“Kau mau pergi ke mana Patrick!" Bisik Ibunya, sambil menarik lengan Patrick. Tunggulah beberapa menit lagi, sampai pesta ini berakhir baru kau menemui wanita tadi dan memberikan penjelasan kepadanya, tetapi tidak sekarang! Karena Ibu tidak mau kau membuat nama baik keluarga kita menjadi tercoreng.
Tadinya Ibu Patrick sedang berbicara dengan pelayan yang mengurus pesanan makanan pesta pernikahan Patrick dan Maureen, ketika dilihatnya Patrick berjalan keluar hendak menyusul seorang wanita, yang ia kenali beberapa kali pergi ke pesta relasi mereka dengan Patrick.
Dan beruntung saja ia berada pada waktu dan tempat yang tepat, sehingga dirinya bisa mencegah Patrick melakukan tindakan yang dapat mempermalukan mereka semua.
Dengan kedua tangan yang terkepal di sisi tubuhnya Patrick mengangguk. Ia melepaskan pegangan tangan Ibunya. Selama beberapa saat Patrick hanya diam saja di tempatnya berdiri mengawasi bagaimana Sandra masuk mobil dan kemudian melajukannya meninggalkan halaman rumahnya.
Ia kemudian masuk kembali dan berjalan menghampiri Maureen yang terlihat berusaha menutupi rasa sedihnya. Sisa pesta itu dilaluii Patrick dengan perasaan tersiksa, karena hati dan pikirannya ingin segera pergi menemui Sandra dan memberikan penjelasan kepadanya.
Maureen menggigit bibirnya kepalanya tertunduk ke pangkuan. “Aku turut menyesal dan merasa bersalah, karenaku hubungan kalian berdua harus kandas.”
Sepanjang sisa pesta itu beberapa kali Maureen mendengar bisik-bisik dari tamu undangan tentang kedatangan kekasih Patrick tadi. Maureen harus meguatkan dirinya, agar ia tidak menangis karenanya.
Langkah kakinya terasa berat saat Patrick mengajaknya berkeliling untuk menyapa tamu undangan mereka. Namun, ia berusaha juga memainkan peranan sandiwaranya dengan baik.
Tangan Patrick terulur mengajak Maureen untuk berdansa. Dengan enggan ia menerima ajakan berdansa dari Patrick, yang sama seperti dirinya juga tidak ingin melakukannya. Akan tetapi, dengan terpaksa mereka melakukannya.
"Santailah Maureen! Jangan bersikap seolah diriku memeluk patung." Bisik Patrick di telinga Maureen yang bergerak kaku dalam pelukannya.
Susah payah Maureen mencoba dirinya agar terlihat santai di pelukan Patrick, yang memeluknya dengan mesra mengecoh beberapa pasang mata yang menatap keduanya dengan curiga.
Selesai berdansa keduanya menuju bufet yang sudah menyajikan berbagai macam hidangan untuk mereka santap.
Maureen mengisi piringnya dengan salad, yang terasa keras dan sulit untuk ia telan. Kehadiran kekasih Patrick tadi begitu mempengaruhinya dan ia kesal kepada dirinya sendiri karena hal itu.
Beberapa jam kemudian, satu persatu tamu undangan pernikahan mereka pulang. Dan yang paling akhir pergi adalah Ibu Maureen. Sebelum wanita itu pergi ia berpesan kepada Maureen untuk tidak terlihat lemah di hadapan suaminya.
Ibu Patrick sebelum pergi memberikan pelukan yang hangat kepada Maureen. "Jadilah istri yang baik, karena Ibu tahu, kalau kamu bisa mengubah Patrick. Ia akan mencintaimu, percayalah!"
Hati Maureen merasa hangat di balik sikap kasar yang diterimanya dari Patrick ia mendapatkan kasih sayang yang tulus dari ibu Patrick. Setidaknya ia tidak akan merasa sendirian saja dalam pernikahan yang mendadak dan tidak terduga tersebut.
"Terima kasih, Bu! Sudah menyayang dan bersedia menerima diriku sebagai istri Patrick."
Setelah Ibu Patrick pergi Maureen menghampiri ibunya yang duduk di atas kursi roda berdiri ddi sampingnya tante Maureen yang selama ini turut membantu merawat Ibunya, ketika ia sedang bekarja. Ia memeluk Ibunya dengan rasa sayang. "Terima kasih Ibu sudah mau datang dan aku janji, meskipun sudah menikah aku akan tetap datang mengunjungi Ibu."
Maureen menolehkan kepalanya ke belakang berharap ada Patrick agar ia menyapa Ibunya. Namun, Maureen harus menyimpan rasa kecewanya, karena Patrick tidak terlihat sama sekali keberadaannya.
