“Kau pasti becanda!” Maureen membalikkan badan dan hal itu merupakan kesalahan baginya, karena membuat dirinya berhadapan dengan wajah Patrick yang begitu dekat. Juga ia dapat melihat dada telanjang Patrick, yang ditumbuhi rambut.
Bagaikan ada magnetik tangan Maureen terulur untuk mengelus dada tersebut. Yang dengan cepat ditangkap Patrick.
“Kau pasti menginginkan diriku, bukan? Ketika itu aku sedang mabuk dan aku tidak dapat mengenali bagaimana rasanya bereinta denganmu!”
Mata Maureen langsung melotot ia menarik tangannya dengan cepat dari dada Patrick. Ia lupa, kalau suaminya ini begitu arogan.
Digesernya posisi berbaringnya menjauh dari Maureen, lalu diletakkannya guling di antara dirinya dan Patrick.
Melihat hal itu Patrick tertawa ia mengatakan, kalau hanya sebuah guling tidak akan menghalanginya untuk menyentuh tubuh Maureen. Patrick mengatakan, kalau Maureen takut tidak kuat menghadapi pesona maskulinitas dirinya.
Tidak ada sahutan dari Maureen, yang terdengar hanyalah suara napasnya. Patrick mendesis kecewa saat dilihatnya Maureen sudah tertidur. Perkataannya tadi rupanya hanya didengar angin saja.
Diambilnya guling tersebut, lalu ia lemparkan ke lantai. “Kau tidak perlu guling ada aku yang bisa kau peluk hangat dan nyaman.” Bisik Patrick, sambil meletakkan tangannya di perut Maureen.
Maureen yang sebenarnya hanya berpura-pura tidur saja menjadi tidak karuan, Ia harus menahan dirinya untuk tidak bangun dan melepas tangan Patrick yang bermain-main di perutnya.
Lama kelamaan didengarnya suara dengkuran dari Patrick, sehingga membuat Maureen bisa menarik napas lega.
Dengan perlahan dicobanya melepaskan tangan Patrick dari perutnya. Namun, terdengar suara gumaman. “Biarkan saja!”
Suara itu membuat Maureen menjadi terkejut dirinya tidak mengira, kalau Patrick akan menyadarinya. Ia pun jadi diam membeku. Pada akhirnya, Maureen jatuh tertidur juga dalam pelukan Patrick.
Patricklah yang lebih dahulu bangun dari tidurnya dilihatnya Maureen yang masih terlelap. Senyum sinis terbit di bibirnya melihat hal itu. ‘Dia pikir aku menyukainya? Aku hanya terpaksa saja harus berada dekat dengannya ini semua, karena desakan Ayahku!’ batin Patrick.
Ia turun dari atas tempat tidur tanpa mengusik Maureen dari tidurnya, kemudian langsung menuju kamar mandi. Beberapa saat kemudian, ia keluar dari kamar mandi dengan hanya memakai handuk saja.
Maureen yang baru bangun tidur langsung disuguhi pemandangan tersebut membuatnya melotot ke arah Patrick.
“Tidak bisakah kau mengeringkan rambutmu dahulu dan memakai pakaian, sebelum keluar dari kamar mandi?”
Senyum mengejek terbit di bibir Patrick. “Aku sudah terbiasa seperti ini dan aku tidak akan mengubahnya hanya untuk dirimu!”
Maureen bangkit dari tempat tidur ia hendak menuju wstafel. Namun, ketika melewati Patrick, suaminya itu mencekal tangannya dengan kasar.
Dengan dingin Patrick mengatakan, kalau bagi dirinya pernikahan mereka hanyalah jaminan baginya agar tetap mendapatkan warisannya. Ia tidak akan mentolerir, jika sampai diketahuinya Marianne ternyata hamil dari pria lainnya.
Kedua tangan Maureen terkepal di sisi tubuhnya ia harus bisa menahan rasa marah dan kecewanya kepada Patrick. Seandainya saja ia tidak memiliki hutang budi kepada kedua orang tua Patrick yang sudah membantu biaya perawatan Ibunya. Sudah pasti ia akan pergi dari pria itu daripada harus menerima penghinaannya.
