‘Apakah semalam aku dan Tuan Patric—?’ Maureen terbangun dari tidurnya dalam keadaan selimut yang membelit tubuhnya dan di sebelahnya ada seorang pria yang malam tadi mabuk.
"Patrick! Apa yang kau lakukan, dengan tidur bersama seorang wanita di rumah ini? Sementara kamu sendiri seharusnya menghadiri rapat penting bersama dengan ayahmu dan calon potensial investor di perkebunan kita!" teriak ibu Patrick emosi.
Tadinya ia berpikir, kalau Patrick sedang sakit, sampai ia melupakan rapat penting. Ternyata putranya itu masih berada di tempat tidur bersama, dengan wanita yang dari warna rambutnya, seperti pelayan yang bekerja di rumah Patrick, tetapi ia tidak yakin, karena wajah wanita itu tertutup rambutnya.
Mendengar suara teriakan yang begitu nyaring sontak saja membuat Patrick langsung bangun dari tidurnya. sambil memegang kepalanya yang berdenyut nyeri efek dari mabuknya tadi malam. Ia bahkan melupakan kenyataan, kalau ada seorang wanita yang tidur bersama dengannya.
Ibu Patrick menggelengkan kepala ia merasa kecewa, melihat Patrick yang bersikap seenaknya saja. "Siapa wanita yang tidur bersama denganmu, Patrick? Yang sudah membuat ayahmu dan juga calon potensial investor perkebunan kita menunggu lama, sebelum akhirnya mereka pergi dan membatalkan rencana kerjasama yang akan terjalin!"
Patrick langsung menoleh ke sampingnya dan ketika itulah ia melihat kepala dengan rambut pirang yang tidur di atas bantal, yang ada di samping bantal yang tadi ditidurinya. Wanita itu begitu pulas tertidur, sampai-sampai tidak menyadari apa yang terjadi ddi sekitarnya.
'Siapa wanita ini? Bagaimana ia bisa berada di atas tempat tidurku?' batin Patrick. Tangannya terulur menyibak rambut wanita itu untuk melihat wajahnya.
Kemarahan ibu Patrick menjadi tersulut, karena dirinya merasa tidak dihiraukan oleh Patrick. "Kau mengabaikan ibu Patrick! Bagaimana Ayahmu tidak kecewa dan lebih memilih saudara tirimu Lukas, kalau kelakuanmu seperti ini!"
Dalam hati Patrick merasa sedikit kesal kepada ibunya. "Tolong jangan berteriak, Bu! Pendengaranku masih normal dan aku tidak ingin mendengar Ibu terus membandingkan diriku dengan seseorang yang kubenci!"
Mendengar yang dikatakan oleh Patrick, Ibunya mendengus tidak suka. Dan ketika itulah wanita yang tidur di samping Ryan bangun, sehingga wajahnya dapat dikenali oleh Ibu Patrik.
“Astaga Patrick! Kau tidak pergi rapat, karena tidur, dengan pelayan di rumah ini! Dan kau Maureen! Bukankah kau seharusnya tidak menginap di rumah Patrick? Setelah membersihkan rumah ini, kau seharusnya pulang?” bentak ibu Patrik.
Patrick dengan cepat pulih dari rasa terkejutnya, begitu melihat siapa wanita yang tidur di sampingnya. Ia mengabaikan kemarahan ibunya, sebagai lelaki normal mata nakalnya justru lebih tertarik melihat Maureen yang tidak menyadari, kalau dirinya tidak memakai pakaian selembar pun. Meskipun dalam hati Patrick merasa heran, bagaimana bisa Maureen berada di atas tempat tidur yang sama dengannya. Tidak mungkin ia secara sadar mengajak wanita yang menjadi pelayan di rumahnya ini untuk tidur bersama, sementara ia sendiri sudah memiliki kekasih.
Menyadari arah tatapan mata Patrick, Maureen menundukkan pandangannya dan ketika itulah ia baru tersadar keadaan dirinya. Dengan cepat ia menarik selimut yang tadi merosot ke atas pahanya. Dapat didengarnya suara kekehan dari Patrick yang terdengar megejek di telinga Maureen.
Setelah tubuhnya terlindungi dari tatapan mata Patrick, Maureen memberanikan diri untuk melihat ke arah Patrick. "Apa yang sudah Tuan lakukan kepada saya? Kenapa saya bisa berada di atas tempat tidur Tuan?"
Patrick mengernyitkan keningnya, yang mabuk tadi malam adalah dirinya lantas kenapa Maureen bertanya seperti itu kepadanya. "Mengapa kamu bertanya seperti itu kepadaku? Bukannya kamu yang berada di atas tempat tidurku? Apakah kamu bermaksud untuk menjebakku Maureen?"
