“Apa maksudnya ini Maureen? Aku tidak yakin, kalau kau sedang mengandung anakku!” Ucap Patric, ketika dilihatnya Maureen masuk kamar mereka.
Maurenn menatap tidak percaya alat tes kehamilan yang seharusnya berada di tempat sampah. Sekarang justru berada di tangan Patrick. Ia menelan ludah dengan sukar mendadak tenggorokannya terasa kering.
Ditundukkannya wajah, karena ia merasa takut dengan tatapan tajam Patrick. “Bagaimana kau bisa meragukan, kalau anak yang kukandung bukan anakmu?”
Patrick menarik napas dalam-dalam ia mengetahui, kalau dirinya tidak mungkin mandul. Ia lelaki normal, yang tentu saja bisa membuat wanita yang tidur dengannya menjadi hamil.
Dengan tangan yang terlipat di depan dada diamatinya Maureen. Ia tidak suka wanita itu bukannya menjawab pertanyaannya, tetapi balik bertanya. Patrick mengatakan alasan ia tidak percaya, kalau anaknya. Bisa saja Maureen sudah hamil duluan dengan pria di luar sana, karena ia selalu memakai pengaman pada saat sedang bercinta.
Diatakannya, kalau ia mengetahui wanita seperti Maureen mencari keamanan finansial dari orang kaya, seperti dirinya, melalui seorang anak.
Plak!
Maureen melayangkan sebuah tamparan yang keras ke wajah Patrick. Hinaan dari pria itu sangat keterlaluan, sehingga membuat ia tidak tahan untuk tidak menamparnya.
Dan itu merupakan tindakan spontan, yang langsung saja disesalinya. Ia mundur selangkah menjauh dari Patrick yang menatapnya galak.
Patrick mendekati Maureen dicengkeramnya dagu gadis itu, dengan kuat. Dengan suara mendesis, agar tidak meneriaki Maureen yang sudah berani menamparnya.
“Kau pikir siapa dirimu, sampai berani menamparku? Apakah karena sekarang sudah menjadi istriku, sehingga kau berani melakukannya?”
Maureen yang merasakan sakit, karena kuku-kuku jari Patrick yang terasa menusuk dagingnya. “Tolong, lepaskan! Kau menyakitiku.”
Patrick melepaskan tangannya dari dagu Maureen, lalu mendorongnya dengan kasar, sampai Maureen terjatuh.
Tidak ada permintaan maaf terlontar dari bibir Patrick, ia langsung berlalu pergi begitu saja dari hadapan Maureen, yang hanya bisa memandangi kepergiannya dengan mata yang berkabut.
Maureen mengerjapkan mata, untuk mencegah air matanya jatuh. Ia lalu berdiri dengan perlahan, sambil mengelus perutnya yang masih rata. Dalam hati Maureen berdo’a agar kandungannya baik-baik saja.
Ia berjalan menuju jendela kamar tidurnya, yang menghadap ke arah halaman rumah. Dilihatnya mobil Patrick meluncur dengan kencang meninggalkan halaman rumah mereka.
Maureen menduga, kalau Patrick akan pergi ke apartemen kekasihnya. Ia beranjak menjauh dari jendela menuju tempat tidur. Fisik dan jiwanya terasa Lelah. Ia ingin beristirahat sejenak menghilangkan itu semua. Dengan tidur ia berharap sikap arogan Patrick akan berubah.
Banyaknya pikiran yang mennggelayuti benak Maureen membuat ia tidak dapat memejamkan mata. Ia pun bangkit dari tempat tidur, diambilnya jaket yang berada di gantungan.
Ia berjalan keluar kamar menuruni tangga menuju ruang baca. Diambilnya sebuah buku dengan judul asal saja. Kemudian ia berjalan menuju sofa yang ada di ruangan tersebut.
Dibacanya buku tersebut, sambil rebahan. Lama kelamaan kantuk menyerang Maureen ia pun jatuh tertidur, dengan buku berada di atas dadanya.
Saking nyenyaknya tidur, bahkan membuat Maureen tidak menyadari kalau pintu perpustaakaan dibuka.
***
Patrick pergi menuju kelab di mana teman-temannya biasa berada. Namun, ketika berada di sana ia tidak lagi merasa nyaman dirinya justru teringat dengan Maureen.
Mengabaikan seruan teman-temannya untuk tidak pergi Patrick keluar dari kelab tersebut. Sesampainya di parkiran kelab Patrick langsung masuk ke dalam mobilnya.
Dilajukannya mobilnya dengan ecpat, sehingga ia sampai di rumah dalam waktu yang singkat.