Patrick mengerutkan kening menatap Maureen. “Apakah kau tidak bisa menerima dengan yang kukatakan? Aku sama sekali tidak peduli!”
Dengan santainya Patrick melepas handuk yang tadinya menutupi tubuhnya, sehingga membuat Maureen langsung berlari menuju kamar mandi diiringi suara tawa Patrick.
sesampainya di kamar mandi Maureen langsung menggosok gigi dan mencuci wajahnya. Pada saat sedang mencuci wajah Maureen teringat wajah Ibunya yang bahagia mendengar berita rencana pernikahannya dengan Patrick.
Seandainya saja Ibunya mengetahui, cerita di balik pernikahan itu dan bagaimana perlakuan suaminya kepadanya. Ibunya pasti akan merasa sedih sekali jikalau mengetahui hal tersebut.
Terbayang di matanya, bagaimana ia yang ketika itu hampir saja putus asa mencari biaya tambahan perawatan Ibunya di rumah sakit, orang tua Patrick tanpa ragu memberikan uluran tangan.
Tiba-tiba saja pintu kamar mandi dibuka dengan kasar tampak Patri, dengan wajahnya yang terlihat kesal. “Apakah kau akan selamanya berada di sini? Jangan berpura-pura menangis, karena aku sama sekali tidak akan terpengaruh!”
Setelah mengatakan hal itu, Patrick keluar dari kamar mandi dan menutup pintunya dengan kasar. Kemudian ia berjalan menuju ruang makan dilihatnya di atas meja tidak ada makanan apapun juga. Mengetahui kenyataan itu Patrick menjadi marah.
Bergegas ia keluar ruang makan dan hendak kembali lagi menuju kamarnya, tetapi dilihatnya Maureen menuruni tangga Ditunggunya Maureen, sampai berada dekat dengannya.
“Apakah karena sekarang kau bukan pelayan di rumah ini, sehingga membuatmu berhenti untuk menyiapkan makanan bagiku!” tegur Patrick galak.
Rasanya sakit di hati Maureen mendengar kata-kata kasar itu, tetapi ia hanya bisa memendam rasa sakitnya dalam hati. Dengan lemah ia menyahut, “Tunggu sebentar, akan kubuatkan makanan untukmu!”
Dilewatinya Patrick menuju dapur, sesampainya di sana ia langsung saja menyalakan kompor. Ia akan membuatkan omlet untuk suaminya.
Beberapa menit kemudian, ia selesai juga memasak sarapan untuk Patrick. Diletakkannya makanan tersebut di atas meja bar, yang berada di dapur. Ke luar dari dapur dicarinya Patrick yang tampak sedang membaca jurnal pertanian. Dihampirinya suaminya itu. “Sarapan sudah siap! Aku menyajikannya di meja bar yang ada di dapur.”
Patrick meletakkan jurnal yang sedang dibacanya di atas meja. Ditatapnya Maureen dengan tajam. “Apa kau pikir aku ini seorang pelayan, yang akan bersedia makan di dapur!”
Usai mengucapkan kata-kata kasar tersebut ia langsung berjalan menuju pintu keluar, sambil mengatakan jika dirinya akan sarapan di apartemen kekasihnya, yang dengan senang hati akan menyajikan sarapan untuknya.
Maureen menggigit bibirnya, untuk mencegah isak yang hampir terlontar dari bibirnya. Betapa teganya Patrick selalu saja menyakiti hatinya. Apakah dipikirnya ia tidak memiliki hati? Sehingga, dengan seenaknya saja selalu berkata kasar.
Maureen berbalik menuju dapur, lalu duduk di depan meja bar. Dipandanginya makanan yang sudah dimasaknya, dengan rasa sedih. Susah payah ia memasak itu semua, tetapi justru mendapatkan penolakan dari suaminya.