Dengan sorot mata curiga Patrick melihat ke arah Maureen. Ia menanti penjelasan dari Maureen, yang sehari-hari bekerja sebagai pelayan di rumahnya ini.
Maureen sama sekali tidak menyukai tatapan dan tuduhan yang terlontar dari bibir Patrick. "Saya sama sekali tidak memiliki keinginan untuk menjebak Tuan. Tuanlah yang mabuk tadi malam dan meminta bantuan kepada saya untuk ke kamar Tuan!"
"Jadi, kau memanfaatkan diiku yang sedang mabuk, untuk menidurumu?" Tanya Patrick., sambil mengernyitkan keningnya. Ia tidak habis pikir mengapa Maureen tidak menolak, ketika dirinya yang sedang dalam keadaan mabuk membawa wanita itu ke atas tempat tidurnya, karena ingatannya hanya samar-samar saja tentang apa yang terjadi tadi malam.
Dada Maureen merasa sakit mendengar pria yang selama ini hanna bisa ia sukai diam-diam. Ia memang tidak perah bermimpi perasaannya akan dibalas oleh Patrick, tetapi ia juga tidak bisa menerima, kalau dirinya direndahkan.
"Saya akui saya memang salah, karena sudah membiarkan Tuan menyentuh tubuh saya dan saya sama sekali tidak sanggup untuk menolaknya," Karin menundukkan kepalanya merasa malu.
Mata Paitrick melotot mendengar penuturan Maureen. Apa wanita itu sudah menuduhnya melakukan paksaan utuk menidurinya. karena ia tidak mungkin melakukan hal itu.
"Makudmu, aku memperkosa dirimu?" Patrick menatap dingiin Maureen.
Ibu Patrick yang sedari tadi diam saja mendengarkan percakapan antara Maureen dan Patriick melotot ke arah Patrick. "Maureen, tolong kamu katakan! Apakah Patrick sudah memaksamu?"
Maureen mengangkat wajahnya yang besemu merah. Ia hanya sanggup menggelengkan kepala. Bagaimana mungkin ia mengakui, kalau dirinya terhanyut dengan apa yang dilakukan Patrick kepadanya. Ia sama sekali tidak mampu menolak pesona dan kharisma Patrick.
Melihat sikap diam Maureen, Ibu Patick menjadi kesal. "Tolong, kamu katakan apakah Patrick sudah menyakitimu? Kamu tidak perlu merasa takut untnuk mengatakan kebenarannnya!"
Maureen tidak mau Ibu Patrick menjadi alah faham dengan diamnya ia. "Tidak Nyonya, Tuan Patrick sama sekali tidak meyakiti ataupun memaksa saya. Saya memang secara sadar menyerahkan diri saya kepadanya." Maureen kembali menundukkan kepala, dengan wajah merah, seperti kepiting rebus.
Mendengar penuturan Maureen, Patrick merasa lega, kalau dirinya tidak melakukan paksaan. "Ibu sudah mendengar apa yang dikatakan oleh Maureen, jadi berhentilah ibu melihatku dengan curiga."
"Mengapa aku tidak ingat sama sekali tidak mengingat, kalau sudah tidur denganmu? Kita hanya tidur bersama saja, bukan? Dan aku sama sekali tidak menyentuhmu!"
Maureen tanpa sadar melotot ke arah Patrick. Dalam hatinya Maureen berkata, 'Apa tuan Patrick dia meniduri angin sehingga dirinya sama sekali tidak merasa sudah bercinta denganku?'
Patrick melihat Maureen dengan tatapan mata yang tajam dan menyelidik, sehingga membuat Maureen menjadi gelisah mendapati tatapan itu.
“Patrick! Apakah kau lupa, kalau ibumu masih berada di kamarmu? Tidakkah kau sadar, kalau kau sudah bersikap tidak sopan dengan melihat Maureen tanpa berkedip!" Mata Ibu Patrick melotot melihat apa yang dilakukan oleh Patrick.
Patrick melihat ibunya, dengan tatapan mata yang dingin ia tidak senang sudah diingatkan. ”Mengapa Ibu tidak juga keluar dari kamarku? Bukankah seharusnya Ibu langsung keluar begitu melihatku sudah bangun!"
Mata ibu Patrick melotot, ia tidak percaya, kalau Patrick akan berkata seperti itu. “Baiklah, ibu tunggu kalian di bawah dalam waku 30 menit kalian berdua sudah harus berada di sana. Ibu dan ayahmu menunggu penjelasan darimu!”
