“Apa maksudmu berkata, seperti itu? Kewajiban apa yang sudah kulanggar? Apakah sebagai Istrimu aku tidak berhak untuk membawa Ibuku tinggal di tempat ini tanpa ada syarat-syarat” Maureen memberanikan dirinya untuk bertanya. Patrick melipat tangannya di depan dada, ia memberikan tatapan sinis kepada Maureen. Ia mengatakan, kalau Mauureen harus mau menuruti apa yang sudah menjadi ketentuannya sebagai pemilik rumah. Maureen menatap Patrick dengan tidak percaya. Keberadaannya di rumah ini benar-benar tidak dianggap oleh suaminya itu. Ia sama sekali tidak memiliki hak sebagai seorang Istri di rumah ini. ‘Apakah Patrick hanya menganggapku sebagai pelayan saja, sama seperti posisiku sebelum menikah dengannya,’ batin Maureen sedih. Maureen meminta maaf kepada Patrick, karena dianggap sudah melalaikan kewajibannya. Ia juga bertanya kewajiban apakah yang dimaksud oleh Patrick. Dengan dingin Patrick mengatakan kewajibannya,
“Kenapa kau berkata, seperti itu, Sandra? Kau tahu dengan pasti aku sudah lama tidak menyentuhmu semenjak aku menikah. Dan sekarang kau mengaku sedang hamil dua minggu dan itu adalah anakku!” Patrick menertawakan Sandra. Terdengar suara Sandra marah, karena Patrick yang tidak mempercayai dirinya. Ia sudah memberikan bukti tes kehamilan dari dokter. Suara tawa sinis terlontar dari bibir Patrick. Ia mengatakan kepada Sandra untuk lebih pintar lagi, kalau ingin membohongi orang yang cerdas, seperti dirinya. Maureen yang berdiri di balik pintu merasa lega mendengar penyangkalan dari Patrick, sekaligus merasa kasihan kepada Sandra, karena kata-kata kasar Patrick. Seharusnya wanita itu sudah mengenal sifat kasar dan arogan dari Ryan, karena sudah lama bersama dengannya. Tiba-tiba saja pintu ruang kerja Patrick dibuka lebar dengan kasar, kemudian tampaklah Sandra yang terkejut melihat kehadiran Maureen di depan pintu.
“Kau salah faham! Aku tidak pernah menghubungi kedua orang tuamu, mereka sendiri yang datang ke sini!” sahut Maureen. Patrick memasang wajah sinis ia sama sekali tidak percaya dengan apa yang dikatakan oleh Maureen. Ia merasa, kalau sekarang ini dirinya harus bersikap waspada. Bisa saja Maureen, nantinya akan mengadu lagi kepada kedua orang tuanya dan membuat Ayahnya menjadi marah, lalu mengubah wasiatnya. Dengan kasar Patrick memegang pundak Maureen. Ia memperingatkan kepada Istrinya itu untuk tidak coba-coba mempermainkan dirinya. Hanya karena Maureen sedang hamillah, yang membuat ia bersikap lunak kepadanya. Setelah memberikan peringatan kepada Maureen, Patrick berjalan keluar menuju mobilnya. Kepulangannya, sepertinya ia urung makan siang di rumah. Maureen menghela napasnya ia harus bertahan dengan semua sikap Patrick. Dipaksanya menyelesaikan pekerjaannya memasak makan siang untuk Ibunya. Setelahnya ia membawak
“Kau sedang mengigau rupanya! Semakin besar kepala saja kau ini mana mungkin, kau bisa menjadi temanku?” ejek Patrick. Ia lalu menenggak anggur yang dibawanya dengan cepat. Ia tidak suka dengan apa yang ditanyakan Maureen barusan. Sebenarnya ia bukanlah pria yang suka bersikap kasar kepada wanita. Hanya saja ia begitu membenci Maureen, yang membuatnya terpaksa menikahi wanita itu, sekalipun sebenarnya Maureen membantunya mengalahkan Lukas dalam mendapatkan warisannya. Keduanya hanya duduk diam tidak ada yang membuka percakapan. Mereka memang duduk berdekatan, tetapi seakan ada jurang yang memisahkan mereka berdua. “Kenapa kau tidak masuk kamar? Apa kau ingin membuat dirimu menjadi sakit untuk mendapatkan perhatian dariku? Kau salah, kalau mengira aku akan peduli!” ucap Patrick. Sontak saja Maureen meradang mendengar apa yang dikatakan oleh Patrick, tetapi ia tidak akan bisa mengungkapkannya. Dan, sepertinya bayi y