‘Memang salahku lupa siapa sebenarnya Patrick. Tidak seharusnya aku mengajaknya untuk makan di sini, jelas saja ia menolaknya. Namun, bisa saja ini alasan dari Patrick untuk menghinaku dan mengatakan, kalau ia masih berhubungan dengan kekasihnya,’ batin Maureen sedih.
Dimakannya makanan yang ada di atas meja, dengan lidah yang terasa kebas. Kata-kata kasar Patrick masuk ke dalam hatinya.
Pada akhirnya Maureen menyerah, ia berhenti menyantap sarapannya. Dibawanya piring berisi makananya yang tidak habis ke pantry. Dibuangnya makanan sisa ke dalam bak sampah, kemudian ia mulai mencuci piring bekas makannya tersebut.
Setelah selesai Maureen keluar dari dapur menuju kamarnya. Beberapa saat kemudian, dengan tas kecil yang ia sandang di pundaknya Maureen keluar dari rumah. Ia memerlukan waktu untuk keluar dari rumah yang memberikan luka baginya.
Berada di luar tampak mobil pilck up butut miliknya di samping mobil mewah milik Patrick. Masuk mobilnya Maureen langsung menyalakan mesin mobil.
Maureen menarik napas lega, begitu terdengar suara mesin mobilnya. Mobil tuanya hari ini tidak mogok. Dilajukannya mobilnya menuju rumah Ibunya, yang sudah beberapa hari tidak ia kunjungi.
Sesampainya di halaman rumah Ibunya yang mungil Maureen turun dari mobil. Ia tidak perlu mengetuk pintu, karena pendengaran Ibunya yang sudah berkurang.
Masuk rumah dilihatnya Ibunya yang sedang menangis, di atas kursi rodanya, dengan makanan yang tampak berhamburan ke lantai juga gelas berisi air minum.
Ibunya kembali mendapatkan serangan jantung untuk yang kedua kalinya, setelah pernikahannya dengan Patrick. Baru tiga hari yang lalu ia keluar dari rumah sakit.
Menahan air matanya, yang hendak keluar Maureen gegas menghampiri Ibunya, lalu berlutut di samping wanita itu.
“Ke mana wanita yang biasanya menemani Ibu, ketika aku bekerja?” tanya Maureen. Dalam hati, ia merasa kecewa.
Maureen menolehkan kepalanya ke belakang, ketika didengarnya pintu rumah dibuka. Dan masuklah wanita muda yang ia percaya untuk merawat Ibunya.
Wanita muda itu tampak takut melihat raut wajah Maureen yang terlihat marah. “Maaf, saya tadi pergi ke mini market, untuk membelikan pampers Ibu Nyonya, yang sudah habis. Saya juga mau mengatakan, kalau saya berhenti merawat Ibu nyonya, karena saya mendapatkan tawaran untuk bekerja di tempat lainnya.”
