“Bang, hari ini Ibu nyuruh ke rumah. Kira-kira, berangkat apa enggak?” “Kita berangkat, gak papa hari ini Abang tidak ke kantor dulu. Kamu mengerti, kan?” “Ngerti banget, dong, Bang. Semoga saja kita menemukan topeng itu di rumah Ibu,” ujarku. Bang Yuda mengangguk, kecurigaan kami memang tertuju pada Bang Andi. Melihat ciri-ciri tubuhnya yang sudah tidak asing lagi saat terekam CCTV. Secara, Bang Andi juga baru-baru ini diturunkan jadi OB. Bisa jadi dia marah sama dendam. Harusnya Bang Yuda kali, yang dendam. Eh ini bukannya sadar malah kebalikannya. Pagi hari ini, kami berangkat ke rumah Ibu setelah Bang Yuda menelepon tukang CCTV yakni masih teman dekatnya yang ia percaya. Sehingga tidak perlu ditunggu saat memasangnya. Letaknya sudah ia beritahu pada pelayan rumah. “Kok, pikiran kita bisa sama, ya , Bang?” “Entah, Sayang. Abang yakin banget kalau dia pelakunya,” balasnya. Hanya butuh satu jam untuk sampai di rumah Ibu. Aku dan Bang Yuda beriringan melangkah ke rumah yang p
POV AUTHORBu Ayu begitu gemas sekali pada tetangganya itu. Ia buru-buru mengambil sapu lidi yang ada di teras rumahnya untuk dilemparkan pada Bu Dedeh. Namun, Bu Dedeh sudah secepatnya pergi ke dalam rumahnya. Bu Ayu juga begitu gelisah setelah wanita seumurannya datang dan mengancam kehidupan Sania. “Yuda, Hanza. Tolongin Ibu, kalau nanti ada apa-apa sama Sania, ya? Kalian, kan, banyak uang. Kalian bisa lakukan apa saja, kan?” ucap Bu Ayu, panik. “Maaf, Bu. Kami tidak mau ikut campur urusan kalian. Biarkan saja, Sania menyelesaikan dengan tangannya sendiri. Itu, kan, ulahnya sendiri?” tutur Hanza. “Ih, kalian ini, ya! Jadi saudara gak ada baik-baiknya!”“Oh, iya. Kami mau pamit dulu ya, Bu. Banyak urusan di rumah,” pamit Hanza tanpa memedulikan ucapan ibu sambungnya itu. Mereka berdua, Yuda dan Hanza akhirnya meninggalkan Bu Ayu sendirian. Membawa bukti topeng yang dipakai dengan Andi sewaktu memecahkan kaca rumahnya. Yuda menyamakan topeng berwarna hitam corak putih itu denga
“Sayang, mau minum?” “Boleh, Bang. Tenggorokanku rasanya kering sekali,” ucap Hanza sembari mengambil gelas berisi air putih yang disodorkan oleh Yuda.“Oh, iya. Kamu mau resepsi di gedung yang mana, Sayang?” “Gedung? Tidak di rumah saja, Bang?” Yuda tersenyum sekilas. “Di gedung, Sayang. Nih, kamu lihat-lihat dulu gambarnya.”Wanita bermata bulat itu mengambil ponsel milik suaminya, lalu menggeser-geser layar pipih itu dengan serius. Sesekali memperbesar gambar-gambar gedung mewah tersebut yang berada di Jakarta. “Abang saja yang pilih. Hanza tidak tahu, Bang. Semuanya juga bagus,” ujarnya sembari meletakkan ponsel Yuda.“Ya sudah, kalau begitu Abang akan pilih gedung termewah di sini.” “Pasti mahal, ya?” “Jangan pikirkan itu, Abang tidak akan memakai uang belanja kamu, kok, Sayang.” Yuda mencubit pipi Hanza gemas. “Bukan begitu-““Sayang uangnya, Bang. Pasti akan bicara seperti itu?” potong Yuda cepat sembari meledek Hanza.“Ih, Abang mah. Iya, lah. Sayang uangnya tahu!”“Gak
"Pokoknya Ibu harus minta lagi sama Mbak Hanza, Bu," ujar Sania."Iya, tenang. Nanti Ibu minta lagi, San. Eh iya, kamu mana sumbangannya, Nit?" "Aku cuma ada lima juta. Gak papa, kan, Bu?""Yah, kok cuma segitu, sih. Terus nanti gimana kalau tidak cukup uangnya? Secara gedung yang disewa itu mahal banget?" protes Ayu."Lah, kan, si Sania juga punya simpanan, Bu. Uangku habis untuk kebutuhan sehari-hari kita, loh!" ucap Nita.Ayu benar-benar kebingungan, dari mana ia akan mendapatkan lagi uang. Harga sewa gedung saja seratus juta. Sementara uang baru terkumpul lima belas juta lima ratus rupiah. Mau turunin ke gedung yang lebih rendah gengsinya selangit. "Resepsi di rumah saja, lah, Bu. Gratis!" celetuk Nita."Ih, ogah, ya! Mau ditempatkan di mana nanti harga diriku, Mbak. Memangnya Mbak, nikahnya pasang tenda di depan rumah," ejek Sania."Lah daripada kamu bikin pusing orang lain!" timpal Nita."Eh, sudah-sudah jangan ribut kalian! Sania itu anak bungsu, jadi wajar harus mewah dari k
“Heh, ngapain, lu liatin gua terus?” bentak Andi pada seorang cleaning service, pekerja baru.“Enggak, Bang. Sorry!” balasnya sembari pergi keluar meninggalkan Andi.“Baru jadi anak baru saja belagu, lu!” teriak Andi. Pria itu berhenti melangkah. Selanjutnya membalikkan badan lalu menatap Andi dengan tatapan sinis. “Apa, lu? Sudah sana keluar!” ketus Andi. Tidak ada yang tahu, pria baru itu hanyalah menyamar sebagai OB di kantor. Sesuai perintah Yuda, tugas sebenarnya adalah memata-matai gerak-gerik Andi. Pria itu lalu mengetikkan sebuah pesan untuk dikirim pada Yuda. (Dia merencanakan sesuatu, Yud. Katanya akan membuat kekacauan di kantor kamu) (Oke. Cari tahu apa yang akan dia lakukan, Bay)(Siap, Yud. Itu hal yang sangat gampang) Sudah satu bulan berlalu Andi bekerja sebagai OB. Dia begitu ketar-ketir saat melihat kalender. Orang lain senang gajian, ia malah ketakutan. Takut orang-orang mempertahankan gajinya yang turun drastis. Apalagi, Andi merupakan tipe suami takut istri.