“Apa maksudmu?” Tanya Maureen heran. Tiba-tiba saja tubuhnya diangkat Patrick menaiki tangga menuju kamar mereka. Ia kemudian, dibaringkan di atas tempat tidur. Dan diikuti oleh Patrick yang berbaring di sampingnya. Belum sempat Maureen berpindah dari posisinya, tangan Patrick sudah memeluk perutnya dengan erat. Dan kepala Patrick disurukkan di lehernya. Hembusan napas Patrick membuat ia merasa geli, tetapi kalau ia meminta suaminya untuk menjauh, merupakan hal yang sia-sia. Jadinya, ia membiarkan saja Patrick melakukan apa yang disukainya. Anehnya, ia kemudian merasa nyaman dan lama kelamaan ia pun mengantuk dan tertidur pulas. ‘Astaga, apa yang bergerak di perut Maureen? Apakah ini bayi itu yang sedang menendang? Apakah ia sedang marah, karena aku tidak mau menganggapnya sebagai anakku?’ batin Patrick. Ia merasa kaget, karena tiba-tibas saja bayi di perut perut Maureen bergerak. Tangannya secara nal
“Terserah kau saja, aku tidak peduli!” bentak Maureen emosi. Ia berjalan dengan cepat ke arah jalanan mencoba untuk mencari tumpangan. Patrick mengumpat, karena Maureen yang bersikeras tidak mau mengatakan siapa Ayah dari bayi yang sedang dikandungnya. Ia berbalik masuk mobil. lalu menyalakan mesinnya. Pada saat melewati Maureen, Patrick dengan sengaja membunyikan klakson, sehingga Maureen menjadi terlonjak karenanya. Patrick menurunkan kaca mobilnya tertawa mengejek ke arah Maureen, lalu melajukan mobilnya meninggalkan Maureen. Maureen mengacungkan tinjunya ke udara. Hatinya merasa sakit dan terluka, seandainya saja ia tidak memikirkan perasaan Ibunya, yang pasti akan merasa sedih dan kecewa, kalau ia bercerai dengan Patrick. ‘Semoga aku menemukan jalan keluar, biar tidak selamanya diriku dihina dan direndahkkan Patrick,’ batin Maureen. Tiba-tiba saja mobil yang dikemudikan Patrick terlihat dari kejau
“Dan kau, Maureen! Kenapa masih tidak mendengarkan perkataanku? Aku tidak habis fikir denganmu!” Bentak Patrick. Ia tadinya sedang memberikan penjelasan kepada rekan bisnisnya yang baru, ketika mendapatkan panggilan telepon. Dan ia pun bergegas datang ke perkebunan bersama dengan rekan bisinisnya. Patrick, kemudian menarik tangan Maureen membawanya naik ke mobil yang dikemudikannya. Di mana rekan bisnisnya tampak penasaran dengan apa yang terjadi. Dengan singkat Patrick menjelaskan apa yang telah terjadi. Ia, kemudian menjalankan mobil menjauh dari tempat tersebut. Ia mengantarkan rekan bisnisnya berkeliling di areal perkebunan miliknya. Maureen yang duduk di samping Patrick hanya diam bak patung, sekalipun ia menyadari, kalau Patrick sesekali melirik ke arahnya dengan geram. Namun, ia tidak bisa memarahi Maureen, karena ada orang lain bersama dengan mereka. Satu jam kemudian, tur singkat keliling perkebunan apel
“Jangan berlagak merajuk, hanya untuk mendapatkan perhatian dariku!” ucap Patrick, dengan gigi yang digemeretakkan. Maureen mengabaikan ucapan Patrick ia berjalan keluar dari butik tersebut. Sesampainya di luar ia disambut dengan udara yang terasa panas menyengat. Dengan matahari yang bersinar terik. Ia berjalan ke arah trotoar, sambil melihat ke arah jalan raya berharap ada taksi yang melintas. Maureen tidak yakin untuk pulang ke rumah Patrick, tetapi ia juga tidak mungkin meninggalkan Ibunya di sana. Banyak kata seandainya yang bermain di kepala Maureen, sehingga membuatnya tidak menyadari, kalau Patrick sudah berada tepat di belakang punggungnya. Sampai pundaknya yang terbuka di pegang dengan kasar oleh Patrik. “Kamu dengan sengaja kembali mempermalukanku, pergi begitu saja dari butik tadi. Sekarang kamu kembali dan pilih satu gaun, yang bagus, setelah itu silakan saja kau mau pergi ke mana!” Bentak Patrick. Ma