Beberapamenit kemudian, setelah Patrick turun ke bawah menyusul Ibunya. Maureen keluarkamar Patrick dengan perasaan gugup dan takut. Sesampainya dii ryangan di manaPatrick dan kedua orang tuanya sedang duduk Maureen ragu untuk bergabung denganmereka.“Duduklahbersama kami Maureen dan jelaskan kepada kami apa yang sebenarnya terjadi tadimalam antara kamu dan Patrick! Jangan ragu untuk mengatakannya kami akanbesikap tebuka dan bisa menerima, kalau Patrick memang melakukankesalahan!" Ayah Patrick menunjuk kursi yang tepat berhadapan dengan kursidi mana Patrick duduk.Denganlangkah kaki yang ragu Maureen beranjak dari tempatnya berdiri menuju kursiyang ditiunjuk ayah Patrik, lalu duduk di situ. Maureen menautkan keduatangannya di atas pangkuan untuk mengusir rasa gugup, karena dirinya merasa diamatidan bagaikan menjalani interogasi oleh kedua orang tua Patrick. "Sayasebelumnya sudah mengatakan, kalau semua ini memang karena kesalahan tuanPatrick yang pulang dalam keadaan
“Saya nyatakan kalian berdua sah, sebagai pasangan suami istri dan kau boleh menncium istrimu, Patrick" ucap Pendeta yang memberkati pernikahan Patrick dan Maureen. Suara tepuk tangan dari beberapa orang yang turut hadir pernikahan sedderhana Patrick dan Maureen di kantor catatan sipil terdengar nyaring. Patrick menatap Maureen dengan intens dapat dilihatnya sinar bahagia di mata itu. "Kau dengar apa yang dikatakan oleh pendeta bukan? Kalau aku dipersilakan untuk menciummu!" Patrick mencium Maureen seakan hanya berdasarkan perintah dari pendeta saja. Akan tetapi, begitu bibirnya bertemu dengan bibir Maureen, yang terasa lembut dan nikmat membuat Patrick tidak berhenti mencium Maureen. Terlalu larut mencium Maureen, Patrick melupakan kenyataan kalau mereka berada di tempat umum. Dengan penonton yang menjadi malu, karena kemesraan keduanya. Patrick baru melepaskan ciumannya di bibir Maureen, setelah terdengar sua
“Kau mau pergi ke mana Patrick!" Bisik Ibunya, sambil menarik lengan Patrick. Tunggulah beberapa menit lagi, sampai pesta ini berakhir baru kau menemui wanita tadi dan memberikan penjelasan kepadanya, tetapi tidak sekarang! Karena Ibu tidak mau kau membuat nama baik keluarga kita menjadi tercoreng. Tadinya Ibu Patrick sedang berbicara dengan pelayan yang mengurus pesanan makanan pesta pernikahan Patrick dan Maureen, ketika dilihatnya Patrick berjalan keluar hendak menyusul seorang wanita, yang ia kenali beberapa kali pergi ke pesta relasi mereka dengan Patrick. Dan beruntung saja ia berada pada waktu dan tempat yang tepat, sehingga dirinya bisa mencegah Patrick melakukan tindakan yang dapat mempermalukan mereka semua. Dengan kedua tangan yang terkepal di sisi tubuhnya Patrick mengangguk. Ia melepaskan pegangan tangan Ibunya. Selama beberapa saat Patrick hanya diam saja di tempatnya berdiri mengawasi bagaimana Sandra masuk mobil dan kemud
Patrick menghentikan langkahnya, tetapi ia sama sekali tidak membalikkan badannya. "Apakah kamu bermaksud mencegahku untuk bertemu dengan kekasihku, Maureen?" Maureen berjalan menghampiri Patrick. "Aku hanya meminta kepadamu untuk menghabiskan waktu bersama denganku di hari pertama pernikahan kita." Sontak saja Patrick membalikkan badannya ia tertawa sinis ke arah Maureen. "Sayangnya aku tidak ingin menghabiskan waktu berdua saja denganmu!" Ia lalu dengan kasar mendorong tubuh Maureen menjauh, sampai wanita yang baru saja dinikkahinya itu hampir terjatuh, kalau ia tidak dengan cepat berpegangan pada dinding. Tidak menunggu jawaban dari Maureen, Patrick kembali melanjutkan langkahnya dan menutup pintu dengan keras, sehingga menimbulkan bunyi yang nyaring. Seakan ia melampiaskan kemarahannya kepada pintu tersebut. Maureen memegang dadanya yang terkejut mendengar suara tersebut. Ia lalu berjalan ke arah pintu balkon kamar Patrick. Ia kemu