Begitu sampai rumah dengan santai ia berjalan memasuki rumah, lalu menaiki tangga menuju lantai dua di mana kamarnya dan Maureen berada. Sesampainya di kamar mereka ia tidak menemukan keberadaan Maureen.
‘Ke mana Maureen? Seharusnya ia berada di kamar kami!’ batin Patrick.
Ia kemudian keluar dari kamar mereka dan berjalan menuruni tangga untuk mencari keberadaan Maureen. Di saat ia hendak mencari keberadaan Maureen mendadak Patrick menjadi tersadar. Kenapa juga ia mencari keberadaan wanita yang sudah membuatnya berada dalam pernikahan terpaksa.
Patrick berbalik menuju perpustakaan, tempat di mana ia lebih sering menghabiskan waktu, selain berada di ruang kerjanya. Begitu sudah berada di perpustakaannya Patrick merasa heran, karena lampu di ruangan tersebut menyala.
Dilihatnya Maureen yang sedang berbaring di sofa yang ada di perpustakaan tesebut. ‘Di sini rupanya dia berada!’ batin Patrick.
Diambilnya buku yang ada di atas dada Maureen diletakkannya di atas meja yang ada di dekat sofa. Ia lalu mengangkat badan Maureen. menuju tempat tidur yang adai di sana.
Sesampainya di ranjang kecil yang ada di perpustakaan Patrick membaringkan Maureen. Kemudian, ia berbaring di samping Maureen, dengan berbantalkan lengannya.
Maureen membuka mata dengan perlahan ia merasakan pelukan pada perutnya. Dan betapa terkejutnya ia ketika melihat Paricklah pelakunya.
Perlahan dilepaskannya tangan Patrick dari tubuhnya, karena tidak mau membuat suaminya itu menjadi terbangun. Namun, ternyata Patrick terbangun juga dari tidurnya.
Ia membuka mata dan netranya langsung bertemu, dengan netra Maureen yang tampak tekejut.
“Mengapa kau bisa berada di ranjangku?” Tanya Patrick galak.
Maureen tidak mengerti dengan pertanyaan Patrick. Seharusnya ia yang bertanya, bagaimana bisa dirinya berada di atas ranjang, padahal seingatnya ia sedang berbaring di sofa, sambil membaca buku
“Mengapa kau berata seperti itu? Seakan menuduhku telah membawa paksa dirimu untuk tidur bersama di ranjang yang sempit ini!” Maureen turun dari atas ranjang tersebut.
Langkah Maureen yang hendak keluar dari perpustaan mendadak terhenti, ketika dengan mendadak Ryan mengatakan, kalau dirinya tidur, sambil berjalan.
Maureen membalikan badan ia menggelengkan kepala dan mengatakan, kalau dirinya tidak pernah tidur sambil berjalan. Setelah mengatakan hal itu Maureen berjalan pergi dari ruang perpustaan.
Patrick yang sudah tidak mengantuk lagi bangun dari ranjang tersebut. Ia berjalan ke lemari minuman yang ada di sana, lalu dituangnya anggur ke dalam gelas, yang disesapnya hingga sisa separo.
Ia kemudian, keluar dari ruang perpustakaan tersebut Dan berjalan menuju kamarnya bersama Maureen. Sesampainya di kamar ia melihat Maureen yang baru saja keluar dari kamar mandi.
Selama sesaat yang singkat tatapan keduanya bertemu. Namun, Maureenlah yang mengalihkan pandangan dengan cepat. Patrick tersenyum sinis melihat hal itu.
Ia mengejek Maureen yang tidak berani lama-lama menatapnya. Dengan angkuh Patrick mengejek Maureen yang tidak tahan melihat dirinya.
Patrick kemudian menuju kamar mandi, untuk menggosok giginya. Tak lama berselang ia keluar dari kamar mandi, lalu berbaring di ranjang yang sama dengan Maureen.
Patrick mengamati mata Maureen, yang tampak sudah terpejam dengan pernapasannya yang teratur. Ia pun membaringkan dirinya di samping Maureen, setelah puas mengamati wajah istrinya itu.
“Kau pikir aku tidak mengetahui, kalau kau hanya berpura-pura saja sudah tidur!”
Maureen tidak mau menjawab perkataan Patrick, kalau ia membuka mata dan menjawab ucapannya sama saja dengan dirinya secara terang-terangan membenarkan tuduhan Patrick.
Mengetahui, kalau pertanyaannya diabaikan Maureen. Patrick menjadi kesal. Ia lalu membalikkan badannya menghadap punggung Maureen. Tangannya melingkar di perut Maureen, dengan kakinya menumpang di atas kaki Maureen.
Tindakan Patrick hanya membuat Maureen menjadi gugup, dengan jantungnya yang berdebar kencang. Dalam hati Maureen menggerutu, bagaimana ia bisa tahan, dengan sikap Patrick yang seperti ini.