“Kenapa kau mau berhenti sekarang? Tidak bisakah kau menundanya sampai aku mendapatkan penggantimu?” Tanya Maureen penuh harap. Wanita itu menggelengkan kepala, sambil meminta maaf dirinya tidak bisa memenuhi permintaan Maureen. Dengan berat hari Maureen pun memenuhi permohonan berhenti wanita itu. Ia tidak menahannya dan sekarang ia harus segera mendapatkan pengganti orang yang bersedia merawat ibunya. Namun, ia akan mencoba untuk bertanya kepada Patrick terlebih dahulu. Diambilnya ponsel dari tas yang dibawanya, lalu dihubunginya nomor kontak Patric, tetapi suaminya itu tidak mau mengangkat panggilan telepon darinya. Bingung tindakan apa yang harus diambilnya ia tidak mungkin meninggalkan Ibunya seorang diri di tempat ini, sementara ia juga harus mendapatkan ijin dari Patrick terlebih dahulu kalau ingin membawa Ibunya tinggal bersama dengannya. Masalah juga tidak akan hilang begitu saja, kalau ia membawa Ibunya
“Wel, siapa yang keluar dari daerah kekuasaannya. Tenang big brother, aku tidak akan merayu istrimu, karena aku bukan perebut istri orang.” Lukas melayangkan senyum mencemooh ke arah Patrick. Patrick mengepalkan kedua tangannya, yang gatal hendak memukul Lukas, tetapi ia tidak mau berkelahi dengan Lukas di sini. Dengan langkah panjang ia berjalan menghampiri Maureen, kemudian menggamit tangannya dengan kasar. Dibawanya istrinya tersebut menuruni tangga. “Kita ke rumahmu!” ucap Patrick dengan gigi yang gemeretak, karena menahan emosi. Maureen hanya bisa menurut saja ia tidak mau menambah panas situasi dengan protesnya. Ia hanya mencoba melepaskan cekalan tangan Patrick di tangannya. Bukannya melepaskan tangan Maureen, Patrick justrtu mengeratkan pegangannya, seakan takut Maureen kabur. “Apakah kau tidak sadar, kalau menyakiti istrimu, Patrick? Wanita itu tidak melakukan kesalahan apapun, aku hanya meny
“Berani sekali kau, Maureen!” bentak Patrick emosi. Ia lalu memukul meja dengan keras, sehingga membuat Maureen terlonjak dari duduknya, saking kagetnya. Maureen menundukkan wajah tidak berani melihat netra Patrick yang menyorot galak. Ia jadi merasa takut untuk mengatakan apapun, karena selalu saja salah dipandangan Patrick. “Kenapa diam saja? Bukannya tadi kamu berani menentang saya!” Patrick menyunggingkan senyum sinis ke arah Maureen. ‘Tenang Maureen! Kamu harus sabar menghadapi pria seperti Patrick, yang selalu saja membuat hatimu sakit,’ batin Maureen. Melihat Maureen yang hanya diam saja membuat Patrick menjadi emosi. Ia mengatakan, kalau dirinya akan pergi ke kantor saja dan jangan tunggu dirinya pulang. Kembali Patrick tidak menghabiskan makannya. Ia pergi dalam keadaan marah dan membuat Maureen harus menebak apakah ia benaran melakukan apa yang dikatakannya. Nafsu makan Maureen juga hilang ia
“Maaf, aku telah lancang masuk perpustakaan ini tanpa seijinmu. Aku tidak bermaksud untuk mencari perhatian agar kau memberikan perhatian dan jatuh cinta kepadaku. Aku tidak akan melakukannya lagi!” Maureen, kemudian berbalik keluar dari perpustakaan dengan raut wajah sedih. Mengapa selalu saja ia membuat kesalahan? Apa yang dilakukannya selalu saja disalahartikan oleh Patrick. Perlahan Maureen menuruni tangga ia merasa tidak yakin tidur di kamar yang sama, dengan yang biasanya ia tempati bersama Jordan. Mengingat sikap suaminya itu yang tidak pasti kepadanya. Ia berjalan menuju ruang tengah, lalu duduk di sofa tunggal yang ada di ruangan itu. Dinyalakannya televisi, dengan siaran acak, karena ia sama sekali tidak tertarik dengan apa yang ditayangkan televisi. Dengan pikirannya yang sedang tidak tenang. ‘Seandainya saja malam itu aku bisa menolak sentuhan tuan Patrick. Tidak mungkin pernikahan ini terjadi,’ gumam Maureen pela
