Beranda / Romansa / DIKEJAR CINTA CEO AROGAN / BAB 4 DRAMA DI PESTA PERNIKAHAN

Share

BAB 4 DRAMA DI PESTA PERNIKAHAN

            “Kau mau pergi ke mana Patrick!" Bisik Ibunya, sambil menarik lengan Patrick. Tunggulah beberapa menit lagi, sampai pesta ini berakhir baru kau menemui wanita tadi dan memberikan penjelasan kepadanya, tetapi tidak sekarang! Karena Ibu tidak mau kau membuat nama baik keluarga kita menjadi tercoreng.

            Tadinya Ibu Patrick sedang berbicara dengan pelayan yang mengurus pesanan makanan pesta pernikahan Patrick dan Maureen, ketika dilihatnya Patrick berjalan keluar hendak menyusul seorang wanita, yang ia kenali beberapa kali pergi ke pesta relasi mereka dengan Patrick.

            Dan beruntung saja ia berada pada waktu dan tempat yang tepat, sehingga dirinya bisa mencegah Patrick melakukan tindakan yang dapat mempermalukan mereka semua.

            Dengan kedua tangan yang terkepal di sisi tubuhnya Patrick mengangguk. Ia melepaskan pegangan tangan Ibunya. Selama beberapa saat Patrick hanya diam saja di tempatnya berdiri mengawasi bagaimana Sandra masuk mobil dan kemudian melajukannya meninggalkan halaman rumahnya.

            Ia kemudian masuk kembali dan berjalan menghampiri Maureen yang terlihat berusaha menutupi rasa sedihnya. Sisa pesta itu dilaluii Patrick dengan perasaan tersiksa, karena hati dan pikirannya ingin segera pergi menemui Sandra dan memberikan penjelasan kepadanya. 

            Maureen menggigit bibirnya kepalanya tertunduk ke pangkuan. “Aku turut menyesal dan merasa bersalah, karenaku hubungan kalian berdua harus kandas.”

            Sepanjang sisa pesta itu beberapa kali Maureen mendengar bisik-bisik dari tamu undangan tentang kedatangan kekasih Patrick tadi. Maureen harus meguatkan dirinya, agar ia tidak menangis karenanya.

             Langkah kakinya terasa berat saat Patrick mengajaknya berkeliling untuk menyapa tamu undangan mereka. Namun, ia berusaha juga memainkan peranan sandiwaranya dengan baik.

              Tangan Patrick terulur mengajak Maureen untuk berdansa. Dengan enggan ia menerima ajakan berdansa dari Patrick, yang sama seperti dirinya juga tidak ingin melakukannya. Akan tetapi, dengan terpaksa mereka melakukannya.

             "Santailah Maureen! Jangan bersikap seolah diriku memeluk patung." Bisik Patrick di telinga Maureen yang bergerak kaku dalam pelukannya. 

              Susah payah Maureen mencoba dirinya agar terlihat santai di pelukan Patrick, yang memeluknya dengan mesra mengecoh beberapa pasang mata yang menatap keduanya dengan curiga.

            Selesai berdansa keduanya menuju bufet yang sudah menyajikan berbagai macam hidangan untuk mereka santap. 

            Maureen mengisi piringnya dengan salad, yang terasa keras dan sulit untuk ia telan. Kehadiran kekasih Patrick tadi begitu mempengaruhinya dan ia kesal kepada dirinya sendiri karena hal itu.

            Beberapa jam kemudian, satu persatu tamu undangan pernikahan mereka pulang. Dan yang paling akhir pergi adalah Ibu Maureen. Sebelum wanita itu pergi ia berpesan kepada Maureen untuk tidak terlihat lemah di hadapan suaminya. 

            Ibu Patrick sebelum pergi memberikan pelukan yang hangat kepada Maureen. "Jadilah istri yang baik, karena Ibu tahu, kalau kamu bisa mengubah Patrick. Ia akan mencintaimu, percayalah!"

             Hati Maureen merasa hangat di balik sikap kasar yang diterimanya dari Patrick ia mendapatkan kasih sayang yang tulus dari ibu Patrick. Setidaknya ia tidak akan merasa sendirian saja dalam pernikahan yang mendadak dan tidak terduga tersebut.

            "Terima kasih, Bu! Sudah menyayang dan bersedia menerima diriku sebagai istri Patrick."

             Setelah Ibu Patrick pergi Maureen menghampiri ibunya yang duduk di atas kursi roda berdiri ddi sampingnya tante Maureen yang selama ini turut membantu merawat Ibunya, ketika ia sedang bekarja. Ia memeluk Ibunya dengan rasa sayang. "Terima kasih Ibu sudah mau datang dan aku janji, meskipun sudah menikah aku akan tetap datang mengunjungi Ibu."

             Maureen menolehkan kepalanya ke belakang berharap ada Patrick agar ia menyapa Ibunya. Namun, Maureen harus menyimpan rasa kecewanya, karena Patrick tidak terlihat sama sekali keberadaannya.