Patrick berbisik di telinga Maureen. “Bagaimana, kalau kita mengulang kejadian di saat kita tidur bersama, karena saat itu aku tidak mengingatnya sama sekali!”
“Kau pasti becanda!” Maureen membalikkan badan dan hal itu merupakan kesalahan baginya, karena membuat dirinya berhadapan dengan wajah Patrick yang begitu dekat. Juga ia dapat melihat dada telanjang Patrick, yang ditumbuhi rambut. Bagaikan ada magnetik tangan Maureen terulur untuk mengelus dada tersebut. Yang dengan cepat ditangkap Patrick. “Kau pasti menginginkan diriku, bukan? Ketika itu aku sedang mabuk dan aku tidak dapat mengenali bagaimana rasanya bereinta denganmu!” Mata Maureen langsung melotot ia menarik tangannya dengan cepat dari dada Patrick. Ia lupa, kalau suaminya ini begitu arogan. Digesernya posisi berbaringnya menjauh dari Maureen, lalu diletakkannya guling di antara dirinya dan Patrick. Melihat hal itu Patrick tertawa ia mengatakan, kalau hanya sebuah guling tidak akan menghalanginya untuk menyentuh tubuh Maureen. Patrick mengatakan, kalau Maureen takut tidak kuat menghadapi pesona maskulinitas d
“Kenapa kau mau berhenti sekarang? Tidak bisakah kau menundanya sampai aku mendapatkan penggantimu?” Tanya Maureen penuh harap. Wanita itu menggelengkan kepala, sambil meminta maaf dirinya tidak bisa memenuhi permintaan Maureen. Dengan berat hari Maureen pun memenuhi permohonan berhenti wanita itu. Ia tidak menahannya dan sekarang ia harus segera mendapatkan pengganti orang yang bersedia merawat ibunya. Namun, ia akan mencoba untuk bertanya kepada Patrick terlebih dahulu. Diambilnya ponsel dari tas yang dibawanya, lalu dihubunginya nomor kontak Patric, tetapi suaminya itu tidak mau mengangkat panggilan telepon darinya. Bingung tindakan apa yang harus diambilnya ia tidak mungkin meninggalkan Ibunya seorang diri di tempat ini, sementara ia juga harus mendapatkan ijin dari Patrick terlebih dahulu kalau ingin membawa Ibunya tinggal bersama dengannya. Masalah juga tidak akan hilang begitu saja, kalau ia membawa Ibunya
“Wel, siapa yang keluar dari daerah kekuasaannya. Tenang big brother, aku tidak akan merayu istrimu, karena aku bukan perebut istri orang.” Lukas melayangkan senyum mencemooh ke arah Patrick. Patrick mengepalkan kedua tangannya, yang gatal hendak memukul Lukas, tetapi ia tidak mau berkelahi dengan Lukas di sini. Dengan langkah panjang ia berjalan menghampiri Maureen, kemudian menggamit tangannya dengan kasar. Dibawanya istrinya tersebut menuruni tangga. “Kita ke rumahmu!” ucap Patrick dengan gigi yang gemeretak, karena menahan emosi. Maureen hanya bisa menurut saja ia tidak mau menambah panas situasi dengan protesnya. Ia hanya mencoba melepaskan cekalan tangan Patrick di tangannya. Bukannya melepaskan tangan Maureen, Patrick justrtu mengeratkan pegangannya, seakan takut Maureen kabur. “Apakah kau tidak sadar, kalau menyakiti istrimu, Patrick? Wanita itu tidak melakukan kesalahan apapun, aku hanya meny
“Berani sekali kau, Maureen!” bentak Patrick emosi. Ia lalu memukul meja dengan keras, sehingga membuat Maureen terlonjak dari duduknya, saking kagetnya. Maureen menundukkan wajah tidak berani melihat netra Patrick yang menyorot galak. Ia jadi merasa takut untuk mengatakan apapun, karena selalu saja salah dipandangan Patrick. “Kenapa diam saja? Bukannya tadi kamu berani menentang saya!” Patrick menyunggingkan senyum sinis ke arah Maureen. ‘Tenang Maureen! Kamu harus sabar menghadapi pria seperti Patrick, yang selalu saja membuat hatimu sakit,’ batin Maureen. Melihat Maureen yang hanya diam saja membuat Patrick menjadi emosi. Ia mengatakan, kalau dirinya akan pergi ke kantor saja dan jangan tunggu dirinya pulang. Kembali Patrick tidak menghabiskan makannya. Ia pergi dalam keadaan marah dan membuat Maureen harus menebak apakah ia benaran melakukan apa yang dikatakannya. Nafsu makan Maureen juga hilang ia