Seakan mengerti apa yang dicari oleh Maureen. Ibunya menepuk pelan lengannya. "Mungkin suamimu sedang ada sesuatu yang membuatnya tidak bisa menemui Ibu sekarang ini, tetapi tadi kami sempat berbincang dan Ibu percaya, kalau Patrick akan menjadi suami yang baik untukmu."
Maureen hanya diam saja ia tidak ingin membantah ataupun membenarkan apa yang dikatakan oleh Ibunya. Biarlah apa yang terjadi dalam rumah tangganya menjadi rahasianya saja.
Baru saja Maureen hendak naik ke lantai dua di mana kamarnya berada didengarnya suara langkah kaki mendekat. Maureen pun membalikkan badannya dan ketika itulah ia netranya bertemu dengan netra hitam, yang hampir sama dengan pria yang berjalan mendekat ke arahnya ini. Hanya saja pria ini jauh lebih muda dari Patrick dan memiliki wajah yang terlihat ramah.
Pria muda itu berhenti tepat di hadapan Maureen. Ia lantas mengulurkan tangannya mengajak Maureen untuk bersalaman. Secara spontan tangan Maureen terulur menerima jabatan tangan dari pria muda tersebut.
"Perkenalkan, namaku Lukas dan aku saudara tiri dari Patrick, tetapi kurasa suamimu itu sudah mengatakan kepadamu, kalau ia tidak memiliki saudara. Ia sangat membenci diriku." Lukas mengangkat tangan Maureen ke bibirnya hendak mencium punggung tangannya.
Belum lagi ia berhasil melakukannya, sebuah tangan dengan cepat dan kasar menepis tangan Lukas, sehingga pegangannya di tangan Maureen menjadi terlepas.
"Siapa yang mengundangmu ke sini? Pergilah Lukas! Kehadiranmu tidak diharapkan." Bentak Patrick, sambil menunjuk pintu keluar.
Suara tawa kecil terlontar dari bibir Lukas. "Tenang saja, aku juga akan pergi, setelah diriku menyapa kakak iparku yang cantik ini."
Tidak ingin menyulut kemarahan Patrick lebih jauh lagi, Lukas pun pergi meninggalkan rumah Patrick. Meninggalkan pasangan suami istri itu hanya berdua saja di ruang tamu mereka.
"Kuingatkan kepadamu Maureen, jauhi Lukas!" Setelah mengatakan hal itu Patrick berjalan masuk ke ruangan yang menjadi ruang kerjanya.
Maureen pun naik ke lantai dua menuju kamar Patrick yang kini juga sudah menjadi kamarnya. Ia berdiri di depan jendela kaca, dengan pemandangan taman bunga.
Larut dalam lamunannya Maureen tidak mendengar suara langkah kaki Patrick memasuki kamar, hingga bunyi berdebum pintu yang ditutup dengan nyaring membuatnya menoleh. Ketika itulah ia melihat Patrick yang berjalan lurus ke arahnya dengan mata yang berapi-api diliputi kemarahan.
Patrick berhenti tepat di hadapan Maureen di cekaunya pundak istrinya itu dengan keras, sehingga Maureen meringis menahan sakit karenanya.
Diguncangnya dengan pelan pundak Maureen. "Kau tahu Maureen? Karenamu yang membiarkan kita tidur bersama, padahal kau berada dalam keadaan sadar."
"Mengapa kau masih saja menyalahkan diriku? Mengapa tidak kau salahkan saja dirimu sendiri yang sudah mabuk dan membuatmu kehilangan kesadaran! Kita berdua sama-sama bersalah, kau tidak bisa dengan egoisnya menyalahkan diriku dengan menimpakan semua kesalahan padaku!"
Mata Patrick melotot marah ia tidak percaya, kalau Maureen akan berani melawannya. "Jutsru itu! Sudah seharusnya kau yang dalam keadaan sadar mencegah diriku untuk menyentuhmu!"
Patrick melepaskan cekauannya di pundak Maureen lalu berbalik dan memukulkan lengannya pada tembok yang berada di belakang Maureen, hingga membuat wanita itu menjadi sedikit takut.
Suara tawa sinis terlontar dari bibir Patrick, ia lalu berkata, "Sudah pasti kau tidak mencegahnya, karena ini merupakan tiket bagimu untuk hidup nyaman."
Sama seperti kedatangannya yang tiba-tiba Patrick juga keluar dari kamar tersebut dengan tergesa-gesa, seakan ia sudah tidak sabar lagi untuk bertemu dengan seseorang.
