Patrick menghentikan langkahnya, tetapi ia sama sekali tidak membalikkan badannya. "Apakah kamu bermaksud mencegahku untuk bertemu dengan kekasihku, Maureen?"
Maureen berjalan menghampiri Patrick. "Aku hanya meminta kepadamu untuk menghabiskan waktu bersama denganku di hari pertama pernikahan kita."
Sontak saja Patrick membalikkan badannya ia tertawa sinis ke arah Maureen. "Sayangnya aku tidak ingin menghabiskan waktu berdua saja denganmu!" Ia lalu dengan kasar mendorong tubuh Maureen menjauh, sampai wanita yang baru saja dinikkahinya itu hampir terjatuh, kalau ia tidak dengan cepat berpegangan pada dinding.
Tidak menunggu jawaban dari Maureen, Patrick kembali melanjutkan langkahnya dan menutup pintu dengan keras, sehingga menimbulkan bunyi yang nyaring. Seakan ia melampiaskan kemarahannya kepada pintu tersebut.
Maureen memegang dadanya yang terkejut mendengar suara tersebut. Ia lalu berjalan ke arah pintu balkon kamar Patrick. Ia kemudian duduk di sana, dengan tatapan mata yang menerawang jauh.
'Seandainya saja aku bisa memutar waktu, takkan kubiarkan diriku terhanyut dalam sentuhan yang diberikan Patrick kepadaku. Sekarang aku harus terjebak dalam pernikahan yang tidak diharapkan Dengan suamiku yang lebih memilih untuk bersama kekasihnya daripada aku sebagai istri sahnya,' batin Maureen.
Tanpa dikehendaki air matanya turun. Ia pun dengan kasar menghapus air mata tersebut dari pipinya, dengan sapu tangan. Maureen merasa hidupnya sudah hancur apa yang selama ini ia impikan telah direnggut paksa darinya.
Rasa penyesalan begitu menyesakkan dada Maureen membuatnya merasa begitu sakit dan terluka. Mengapa dirinya harus menikah dengan pria arogan, seperti Patrick. Pria yang hanya bisa membuatnya terluka, bahkan di hari pernikahan yang seharusnya merupakan hari yang membahagiakan baginya.
Maureen beranjak dari duduknya kembali masuk kamar. Ia langsung menuju kamar mandi untuk mencuci wajahnya di wastafel. Dilihatnya pantulan wajahnya yang terlihat pucat dan menyedihkan.
'Apakah aku harus terpuruk hanya karena menikah dengan Patrick? Akankah aku mendapatkan kebahagiaan dari pernikahan kami ini?' batin Maureen.
****
Beberapa minggu setelah pernikahan mereka tak ada perubahan sikap yang ditunjukkan oleh Patrick. Ia masih dengan sikap dinginnya tidak mau menceritakan apapun juga kepada Maureen. Walaupun dirinya mengetahui, kalau Maureen menyimpan banyak pertanyaan untuknya.
"Kita sudah beberapa minggu menikah dan aku sudah denga sabar menunggumu untuk mengatakan kepadaku, apakah kau sudah memutuskan kekasihmu? Ataukah kalian tetap menjalin hubungan terlarang tidak peduli, kalau apa yang kalian lakukan menyakiti perasaanku?" tanya Maureen dengan berani. Ia sudah tidak tahan lagi, dengan sikap diam yang ditunjukkan oleh Patrick.
Patrick mendongak dari layar laptopnya dan menatap Maureen dengan tajam. "Tidak bisakah kau mengetuk pintu terlebih dahulu, sebelum masuk ke ruanganku!"
Maureen menelan ludahnya dengan sukar matanya menatap Patrick dengan. "Maaf, aku hanya ingin meminta jawaban darimu saja."
Patrick bangkit dari duduknya, lalu berjalan menghampiri Maureen. Dipegangnya pundak istrinya itu dengan kuat.