“Sania? Mau, kan ke rumah sakit?” tanya Alam lagi. “Enggak deh, Mas. Ini juga sudah mendingan kok. Benar gak papa.” Sania berbohong, ia hanya berpura-pura dan menahan rasa mualnya. “Ya sudah, kalau kamu memang sudah baikan. Kita langsung saja ke rumah.” Alam melajukan mobilnya sedikit cepat, agar Sania bisa cepat istirahat di rumahnya. Sekitar sepuluh menit, mereka sudah sampai di rumah. Alam begitu perhatian pada Sania, ia menggendongnya menuju kamar. “Istirahat ya, Sayang. Jangan capek-capek. Sebentar lagi kita akan menikah,” ujar Alam.“Terima kasih, Mas. Kalau boleh tahu sampai kapan pernikahan kita ditunda?” tanya Sania.“Sekitar dua sampai tiga harian, Sayang. Tidak lama, kok. Mas harap, kamu mengerti, ya?” “Baik, Mas. Aku gak mau lama-lama. Aku pengen Mas secepatnya nikahi aku,” rengek Sania. “Iya-iya. Kamu cepat sembuh, ya. Mas langsung pamit saja,” ucapnya, “Bu, Mbak Nita. Saya mau langsung pulang, ya. Kasihan Ibu tidak ada temannya.”“Iya, Nak Alam. Terima kasih sudah
Keesokan harinya tepat tanggal satu, tanggal gajian di kantor. Seperti biasa, Andi akan memakai kemejanya dari rumah, lalu ia akan berganti dengan pakaian OB di dalam mobilnya. Andi sedikit lega, karena ibu mertuanya tidak menuntut meminta banyak uang sumbangan untuk pernikahan Sania yang tertunda.Sementara Bayu, sang mata-mata tampak sibuk memperhatikan gerak-gerik Andi yang baru keluar dari rumahnya. Ia melihat ada sesuatu yang dibawa Andi. Sebuah jerigen putih berisi cairan kehijauan. Lalu ia menyimpan sebuah korek api ke dalam sakunya sebelum ia memandanginya dengan senyuman sinis. Andi menengok ke kiri dan kanan, ia merasa ada yang mengintipnya. Namun, Bayu segera pergi dengan sepeda motornya dengan cepat menuju kantor. “Halah, sudahlah. Aku yakin, kali ini rencanaku akan lancar. Akan kubakar kantor mewah milik si Yuda!” ucapnya sembari memasuki mobil, lalu melajukannya dengan kecepatan sedang.Di kantor, aktivitas berjalan seperti biasanya. Semua sibuk dengan perkerjaannya m
Di kantor super mewah, Bayu tak lepas menyelidiki Andi. Siang ini sepertinya Andi memang tidak akan melakukan apa-apa. Hingga menjelang sore, Andi mengendap-endap menuju tempat parkir mobil. Bayu sengaja mengikuti Andi dengan pura-pura lagi badmood. Ia menendang bebatuan yang berada menghiasi latar parkiran. Lalu ia sengaja duduk tepat di depan Andi.Andi begitu gelagapan setelah ia sadar kalau ada orang lain di depannya. “Lagi ngapain, Bang?” tanya Bayu.“Elu yang lagi ngapain? Jangan-jangan lu ngikutin gua lagi?” desis Andi.“Siapa yang ikutin Abang. Aku lagi malas kerja, Bang,” ujar Bayu berbohong.“Kenapa, lu?” “Bos kita sombong banget, ya? Kalau enggak butuh, aku ogah kerja di sini!” ketus Bayu.Andi tampak tersenyum sinis sembari menganggukkan kepalanya, “kalau begitu, lu mau gak bikin huru-hara di kantor ini?”“Huru-hara? Takut, ah, Bang!” Bayu berpura-pura menolak. Dalam hatinya ia tertawa karena target sudah masuk perangkapnya.“Iya.” Andi meletakkan jerigen yang berisi mi