“What! Patrick menatap tidak percaya Mauren. Berani sekali istrinya itu menantangnya. Dengan dingin ia memperingatkan Maureen coba saja ia melakukan apa yang tadi dilakukannya. Sudah menanti hukuman yang akan dilakukannya. Usai mengatakan hal itu Patrick berjalan masuk rumah, tetapi sebelumnya ia memperingatkan kepada Maureen jangan lama-lama berada di luar, ia tidak mau direpotkan, dengan harus merawat Maureen yang sakit. Maureen menunggu selama beberapa saat, sampai Patrick menghilang dari balik pintu. Barulah ia masuk rumah langsung menaiki tangga menuju kamar tamu. Ia memutuskan untuk tidur di sana saja, daripada nanti, ketika ia masuk kamar yang ditempatinya bersama dengan Patrick, kemudian diusir keluar. Itu suatu hal yang memalukan dan menyakitkan bagi Maureen. Tangannya sudah terulur memegang kenop pintu, ketika Patrick menegurnya, dengan mengatakan kalau itu bukanlah kamarnya. Maureen membalikkan badan menuju kamar
“Kenapa kau terus saja meragukanku? Tidakkah kau merasakan, kalau bayi yang kukandung ini adalah anakmu? Seandainya yang sedang hamil adalah kekasihmu, Sandra. Apakah kau juga akan meragukannya?” Tanya Maureen lirih. Mendengar nama kekasih disebut Maureen, Patrick menjadi marah. Ia mendekati istrinya itu, lalu memegang kasar pipinya. “Aku tidak akan meragukan anak yang dikandung Sandra, kalau ia hamil!” Maureen mendongak, sehingga netra keduanya bertemu. Netra Patrick dipenuhi dengan amarah, sementara Maureen sarat dengan luka. “Mengapa?” Mendengar pertanyaan Maureen, Patrick tertawa dengan keras. Ia mengatakan, kalau Maureen begitu naif, dengan bertanya mengapa. Sudah tentu ia tidak akan meragukan Sandra, karena ia sudah sangat mengenal kekasihnya itu. Dan hal itu jelas berbeda dengan Maureen. Maureen mengangguk lemah, ia menyesal sudah mengajukan pertanyaan yang hanya akan menyakiti hatinya saja. “Aku yang aka
“Sampai kapanpun juga aku tidak akan pernah merasa cemburu kepadamu! Kamu itu bukan siapa-siapa di mataku!” Patrick kembali menghentikan mobil di pinggir jalan. Dicekaunya dengan kasar dagu Maureen. Maureen menelan ludahnya dengan sukar, karena ia merasa takut telah memancing kemarahan Patrick. Dengan suara yang tercekat, ia meminta kepada Patrick, untuk berhenti mencurigainya. Dan mengenai bayi yang sedang dikandungnya ia bersedia melakukan tes DNA, setelah anak mereka lahir nanti. Dengan geram Patrick melepaskan cekauannya di dagu Maureen. Ia mengatakan, kalau dirinya tidak akan pernah berhenti untuk mengawasi Maureen, karena ia sendiri yang sudah secara sukarela menyerahkan diri kepadanya. Dan ia juga sudah mengeluarkan banyak uang, hanya untuk Maureen dan Ibunya. Hati Maureen merasa sakit, begitu rendahnya dirinya di mata Patrick. Tidak bisakah suaminya itu menghargai dirinya sedikit saja. Mengapa ia selalu memandang rendah dirinya.
“Astaga Maureen, kau percaya dengan apa yang kukatakan barusan! Kau fikir aku akan berani melakukannya? Mengingat sikap galak kakakku, tentu saja aku tidak berani.” Lukas tertawa keras. Maureen memanyunkan bibirnya, ia sudah merasa tidak nyaman mendengar pernyataan Lukas sebelumnya, tetapi ternyata ia hanya becanda saja. “Kau berhasil membuatku tertipu dan hampir saja aku memaksa untuk turun dari mobil ini,” sahut Maureen. Lukas kembali menjalankan mobil, dengan sisa-sisa tawa yang keluar dari bibirnya. Membuat Maureen ikut tertawa juga mendengarnya. Tak berselang lama mobil yang dikemudikan Lukas berhenti di depan rumah Patrick. Setelah mengucapkan terima kasih, Maureen pun turun dari mobil itu, Memasuki rumah Maureen dapat mendengar suara percakapan antara Ibunya dan perawat. Maureen pun merasa lega, karena sudah meninggalkan Ibunya bersama dengan orang yang tepat. “Bagaimana keadaan Ibuku? Tidak ada