Maureen menahan rasa sakit, karena pegangan Patrick di pundaknya. Ia tidak akan memberikan kepuasan kepada suaminya itu, kalau dirinya sudah membuatnya merasa sakit.
"Aku sudah memutuskan Sandra!" ucap Patrick dengan dingin.
"Benarkah kau melakukannya?" Wajah Maureen yang tadinya terlihat sedih langsung saja menjadi bersemangat, tetapi rasa ragu terselip di hatinya. Ia tidak yakin, kalau Patrick bersungguh-sungguh dengan apa yang dikatakannya.
Melihat wajah Maureen yang terlihat ragu, Patrick tersenyum sinis. "Aku tidak peduli, kalau kau tidak percaya dengan apa yang kukatakan!"
Patrick beranjak dari samping Maureen menuju lemari kaca yang menyimpan botol anggur miliknya. Diisinya dua buah gelas dengan anggur tersebut, lalu kembali lagi ke kursinya dan duduk kembali di situ.
Disodorkannya gelas berisi anggur tersebut ke tangan Maureen. "Minumlah! Bukankah patut dirayakan, kalau aku telah memutuskan kekasihku demi mantan pelayan di rumahku!"
Maureen menahan air matanya agar tidak tumpah. Tenggorokannya terasa kering dan ia sukar menelan salivanya. Diterimanya gelas berisi anggur yang disodorkan Patrick, lalu meminumnya dengan cepat, sehingga ia tersedak.
Dengan kasar Patrick menepuk punggung Maureen untuk menghentikan tersedaknya. Air mata yang ditahan Maureen, akhirnya tumpah juga, karena sikap kasar Patrick.
Begitu tersedaknya reda Maureen menepis kasar lengan Patrick di punggungnya. Ia membalikkan badan, sehingga netranya yang berkabut, karena air mata bertemu dengan netra Patrick yang menatapnya dengan dingin.
"Kenapa kau selalu saja bersiap kasar kepadaku? Tidak bisakah kau bersikap manis? Aku Istrimu, bukan pelayanmu, seperti dahulu!" Setelah mengucapkan kalimat tersebut, dengan setengah berlari Maureen keluar dari ruang kerja Patric.
Patrcik memandangi kepergian Maureen sampai Istrinya itu menghilang dari pandangan. Dengan kasar dilemparkannya gelas yang berada di tangannya sampai pecah. 'Brengsek! Apa yang sudah kulakukan!' Teriak Patrick seorang diri.
***
Sudah beberapa hari ini Maureen terus saja merasa pusing dan perutnya mual-mual di pagi hari. Ia menganggap hal itu hanya biasa saja, karena disebabkan kecemasannya beberapa hari yang lalu.
Hingga Maureen menyadari, kalau haidnya sudah terlambat beberapa minggu. 'Astaga, apakah dirimu sedang hamil anak Patrick?' batin Maureen.
Ia pun memutuskan untuk membeli alat tes kehamilan, guna mengetahui apakah ia memang sedang hamil ataukah tidak. Sesampainya di apotik Maureen langsung saja membeli alat tes kehamilan dan bertanya kepada pegawai yang melayaninya bagaimana cara menggunakan alat tersebut.
Dengan membawa alat tes kehamilan di dalam tasnya Maureen pun pulang ke rumah. Ia sudah tidak sabar untuk menunggu hasil tes kehamilan tersebut.
Tidak disadarinya, kalau Patrick mengamati gerak-geriknya yang terlihat menncurigakan sejak ia datang dari apotik tadi. Diam-diam, ia mengikuti Maureen yang masuk ke kamar mereka. Diperhatikanya Maureen yang menghilang di balik pintu kamar mandi, sambil membawa bungkusan di tangannya.
'Apa yang disembunyikan Maureen dariku?' batin Patrick.
Sementara itu, di dalam kamar mandi Maureen langsung merobek bungkusan alat tes kehamilan yang dibawanya. Dengan tangan yang gemetaran dan rasa gugup ia pun mencoba alat tes kehamilan tersebut.