“Maaf, aku telah lancang masuk perpustakaan ini tanpa seijinmu. Aku tidak bermaksud untuk mencari perhatian agar kau memberikan perhatian dan jatuh cinta kepadaku. Aku tidak akan melakukannya lagi!” Maureen, kemudian berbalik keluar dari perpustakaan dengan raut wajah sedih. Mengapa selalu saja ia membuat kesalahan? Apa yang dilakukannya selalu saja disalahartikan oleh Patrick. Perlahan Maureen menuruni tangga ia merasa tidak yakin tidur di kamar yang sama, dengan yang biasanya ia tempati bersama Jordan. Mengingat sikap suaminya itu yang tidak pasti kepadanya. Ia berjalan menuju ruang tengah, lalu duduk di sofa tunggal yang ada di ruangan itu. Dinyalakannya televisi, dengan siaran acak, karena ia sama sekali tidak tertarik dengan apa yang ditayangkan televisi. Dengan pikirannya yang sedang tidak tenang. ‘Seandainya saja malam itu aku bisa menolak sentuhan tuan Patrick. Tidak mungkin pernikahan ini terjadi,’ gumam Maureen pela
“What! Patrick menatap tidak percaya Mauren. Berani sekali istrinya itu menantangnya. Dengan dingin ia memperingatkan Maureen coba saja ia melakukan apa yang tadi dilakukannya. Sudah menanti hukuman yang akan dilakukannya. Usai mengatakan hal itu Patrick berjalan masuk rumah, tetapi sebelumnya ia memperingatkan kepada Maureen jangan lama-lama berada di luar, ia tidak mau direpotkan, dengan harus merawat Maureen yang sakit. Maureen menunggu selama beberapa saat, sampai Patrick menghilang dari balik pintu. Barulah ia masuk rumah langsung menaiki tangga menuju kamar tamu. Ia memutuskan untuk tidur di sana saja, daripada nanti, ketika ia masuk kamar yang ditempatinya bersama dengan Patrick, kemudian diusir keluar. Itu suatu hal yang memalukan dan menyakitkan bagi Maureen. Tangannya sudah terulur memegang kenop pintu, ketika Patrick menegurnya, dengan mengatakan kalau itu bukanlah kamarnya. Maureen membalikkan badan menuju kamar
“Kenapa kau terus saja meragukanku? Tidakkah kau merasakan, kalau bayi yang kukandung ini adalah anakmu? Seandainya yang sedang hamil adalah kekasihmu, Sandra. Apakah kau juga akan meragukannya?” Tanya Maureen lirih. Mendengar nama kekasih disebut Maureen, Patrick menjadi marah. Ia mendekati istrinya itu, lalu memegang kasar pipinya. “Aku tidak akan meragukan anak yang dikandung Sandra, kalau ia hamil!” Maureen mendongak, sehingga netra keduanya bertemu. Netra Patrick dipenuhi dengan amarah, sementara Maureen sarat dengan luka. “Mengapa?” Mendengar pertanyaan Maureen, Patrick tertawa dengan keras. Ia mengatakan, kalau Maureen begitu naif, dengan bertanya mengapa. Sudah tentu ia tidak akan meragukan Sandra, karena ia sudah sangat mengenal kekasihnya itu. Dan hal itu jelas berbeda dengan Maureen. Maureen mengangguk lemah, ia menyesal sudah mengajukan pertanyaan yang hanya akan menyakiti hatinya saja. “Aku yang aka
“Sampai kapanpun juga aku tidak akan pernah merasa cemburu kepadamu! Kamu itu bukan siapa-siapa di mataku!” Patrick kembali menghentikan mobil di pinggir jalan. Dicekaunya dengan kasar dagu Maureen. Maureen menelan ludahnya dengan sukar, karena ia merasa takut telah memancing kemarahan Patrick. Dengan suara yang tercekat, ia meminta kepada Patrick, untuk berhenti mencurigainya. Dan mengenai bayi yang sedang dikandungnya ia bersedia melakukan tes DNA, setelah anak mereka lahir nanti. Dengan geram Patrick melepaskan cekauannya di dagu Maureen. Ia mengatakan, kalau dirinya tidak akan pernah berhenti untuk mengawasi Maureen, karena ia sendiri yang sudah secara sukarela menyerahkan diri kepadanya. Dan ia juga sudah mengeluarkan banyak uang, hanya untuk Maureen dan Ibunya. Hati Maureen merasa sakit, begitu rendahnya dirinya di mata Patrick. Tidak bisakah suaminya itu menghargai dirinya sedikit saja. Mengapa ia selalu memandang rendah dirinya.