“Apa maksudnya ini Maureen? Aku tidak yakin, kalau kau sedang mengandung anakku!” Ucap Patric, ketika dilihatnya Maureen masuk kamar mereka. Maurenn menatap tidak percaya alat tes kehamilan yang seharusnya berada di tempat sampah. Sekarang justru berada di tangan Patrick. Ia menelan ludah dengan sukar mendadak tenggorokannya terasa kering. Ditundukkannya wajah, karena ia merasa takut dengan tatapan tajam Patrick. “Bagaimana kau bisa meragukan, kalau anak yang kukandung bukan anakmu?” Patrick menarik napas dalam-dalam ia mengetahui, kalau dirinya tidak mungkin mandul. Ia lelaki normal, yang tentu saja bisa membuat wanita yang tidur dengannya menjadi hamil. Dengan tangan yang terlipat di depan dada diamatinya Maureen. Ia tidak suka wanita itu bukannya menjawab pertanyaannya, tetapi balik bertanya. Patrick mengatakan alasan ia tidak percaya, kalau anaknya. Bisa saja Maureen sudah hamil duluan dengan pria di luar sana, karena ia
“Kau pasti becanda!” Maureen membalikkan badan dan hal itu merupakan kesalahan baginya, karena membuat dirinya berhadapan dengan wajah Patrick yang begitu dekat. Juga ia dapat melihat dada telanjang Patrick, yang ditumbuhi rambut. Bagaikan ada magnetik tangan Maureen terulur untuk mengelus dada tersebut. Yang dengan cepat ditangkap Patrick. “Kau pasti menginginkan diriku, bukan? Ketika itu aku sedang mabuk dan aku tidak dapat mengenali bagaimana rasanya bereinta denganmu!” Mata Maureen langsung melotot ia menarik tangannya dengan cepat dari dada Patrick. Ia lupa, kalau suaminya ini begitu arogan. Digesernya posisi berbaringnya menjauh dari Maureen, lalu diletakkannya guling di antara dirinya dan Patrick. Melihat hal itu Patrick tertawa ia mengatakan, kalau hanya sebuah guling tidak akan menghalanginya untuk menyentuh tubuh Maureen. Patrick mengatakan, kalau Maureen takut tidak kuat menghadapi pesona maskulinitas d
“Kenapa kau mau berhenti sekarang? Tidak bisakah kau menundanya sampai aku mendapatkan penggantimu?” Tanya Maureen penuh harap. Wanita itu menggelengkan kepala, sambil meminta maaf dirinya tidak bisa memenuhi permintaan Maureen. Dengan berat hari Maureen pun memenuhi permohonan berhenti wanita itu. Ia tidak menahannya dan sekarang ia harus segera mendapatkan pengganti orang yang bersedia merawat ibunya. Namun, ia akan mencoba untuk bertanya kepada Patrick terlebih dahulu. Diambilnya ponsel dari tas yang dibawanya, lalu dihubunginya nomor kontak Patric, tetapi suaminya itu tidak mau mengangkat panggilan telepon darinya. Bingung tindakan apa yang harus diambilnya ia tidak mungkin meninggalkan Ibunya seorang diri di tempat ini, sementara ia juga harus mendapatkan ijin dari Patrick terlebih dahulu kalau ingin membawa Ibunya tinggal bersama dengannya. Masalah juga tidak akan hilang begitu saja, kalau ia membawa Ibunya
“Wel, siapa yang keluar dari daerah kekuasaannya. Tenang big brother, aku tidak akan merayu istrimu, karena aku bukan perebut istri orang.” Lukas melayangkan senyum mencemooh ke arah Patrick. Patrick mengepalkan kedua tangannya, yang gatal hendak memukul Lukas, tetapi ia tidak mau berkelahi dengan Lukas di sini. Dengan langkah panjang ia berjalan menghampiri Maureen, kemudian menggamit tangannya dengan kasar. Dibawanya istrinya tersebut menuruni tangga. “Kita ke rumahmu!” ucap Patrick dengan gigi yang gemeretak, karena menahan emosi. Maureen hanya bisa menurut saja ia tidak mau menambah panas situasi dengan protesnya. Ia hanya mencoba melepaskan cekalan tangan Patrick di tangannya. Bukannya melepaskan tangan Maureen, Patrick justrtu mengeratkan pegangannya, seakan takut Maureen kabur. “Apakah kau tidak sadar, kalau menyakiti istrimu, Patrick? Wanita itu tidak melakukan kesalahan apapun, aku hanya meny