Dengan tidak sabar ia menunggu hasil alat tes kehamilan tersebut, apakah alat itu akan memberitahukan kepadanya kalau dirinya akan menjadi seorang ibu? Ataukah tidak.
Tangan Maureen mendadak mengalami tremor, ketika ia mengangkat hasil alat tes kehamilan tersebut. Dan ternyata garis dua, yang merupakan pertanda, kalau dirinya hamil.
Maureen menutup mulutnya ia tertawa dan menangis di saat yang bersamaan. Dielusnya perutnya yang masih rata. 'Di sini sedangn tumbuh anakku dengan Patrick. Akankah Patrick meerima dengan bahagia berita kehamialanku?' batin Maureen terselip rasa cemas dalam hatinya, kalau Patrick tidak akan menerima dengan baik berita kehamilannya.
Dengan wajah bahagia bercampur bingung Maureen keluar kamar mandi. Ia menjadi terkejut ketika melihat ada Patrick, yang sedang berbaring di atas tempat tidur mereka dengan mata yang menatap dirinya tajam.
"Aku tidak mendengar suara mobilmu, kalau kau sudah pulang kerja. Apakah kau ingin kubuatkan kopi? Ataukah kau ingin kuambilkan minuman?" tanya Maureen untuk mengatasi rasa terkejutnya melihat kehadiran Patick di kamar mereka.
Patrick bangun dari rebahannya dan berjalan menghampiri Maureen. Dipegangnya kedua pipi Maureen, lalu dielusnya dengan jarinya yang besar dan terasa kasar di kulit pipi Maureen yang halus.
"Apakah ada yang kau sembunyikan dariku, Maureen?"
Maureen berusaha untuk bersikap tenang, meski jantungnya terasa berdebar kencang. Ia lupa membuang hasil tes kehamilannya. Dirinya hanya bisa berharap Patrick tidak masuk ke kamar mandi dan melihat hasil tes kehamilanya.
" Buatkan aku kopi hitam dan juga bawakan makanan!" Perintah Patrick kasar.
Maureen mengangguk ia keluar dari kamar mereka untuk membuatkan Patrick kopi tanpa ada rasa curiga sedikitpun.
Begitu Maureen keluar dari kamar mereka dengan cepat Patrick masuk ke kamar mandi. Matanya langsung menangkap sebuah alat berbentuk persegi panjang. Diambilnya alat itu dan matanya menatap tidak percaya. 'Maureen hamil? Ia mengandung anak siapa? Mengapa aku tidak yakin, kalau yang dikandung Maureen adalah anakku!' batin Patrick.
“Apa maksudnya ini Maureen? Aku tidak yakin, kalau kau sedang mengandung anakku!” Ucap Patric, ketika dilihatnya Maureen masuk kamar mereka. Maurenn menatap tidak percaya alat tes kehamilan yang seharusnya berada di tempat sampah. Sekarang justru berada di tangan Patrick. Ia menelan ludah dengan sukar mendadak tenggorokannya terasa kering. Ditundukkannya wajah, karena ia merasa takut dengan tatapan tajam Patrick. “Bagaimana kau bisa meragukan, kalau anak yang kukandung bukan anakmu?” Patrick menarik napas dalam-dalam ia mengetahui, kalau dirinya tidak mungkin mandul. Ia lelaki normal, yang tentu saja bisa membuat wanita yang tidur dengannya menjadi hamil. Dengan tangan yang terlipat di depan dada diamatinya Maureen. Ia tidak suka wanita itu bukannya menjawab pertanyaannya, tetapi balik bertanya. Patrick mengatakan alasan ia tidak percaya, kalau anaknya. Bisa saja Maureen sudah hamil duluan dengan pria di luar sana, karena ia