             Seakan mengerti apa yang dicari oleh Maureen. Ibunya menepuk pelan lengannya. "Mungkin suamimu sedang ada sesuatu yang membuatnya tidak bisa menemui Ibu sekarang ini, tetapi tadi kami sempat berbincang dan Ibu percaya, kalau Patrick akan menjadi suami yang baik untukmu."

              Maureen hanya diam saja ia tidak ingin membantah ataupun membenarkan apa yang dikatakan oleh Ibunya. Biarlah apa yang terjadi dalam rumah tangganya menjadi rahasianya saja.

             Baru saja Maureen hendak naik ke lantai dua di mana kamarnya berada didengarnya suara langkah kaki mendekat. Maureen pun membalikkan badannya dan ketika itulah ia netranya bertemu dengan netra hitam, yang hampir sama dengan pria yang berjalan mendekat ke arahnya ini. Hanya saja pria ini jauh lebih muda dari Patrick dan memiliki wajah yang terlihat ramah. 

             Pria muda itu berhenti tepat di hadapan Maureen. Ia lantas mengulurkan tangannya mengajak Maureen untuk  bersalaman. Secara spontan tangan Maureen terulur menerima jabatan tangan dari pria muda tersebut. 

             "Perkenalkan, namaku Lukas dan aku saudara tiri dari Patrick, tetapi kurasa suamimu itu sudah mengatakan kepadamu, kalau ia tidak memiliki saudara. Ia sangat membenci diriku." Lukas mengangkat tangan Maureen ke bibirnya hendak mencium punggung tangannya.

             Belum lagi ia berhasil melakukannya, sebuah tangan dengan cepat dan kasar menepis tangan Lukas, sehingga pegangannya di tangan Maureen menjadi terlepas.

             "Siapa yang mengundangmu ke sini? Pergilah Lukas! Kehadiranmu tidak diharapkan." Bentak Patrick, sambil menunjuk pintu keluar.

             Suara tawa kecil terlontar dari bibir Lukas. "Tenang saja, aku juga akan pergi, setelah diriku menyapa kakak iparku yang cantik ini." 

              Tidak ingin menyulut kemarahan Patrick lebih jauh lagi, Lukas pun pergi meninggalkan rumah Patrick. Meninggalkan pasangan suami istri itu hanya berdua saja di ruang tamu mereka.

             "Kuingatkan kepadamu Maureen, jauhi Lukas!" Setelah mengatakan hal itu Patrick berjalan masuk ke ruangan yang menjadi ruang kerjanya. 

             Maureen pun naik ke lantai dua menuju kamar Patrick yang kini juga sudah menjadi kamarnya. Ia berdiri di depan jendela kaca, dengan pemandangan taman bunga. 

             Larut dalam lamunannya Maureen tidak mendengar suara langkah kaki Patrick memasuki kamar, hingga bunyi berdebum pintu yang ditutup dengan nyaring membuatnya menoleh. Ketika itulah ia melihat Patrick yang berjalan lurus ke arahnya dengan mata yang berapi-api diliputi kemarahan.

             Patrick berhenti tepat di hadapan Maureen di cekaunya pundak istrinya itu dengan keras, sehingga Maureen meringis menahan sakit karenanya. 

             Diguncangnya dengan pelan pundak Maureen. "Kau tahu Maureen? Karenamu yang membiarkan kita tidur bersama, padahal kau berada dalam keadaan sadar."

             "Mengapa kau masih saja menyalahkan diriku? Mengapa tidak kau salahkan saja dirimu sendiri yang sudah mabuk dan membuatmu kehilangan kesadaran! Kita berdua sama-sama bersalah, kau tidak bisa dengan egoisnya menyalahkan diriku dengan menimpakan semua kesalahan padaku!"

              Mata Patrick melotot marah ia tidak percaya, kalau Maureen akan berani melawannya. "Jutsru itu! Sudah seharusnya kau yang dalam keadaan sadar mencegah diriku untuk menyentuhmu!"

             Patrick melepaskan cekauannya di pundak Maureen lalu berbalik dan memukulkan lengannya pada tembok yang berada di belakang Maureen, hingga membuat wanita itu menjadi sedikit takut.

             Suara tawa sinis terlontar dari bibir Patrick, ia lalu berkata, "Sudah pasti kau tidak mencegahnya, karena ini merupakan tiket bagimu untuk hidup nyaman."

             Sama seperti kedatangannya yang tiba-tiba Patrick juga keluar dari kamar tersebut dengan tergesa-gesa, seakan ia sudah tidak sabar lagi untuk bertemu dengan seseorang.

             Netra biru Maureen mengembun melihat punggung Patrick yang menjauh darinya. "Apakah kau akan menemui kekasihmu, Patrick? Tidak bisakah kau menundanya, kita baru saja beberapa jam yang lalu menikah. Tidak bisakah kau menghargai diriku sebagai isitrimu, meskipun kita berdua mengetahui, kalau pernikahan kita ini tanpa cinta dan karena paksaan."

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status