Netra biru Maureen mengembun melihat punggung Patrick yang menjauh darinya. "Apakah kau akan menemui kekasihmu, Patrick? Tidak bisakah kau menundanya, kita baru saja beberapa jam yang lalu menikah. Tidak bisakah kau menghargai diriku sebagai isitrimu, meskipun kita berdua mengetahui, kalau pernikahan kita ini tanpa cinta dan karena paksaan."
Patrick menghentikan langkahnya, tetapi ia sama sekali tidak membalikkan badannya. "Apakah kamu bermaksud mencegahku untuk bertemu dengan kekasihku, Maureen?" Maureen berjalan menghampiri Patrick. "Aku hanya meminta kepadamu untuk menghabiskan waktu bersama denganku di hari pertama pernikahan kita." Sontak saja Patrick membalikkan badannya ia tertawa sinis ke arah Maureen. "Sayangnya aku tidak ingin menghabiskan waktu berdua saja denganmu!" Ia lalu dengan kasar mendorong tubuh Maureen menjauh, sampai wanita yang baru saja dinikkahinya itu hampir terjatuh, kalau ia tidak dengan cepat berpegangan pada dinding. Tidak menunggu jawaban dari Maureen, Patrick kembali melanjutkan langkahnya dan menutup pintu dengan keras, sehingga menimbulkan bunyi yang nyaring. Seakan ia melampiaskan kemarahannya kepada pintu tersebut. Maureen memegang dadanya yang terkejut mendengar suara tersebut. Ia lalu berjalan ke arah pintu balkon kamar Patrick. Ia kemu
“Apa maksudnya ini Maureen? Aku tidak yakin, kalau kau sedang mengandung anakku!” Ucap Patric, ketika dilihatnya Maureen masuk kamar mereka. Maurenn menatap tidak percaya alat tes kehamilan yang seharusnya berada di tempat sampah. Sekarang justru berada di tangan Patrick. Ia menelan ludah dengan sukar mendadak tenggorokannya terasa kering. Ditundukkannya wajah, karena ia merasa takut dengan tatapan tajam Patrick. “Bagaimana kau bisa meragukan, kalau anak yang kukandung bukan anakmu?” Patrick menarik napas dalam-dalam ia mengetahui, kalau dirinya tidak mungkin mandul. Ia lelaki normal, yang tentu saja bisa membuat wanita yang tidur dengannya menjadi hamil. Dengan tangan yang terlipat di depan dada diamatinya Maureen. Ia tidak suka wanita itu bukannya menjawab pertanyaannya, tetapi balik bertanya. Patrick mengatakan alasan ia tidak percaya, kalau anaknya. Bisa saja Maureen sudah hamil duluan dengan pria di luar sana, karena ia
“Kau pasti becanda!” Maureen membalikkan badan dan hal itu merupakan kesalahan baginya, karena membuat dirinya berhadapan dengan wajah Patrick yang begitu dekat. Juga ia dapat melihat dada telanjang Patrick, yang ditumbuhi rambut. Bagaikan ada magnetik tangan Maureen terulur untuk mengelus dada tersebut. Yang dengan cepat ditangkap Patrick. “Kau pasti menginginkan diriku, bukan? Ketika itu aku sedang mabuk dan aku tidak dapat mengenali bagaimana rasanya bereinta denganmu!” Mata Maureen langsung melotot ia menarik tangannya dengan cepat dari dada Patrick. Ia lupa, kalau suaminya ini begitu arogan. Digesernya posisi berbaringnya menjauh dari Maureen, lalu diletakkannya guling di antara dirinya dan Patrick. Melihat hal itu Patrick tertawa ia mengatakan, kalau hanya sebuah guling tidak akan menghalanginya untuk menyentuh tubuh Maureen. Patrick mengatakan, kalau Maureen takut tidak kuat menghadapi pesona maskulinitas d
“Kenapa kau mau berhenti sekarang? Tidak bisakah kau menundanya sampai aku mendapatkan penggantimu?” Tanya Maureen penuh harap. Wanita itu menggelengkan kepala, sambil meminta maaf dirinya tidak bisa memenuhi permintaan Maureen. Dengan berat hari Maureen pun memenuhi permohonan berhenti wanita itu. Ia tidak menahannya dan sekarang ia harus segera mendapatkan pengganti orang yang bersedia merawat ibunya. Namun, ia akan mencoba untuk bertanya kepada Patrick terlebih dahulu. Diambilnya ponsel dari tas yang dibawanya, lalu dihubunginya nomor kontak Patric, tetapi suaminya itu tidak mau mengangkat panggilan telepon darinya. Bingung tindakan apa yang harus diambilnya ia tidak mungkin meninggalkan Ibunya seorang diri di tempat ini, sementara ia juga harus mendapatkan ijin dari Patrick terlebih dahulu kalau ingin membawa Ibunya tinggal bersama dengannya. Masalah juga tidak akan hilang begitu saja, kalau ia membawa Ibunya