“Kau pasti becanda!” Maureen membalikkan badan dan hal itu merupakan kesalahan baginya, karena membuat dirinya berhadapan dengan wajah Patrick yang begitu dekat. Juga ia dapat melihat dada telanjang Patrick, yang ditumbuhi rambut. Bagaikan ada magnetik tangan Maureen terulur untuk mengelus dada tersebut. Yang dengan cepat ditangkap Patrick. “Kau pasti menginginkan diriku, bukan? Ketika itu aku sedang mabuk dan aku tidak dapat mengenali bagaimana rasanya bereinta denganmu!” Mata Maureen langsung melotot ia menarik tangannya dengan cepat dari dada Patrick. Ia lupa, kalau suaminya ini begitu arogan. Digesernya posisi berbaringnya menjauh dari Maureen, lalu diletakkannya guling di antara dirinya dan Patrick. Melihat hal itu Patrick tertawa ia mengatakan, kalau hanya sebuah guling tidak akan menghalanginya untuk menyentuh tubuh Maureen. Patrick mengatakan, kalau Maureen takut tidak kuat menghadapi pesona maskulinitas d
“Kenapa kau mau berhenti sekarang? Tidak bisakah kau menundanya sampai aku mendapatkan penggantimu?” Tanya Maureen penuh harap. Wanita itu menggelengkan kepala, sambil meminta maaf dirinya tidak bisa memenuhi permintaan Maureen. Dengan berat hari Maureen pun memenuhi permohonan berhenti wanita itu. Ia tidak menahannya dan sekarang ia harus segera mendapatkan pengganti orang yang bersedia merawat ibunya. Namun, ia akan mencoba untuk bertanya kepada Patrick terlebih dahulu. Diambilnya ponsel dari tas yang dibawanya, lalu dihubunginya nomor kontak Patric, tetapi suaminya itu tidak mau mengangkat panggilan telepon darinya. Bingung tindakan apa yang harus diambilnya ia tidak mungkin meninggalkan Ibunya seorang diri di tempat ini, sementara ia juga harus mendapatkan ijin dari Patrick terlebih dahulu kalau ingin membawa Ibunya tinggal bersama dengannya. Masalah juga tidak akan hilang begitu saja, kalau ia membawa Ibunya
“Wel, siapa yang keluar dari daerah kekuasaannya. Tenang big brother, aku tidak akan merayu istrimu, karena aku bukan perebut istri orang.” Lukas melayangkan senyum mencemooh ke arah Patrick. Patrick mengepalkan kedua tangannya, yang gatal hendak memukul Lukas, tetapi ia tidak mau berkelahi dengan Lukas di sini. Dengan langkah panjang ia berjalan menghampiri Maureen, kemudian menggamit tangannya dengan kasar. Dibawanya istrinya tersebut menuruni tangga. “Kita ke rumahmu!” ucap Patrick dengan gigi yang gemeretak, karena menahan emosi. Maureen hanya bisa menurut saja ia tidak mau menambah panas situasi dengan protesnya. Ia hanya mencoba melepaskan cekalan tangan Patrick di tangannya. Bukannya melepaskan tangan Maureen, Patrick justrtu mengeratkan pegangannya, seakan takut Maureen kabur. “Apakah kau tidak sadar, kalau menyakiti istrimu, Patrick? Wanita itu tidak melakukan kesalahan apapun, aku hanya meny
“Berani sekali kau, Maureen!” bentak Patrick emosi. Ia lalu memukul meja dengan keras, sehingga membuat Maureen terlonjak dari duduknya, saking kagetnya. Maureen menundukkan wajah tidak berani melihat netra Patrick yang menyorot galak. Ia jadi merasa takut untuk mengatakan apapun, karena selalu saja salah dipandangan Patrick. “Kenapa diam saja? Bukannya tadi kamu berani menentang saya!” Patrick menyunggingkan senyum sinis ke arah Maureen. ‘Tenang Maureen! Kamu harus sabar menghadapi pria seperti Patrick, yang selalu saja membuat hatimu sakit,’ batin Maureen. Melihat Maureen yang hanya diam saja membuat Patrick menjadi emosi. Ia mengatakan, kalau dirinya akan pergi ke kantor saja dan jangan tunggu dirinya pulang. Kembali Patrick tidak menghabiskan makannya. Ia pergi dalam keadaan marah dan membuat Maureen harus menebak apakah ia benaran melakukan apa yang dikatakannya. Nafsu makan Maureen juga hilang ia
