiri. “Mbak, jago banget riasannya,” seruku.“Bagaimana, Bu Hanza? Suka?”“Suka banget, Mbak. Terima kasih, ya.” “Lihat, Pa. Menantu Papa ini, cantik sekali,” ujar Bang Yuda membuat aku tersenyum malu.“Anak Papa benar-benar lihai dalam memilih pasangan hidup.” Papa memuji Bang Yuda sembari menepuk pundaknya pelan.“Sebagaimana Papa memilih Mami dulu, kan?” “Benar sekali.”Kedua lelaki itu tertawa renyah, aku dan tim MUA pun, ikut tertawa mendengar percakapan mereka itu. “Ya sudah, Papa mau keluar dulu, ya? Teman-teman Papa sepertinya sudah ada yang datang,” pamit Papa. “Siap, Pa.” Aku memandangi kekasih halalku dengan tatapan penuh kekaguman. Hari ini, Bang Yuda begitu tampan se
Jujur, hari ini seluruh kebencian dan kekecewaanku pada Ibu lenyap begitu saja. Aku hanya ingin melepas rindu dengan Ibu setelah berapa lamanya kita tak bertemu. Ibu sudah meminta maaf padaku. Aku ikhlas memaafkannya. Aku mengangguk, lalu kembali memeluk erat wanita yang telah melahirkanku. Kini kami menjadi pusat perhatian banyak orang. Bang Yuda, dan Papa mertua begitu terkejut juga. Pak Sony juga tampaknya mengeluarkan air mata haru. “Ya sudah, Nak. Ini Papa sambungmu. Pak Sony namanya.”“Iya, Bu.” Aku mengecup takzim tangan Pak Sony yang kini menjadi Papa sambung. “Nak, kami turun dulu, ya? Kasihan orang lain mengantri,” ucap Ibu. “Iya, silakan, Pak, Bu. Selamat menikmati hidangan di sini,” balasku masih dengan suara bergetar.Mereka berdua turun dari pelaminan. Suasana kembali lagi seperti semula, aku lihat ibu sambungku terus saja memperhatikanku lalu mereka terlihat berbisik-bisik. Entahlah, mungkin mereka juga kaget ternyata Ibu kandungku masih hidup. “Sungguh, Abang masi
“Bang Andi. Besok akan dijemput polisi atas kasus yang telah ia perbuat.” “Syukurlah. Dia memang harus dapat pelajaran. Agar cepat sadar,” timpalku. Kini kami telah sampai di rumah. Para pelayan sepertinya sedang istirahat. Memang aku yang meliburkan mereka untuk hari ini. Begitu memasuki rumah, banyak sekali kado yang berjajar di ruang tamu. “Bang, dari siapa ini? Kok banyak sekali?”Bang Yuda tampak melihat satu persatu kado yang berbagai macam ukuran itu. “Dari karyawan kantor, Sayang. Mungkin mereka sengaja mengantarnya langsung ke rumah. Ada-ada saja mereka.”“Berterima kasihlah, Bang pada mereka,” ucapku. “Iya, Abang foto dulu. Habis itu kita kirim ke grup wa. Kita ucapkan terima kasih pada mereka semua.” Bang Yuda mengambil ponselnya lalu memotret kado-kado. “Ya sudah, Bang. Kita istirahat dulu. Rasanya lelah sekali, walaupun cuman duduk di kursi pelaminan,” ajakku. Kami berdua menaiki anak tangga menuju kamar. Kuhempaskan tubuhku di atas kasur lalu kunyalakan AC. Lelahn