“Wel, siapa yang keluar dari daerah kekuasaannya. Tenang big brother, aku tidak akan merayu istrimu, karena aku bukan perebut istri orang.” Lukas melayangkan senyum mencemooh ke arah Patrick. Patrick mengepalkan kedua tangannya, yang gatal hendak memukul Lukas, tetapi ia tidak mau berkelahi dengan Lukas di sini. Dengan langkah panjang ia berjalan menghampiri Maureen, kemudian menggamit tangannya dengan kasar. Dibawanya istrinya tersebut menuruni tangga. “Kita ke rumahmu!” ucap Patrick dengan gigi yang gemeretak, karena menahan emosi. Maureen hanya bisa menurut saja ia tidak mau menambah panas situasi dengan protesnya. Ia hanya mencoba melepaskan cekalan tangan Patrick di tangannya. Bukannya melepaskan tangan Maureen, Patrick justrtu mengeratkan pegangannya, seakan takut Maureen kabur. “Apakah kau tidak sadar, kalau menyakiti istrimu, Patrick? Wanita itu tidak melakukan kesalahan apapun, aku hanya meny
“Berani sekali kau, Maureen!” bentak Patrick emosi. Ia lalu memukul meja dengan keras, sehingga membuat Maureen terlonjak dari duduknya, saking kagetnya. Maureen menundukkan wajah tidak berani melihat netra Patrick yang menyorot galak. Ia jadi merasa takut untuk mengatakan apapun, karena selalu saja salah dipandangan Patrick. “Kenapa diam saja? Bukannya tadi kamu berani menentang saya!” Patrick menyunggingkan senyum sinis ke arah Maureen. ‘Tenang Maureen! Kamu harus sabar menghadapi pria seperti Patrick, yang selalu saja membuat hatimu sakit,’ batin Maureen. Melihat Maureen yang hanya diam saja membuat Patrick menjadi emosi. Ia mengatakan, kalau dirinya akan pergi ke kantor saja dan jangan tunggu dirinya pulang. Kembali Patrick tidak menghabiskan makannya. Ia pergi dalam keadaan marah dan membuat Maureen harus menebak apakah ia benaran melakukan apa yang dikatakannya. Nafsu makan Maureen juga hilang ia
“Maaf, aku telah lancang masuk perpustakaan ini tanpa seijinmu. Aku tidak bermaksud untuk mencari perhatian agar kau memberikan perhatian dan jatuh cinta kepadaku. Aku tidak akan melakukannya lagi!” Maureen, kemudian berbalik keluar dari perpustakaan dengan raut wajah sedih. Mengapa selalu saja ia membuat kesalahan? Apa yang dilakukannya selalu saja disalahartikan oleh Patrick. Perlahan Maureen menuruni tangga ia merasa tidak yakin tidur di kamar yang sama, dengan yang biasanya ia tempati bersama Jordan. Mengingat sikap suaminya itu yang tidak pasti kepadanya. Ia berjalan menuju ruang tengah, lalu duduk di sofa tunggal yang ada di ruangan itu. Dinyalakannya televisi, dengan siaran acak, karena ia sama sekali tidak tertarik dengan apa yang ditayangkan televisi. Dengan pikirannya yang sedang tidak tenang. ‘Seandainya saja malam itu aku bisa menolak sentuhan tuan Patrick. Tidak mungkin pernikahan ini terjadi,’ gumam Maureen pela
“What! Patrick menatap tidak percaya Mauren. Berani sekali istrinya itu menantangnya. Dengan dingin ia memperingatkan Maureen coba saja ia melakukan apa yang tadi dilakukannya. Sudah menanti hukuman yang akan dilakukannya. Usai mengatakan hal itu Patrick berjalan masuk rumah, tetapi sebelumnya ia memperingatkan kepada Maureen jangan lama-lama berada di luar, ia tidak mau direpotkan, dengan harus merawat Maureen yang sakit. Maureen menunggu selama beberapa saat, sampai Patrick menghilang dari balik pintu. Barulah ia masuk rumah langsung menaiki tangga menuju kamar tamu. Ia memutuskan untuk tidur di sana saja, daripada nanti, ketika ia masuk kamar yang ditempatinya bersama dengan Patrick, kemudian diusir keluar. Itu suatu hal yang memalukan dan menyakitkan bagi Maureen. Tangannya sudah terulur memegang kenop pintu, ketika Patrick menegurnya, dengan mengatakan kalau itu bukanlah kamarnya. Maureen membalikkan badan menuju kamar