“Maaf, aku telah lancang masuk perpustakaan ini tanpa seijinmu. Aku tidak bermaksud untuk mencari perhatian agar kau memberikan perhatian dan jatuh cinta kepadaku. Aku tidak akan melakukannya lagi!” Maureen, kemudian berbalik keluar dari perpustakaan dengan raut wajah sedih. Mengapa selalu saja ia membuat kesalahan? Apa yang dilakukannya selalu saja disalahartikan oleh Patrick. Perlahan Maureen menuruni tangga ia merasa tidak yakin tidur di kamar yang sama, dengan yang biasanya ia tempati bersama Jordan. Mengingat sikap suaminya itu yang tidak pasti kepadanya. Ia berjalan menuju ruang tengah, lalu duduk di sofa tunggal yang ada di ruangan itu. Dinyalakannya televisi, dengan siaran acak, karena ia sama sekali tidak tertarik dengan apa yang ditayangkan televisi. Dengan pikirannya yang sedang tidak tenang. ‘Seandainya saja malam itu aku bisa menolak sentuhan tuan Patrick. Tidak mungkin pernikahan ini terjadi,’ gumam Maureen pela
“What! Patrick menatap tidak percaya Mauren. Berani sekali istrinya itu menantangnya. Dengan dingin ia memperingatkan Maureen coba saja ia melakukan apa yang tadi dilakukannya. Sudah menanti hukuman yang akan dilakukannya. Usai mengatakan hal itu Patrick berjalan masuk rumah, tetapi sebelumnya ia memperingatkan kepada Maureen jangan lama-lama berada di luar, ia tidak mau direpotkan, dengan harus merawat Maureen yang sakit. Maureen menunggu selama beberapa saat, sampai Patrick menghilang dari balik pintu. Barulah ia masuk rumah langsung menaiki tangga menuju kamar tamu. Ia memutuskan untuk tidur di sana saja, daripada nanti, ketika ia masuk kamar yang ditempatinya bersama dengan Patrick, kemudian diusir keluar. Itu suatu hal yang memalukan dan menyakitkan bagi Maureen. Tangannya sudah terulur memegang kenop pintu, ketika Patrick menegurnya, dengan mengatakan kalau itu bukanlah kamarnya. Maureen membalikkan badan menuju kamar
“Kenapa kau terus saja meragukanku? Tidakkah kau merasakan, kalau bayi yang kukandung ini adalah anakmu? Seandainya yang sedang hamil adalah kekasihmu, Sandra. Apakah kau juga akan meragukannya?” Tanya Maureen lirih. Mendengar nama kekasih disebut Maureen, Patrick menjadi marah. Ia mendekati istrinya itu, lalu memegang kasar pipinya. “Aku tidak akan meragukan anak yang dikandung Sandra, kalau ia hamil!” Maureen mendongak, sehingga netra keduanya bertemu. Netra Patrick dipenuhi dengan amarah, sementara Maureen sarat dengan luka. “Mengapa?” Mendengar pertanyaan Maureen, Patrick tertawa dengan keras. Ia mengatakan, kalau Maureen begitu naif, dengan bertanya mengapa. Sudah tentu ia tidak akan meragukan Sandra, karena ia sudah sangat mengenal kekasihnya itu. Dan hal itu jelas berbeda dengan Maureen. Maureen mengangguk lemah, ia menyesal sudah mengajukan pertanyaan yang hanya akan menyakiti hatinya saja. “Aku yang aka